Search

Kabar Terbaru

Upaya Mendapatkan Akses Legal Lahan Garapan Di Wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Cianjur, Selasa 30 Mei 2019. Perwakilan dari Kelompok Tani Hutan (KTH) kampung Cipeucang dan kampung Ciwaluh didampingi oleh RMI melakukan pertemuan dengan pihak Kepala Bidang Wilayah III Bogor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dalam rangka menindaklanjuti usulan Kemitraan Konservasi (KK) yang diajukan oleh KTH Cipeucang dan KTH Ciwaluh pada Desember 2018 lalu.

Pertemuan ini adalah pertemuan pertama yang dilakukan oleh KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan pihak TNGGP setelah pengajuan KK. Sebelumnya, pihak TNGGP juga telah menunjukkan upayanya untuk menindaklanjuti pengajuan KK oleh KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan berkunjung ke RMI untuk memulai diskusi lebih dulu dengan RMI sebagai pendamping sebelum pertemuan tanggal 30 April 2019.

Pada kesempatan ini, diskusi dilakukan dalam rangka mengeksplorasi beberapa pilihan bentuk kerjasama. Dibutuhkannya beberapa pilihan ini karena perbedaan aturan yang ada dalam Perdirjen No. 6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi dengan aktivitas dan penghidupan masyarakat yang selama ini telah terjadi di tingkat tapak. Berbagai aktivitas yang diajukan oleh kedua KTH dalam proposal Kemitraan Konservasi mereka, yang sebagian merupakan kegiatan yang mereka telah jalani selama puluhan tahun, hanya dapat dilakukan apabila wilayah yang diajukan tersebut adalah Zona Tradisional dalam wilayah kelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sementara, menurut pengelolaan TNGGP dalam bentuk zonasi yang ditetapkan tahun 2016, aktivitas penghidupan masyarakat Kampung Ciwaluh dan Kampung Cipeucang berada di Zona Rehabilitasi taman nasional tersebut. Menurut Perdirjen No.6 tahun 2018 tentang KK, Skema KK yang dapat dilakukan di Zona Tradisional taman nasional disebut dengan Skema Pemberdayaan Masyarakat, sementara skema KK yang dapat dilakukan di Zona Rehabilitasi adalah Skema Pemulihan Ekosistem. Keduanya berbeda, terutama dalam hal tujuan legalisasi akses masyarakat ke kawasan taman nasional dan jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

Pendek kata, jika kedua KTH mengambil opsi Skema Pemulihan Ekosistem, maka secara de jure mereka tidak lagi dapat melakukan berbagai aktivitas pengelolaan kebun hutan dan sawah yang telah mereka jalani berpuluh-puluh tahun. Jika skema kemitraan yang akan dilakukan adalah Skema Pemberdayaan Masyarakat agar masyarakat masih dapat terus melaksanakan berbagai aktivitas penghidupan yang selama ini menjadi kehidupan mereka, maka perlu dilakukan perubahan zonasi dari Zona Rehabilitasi menjadi Zona Tradisional.

Lebih lanjut, diskusi menemui kebuntuan saat membicarakan perihal keberadaan sawah yang telah ada sejak tahun 1940an. Dalam KK, baik Skema Pemulihan Ekosistem maupun Skema Pemberdayaan Masyarakat, sawah bukan merupakan aktivitas masyarakat yang cocok dalam definisi hutan yang dianut oleh sektor kehutanan di Indonesia.

Lahan garapan masyarakat kampung Ciwaluh dan kampung Cipeucang saat ini sebagian besar berada di kawasan zona rehabilitasi. Di mana zona tersebut bertujuan untuk memulihkan ekosistem yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.

“Kami tidak bisa kasih keputusan apa-apa karena menyangkut semua orang, yang pasti buat kami sawah harus dipertahankan,” kata Irpan, salah satu anggota KTH Ciwaluh.

Masyarakat sudah menetap di kampung tersebut sejak tahun 1930-an, dan untuk memenuhi kebutuhannya adalah dengan bersawah. Namun, sejak tahun 2003 ketika wilayah Perum Perhutani yang telah digarap secara tumpang sari oleh masyarakat kedua kampung tersebut dilebur ke dalam wilayah konservasi TNGGP, masyarakat kesulitan dalam menuai hasil hutan.

Kenyataan seperti ini tidak hanya ditemukan di kampung Ciwaluh dan kampung Cipeucang saja, tetapi juga di lokasi lain yang di mana lahan garapan masyarakat masuk di dalam kawasan hutan. Oleh sebab itu, maka konteks kawasan hutan harus ditempatkan dalam pola pikir tata ruang dan interaksi antar unsur. Serta, perkembangan paradigma pengelolaan hutan juga harus ditempatkan dalam pola antropologis dan tidak hanya selalu praktik pengelolaan teknis kehutanannya.

Adapun hasil dari pertemuan antara KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan pihak TNGGP saat ini masih mencari titik temu, dan rencananya kedua KTH dengan difasilitasi oleh RMI akan menempuh upaya konsultatif kepada Dirjen KSDAE untuk mengupayakan proses legalisasi lahan pertanian terutama sawah dalam kawasan TNGGP.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor : Mardha Tillah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Recent News

2
Langkah Kolaboratif Pendokumentasian dan Pelestarian Keragaman Pangan Lokal Nusantara
2-1
Peran Krusial Perempuan dan Generasi Muda dalam Konferensi Tenurial 2023
Windows-10-4K-Wallpapers-24
Demokrasi dalam Kacamata Masyarakat Adat
IMG_20231209_120656
Konsolidasi 2024 Masyarakat Kasepuhan Bongkok Untuk Perjuangan Hak Pengakuan Hutan Adat
3
Sekelumit Cerita dari Teh Jarsih bersama Kelompok Lodong dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kasepuhan Cibarani
DSCF2674_15_11zon
Acara Puncak dan Penutupan Festival Pare Ketan 2023
DSCF2287_21_11zon
Batur Ngawangkong #2: Refleksi dan Rekomendasi dari Forum KAWAL
DSCF2060_1_11zon
Batur Ngawangkong #1: Peningkatan Kapasitas Forum KAWAL di Festival Pare Ketan 2023
Pembukaan Festival Pare Ketan 2023
4
Jalan Panjang Perjuangan Atas Hak Pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Cibedug 
Follow by Email
YouTube
YouTube
Instagram