Kesejahteraan Lahir Batin: Sistem Pangan dan Dampaknya Bagi Kita

Pangan liar Masyarakat Adat Kasepuhan

Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman (UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan).

Kehidupan manusia tak akan pernah bisa lepas dari pangan, yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang bersifat primer. Berdasarkan wawancara dengan Said Abdullah (Ayip), Koordinator Nasional KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan), perkembangan sistem pangan dipengaruhi dan dibentuk dari perkembangan sistem kapitalisme dunia, dan hal ini bersifat resiprokal. Hal tersebut lah yang kemudian memunculkan adanya penguasaan pangan dunia yang dikategorikan dalam tiga periode. Periode awal atau disebut dengan periode kolonialisme terjadi sebelum tahun 1930. Pada periode ini, dengan membawa politik Gold, Glory, Gospel, negara-negara Eropa menjelajah dunia untuk mencari bahan pangan ke bumi bagian selatan. Bahan pangan yang didapat dikuasai dan dikelola penuh oleh negara, bertujuan untuk menghidupkan industri pengelolaan pangan yang mereka miliki. Cara ini dilakukan dengan memperluas industri produksi pangan di negara koloninya, dengan menjadikannya sebagai lumbung pangan. Peristiwa ini kemudian berkembang menjadi industrialisasi pertanian dan bertahan hingga sebelum perang dunia kedua meletus.

Setelah perang dunia pecah, dimulailah periode kedua dengan penguasaan pangan berpindah dari Eropa ke Amerika. Dalam periode ini, Amerika memiliki peran besar untuk membentuk industrialisasi pangan dunia dengan memanfaatkan negara-negara bekas jajahan bangsa Eropa. Salah satu yang dihasilkan dalam periode ini adalah dimulainya penyeragaman jenis pangan dengan membawa jargon “Ketahanan Pangan”. Negara bersama dengan perusahaan mulai menyeragamkan benih, cara pengolahan, dan alat yang digunakan untuk mengolah pangan. Industrialisasi pangan dunia ini kemudian berdampak pada petani yang tidak bisa mandiri untuk mengembangkan varietas yang dimilikinya dengan alasan produknya tidak akan laku di pasaran karena berbeda dengan varietas yang umum dipasarkan. Di konteks Indonesia, beras dijadikan komoditi utama sebagai bahan pangan pokok, mengantikan beberapa bahan pangan seperti jagung, sorgum, sagu, dan beberapa lainnya. Penyeragaman ini, perlahan tapi pasti, berpotensi menimbulkan degradasi sumber daya genetik dalam konteks benih. Dari yang awalnya terdapat berbagai macam benih untuk satu jenis bahan pangan, pada akhirnya hanya akan menyisakan beberapa macam benih saja.

Dari periode kedua ini, industrialisasi pangan semakin berkembang dan mendorong berbagai korporasi untuk secara penuh memonopoli sistem pangan. Era ini dikategorikan sebagai periode ketiga yang berlangsung mulai dari tahun 1980 hingga sekarang. Berbagai macam produk pangan, mulai dari benih, peralatan, hingga produk olahan, yang dikelola oleh korporasi atau perusahaan sudah merambah ke berbagai belahan dunia. Fenomena ini semakin menjadikan masyarakat “menikmati” keseragaman pangan yang dilakukan oleh perusahaan. Contoh nyata yang bisa dilihat adalah maraknya produk olahan gandum, mulai dari produk roti, biskuit, maupun olahan-olahan di restoran cepat saji, yang sudah merambah berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Fenomena ini perlahan bisa menjadi ancaman bagi ketahanan dan kedaulatan pangan lokal Indonesia. Beberapa varietas benih pangan lokal pun terancam punah karena tidak lagi ditanam akibat penyeragaman ini. Belum lagi serbuan produk pangan impor lainnya, dan beberapa produk dengan rekayasa genetika yang dinilai lebih menarik dan lebih unggul daripada produk pangan lokal. Padahal, jika dilihat lebih dalam, produk pangan lokal Indonesia jauh sangat beragam macamnya dan bisa saling menggantikan apabila pangan yang biasa kita olah/makan sedang terbatas ketersediaannya. Selain berdampak pada benih, penyeragaman ini juga berpotensi menghilangkan pengetahuan dan teknologi terkait jenis dan sistem pangan lokal. Hal ini diakibatkan karena monopoli perusahaan dalam menentukan produk pangan yang dikonsumsi masyarakat.

 

Pangan liar Masyarakat Adat Kasepuhan

Berangkat dari fenomena-fenomena di atas, istilah kedaulatan pangan muncul untuk mendorong sistem pangan agar bisa mandiri, dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati yang dimiliki masing-masing daerah agar tidak bergantung pada monopoli sistem pangan yang dilakukan korporasi. Kedaulatan pangan berfokus pada hak dan menjadikan petani sebagai subjek yang memiliki kuasa untuk menentukan produk pangan apa yang akan ia kembangkan. Tujuan dari kedaulatan pangan bukan untuk meningkatkan produksi pangan, akan tetapi untuk meningkatkan kualitas dan derajat hidup masyarakat, terutama petani dan masyarakat pedesaan. Dalam konteks Indonesia sendiri, menurut Ayip, kedaulatan pangan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Indonesia masih menganut paradigma ketahanan pangan. Produsen pangan masih mengikuti pasar untuk menentukan apa yang akan mereka produksi dan masih mengejar tingkat produksi pangan. Untuk menyukseskan kedaulatan pangan di Indonesia, dibutuhkan sinergi dari banyak pihak dan harus dikerjakan secara paralel. Dari sisi pemerintah, karena kedaulatan pangan sudah tercantum di Undang-undang, kebijakan dan program terkait pangan yang dikeluarkan harus sesuai dengan filsofi dasar dari kedaulatan pangan. Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah mendorong anak-anak muda, rural maupun urban, untuk turut mengawal kebijakan terkait kedaulatan pangan ini. Selain itu, dapat pula dengan membangun model dalam skala kecil, yaitu edukasi dan penguatan literasi terkait pangan di tingkat masyarakat konsumen, baik di desa maupun di kota. Upaya kedaulatan pangan ini dapat pula dimasukkan dalam program pembangunan desa untuk penguatan program pangan desa. Pun tingkat keluarga dapat berpartisipasi untuk menyukseskan kedaulatan pangan negara dengan mulai berani untuk menentukan apa yang akan mereka konsumsi dan tidak terbawa arus penyeragaman pangan.

Pembahasan mengenai sistem pangan ini merupakan bagian dari serial podcast Kesejahteraan Lahir Batin – Sistem Pangan Hari Ini dan Dampaknya Bagi Kita. Melihat pembangunan saat ini yang  hanya fokus pada ekonomi, dengan lebih memilih impor dan menciptakan pasar bebas yang tanpa disadari merugikan produsen pangan, seperti petani, nelayan, dan lainnya. Urusan pangan bukan hanya urusan dari mulut hingga perut. Akan tetapi, urusan pangan terkait pula dengan kehidupan anak-cucu untuk kesejahteraan lahir batin bangsa dan negara di masa depan.

Dengarkan informasi lengkapnya di sini.

Penulis: Ajeng Lestari Midi

Editor: Siti Marfu’ah

Kegiatan Penanaman Mangrove dan Kampanye Lingkungan oleh Kompilasi di Ujung Kulon

Kompilasi merupakan singkatan dari Komunitas Masyarakat Peduli Lingkungan Sekitar. Kompilasi terbentuk pada akhir tahun 2017 di Kampung Cikawung, Desa Ujungjaya, Kec. Sumur, Pandeglang-Banten. Lokasi Desa berbatasan langsung dengan Taman Nasional Ujung Kulon. Sebagian besar anggota Kompilasi adalah pemuda

Komunitas yang sebagian besar anggotanya adalah pemuda ini berdiri karena kepedulian mereka terhadap kerusakan pantai di sekitar Desa Ujungjaya, yang diakibatkan 1). Faktor alam berupa gelombang rob (pasang) yang semakin tinggi intensitasnya. Pasang menyebabkan terjadinya abrasi dan tergenangnya tanah-tanah di pekarangan.2). Faktor manusia, sehubungan alih fungsi lahan mangrove untuk perusahaan tambak udang dan pengerukan pasir pantai dengan tujuan komersil.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Kompilasi untuk mencegah kerusakan pantai adalah melalui kegiatan penanaman mangrove dan edukasi lingkungan kepada anak usia dini (anak SD dan SMP). Pada dua kegiatan ini, peserta diajak untuk mengenal tanaman mangrove, jenis-jenis dan manfaatnya bagi lingkungan. Sejak tahun 2018 lalu hingga saat ini, tidak kurang dari 25.000 pohon telah ditanam Kompilasi di area sekitar kawasan pesisir Desa Ujungjaya, Desa Tunggal Jaya dan di sekitar dan di dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.

Pada tanggal 11 Agustus 2021, Kompilasi bekerja sama dengan RMI-Bogor menyelenggarakan kegiatan penguatan kapasitas pemuda di kawasan pesisir pantai utara Ujung Kulon. Kegiatan ini dilaksanakan selama 2 hari bertempat di kampung Katapang Desa Tunggal Jaya, Kec, Sumur Kab. Pandeglang.

Pada kegiatan hari pertama peserta melakukan observasi seputar ekosistem pantai, objeknya adalah pesisir pantai dan muara. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran dan menumbuhkan sikap kritis terhadap kondisi lingkungan yang ada di sekitar mereka yang saat ini terus mengalami penurunan kualitas akibat faktor alam dan aktivitas manusia. Hal menarik di sesi ini, peserta diberikan tugas melakukan identifikasi berupa observasi langsung terhadap objek, mengisi form yang sudah disediakan panitia. Obyek-obyek yang diobservasi adalah berupa lanskap, material, mahkluk hidup, tingkat dan penyebab kerusakan. Setelah lebih dari 2 jam melakukan observasi masing-masing kelompok mempresentasikan hasil observasinya. Hasil dari presentasi didiskusikan melalui tanya jawab dan pendalaman.

Pada malam hari, dilakukan pemutaran film ‘’ Tenggelam Dalam Diam” yaitu film dokumenter yang diproduksi oleh Greenpeace dan Watchdoc. Film ini mendokumentasikan kondisi pesisir utara Pulau Jawa dari Gresik hingga Tangerang yang kondisinya tanahnya sebagain sudah ada dibawah permukaan laut. Film dokumenter ini lalu menjadi bahan diskusi dengan pertanyaan kunci 1). Bagaimana kondisi ini bisa terjadi 2). Faktor apa saja yang turut serta menyumbang kerusakan. Dalam diskusi, isu pembangunan-pembangunan pabrik, pertambangan menjadi bahasan yang paling banyak diulas oleh peserta, yang diduga paling banyak menyumbang bagi kerusakan lingkungan.

Pada sesi pemutaran film, isu petisi Hak Anak Atas Lingkungan yang Sehat (Child Rights for Healthy Environment) juga dibahas. Petisi ini merupakan bagian dari usaha kolaboratif dari berbagai kelompok untuk mendorong PBB meloloskan protokol tambahan pada Child Rights Convention/Konvensi Hak Anak,terkait perlindungan anak dari kondisi-kondisi yang membahayakan perkembangan mereka terkait lingkungan seperti pencemaran udara, bahaya bahan kimia, bahaya banjir, kekeringan, dan lain-lain. Dengan mendorong perubahan ini, melalui pengumpulan petisi yang akan diteruskan kemudian di forum internasional maka masing-masing kelompok berarti sudah mengusahakan suatu perubahan yang sangat berarti. Kompilasi adalah salah satu kelompok yang berperan besar dalam pengumpulan petisi ini di Indonesia, khususnya wilayah Banten.

Selanjutnya penggalangan tanda tangan petisi dilakukan setelah usai kegiatan. Pemilihan simpul-simpul koordinator dilakukan untuk mempercepat dan memperluas jangkauan penandatangan.

Hari kedua diisi dengan penanaman mangrove jenis bakau Rhizopora mucronata yang memang cocok dengan tipologi tanah yang ada di pesisir Pantai Katapang. Pesisir ini dijadikan sasaran penanaman dengan pertimbangan karena kondisi mangrovenya nyaris hilang akibat aktivitas manusia. Lokasinya dekat pemukiman dan dampak dari Tsunami Selat Sunda tahun 2008 lalu masih terlihat.  Lokasi ini mengalami dampak terparah kedua setelah Kampung Paniis-Ujung Kulon. Pohon yang ditanam adalah sebanyak 100 pohon.

Kegiatan pada hari kedua ini adalah melanjutkan yang telah dikerjakan oleh Kompilasi tahun lalu. Sebelumnya Kompilasi telah menginisiasi gerakan penanam pohon mangrove di lokasi yang sama dengan bekerja sama dengan masyarakat setempat. Modal bibit mangrove disemai anggota Kompilasi secara swadaya.  Sebanyak 2000 pohon kini bertumbuh dengan sehat, disusul dengan yang baru ditanam.

Kegiatan Kompilasi merupakan sebuah contoh, bagaimana pemuda turut serta dalam menentukan perubahan sosial dan lingkungan, perubahan yang mereka inginkan terjadi di sekitar mereka.

 

Penulis:  Fauzan Adima

Editor : Indra NH

Ngobrol Bareng #AnakMudauntukTanah Air: Menoleh Inisiatif dan Aspirasi Anak Muda Indonesia

Sejak dahulu, dan sampai sekarang — Anak Muda terbukti secara nyata telah menunjukkan kontribusinya dengan mempelopori berbagai gerakan perubahan. 

 

Sejak dahulu, Anak Muda terbukti telah secara nyata menunjukkan kontribusinya dengan mempelopori berbagai gerakan perubahan. Banyak momen-momen bersejarah yang dibangun oleh semangat anak muda seperti Sumpah Pemuda, Reformasi, bahkan banyak momentum di masa depan yang akan sangat bergantung pada keberadaan anak muda saat ini, seperti Pilpres 2024 dan Visi Indonesia 2045, tepat pada 100 tahun Kemerdekaan Indonesia. 

Atas dasar tersebut RMI dan Econusa menyadari bahwa perlu adanya titik temu bagi komunitas dan organisasi untuk membahas persoalan Anak Muda, menyediakan platform bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan lebih jauh lagi yaitu menghubungkan Anak Muda dengan ruang hidup dan tanah airnya. Pada 3 Agustus 2021, RMI dan Econusa menginisiasi Diskusi Konsolidasi Anak Muda untuk Tanah Air, yang dihadiri 59 peserta dari 22 komunitas anak muda dan 15 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki fokus pada isu lingkungan, agraria, anak muda, pemberdayaan ekonomi dan kewirausahaan sosial serta aktif berkegiatan di wilayah Indonesia Barat, Indonesia Tengah, Indonesia Timur maupun level nasional.

Kegiatan ini dibuka dengan perkenalan antarkomunitas dan LSM, yang difasilitasi oleh Wahyu (RMI). Para peserta diminta mengakses link Menti.com untuk selanjutnya mereka dipersilakan menuliskan nama organisasi dan nama makhluk hidup yang menyimbolkan organisasinya masing-masing.

Selanjutnya  pada sesi Diskusi #AnakMudauntukTanahAir terdapat dua pertanyaan kunci untuk dibahas lebih lanjut dalam dua kelompok besar (Komunitas Anak Muda dan LSM) yaitu: (1) Apa aksi anak muda yang sedang dilakukan dan (2) Apa refleksi (tantangan, aspirasi, pengalaman, dll) untuk gerakan anak muda sekarang dan masa mendatang.

Aksi dan Inisiatif yang sudah dan tengah dilakukan

 

Dari pertanyaan kunci pertama yaitu “Apa aksi anak muda yang sedang dilakukan?”, kelompok LSM menyampaikan bahwa pendampingan Anak Muda telah dilakukan di seluruh Indonesia dengan berbagai kegiatan dan isu, seperti peningkatan kapasitas individu dan kelompok anak muda melalui pendidikan hukum rakyat untuk penguatan kampung, membangun kesadaran Anak Muda di kampus terkait isu-isu agraria dan pangan di pedesaan, juga menstimulasi pertukaran informasi pedesaan-perkotaan (rural-urban). Ada pula kegiatan berupa konsolidasi Anak Muda khususnya Serikat Tani. 

 

Di kelompok Komunitas Anak Muda yang diikuti oleh 34 orang terlihat bahwa kegiatan anak muda yang ada di rural maupun urban juga tidak kalah beragam. Mulai dari kampanye di ranah pendidikan, krisis iklim dan lingkungan hidup, sampah plastik di wilayah pesisir, kegiatan bertani dan berkebun kelompok Anak Muda, sampai membahas persoalan regenerasi anak muda di pedesaan. Aksi dan inisiatif yang dilakukan menekankan kreativitas, gaya kekinian, kolaboratif, mengikuti trend, dan optimalisasi penggunaan teknologi dan media sosial sangat mencirikan inisiatif khas ala anak muda jaman now. Kegiatan Anak Muda tersebut dilakukan dengan berbagai pendekatan berbeda-beda, mulai dari kegiatan berbasis riset, kampanye daring, gerakan turun ke jalan, pendidikan di luar kelas, hingga menginisiasi lokakarya. 

 

Terlihat pula andil besar anak muda dalam penguatan kampung melalui berbagai fokus kegiatan yang dipilih, diantaranya: peningkatan kapasitas individu maupun kelompok, literasi dan pendidikan, pengarsipan kearifan lokal dan kekayaan pangan komunitas. Sementara pada kegiatan berorientasi advokasi, utamanya terkait dengan isu perubahan iklim, sampah, dan hak hak masyarakat adat juga lokal. Meski belum sebanyak kegiatan lain, ada pula program Anak Muda yang menyasar pada perubahan kebijakan seperti menggalang dukungan atau petisi dan long march.

 

Refleksi Gerakan Anak Muda Indonesia di Masa Kini dan Masa Mendatang

 

Dalam diskusi terfokus bersama kawan-kawan LSM, teridentifikasi bahwa tantangan gerakan anak muda adalah: (1) Adanya perbedaan/disparitas sosial dan geografis maupun teknologi antara anak muda di kampung dan urban; (2) Sulitnya menarik minat dan mengemas suatu isu untuk Anak Muda; (3) Anak muda dalam berkegiatan juga harus fokus pada pemenuhan kehidupan (livelihood) mereka, ada juga yang harus sekolah di luar kampung sehingga mereka tidak dapat sepenuhnya fokus berkegiatan untuk membangun kampungnya dan menyebabkan kekosongan kampung; (4) Dengan adanya sumber daya di masing-masing organisasi/ komunitas, dirasa sulit untuk membuka ruang kolaborasi. Adapun menjawab tantangan-tantangan tersebut, beberapa hal yang sudah dan sedang direncanakan adalah internalisasi nilai-nilai perjuangan kaum muda: menginternalisasi semangat perjuangan Anak Muda ke dalam kehidupan sehari-hari, merancang kegiatan pemberdayaan generasi muda di kampung untuk menyediakan sumber penghasilan bagi mereka sekaligus menahan laju urbanisasi, dan mencari format kelompok belajar dengan latar belakang dan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda, 

 

Sementara itu, di kelompok Komunitas Anak Muda, setidaknya ada lima tantangan yang berhasil ditangkap dari fasilitasi diskusi di kelompok komunitas anak muda terkait refleksi (tantangan, aspirasi, pengalaman dll) mereka untuk gerakan anak muda. (1) Tantangan atas akses, dana dan materi; (2) Peralatan dan pengetahuan terbatas; (3) Mengarusutamakan isu-isu yang berat dan sulit dipahami harus diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari; (4) Meningkatkan kerelawanan anak muda, karena tak sedikit anak muda yang  mengharapkan imbalan, seperti uang, saat melakukan kegiatan; (5) Tidak dianggap dan ditindaklanjutinya aspirasi anak muda oleh korporasi atau pemerintah; dan (6) Kurangnya kesadaran masyarakat atas isu-isu yang ada di sekitarnya. 

 

Di satu sisi kurangnya ruang anak muda untuk berpartisipasi di masyarakat menjadi tantangan sekaligus peluang bagi mereka untuk menciptakan ruang ekspresinya masing-masing dengan membentuk komunitas anak muda–tidak hanya sebagai ruang kreasi dan pengembangan diri, namun ruang bagi anak muda berkontribusi bagi lingkungannya.  

 

Kolaborasi dan Tindak Lanjut

 

Sesi berikutnya dilanjutkan dengan pemaparan kerangka inisiatif #AnakMudauntukTanahAir yang menegaskan bahwasanya RMI dan EcoNusa hanya berperan sebagai inisiator awal, sehingga desain dan konsep inisiatif ini kedepannya bisa diolah secara bersama-sama.  

 

Setelah menyampaikan alur inisiatif yang dibayangkan mulai dari Konsultasi Anak Muda, pelaksanaan kegiatan Youth Summit dan kegiatan-kegiatan pasca-Youth Summit sampai ke putaran berikutnya dan terus berulang menuju Indonesia Emas (2045). RMI dan EcoNusa kembali mengajak semua peserta untuk berkolaborasi dan bersama-sama membayangkan kerangka #AnakMudauntukTanahAir sebagai inisiatif yang berkesinambungan.

 

Diskusi pun berlanjut dengan tanggapan dan ide-ide menarik yang dilontarkan para peserta: 

“Jika momennya adalah sumpah pemuda, menurutku perlu mendefinisikan ulang ‘bagaimana menjadi Anak Muda Indonesia dalam perspektif mereka sendiri akan ruang hidup’. Ini dijadikan satu definisi/piagam/plakat. Setelah itu hasil-hasilnya ada pertemuan tidak hanya dengan pemerintah dan media, namun juga industri—karena bagaimanapun yang membuat kotor dan implementor adalah industri.” (Sulis/WWF Indonesia)

 

Salah satu peserta dari kelompok Anak Muda juga turut menyampaikan pendapatnya terkait potensi keberlanjutan dari inisiatif ini:

“Anak muda saat ini, dengan berbagai privilege yang dimilikinya, harusnya bisa mengoptimalkan hal tersebut. Trend pergerakan Anak muda saat ini bermacam-macam… ada juga yang sporadis dan spontan, namun dengan idealisme yang dimiliki Anak muda silahkan berikan kebebasan kepada kami untuk berekspresi (setidaknya aspirasi kami ditampung saja dulu). Jangan pernah ragukan Anak muda, namun kami juga masih memerlukan dukungan dari NGO dan tetapkan ‘koridor-koridor’ apa saja yang tidak boleh dilewati oleh kami sebagai Anak Muda.” Novita/XR (Extinction Rebellion Indonesia)

 

Setelah menyampaikan kemungkinan tindak lanjut, tim inisiator membagikan formulir online berisi pertanyaan-pertanyaan masukan bagi kerangka dan konsep kegiatan inisiatif #AnakMudauntukTanahAir serta potensi kolaborasi dan rencana pertemuan berikutnya. Acara ditutup dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.  

 

15 LSM yang hadir dalam diskusi kali ini adalah LSM dengan fokus kerja di area terestrial, pesisir, maupun keduanya yaitu Perkumpulan HuMa, Walhi, Perkumpulan Qbar, AKAR Foundation, Terasmitra, Sulawesi Community Foundation (SCF), WWF Indonesia, Sajogyo Institute, Sokola Institute, Yayasan Merah Putih Sulawesi Tengah, Perhimpunan Filantropi Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), EcoNusa, dan RMI.

 

Adapun 22 Komunitas Anak Muda, yang berkegiatan di area pesisir dan terestrial juga berasal dari komunitas masyarakat adat dan non-adat yang aktif bergerak di wilayah rural dan urban, antara lain: Alumni School of Eco Diplomacy (SED), Relawan4Life, Earth Hour Jayapura, Golongan Hutan, Lawe Indonesia, Green Politician, Twelve’s Organic, Project Semesta, Teens Go Green (TGG), Global Youth Biodiversity Network (GYBN) Indonesia, Climate Rangers, Kompilasi Ujung Kulon, Extinction Rebellion, Narasea Indonesia, Lakoat.Kujawas, SimpaSio Institute, Kelompok Makekal Bersatu (KMB), Pemuda Kasepuhan Cibeas, Pemuda Tani Merdeka, Lumbung Ilmu Kasepuhan Cirompang, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), dan Kompak Pasir Eurih.

 

Penulis: Alfina dan Novia

Editor: Siti Marfu’ah