Surat Cinta di Penghujung Tahun 2021 Dan Kembalinya Gairah Petani Ciwaluh – Cipeucang

Slot Deposit Dana – Diakhir tahun 2021, tepatnya tanggal 29 Desember 2021 lalu,  KTH Ciwaluh, Desa Wates Jaya, Kec. Cigombong dan KTH Cipeucang, Desa Pasir Buncir, Kec. Caringin, Kab. Bogor,  mendapatkan undangan dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) yang isinya berupa undangan pendandatanganan Perjanjian Kerjasama (PKS).  Berita tersebut merupakan sebuah kabar yang dinanti-nanti setelah hampir empat tahun lamanya tiga Kelompok Tani Hutan (KTH) dari dua kampung tersebut menunggu.

Permainan game online Pay4d datang dari kekasih, mereka pun menyambutnya dengan sukacita dengan mengumumkannya melalui pengeras suara di mesjid. Seorang pengurus KTH, yang juga sebagai Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM), mengumumkan kabar tersebut sekaligus meminta kepada anggota KTH untuk berkumpul membahas undangan yang rencananya akan dibahas malam hari. Bagi masyarakat Ciwaluh, pengeras suara masjid tidak hanya digunakan untuk kepentingan ibadah seperti azan dan pengajian, tetapi juga berfungsi sebagai sarana komunikasi sosial untuk menyampaikan berbagai informasi yang diterima oleh masyarakat setempat. Informasi yang disampaikan melalui pengeras suara masjid biasanya berisi informasi-informasi penting dan kondisi-kondisi darurat saja.

 

Tanggal 29 Desember 2021, menjadi hari keramat bagi para penggarap lahan di Ciwaluh dan Cipeucang, karena untuk kesekian kalinya mereka bisa duduk berhadapan dengan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE), Wiratno. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, kali ini Wiratno bertemu penggarap Ciwaluh dan Cipeucang dalam rangkan menyaksikan penandatanganan Perjanjian Kerjasama (PKS) Kemitraan Konservasi yang dilakukan oleh Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) dengan masing-masing ketiga dari ketiga KTH, yaitu KTH Ciwaluh Hilir, KTH Ciwaluh Girang dan KTH Cipeucang.

Proses penandatanganan PKS tersebut berjalan  dengan menarik, di mana Wiratno meminta perubahan durasi PKS yang awalnya direncanakan hanya tiga tahun menjadi lima tahun. Hal ini menunjukan bagaimana beliau berpihak kepada masyarakat yang memiliki hak untuk mengakses hutan sebagai ruang hidupnya selama ini.

Penandatangan PKS yang telah dilakukan ternyata belum cukup bagi KTH untuk dapat mengimpelementasikan isi perjanjian kerjasama tersebut, pasalnya mereka diwajibkan membuat dokumen Rencana Pelaksanaan Pogram (RPP) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) selama 5 tahun ke depan. RPP dan RKT merupakan amanat yang tertuang dalam PKS yang disusun bersama-sama antara KTH dan BBTNGGP dengan durasi penyusunan 3 bulan setelah PKS ditandatangani.

Penyusunan RPP dan RKT di Tiga KTH

Berdasarkan amanat PKS yang telah ditandatangani, di minggu pertama Januari 2022 ketiga KTH pun mulai melakukan penyusunan draft Rencana Pelaksanaan Program (RPP) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Kemitraan Konservasi. Dokumen RPP dan RKT bagi KTH bukan hanya persoalan administrasi semata, namun jauh dari itu memiliki makna besar bagaimana mereka menyiapkan rencana implementasi secara kolektif berdasarkan hasil diskusi mereka  sendiri. Agar penyusunan RPP dan RKK berjalan dengan efektif, maka teknis penyusunan dilakukan secara bergilir di tiga KTH yang dimulai dengan KTH Ciwalu hilir. Hal ini sengaja dilakukan dengan melihat jumlah anggota KTH yang cukup banyak, sehingga tidak mungkin disatukan dalam satu forum.

Ada suasana yang beda ketika pertemua di tiga KTH baik Ciwaluh hilir, Ciwaluh girang maupun Cipeucang, anggota yang datang lebih banyak dari biasanya. Kondisi ini menunjukan bahwa ada semangat baru pada diri masyarakat penggarap setelah PKS ditandatangani.  Terlihat ada kepercayaan diri pada mereka yang sebelumnya cukup pesimis dengan proses usulan Kemitraan Konservasi. Demi memperlancar proses penyusunan RKP dan RKT, KTH menyiapkan proyektor yang dipinjam dari kelompok wisata. Difasilitasi oleh RMI, pertemuan ini diawali dengan menyampaikan tujuan dan maksud penyusunan dokumen tersebut sekaligus membahas ulang tiap point isi PKS.

Proses peyusunan RPP dan RKT mengacu pada ruang lingkup kerjasama yang tertuang dalam PKS meliputi: 1) Perlindungan dan pengamanan Kawasan; 2) Pembinaan Habitat; 3) Akses pemungutan HHBK; 4) Budidaya Tradisional dan Tanaman Obat, Multi Puprpose Tree Species (MTPS–sistem pengelolaan lahan dimana berbagai jenis kayu, daun-daunan, dan buah-buahan ditanam dan dikelola, yang dapat digunakan sebagai bahan makanan ataupun pakan ternak); 5) Monitoring dan Evaluasi. Proses penyusunan dilakukan dengan metode diskusi, dimana setiap anggota menyampaikan pendapatnya, baik lisan maupun tulisan. Tujuannya agar setiap anggota dapat menyampaikan pendapatnya sesuai perspektif masing-masing. Proses selanjutnya adalah penyusunan RPP dan RKT secara detil hingga terbentuk matrik durasi dan timeline-nya, yang akan dikerjakan oleh tim khusus yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan satu orang anggota dari masing-masing KTH.

Ringkasan hasil diskusi dari pertempuan tersebut antara lain:

1.Perlindungan dan Pengamanan Kawasan;

Meliputi kegiatan pengamanan melalui sebaran infomasi tentang aturan pengelolaan, sosialisasi dan patroli rutin secara mandiri maupun berkolaborasi dengan petugas BBTNGGP.

2. Pembinaan Habitat;

Kegiatan ini disepakati berupa inventarisasi lahan kritis dan rawan longsor, penyemaian dan penanaman pohon hutan endemik.

3.Akses Pemungutan HHBK;

Kegiatan ini meliputi aktivitas harian masyarakat dalam memanfaatkan lahan, berupa kebun dan sawah yang secara produktif mereka kelola selama ini, termasuk pemanfaatan getah pinus. Selain itu juga soal penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas, serta pembentukan lembaga ekonomi seperti koperasi.

4.Budidaya Tradisional dan Tanaman Obat, MPTS;

Kegiatan ini meliputi pemanfaatan buah-buahan seperti jengkol, pete, nangka hingga sengon. Sengon merupakan jenis tanaman yang secara khusus pemanfaatannya diatur berdasarkan skema yang telah disiapkan KTH berupa sistem tanam tebang.

5.Monitoring dan Evaluasi.

Kegiatan ini meliputi pencatatan, pelaporan secara berkala, evaluasi tahunan dan lima tahunan.

Kembalinya Kepercayaan Diri dan Semangat Baru Para Penggarap

Ditandanganinya PKS Kemitraan Konservasi pada 29 Desember 2021 lalu membawa angin segar bagi para penggarap di kampung Ciwaluh dan Cipeucang. Ada kepercayaan diri yang perlahan tumbuh dibenak mereka bahwa keberadaannya kini telah mendapat pengakuan meskipun berupa kerjasama.

Di tengah proses diskusi Ketua KTH Ciwaluh Hilir, Adom bercerita bahwa sekarang ini para penggarap mulai berdatangan kepadanya dan memberikan secara sukarela sumbangan dalam bentuk uang, beras, kapolaga dan juga kopi untuk mendukung dan membiayai berbagai kegiatan yang akan dilakukan KTH kedepannya. Pasalnya mereka sekarang percaya bahwa perjuangan yang dilalui telah mendatangkan hasil, maka sudah sepatutnya anggota juga turut serta memberikan suport melalui iuran sukarela yang akan dikumpulkan oleh pengurus sebagai kas kelompok yang nantinya akan digunakan untuk membiayai kegatan-kegiatan KTH. Diwaktu yang sama, Adom juga membacakan satu persatu iuran sukarela yang masuk beserta pengeluaran apa saja yang telah dikeluarkan. Para anggota menyaksikan dengan seksama. Beberapa orang menanggapi bahwa  anggota kini percaya dan siap untuk bekerjasama kedepannya karena pada dasarnya semuanya memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, yakni memperbaiki taraf hidup dan memperkuat solidaritas dan persatuan di internal kampung.

Meski belum besar nilainya, namun hal ini merupakan inisiatif baik dari para penggarap yang sebelumnya relatif tak acuh kini mulai acuh degan kegiatan-kegiatan KTH, termasuk membangun inisiatif dan rencana. Hal ini tidak hanya terjadi di Ciwaluh, di Cipeucang sendiri dalam diskusi perumusan RPP dan RKK, ketua RT menyampaikan bahwa dirinya beberapa waktu lalu telah mengusulkan di forum Musrembangdes Desa Pasir buncir agar memasukan KTH Cipeucang sebagai sasaran kelompok yang perlu didukung pengembangannya oleh pemerintah desa melalui Dana Desa.  Menurutnya respon Kepala Desa cukup baik dengan menyetujui usulan yang disampaikan oleh Pak RT. Dalam waktu dekat, beliau akan mengajak ketua KTH Cipeucang untuk bertemu dengan Kepala Desa tujuannya mempertegas apa yang sudah diusulkan dalam Musrembang tersebut.

Ditandatanganinya PKS juga berdampak pada kepercayaan diri penggarap dalam menjalankan aktivitas keseharian mengolah tanah, mereka lebih merasa tenang dan nyaman, berbeda dengan kondisi sebelumnya. Sejak ada PKS Kemitraan Konservasi, masyarakat menganggap ada batasan dan aturan baku yang diterapkan, sehingga membuat mereka semakin yakin dalam mengelola lahannya. Di kesehariannya, KTH pun mulai berani menjalin komunikasi secara langsung dengan TNGGP, baik bertanya maupun melakukan klarifikasi terkait isu-isu tertentu yang berkaitan dengan aktivitas dan kondisi pengelolaan lahan garapan.

Mimpi 5 Tahun Ke Depan

Lahan garapan berupa sawah dan kebun sudah menjadi sumber kehidupan masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang yang mayoritas sebagai petani. Sejarah panjang telah menjadi perjalanan dan saksi nyata bagaimana masyarakat memiliki hak untuk menguasai, memiliki dan memanfaatkan kekayaan alam di sekitar mereka dengan tenang dan aman.

Sebelumnya, konflik dengan TNGGP telah membawa masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang semakin termarginalkan keberadaannya karena pembatasan akses yang bertolak belakang dengan aktivitas mereka selama ini. Kondisi ini secara otomatis membawa dampak buruk bagi ksejahteraan masyarakat setempat yang memiliki sumber kehidupan di kawasan hutan yang dikuasai negara.

Melalui skema Kemitraan Konservasi secercah harapan kembali hadir,  ditengah rasa pesimis bahkan frustasi karena lamanya perjuangan yang ditempuh. Kini mereka telah resmi diakui aksesnya sebagai bagian dari pengelolaan kawasan hutan. 5 tahun yang diatur dalam PKS merupakan bungkusan mimpi penggarap untuk bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari secara legal tanpa dibayang-bayangi rasa takut akan pelanggaran hukum oleh petugas TNGGP.

Awal Januari 2022 masyarakat mulai menata apa yang akan dilakukan selama 5 tahun kedepan. Berbagai rencana dan harapan muncul dari mulut penggarap, salah satunya adalah memulai pertanian organik untuk kehidupan mendatang. Di tengah semakin sulit dan mahalnya biaya bertani, terutama sawah bagi petani kecil, maka pertanian organik akan menjadi solusi bagaimana meminimalisir biaya pertanian yang juga sangat bermanfaat untuk mewujudkan masyarakat Ciwaluh-Cipeucang lebih sehat. Dalam aspek usaha, para penggarap berharap selama 5 tahun ke depan KTH memiliki badan usaha sendiri atau lembaga keuangan sendiri seperti koperasi, yang dapat menjadi motor gerakan kemandirian petani dalam meningkatan produtivitas dan pendapatan.

Penulis: Fauzan Adima

Editor: Siti Marfu’ah

Perjalanan Berliku Masyarakat Ciwaluh – Cipeucang untuk Memperoleh Kesepakatan Kemitraan Konservasi dengan TNGGP

Penandatanganan Perjanjian Kerjasama antara pihak Masyarakat Ciwaluh dan Kepala Balai TNGGP dan disaksikan oleh Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

Akhir tahun 2021, RMI menerima pesan WhatsApp dari kawan-kawan Ciwaluh dan Cipeucang mengenai undangan  dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Kawan-kawan Kampung Ciwaluh dan Kampung Cipeucang diundang datang ke Jakarta besok, yaitu 29 Desember 2021. Setelah dokumen undangan diunduh terbaca acara tersebut adalah penandatangan kerjasama Kemitraan Konservasi dengan TNGGP. Acara yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Kampung Ciwaluh  dan kampung Cipeucang sembilan tahun terakhir, sejak pertemuan pertama dengan Kepala Balai Taman Nasional untuk mencari kesepakatan terkait aktivitas masyarakat di wilayah kawasan hutan TNGGP.  

Proses Mendapatkan Kembali Hak Kelola Lahan di Wilayah Kawasan Hutan TNGGP

RMI pertama kali masuk ke Kampung Ciwaluh guna pemberdayaan generasi muda melalui pendidikan lingkungan hidup pada tahun 2009. Dari proses ini ditemukan bahwa terdapat permasalahan akses lahan garapan masyarakat di wilayah TNGGP, juga tanah-tanah di wilayah kampung ini sudah di bawah kepemilikan PT. Pengembangan Agro Prima (PAP). Masyarakat tidak memiliki lahan mereka.

Satu tahun berikutnya, masyarakat, difasilitasi oleh RMI, melakukan pemetaan partisipatif di wilayah kampung untuk mengetahui luas kampung sesuai pemahaman masyarakat. Kemudian di tahun 2011, masyarakat melakukan pengembangan ekowisata yang diorganisir oleh masyarakat, terutama generasi muda. Dari proses pengembangan ekowisata ini, masyarakat Ciwaluh dengan RMI melaksanakan Green Camp pertama dengan menghadiri pihak Kementerian Lingkungan Hidup (saat itu).

Inisiasi untuk mencari kesepakatan terkait aktivitas masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang di wilayah kawasan hutan dilakukan pada tahun 2012 melalui diskusi dengan Kepala Balai TNGGP. Namun, belum didapati jalan tengah untuk mengakomodir keberadaan dan aktivitas masyarakat di wilayah TNGGP.

Pada tahun 2013, generasi muda di wilayah setempat membuat film Suara Hulu Cisadane, yang kemudian ditayangkan di Jogja Netpac Asian Film Festival ke-8 tahun 2014. Pembuatan film tersebut berkembang menjadi pengorganisasian untuk peningkatan ekonomi lokal melalui ekowisata air terjun dan produk kopi lokal. Di tahun 2015, bekerjasama dengan RMI dan Kopi Ranin, Trip Piknik Kopi pertama dilaksanakan. Di tahun yang sama, timbul peluang Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T), berdasarkan peraturan bersama empat menteri tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di dalam Kawasan Hutan. Saat itu masyarakat mulai memetakan wilayah garapan di wilayah TNGGP.

Piknik Kopi Ciwaluh

Namun, proses advokasi harus terhenti pada tahun 2017, karena kemungkinan lahirnya Perpres No.88 tahun 2018 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Perpres tersebut menggantikan IP4T, dan di dalamnya mengatur penyelesaian penguasaan tanah di wilayah hutan konservasi hanya dapat dilakukan melalui realokasi warga.

Peluang mendapatkan hak kelola atas tanah kemudian timbul kembali seiring akan diterbitkannya Perdirjen No.6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi. Merespon hal tersebut, pada Desember 2017, masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang dengan difasilitasi oleh RMI, melakukan pertemuan dengan Kepala Bidang Wilayah III TNGGP untuk membuka kemungkinan akses legal garapan masyarakat.

Kemudian di Januari tahun 2018, pertemuan untuk membicarakan zonasi di Kampung Ciwaluh dan Cipeucang berlangsung di Cibodas. Dari pertemuan tersebut diperoleh hasil scan peta zonasi yang diperbarui pada tahun 2016, sayangnya dokumen tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk mengetahui secara pasti zonasi di kampung Ciwaluh, Cipeucang, dan Lengkong, karena resolusi dokumen yang buruk.  Setelah itu, di bulan yang sama, masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang, difasilitasi RMI, melakukan pertemuan untuk menyepakati strategi advokasi untuk kedepannya. Dari pertemuan tersebut, disepakati untuk meneruskan pemetaan partisipatif untuk memperbarui dan mencakup wilayah garapan masyarakat Cipeucang dan Lengkong yang belum terpetakan. Hasil lainnya adalah untuk bersama meminta TNGGP melakukan sosialisasi zonasi. Setelah pertemuan tersebut hingga April 2018, pemetaan partisipatif dilakukan secara swadaya untuk memperbarui sekaligus meluaskan cakupan areal yang dipetakan di tiga kampung (Ciwaluh, Cipeucang, dan Lengkong). Sebulan berikutnya sosialisasi zonasi wilayah oleh TNGGP dilakukan. Dari sosialisasi tersebut, diketahui bahwa sebagian besar wilayah garapan Ciwaluh, Cipeucang, dan Lengkong berada dalam zona Rehabilitasi. Diketahui juga bahwa pada proses penyusunan dan penetapan zonasi pada tahun 2016, hanya Kades Wates Jaya dan Pasir Buncir yang diundang dalam Konsultasi Publik. Pun keduanya tidak meneruskan informasi tersebut ke tingkat kampung sementara ketiga kampung terletak cukup terpencil.

Bulan Oktober-Desember di tahun yang sama, masyarakat membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) untuk memenuhi persyaratan Kemitraan Konservasi, walaupun sebelumnya masyarakat sendiri sudah memiliki kelompok tani dengan nama Ciwaluh Berkah, dan kelompok generasi muda yang bernama Senandung Nada Hijau. Setelah pembentukan kelompok tersebut, penyusunan proposal kemitraan konservasi di mulai dan diajukan kembali pada 19 Desember 2018 di kantor Balai Besar TNGGP, di Cibodas.

Sawah dan petani perempuan di Kampung Ciwaluh, Desa Wates Jaya, Kec. Cigombong, Kab. Bogor

Pada 6 Februari 2019, proposal yang diajukan dibalas dengan surat dari TNGGP bernomor TNGGP No. S.194/BBTNGGP/BTU/KS/2/2019 diterima KTH Ciwaluh dan Cipeucang. Surat tersebut berisi arahan untuk mendetailkan rencana pengelolaan Kemitraan Konservasi untuk tiap blok dan agar berkonsultasi dengan Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional (Kabid PTN) Wilayah III Bogor untuk melanjutkan proses. Proses berlanjut pada bulan April, RMI didatangi oleh Kabid PTN Wilayah III Bogor dan Kepala Seksi V TNGGP, yang menjelaskan bahwa Ada opsi yang bisa disepakati bila masing-masing mau menurunkan ekspektasi, yaitu melanjutkan proses dengan skema Kemitraan Konservasi Pemulihan Ekosistem karena sebagian besar areal yang diajukan berada dalam zona Rehabilitasi. Kabid PTN Wilayah III Bogor berharap RMI dapat menyampaikan hal tersebut kepada masyarakat pada saat pertemuan bersama yang telah direncanakan sebelumnya.

Sepanjang tahun 2019, berbagai pertemuan dilakukan dengan berbagai pihak, seperti TNGGP dan Subdit Pemulihan Ekosistem di KLHK. Dari pertemuan-pertemuan tersebut disimpulkan bahwa pihak-pihak tersebut tetap menyarankan skema pemulihan ekosistem tetap diproses dan dijalankan, lahan-lahan di zona rehabilitasi perlu ditanami dengan tanaman buah yang bisa dimanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Pada Desember 2019, Masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang, bersama RMI, beraudiensi dengan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE). Dari audiensi tersebut Kemitraan Konservasi yang semula diarahkan skema pemulihan ekosistem mendapat sambutan baik dari Dirjen KSDAE, beliau akan segera memanggil kepala balai TNGGP untuk menginstruksikan perubahan zonasi di TNGGP. Termasuk usulan Kemitraan Konservasi Ciwaluh dan Cipeucang yang masih berstatus zona rehabilitasi akan diubah menjadi zona tradisional yang dapat mengakomodir kemitraan konservasi skema pemberdayaan masyarakat.

Di tahun 2020, verifikasi data penggarap dan penandatangan kesepakatan hasil verifikasi dan validasi dilakukan. Di bulan April tahun 2021, proposal kemitraan konservasi diajukan ulang menyusul adanya arahan dri TNGGP dalam rangka penyesuaian perubahan zonasi. Dilanjutkan di bulan September, yaitu pembahasan draft Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi di Kantor Bidang Wilayah III Bogor, dari sesi ini masyarakat mendapatkan salinan Surat Keputusan perubahan zonasi TNGGP. Kemudian di tanggal 10 Desember 2021, pembahasan draft Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi dilakukan kedua kalinya.

Sejarah Masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang berada di Wilayah Hutan

Masyarakat kampung Ciwaluh dan Cipeucang, yang difasilitasi oleh RMI sejak tahun 2009, telah meninggali wilayah tersebut sejak tahun 1930-an, diawali dengan kedatangan tiga orang yang kabur dari pemerintah Belanda, yaitu Uyut Usnan, Uyut Eri dan Uyut Undan. Semenjak Uyut Usnan dan yang lainnya tinggal dan bermukim di wilayah Kampung Ciwaluh, beliau mulai membuat rumah untuk tempat tinggal serta membuka lahan untuk ladang guna memenuhi kebutuhan hidup dan bersawah sehari-hari. Kurang lebih tahun 1942, Uyut Usnan mulai membuka kembali lahan untuk membuat sawah di wilayah yang sebelumnya masih berupa hutan. Saat itu, lahan-lahan di sekitar pegunungan wilayah tersebut hampir sama dengan daerah lain di Indonesia pada umumnya, yakni dijadikan areal perkebunan teh oleh Belanda.

Kemudian, beberapa tahun sebelum kemerdekaan, Kampung Ciwaluh dijadikan markas tentara Indonesia yang dipimpin oleh Irsak Djuarsa, yang berjuang melawan Belanda dan pemberontak DI/TII pada tahun 1942 di Jawa Barat. Pada masa tersebut, Irsak Djuarsa memerintahkan masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang yang telah ada di sana untuk mengembangkan lahan pertanian mereka guna mencukupi kebutuhan makan mereka sendiri dan juga para tentara Indonesia.

Pada tahun 1945, pemerintah memberikan tanah-tanah tersebut kepada masyarakat setempat sebagai penghargaan atas perjuangan memerdekakan Indonesia, surat-surat tanah tersebut disimpan oleh salah satu tokoh masyarakat yang bernama Pak Kasim. Namun, pada tahun 1960an sebagian tanah-tanah tersebut diambil lagi oleh pemerintah dan ditanami dengan tanaman karet melalui PT. Perkebunan Nasional XI (PTPN XI). Masyarakat tidak bisa menggugat hak atas tanah mereka, karena bukti kepemilikan tanah sudah habis terbakar pada awal tahun 1961 ketika rumah Pak Kasim dibakar oleh pemberontak DI/TII. Tahun 1985 pohon karet milik PTPN XI ditebang karena  pengalihan Hak Guna Usaha (HGU) ke PT Pengembangan Agro Prima (PAP) dan tanah masyarakat pun jadi berpindah kepemilikan dan pengelolaan. Pada tahun 1985-1986, CV Kertajaya membeli sebagian tanah masyarakat yang masih tersisa untuk dieksploitasi menjadi pertambangan pasir.

Pertemuan sebelum penandatanganan perjanjian kerjasama Kemitraan Konservasi, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

TNGGP berada di wilayah tersebut sejak tahun 1980 dengan luasan 15.196 Ha. Penetapan wilayah TNGGP tersebut tidak mencakup wilayah kelola masyarakat, saat itu wilayah kelola masyarakat berada di bawah penguasaan Perum Perhutani, sehingga masyarakat masih bisa mengelola wilayah tersebut dengan catatan harus membayar “pajak”. Pada tahun 2003, TNGGP diperluas menjadi 21.975 Ha. Hal ini menyebabkan terhapusnya wilayah kelola Perum Perhutani menjadi wilayah konservasi TNGGP, dan membuat masyarakat tidak dapat mengakses wilayah kelolanya lagi.

Kembali ke saat ini, pada 29 Desember 2021, Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi ditandatangani oleh pihak Balai Besar TNGGP dengan Masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang. Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi tersebut akan berlaku selama lima tahun ke depan di zona tradisional TNGGP.  

Penulis: Siti Marfu’ah

Upaya Mendapatkan Akses Legal Lahan Garapan Di Wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Cianjur, Selasa 30 Mei 2019. Perwakilan dari Kelompok Tani Hutan (KTH) kampung Cipeucang dan kampung Ciwaluh didampingi oleh RMI melakukan pertemuan dengan pihak Kepala Bidang Wilayah III Bogor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dalam rangka menindaklanjuti usulan Kemitraan Konservasi (KK) yang diajukan oleh KTH Cipeucang dan KTH Ciwaluh pada Desember 2018 lalu.

Pertemuan ini adalah pertemuan pertama yang dilakukan oleh KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan pihak TNGGP setelah pengajuan KK. Sebelumnya, pihak TNGGP juga telah menunjukkan upayanya untuk menindaklanjuti pengajuan KK oleh KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan berkunjung ke RMI untuk memulai diskusi lebih dulu dengan RMI sebagai pendamping sebelum pertemuan tanggal 30 April 2019.

Pada kesempatan ini, diskusi dilakukan dalam rangka mengeksplorasi beberapa pilihan bentuk kerjasama. Dibutuhkannya beberapa pilihan ini karena perbedaan aturan yang ada dalam Perdirjen No. 6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi dengan aktivitas dan penghidupan masyarakat yang selama ini telah terjadi di tingkat tapak. Berbagai aktivitas yang diajukan oleh kedua KTH dalam proposal Kemitraan Konservasi mereka, yang sebagian merupakan kegiatan yang mereka telah jalani selama puluhan tahun, hanya dapat dilakukan apabila wilayah yang diajukan tersebut adalah Zona Tradisional dalam wilayah kelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sementara, menurut pengelolaan TNGGP dalam bentuk zonasi yang ditetapkan tahun 2016, aktivitas penghidupan masyarakat Kampung Ciwaluh dan Kampung Cipeucang berada di Zona Rehabilitasi taman nasional tersebut. Menurut Perdirjen No.6 tahun 2018 tentang KK, Skema KK yang dapat dilakukan di Zona Tradisional taman nasional disebut dengan Skema Pemberdayaan Masyarakat, sementara skema KK yang dapat dilakukan di Zona Rehabilitasi adalah Skema Pemulihan Ekosistem. Keduanya berbeda, terutama dalam hal tujuan legalisasi akses masyarakat ke kawasan taman nasional dan jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

Pendek kata, jika kedua KTH mengambil opsi Skema Pemulihan Ekosistem, maka secara de jure mereka tidak lagi dapat melakukan berbagai aktivitas pengelolaan kebun hutan dan sawah yang telah mereka jalani berpuluh-puluh tahun. Jika skema kemitraan yang akan dilakukan adalah Skema Pemberdayaan Masyarakat agar masyarakat masih dapat terus melaksanakan berbagai aktivitas penghidupan yang selama ini menjadi kehidupan mereka, maka perlu dilakukan perubahan zonasi dari Zona Rehabilitasi menjadi Zona Tradisional.

Lebih lanjut, diskusi menemui kebuntuan saat membicarakan perihal keberadaan sawah yang telah ada sejak tahun 1940an. Dalam KK, baik Skema Pemulihan Ekosistem maupun Skema Pemberdayaan Masyarakat, sawah bukan merupakan aktivitas masyarakat yang cocok dalam definisi hutan yang dianut oleh sektor kehutanan di Indonesia.

Lahan garapan masyarakat kampung Ciwaluh dan kampung Cipeucang saat ini sebagian besar berada di kawasan zona rehabilitasi. Di mana zona tersebut bertujuan untuk memulihkan ekosistem yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.

“Kami tidak bisa kasih keputusan apa-apa karena menyangkut semua orang, yang pasti buat kami sawah harus dipertahankan,” kata Irpan, salah satu anggota KTH Ciwaluh.

Masyarakat sudah menetap di kampung tersebut sejak tahun 1930-an, dan untuk memenuhi kebutuhannya adalah dengan bersawah. Namun, sejak tahun 2003 ketika wilayah Perum Perhutani yang telah digarap secara tumpang sari oleh masyarakat kedua kampung tersebut dilebur ke dalam wilayah konservasi TNGGP, masyarakat kesulitan dalam menuai hasil hutan.

Kenyataan seperti ini tidak hanya ditemukan di kampung Ciwaluh dan kampung Cipeucang saja, tetapi juga di lokasi lain yang di mana lahan garapan masyarakat masuk di dalam kawasan hutan. Oleh sebab itu, maka konteks kawasan hutan harus ditempatkan dalam pola pikir tata ruang dan interaksi antar unsur. Serta, perkembangan paradigma pengelolaan hutan juga harus ditempatkan dalam pola antropologis dan tidak hanya selalu praktik pengelolaan teknis kehutanannya.

Adapun hasil dari pertemuan antara KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan pihak TNGGP saat ini masih mencari titik temu, dan rencananya kedua KTH dengan difasilitasi oleh RMI akan menempuh upaya konsultatif kepada Dirjen KSDAE untuk mengupayakan proses legalisasi lahan pertanian terutama sawah dalam kawasan TNGGP.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor : Mardha Tillah