v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}
Normal
0
false
false
false
false
IN
X-NONE
X-NONE
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-language:EN-US;}
Pada bulan Maret ini, Kuliah Singkat RMI mengambil topik tentang ‘Teknik Penulisan Reportase’. Kuliah Singkat ini diselenggarakan di kantor RMI (Bogor Baru Blok C1/12A) pada tanggal 24 Maret 2014. Menurut rencana seharusnya ada dua orang narasumber, sayangnya Bapak Eka Budianta (sastrawan, kolumnis Trubus, penggerak lingkungan) berhalangan hadir maka pada sesi ini hanya ada satu orang narasumber yakni Mas Ignatius Herjanjam (wartawan Suara Pembaruan dan pelatih jurnalistik di sekolah). Selain tim internal RMI, hadir juga teman-teman jaringan seperti dari Yayasan Kehati, JKPP dan relawan.
Herjanjam mengatakan jika teman-teman LSM merupakan sumber berita karena kaya pengalaman dan pengetahuan di bidang tertentu yang digeluti, sekaligus juga sebagai mitra strategis bagi wartawan. Berbeda dengan wartawan, yang pada umumnya mengetahui beragam isu umum tapi tidak mendalam. Sehingga saling belajar dan memperkaya antara aktivis LSM dan wartawan merupakan sinergi yang baik.
Menulis itu praktek bukan teori, seperti orang yang belajar naik sepeda, makin sering praktek maka makin lancar. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers disebutkan bahwa peran pers nasional salah satunya yakni ‘mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar’ (Pasal 6). Dalam jurnalistik, dikenal bahwa berita harus faktual, berimbang dan objektif. Namun faktanya, ada kepentingan yang bermain sehingga bersifat tidak netral (politik media). Seperti yang terjadi sekarang pada dunia media (cetak dan elektronik), menjelang Pemilu April nanti ada kecenderungan pihak media untuk memihak pada salah satu Capres / Cawapres. Tentu saja ini terkait dengan pemilik / penyokong modal dalam tubuh media tersebut.
Kebebasan dalam mendirikan perusahaan pers dijamin dalam UU Pers No.40/1999 dan proses pendirian pun cukup mudah (dengan SIT/Surat Ijin Terbit). Berbagai jenis surat kabar pun banyak bermunculan, termasuk koran Lampu Hijau (dulu namanya Lampu Merah) yang ternyata cukup banyak juga peminatnya. Di Amerika Serikat, koran jenis ini sudah ada sejak tahun 1970-an, dikenal dengan sebutan yellow paper, sebagai media bagi publik yang sudah bosan dengan pemberitaan di media yang cenderung standar.
Reportase interpretatif yaitu jenis reportase yang menempatkan berita ‘dalam konteks’. Reportase interpretatif mulai dikenal dalam dunia jurnalistik ketika Curtis D.Mac Dougall dari Northwestern University Amerika menulis buku berjudul Interpretative Reporting (1938) dan semakin dikenal ketika Perang Dunia II tahun 1949, Robert Hutchins mengumumkan bahwa media massa mempunyai kewajiban untuk menyajikan penuturan yang benar, komprehensif, dan cerdas tentang peristiwa sehari-hari dalam konteks yang memberikan makna.
Berita (reportase) yang baik harus mudah dipahami, jika menggunakan istilah asing harus pakai padanan kata, penulisan dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dan alur berpikir yang sistematis. Ada 3 jenis berita yang umum dikenal dalam media cetak yakni artikel, feature, dan berita. Artikel merupakan jenis berita yang lebih pada opini tentang suatu peristiwa/kasus. Feature lebih pada human interest, gaya seperti cerpen tapi faktual. Pada umumnya konsep penulisan reportase dengan prinsip piramida terbalik, artinya yang sangat penting didahulukan, lalu bagian yang penting dan yang kurang penting ditempatkan di kaki berita.
Pengakuan hak cipta seperti ketika menggunakan foto dari pihak lain, diakui Herjanjam tidak ada aturan yang mengikat untuk semua media cetak. Misalnya untuk Suara Pembaruan, foto pihak lain harus melewati kesepakatan dahulu, jika foto tersebut dihibahkan pada Suara Pembaruan maka ditulis nama wartawan yang menulis beritanya namun jika tidak dihibahkan maka dituliskan ‘istimewa’.
Herjanjam menekankan bahwa peluang untuk kirim artikel ataupun release ke media cetak sangat terbuka. Tetapi akan lebih baik jika ada komunikasi lebih dahulu dengan pihak media tersebut (redaktur pelaksana) karena sering kali pihak media mempertimbangkan nama penulis (jika sudah dikenal akan lebih mudah). Pengiriman bisa melalui alamat email redaktur ataupun wartawan yang sudah dikenal dalam media tersebut.
Isu lingkungan masih menjadi topik hangat sepanjang tahun, tinggal disesuaikan dengan bahasan yang sedang naik daun sehingga kemasannya selalu up to date. Terkait dengan masalah klasik yang dihadapi para community organizer yang lebih senang berbicara dibanding menulis, dalam diskusi dibahas bahwa lebih baik ada kerjasama intensif antara community organizer dengan bagian data atau publikasi sehingga catatan lapang bisa dikemas menjadi berita untuk publik. Pada penutupnya, Herjanjam mengatakan agar mahir menulis maka harus sering praktek dan sering membaca.
Ditulis Oleh: Ratnasari
(Manajer pada Divisi Pengelolaan Pengetahuan RMI)