Pada 7 Nopember 2014, Kuliah Singkat RMI membahas hasil studi tentang masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Studi ini dilakukan oleh Rebakah Daro Minarchek, PhD candidate untuk Development Sociology dari Cornell University-USA dan associate director of AIFIS (American Institute for Indonesian Studies). Kuliah Singkat kali ini dihadiri oleh tim internal RMI, juga teman-teman jaringan/instansi lain seperti dari KpSHK, Yayasan Kehati, Universitas Indonesia, dan Dephut.
Rebakah menjelaskan bahwa studinya menekankan pada sistem huma / ladang masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar-Kabupaten Sukabumi dan hubungannya dengan Putusan MK35/PUU-X/2012. Seperti diketahui bahwa dalam Putusan MK 35/PUU-X/2012 menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi bagian hutan negara; hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Sehingga diperkirakan sekitar 40% wilayah hutan di Indonesia terkena imbas dari putusan ini.
Kasepuhan Ciptagelar sudah ada sejak tahun 1368 dikepalai oleh seorang ‘Abah’ secara turun temurun (berdasarkan keturunan keluarga, pada umumnya laki-laki). Kasepuhan Ciptagelar termasuk masyarakat semi-nomadic (10-15 tahun berdiam di satu tempat kemudian berpindah sesuai ‘wangsit’ yang diterima Abah). Untuk pengelolaan huma/ladang, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar seringkali berhadapan dengan pihak TNGHS karena lahan garapannya masuk dalam area yang di-klaim TNGHS. Rebakah menjelaskan bahwa penetapan hutan lindung pada jaman Belanda tahun 1932 sebenarnya telah menuai protes masyarakat desa ketika itu namun hingga peralihan pemerintahan sejak Indonesia merdeka, peta hutan lindung itu tidak kunjung direvisi. Bahkan dijadikan rujukan untuk peta cagar alam tahun 1979 yang kemudian menjadi TNGH pada 1992 dan diperluas menjadi TNGHS pada tahun 2003.
Huma/ladang merupakan sistem kompleks yang menjadi bagian kehidupan masyarakat adat Kasepuhan. Huma bukan monokultur, tapi sistem penanaman campuran antara padi dengan tanaman produksi lain seperti sereh, bambu, tanaman kayu, leunca, dll. Sistem huma tidak membutuhkan tenaga kerja banyak, hanya mengandalkan hujan, tidak butuh dipupuk namun menghasilkan beragam produk selain pangan juga untuk material bangunan.
Kaitan sistem huma dengan Putusan MK35/2012, hal positifnya bahwa masyarakat adat kasepuhan dapat mengelola lahan/wilayah hutan dengan aman sesuai aturan adatnya, namun hal negatifnya yakni kesulitan dalam memetakan teritori wilayah adat karena agak sulit untuk mengklasifikasikan area huma yang berpindah-pindah dalam peta. Faktor lain yang mesti dipertimbangkan adalah tambang rakyat yang memberikan dampak besar pada perubahan lingkungan dan sosial. Maka dalam simpulan presentasinya, Rebakah menyebutkan bahwa adat dan sistem huma sangat berelasi kuat bagi Kasepuhan Ciptagelar dan memiliki dampak signifikan dari Putusan MK35. Selain itu perlu untuk mencermati keuntungan dan kerugian Putusan Mk35 terhadap sistem huma dan adat kasepuhan.
Dalam diskusi, Rojak (RMI) menjelaskan bahwa RMI bersama masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul telah mendorong munculnya Perda Pengakuan Masyarakat Adat sejak tahun 2003. Akhir bulan lalu sudah ada surat pernyataan bersama dengan Pemkab dan DPRD Lebak untuk mendorong Perda dan hasil diskusi dengan DPRD tanggal 5 Nopember lalu bahwa Perda Adat ini masuk Proglegda 2015 dalam skala prioritas. Lalu menyangkut MK35, yang masih menjadi perdebatan tentang fungsi hutan, yang diharapkan fungsi hutannya tetap. Karena fakta di lapangan, dari 42 kasepuhan anggota Sabaki (Satuan Adat Banten Kidul), bisa dibuktikan kasepuhan mana yang masih memiliki pengelolaan hutan yang dianggap baik karena banyak juga yang hanya tutur/tidak terbukti prakteknya. Nia (RMI) menambahkan bahwa MK35 hanya alat dan fakta di lapangan banyak free riders sehingga mesti hati-hati karena bisa terjadi sistem huma akan hilang. Selain itu perlu dicermati kelas sosial masyarakat, jangan sampai jika ada Perda nanti hanya memberikan manfaat untuk kalangan elit adat.
Kemudian pada diskusi selanjutnya bergulir bahasan bahwa untuk mendorong kesejahteraan masyarakat adat melalui sistem pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan harus disertai dengan perencanaan komunitas termasuk untuk aspek pendidikan, keadilan gender, kesehatan, dll.
Oleh: Ratnasari
(Manajer Divisi Pengelolaan Pengetahuan RMI)