[Bogor, 7 Desember 2017] Diskusi Regenerasi Pengelolaan Hutan Adat diadakan dua hari lalu tanggal 5 Desember 2017, di Jakarta. Diskusi ini dilaksanakan dalam rangkaian Festival Hutan Adat memperingati satu tahun pengakuan hutan adat pertama pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) no 35/PUU-X/2012 dengan tema “Pasca Pengakuan: Mengurai Pengelolaan Hutan Adat”. Putusan MK tersebut menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi menjadi hutan negara. Berbicara sebagai narasumber dalam diskusi terfokus ini adalah Sri Guritno, Kasubdit Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Mardha Tillah, Direktur Eksekutif Rimbawan Muda Indonesia (RMI) dan Helmi Basalamah, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BP2SDM) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dalam diskusi ini, generasi muda adat menjadi subyek penting yang terus disebut-sebut. Generasi muda ini merupakan pihak yang akan melanjutkan pengelolaan hutan adat 10-20 tahun mendatang. “Namun, saat ini banyak sekali anak muda adat yang memilih untuk pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, walaupun sekedar menjadi tukang cuci, asisten rumah tangga, dan pekerjaan non-formal lainnya karena keterbatasan lahan yang akan dikelola dan lapangan pekerjaan lainnya,” ujar Mardha Tillah. Terkait situasi tersebut, dia melontarkan pertanyaan, apakah nanti pada waktunya, generasi muda ini akan dapat menguasai pengetahuan dan keahlian pengelolaan hutan adat mereka? Di sisi lain, dia melanjutkan bahwa kembalinya hutan adat kepada masyarakat adat, seperti di Kasepuhan Karang yang terletak di Kabupaten Lebak, Banten, menjadi penarik bagi anak-anak muda yang sedang merantau untuk kembali ke kampungnya.
Sri Guritno menjelaskan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sangat mendukung terjaganya budaya masyarakat adat, termasuk dalam budaya pengelolaan sumber daya hutan. “Pendidikan Layanan Khusus (PLK) sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional, merupakan program dari Kemdikbud yang diadakan untuk mendukung hal ini. Pendidikan kontekstual yang menyesuaikan dengan budaya dan norma-norma masyarakat adat setempat, dan pendidikan formal yang terintegrasi dengan muatan budaya lokal menjadi pilihan bagi Kemdikbud untuk melaksanakan program ini”.
Helmi Basalamah melihat bahwa program Kementerian Lingkungan Hidup melalui BP2SDM dapat menjawab beberapa situasi untuk peningkatan kapasitas pemuda di wilayah perhutanan sosial dan hutan adat. Untuk generasi muda, selain adanya Sekolah Menengah Kehutanan (SMK) di 5 wilayah di Indonesia, BP2SDM juga menyediakan skema sekolah lapangan untuk menyediakan kesempatan bagi anak-anak muda yang belum dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang SMK.
Menjawab pertanyaan RMI apakah bisa prioritas diberikan kepada anak-anak muda dari wilayah hutan adat, Helmi menjawab “hal tersebut sangat mungkin karena relevan dengan program utama KLHK yaitu perhutanan sosial”.
Engkos Kosasih sebagai salah satu pemuda adat dari Kasepuhan Karang yang hadir pda diskusi tersebut menyatakan bahwa dia dan kawan-kawan seumurnya membutuhkan banyak sekali pengetahuan dan bimbingan, karena ilmu-ilmu tersebut tidak banyak lagi mereka kuasai untuk dapat mengelola sumber daya hutan. “Sekolah formal pun rata-rata kami hanya lulus SD”.
Dalam diskusi ini juga mengemuka bagaimana memastikan bahwa nilai-nilai yang diajarkan oleh institusi pendidikan harus mendekatkan kembali peserta didik pada ekosistem tempat mereka tinggal, sehingga mereka memiliki nilai dan semangat untuk kembali ke kampungnya, untuk meneruskan pengelolaan hutan mereka dengan cara baru tanpa meninggalkan budayanya.
Kontak media:
Wahyu Binatara (Divisi Kampanye RMI) +62 812 29944643