LEBAK- Enam belas peserta yang terdiri dari aktivis; pemimpin muda adat; pemerhati isu masyarakat adat, pengelolaan sumber daya alam, dan keadilan lingkungan dari 15 negara bersama-sama dengan masyarakat lokal, belajar dan saling bertukar pengetahuan mendukung pengelolaan hutan adat oleh Kasepuhan Karang di Desa Jagaraksa, Kabupaten Lebak, Banten pada tanggal 21-23 September 2018. Hutan adat Kasepuhan Karang dipilih sebagai lokasi kunjungan lapangan karena merupakan salah satu dari 9 hutan adat pertama yang diakui pemerintah pada tahun 2016, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012. Kunjungan lapangan ini merupakan rangkaian kegiatan dari Global Land Forum (GLF) 2018, forum tanah terbesar di dunia untuk mendorong tata kelola/governansi pertanahan yang mengutamakan hak dan kepentingan masyarakat. GLF merupakan kegiatan tiga tahunan yang diselenggarakan oleh International Land Coalition (ILC), kali ini bekerjasama dengan Organisasi Masyarakat Sipil dan Pemerintah Indonesia. ILC sendiri adalah koalisi pertanahan dunia yang terdiri dari berbagai organisasi seperti organisasi petani, organisasi internasional, badan PBB, CSO, peneliti dan akademia. Indonesia dipilih sebagai tuan rumah penyelenggaraan pertemuan kali ini karena berbagai pertimbangan, termasuk mengenai berbagai pencapaian dan program Pemerintah dan masyarakat sipil untuk memajukan implementasi program reforma agraria di era Presiden Joko Widodo.
Kunjungan lapangan yang diadakan selama 3 hari dan dilakukan di awal rangkaian acara GLF merupakan yang pertama selama perjalanan forum yang pertama kali diselenggarakan di tahun 2003. Jika pada GLF pada tahun-tahun sebelumnya kunjungan lapangan hanya menjadi bagian kecil pada forum tersebut, kali ini dirancang agar benar-benar menjadi ajang pertukaran pembelajaran bagi para pesertanya. Ada empat tema yang diangkat dari kunjungan lapang kali ini yakni: Masyarakat Adat, Hak Perempuan atas Tanah, Pemuda, dan Kedaulatan Pangan. Kunjungan lapangan di Kasepuhan Karang diikuti oleh peserta dari Argentina, Bangladesh, Belanda, Filipina, Guatemala, Inggris, Italia, Jerman, Kenya, Kolombia, Madagaskar, Nicaragua, Perancis, Peru, Republik Demoraktik Kongo, dan Indonesia. RMI, AMAN, dan Kasepuhan Karang merupakan penyelenggara kunjungan lapangan ini.
Penanggungjawab sekaligus koordinator kunjungan lapangan, Senior Staf Kampanye dan Advokasi Rimbawan Muda Indonesia (RMI) Primeiro Wahyubinatara, mengatakan kegiatan ini sangat menarik, khususnya karena seluruh peserta dan masyarakat Kasepuhan Karang yang terlibat sangat antusias berbagi pengetahuan mengenai pengelolaan hutan, situasi masyarakat adat di Negara masing-masing, hingga kesamaan makanan.
“Peserta diberikan kesempatan untuk berbagi cerita dengan kelompok perempuan yang mengelola Koperasi Kasepuhan Jagaraksa Mandiri, sebuah koperasi yang didirikan untuk mendukung keamanan tenurial penggarap hutan adat. Berbagai cerita dan dukungan juga dipertukarkan dengan pemuda adat Kasepuhan Karang yang saat ini sedang merintis ekowisata sebagai salah satu bentuk pengelolaan pasca pengakuan hutan adat mereka,” ujar Wahyu.
Kegiatan ini dibuka dengan penyambutan dari Bupati Lebak – Hj. Iti Octavia Jayabaya, S.E., M.M. di Pendopo Bupati Lebak, Rangkasbitung dilanjutkan dengan diskusi mengenai pengakuan hutan adat oleh Mantan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan -Dr. Hadi Daryanto, serta kunjungan singkat ke Museum Multatuli dan Museum Batik Kabupaten Lebak. “Peran masyarakat sipil dan jurnalis dalam proses penetapan hutan adat pertama adalah salah satu kunci penting,” ujar Dr. Hadi Daryanto.
Hari kedua dimulai dengan diskusi bersama organisasi pendamping: Direktur Eksekutif RMI – Mardha Tillah, M.Sc., dan Deputi II Urusan Politik dan Hukum AMAN – Erasmus Cahyadi, S.H., serta diskusi bersama masyarakat Kasepuhan Karang yang diwakili oleh Kepala Desa Jagaraksa – Jaro Wahid, S.Pd.I., Tokoh Perempuan dan Ketua Koperasi Jagaraksa Mandiri – Een Suryani, Tokoh Pemuda dan Ketua Pengelola Wisata Pesona Maranti – Engkos Kosasih. Malam harinya, peserta berbaur dengan masyarakat dalam gelaran seni di lokasi ekowisata hutan adat: Cepak Situ.
Hari ketiga yang merupakan hari terakhir kunjungan diawali dengan trekking ke salah satu bagian hutan adat Kasepuhan Karang, yang dilanjutkan dengan penanaman pohon adopsi oleh para peserta. Perwakilan peserta kunjungan lapangan juga menyampaikan kesan dan pembelajaran yang mereka dapat selama di 3 hari di Kasepuhan Karang kepada masyarakat. Acara kunjungan lapangan ini diakhiri dengan pelepasan oleh Ketua DPRD Kabupaten Lebak – Junaedi Ibnu Jarta, S.Hut.
Pengalaman dan Pembelajaran
Giulia Maria Baldinelli peserta dari Italy mengatakan bahwa dia sangat senang, karena pemuda Kasepuhan Karang terlibat aktif dalam menjaga dan mengelola hutan mereka melalui ekowisata. “Di Negara saya pemuda lebih memilih untuk pergi ke kota dan bekerja disana,” kata Giulia.
Sementara itu Aisah Czarriane, peserta dari Filipina menyatakan bahwa keberadaan hutan adat di Lebak ini tidak lain adalah karena adanya masyarakat adat Kasepuhan yang terus mempraktekkan aturan-aturan adat dalam hubungan mereka dengan lingkungan mereka, termasuk dengan hutan.
“Para perempuan di komunitas yang mengelola koperasi mereka. Meskipun masih banyak yang harus dikembangkan agar perempuan dapat terlibat dalam pengambilan keputusan inklusif di tingkat pemerintah daerah, karena partisipasi perempuan sangatlah penting.” Kata Aisah yang dipilih sebagai pelapor mewakili para peserta dari 15 negara.
Penulis: Siti Marfu’ah (ed. Mardha Tillah)
Kunjungan Lapangan di Lima Likasi (Video oleh WatchDoc)