Jakarta, Senin 05 November 2018. Perwakilan dari 20 Masyarakat Adat, didampingi oleh pemerintah daerah dan lembaga pendamping diterima langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar dalam audiensi dan pengusulan bersama penetapan Hutan Adat.
Salah satu komunitas Masyarakat Adat yang turut mengajukan usulan penetapan Hutan Adat mereka adalah masyarakat Kasepuhan Cibarani di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak, Banten. Kasepuhan Cibarani adalah satu dari 522 unit Masyarakat Adat yang telah diakui sebagai subjek hukum melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak No. 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan. Kasepuhan Cibarani menjadi komunitas dampingan RMI yang keempat dari Kabupaten Lebak yang mengajukan usulan penetapan Hutan Adat melalui Koalisi Hutan Adat. Sebelumnya Kasepuhan Karang mengusulkan dan telah memperoleh Hutan Adat mereka pada tahun 2016. Kasepuhan Cirompang dan Pasir Eurih memasukkan usulan mereka pada tahun 2017, keduanya sudah melalui tahap verifikasi teknis dan gelar hasilnya yang menghasilkan status ‘tidak ada hambatan’ sehingga tinggal menunggu penyerahan Surat Keputusan Penetapan Hutan Adat yang secara historis menjadi domain Presiden Jokowi.
Luasan areal usulan Hutan Adat yang diajukan oleh Kasepuhan Cibarani adalah 644,051 Hektar yang terletak di paruh selatan Wilayah Adat mereka yang secara keseluruhan seluas 12.707 Hektar. Dalam kesempatan ini, dokumen usulan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani diserahkan langsung oleh Ketua Adat Kasepuhan Cibarani, Abah Dulhani yang datang bersama perwakilan Baris Kolot Cibarani, Absir dan didampingi oleh RMI serta Asisten Daerah I Kabupaten Lebak, Alkadri dan jajarannya.
Perwakilan Masyarakat Adat Kutai Embong I, Saudia, mengumpamakan berbagai proses memperjuangkan Hutan Adat mereka hingga titik ini sebagai sebuah “lorong gelap” dan memohon secara langsung kepada Menteri LHK agar “bisa mengantarkan pada titik terang di ujung lorong itu.” Abah Dulhani selaku Ketua Adat Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani menyampaikan bagaimana Kasepuhan Cibarani adalah penjaga tradisi keturunan Parung Kujang terakhir di Banten, serta bagaimana tradisi mereka melindungi sekaligus menggantungkan diri pada hutan masih hidup di masyarakat. Di akhir aspirasinya, Abah Dulhani menutup dengan: “… sekian dari saya, tidak panjang lebar, yang penting secepat-cepatnya”, yang sekaligus merupakan harapannya kepada Menteri LHK dalam proses penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani.
Di akhir kegiatan, seakan merespon Abah Dulhani, Siti Nurbaya menegaskan agar percepatan proses penetapan Hutan Adat benar-benar dijalankan, “Kalau Perda–nya ada silahkan proses. Jangan lama-lama, maksimal 14 hari kerja”, pesannya kepada Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Apik Karyana yang turut hadir bersama Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) PSKL, Muhammad Said.
Catatan:
Koalisi Hutan Adat merupakan koalisi NGO terdiri dari Perkumpulan HuMa Indonesia, RMI, JKMA Aceh, KKI Warsi, Akar Foundation, AMAN Sulawesi Selatan, Perkumpulan Qbar, LBBT, Perkumpulan PADI, Perkumpulan Bantaya, YMP Palu, Perkumpulan Wallacea.
Pengusulan bersama penetapan Hutan Adat 5 November 2018 dilakukan oleh:. Bersama Kasepuhan Cibarani dalam pengusulan bersama Hutan Adat ini adalah 19 Masyarakat Adat lain yaitu:
- 12 Masyarakat Adat dari Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu yang didampingi Akar Foundation: Embong Uram, Embong I, Plabai, Kota Baru, Kota Baru Santan, Talang Donok, Talang Donok I, Teluk Diyen, Bajok, Talang Ratu, Suka Sari, Tik Tebing;
- Enam Masyarakat Adat dari Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat yang didampingi LBBT: Limbai Kampung Bunyau, Ketemenggungan Belaban Ella, Laman Tawa di Teluai, Laman Tawa di Boyon, Laman Tawa di Karangan Panjang, Rasau Sebaju;
- Masyarakat Adat Mului dari Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur yang didampingi Perkumpulan PADI; serta
- Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani dari Kabupaten Lebak, Provinsi Banten yang didampingi RMI.
Penulis: Abdul Waris (Ed. Wahyubinatara Fernandez)