Catatan Diseminasi Riset Pra dan Pasca Pengakuan Hutan Adat di Indonesia
Jumat (30/11) RMI melangsungkan diseminasi hasil riset mengenai penetapan Hutan Adat kepada para pemangku kepentingan terkait. Riset yang terlaksana atas dukungan Food and Agriculture Organization (FAO) ini telah dilakukan selama setahun terakhir oleh RMI bersama beberapa organisasi anggota Koalisi Hutan Adat yang terdiri dari HuMa, Bantaya Sulawesi Tengah, Yayasan Merah Putih Sulawesi Tengah, AMAN Sulawesi Selatan, Q-bar Sumatera Barat, dan LBBT Kalimantan Barat. Diseminasi hasil riset yang dilaksanakan di Hotel Century Park, Senayan ini menjadi betuk masukan sekaligus dorongan atas percepatan hutan adat yang sedang menjadi fokus para pihak yang berkepentingan, dalam kerangka besar pengakuan atas Masyarakat Adat di Indonesia. Sesuai dengan judulnya: Belajar dari Proses Pra dan Pasca Hutan Adat di Indonesia, kegiatan ini mencoba menyajikan berbagai pembelajaran dari tujuh Masyarakat Adat terkait penetapan hutan adat mereka, bagi para pemangku kepentingan dalam perjuangan yang sama.
Ketujuh Masyarakat Adat tersebut menjadi pilihan berdasarkan kombinasi konteks dan kondisi yang sedemikian sehingga proses pra dan pasca penetapan Hutan Adat dapat terwakili secara komprehensif. Konteks-konteks yang menjadi pertimbangan pemilihan ketujuh subjek -dan sekaligus lokasi riset- tersebut adalah: keterwakilan geografis (di pulau mana saja berada); tahapan proses pengakuan Hutan Adat (sudah diakui atau sedang berproses); kategori hutan menurut negara di mana hutan adat berada (hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan/ atau areal bukan hutan negara); serta status rejim sektoral yang menguasai lahan (konservasi, perkebunan, dan/ atau tambang).
Paruh awal kegiatan ini memaparkan dan mendiskusikan (dalam talkshow yang menghadirkan para pemangku kepentingan) proses pra pengakuan Hutan Adat di ketujuh wilayah tersebut. Fakta menarik yang dikemukakan dalam pemaparan Nia Ramdhaniaty dan menjadi salah satu latar belakang riset ini adalah mengenai bagaimana Hutan Adat yang telah diakui sampai saat ini ternyata sebagian besarnya berada di Area Penggunaan Lain (APL) sebelum menjadi Hutan Adat. Dari total 17.243,61 Hektar (Ha) yang telah diakui di 33 wilayah Masyarakat Adat di tujuh provinsi hanya 6.322,99 Ha yang dikeluarkan dari hutan negara, sisanya sebanyak 10.919,62 Ha (63%) berasal dari APL. Hal ini menjadi tidak relevan dengan semangat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU/X/2012 (MK 35) yang mengeluarkan Hutan Adat dari status Hutan Negara.
Temuan penting pra pengakuan Hutan Adat yang juga menjadi salah satu rekomendasi riset ini adalah terkait kontestasi paradigma mengenai “Hutan Adat” itu sendiri, menurut Masyarakat Adat dan menurut Kebijakan Negara. Bagi Masyarakat Adat, hutan adat adalah konsepsi ruang yang merupakan ekosistem penunjuang kehidupan dan penghidupan, termasuk di dalamnya adalah sumber-sumber daya pangan, energi, religi, sosial, ekonomi, ekologi, budaya, pendidikan, kesehatan, yang dikelola berdasarkan aturan adat dan dijalankan turun-temurun. Sementara hutan menurut negara, yang termaktum dalam berbagai kebijakan negara hanya merupakan satuan ekosistem dengan fungsi tertentu yang harus dipertahankan keberadaannya dan dicirikan dengan tegakan kayu. Rekomendasi atas ini adalah perlunya tindak lanjut dalam bentuk penyesuaian istilah dan makna “Hutan Adat” yang tercantum dalam masing-masing SK Penetapan Hutan Adat dengan istilah dan makna yang hidup di Masyarakat Adat yang bersangkutan. Riset ini mengusulkan penggunaan terminologi berbeda untuk Hutan Adat menurut Pemerintah (dengan H dan A kapital) dan hutan adat menurut Masyarakat Adat (tidak ada kapitalisasi).
Dalam talkshow sesi pertama, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Dirjen KSDAE), Wiratno menyatakan dukungannya atas Percepatan Hutan Adat. Pernyataan ini menanggapi dua temuan riset yang menyebutkan bahwa proses penetapan Hutan Adat di kawasan konservasi memakan waktu lebih lama ketimbang di wilayah lain terutama APL, serta bahwa pengakuan Hutan Adat yang sebelunya berada di kawasan hutan konservasi hanya terjadi pada gelombang pertama penetapan di tahun 2016 dan sejak itu belum ada lagi kawasan konservasi yang dikeluarkan menjadi Hutan Adat. “Di kawasan konservasi, alur kerja sama dengan PSKL. Paling disesuaikan dan saya kira di kawasan konservasi Hutan Adat tidak ada masalah”, ujarnya. Sementara itu, pakar kebijakan kehutanan IPB, Prof. Dr. Hariadi Kartodiharjo melihat perlunya perlindungan secara lebih afirmatif terhadap Masyarakat Adat melalui Peta Indikatif Hutan Adat yang disahkan melalui keputusan menteri. Menurutnya, “kalau peta indikatif perijinan bisa diadakan, mengapa tidak dengan Peta Indikatif Hutan Adat?”, karena jika tidak segera dilakukan, situasi di lapangan cepat sekali berubah karena cara-cara non-administratif bisa dilakukan untuk kepentingan modal.
Di kesempatan yang sama Dahniar Andriani, Koordinator Koalisi Hutan Adat menyoroti bahwa MK 35 dan pembelajaran dari proses pra Hutan Adat dalam riset ini menjadi pemantik untuk membuka diskusi mengenai carut-marut hukum agraria di Indonesia sejak Undang-undang Agraria Belanda (Agrarische Wet 1870). Gejala yang telihat sekarang adalah bagaimana pengakuan atas hak-hak Masyarakat Adat yang harusnya melekat pada subjeknya, menjadi bersyarat dan sangat sektoral. Maka dari itu, Undang-undang Masyarakat Adat perlu segera disahkan demi konsepsi yang seragam dan tidak sektoral terkait Masyarakat Adat.
Paruh kedua dan terakhir kegiatan ini serupa dalam format namun berbeda substansi, dalam sesi ini dibahas menganai kondisi dan perkembangan pasca pengakuan hutan adat di ketujuh lokasi tersebut. Pada sesi pemaparan hasil oleh Mardha Tillah, dua hal yang paling dominan ditemui setelah pengakuan atas hutan adat adalah meningkatnya rasa aman terkait sumber-sumber penghidupan, serta meningkatnya kewenangan dan kesempatan pengelolaan wilayah adat yang berujung pada pengembangan perekonomian masyarakat dan bahkan hidupnya kembali budaya-budaya pengelolaan hutan. Sebagai contoh adalah bagaimana generasi muda Masyarakat Adat yang telah diakui hutan adatnya mulai kembali mengenakan pakaian adat mereka dengan bangga serta bagaimana masyarakat di Kajang bisa memutuskan sendiri pemanfaatan wilayah hutan mereka yang telah lama menjadi objek sengketa dengan perkebunan karet PT. London Sumatera sejak 1910-an. Hal penting yang berkembang pasca pengakuan atas hutan adat adalah terbukanya kesempatan partisipasi yang lebih besar bagi kelompok pemuda dan perempuan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Walaupun hal ini masih perlu ditindak-lanjuti lebih jauh, temuan ini menunjukkan bagaimana pengakuan atas hak-hak Masyarakat Adat juga merupakan langkah afirmatif bagi kelompok-kelompok marjinal dalam masyarakat.
Terkait tindak lanjut pasca pengakuan Hutan Adat, Bahrunsyah, Staf Ahli Bidang Adat Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) yang menjadi salah satu narasumber menyatakan bahwa Peraturan Menteri ATR/BPN No. 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu, dapat menjadi salah satu pintu masuk dukungan Kementerian ATR/BPN. Hal ini mungkin dilakukan menurutnya, termasuk mengintegrasikan tata ruang Hutan Adat ke dalam RT/RW di tingkat Kabupaten dan Provinsi. “ATR ingin mendampingi pemetaan dan penentuan batas. Harapannya pada era pasca penetapan Hutan Adat ada pendaftaran tanah yang sistematis”, ujar Bahrunsyah. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT) yang diwakili Sri Wahyuni mengatakan bahwa Dana Desa dapat menjadi alat peningkatan ekonomi Masyarakat Adat yang diharapkannya memiliki kedudukan yang setara secara hak dengan desa administratif. Walau begitu, tidak ada tanggapan konkrit mengenai peluang pemberdayaan Masyarakat Adat pasca pengakuan Hutan Adat yang dapat difasilitasi Kemendes-PDTT.
Sementara itu, Yon Fernandez dari Tim Masyarakat Adat FAO lebih melihat peluang ke depan dalam pengakuan Masyarakat Adat di Indonesia. Baginya, diperlukan pertukaran pembelajaran di tingkat global karena praktik-praktik baik di Amerika Selatan dan bahkan India telah dapat memberikan jutaan Hektar hutan kepada Masyarakat Adat. Menurutnya hal yang serupa seharusnya dapat dilakukan di Indonesia. Hal penting lainnya yang diungkapkan Yon adalah bagaimana pengakuan Masyarakat Adat sebagai subjek seharusnya tidak lagi diperlukan karena telah secara eksplisit hadir dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang diperlukan demi pengakuan yang sesungguhnya adalah terhadap relasi-relasi antara Masyarakat Adat sebagai subjek dengan objek-objek haknya. Identitas Masyarakat Adat terletak persis pada relasinya dengan teritorialnya, dengan ekosistem hidupnya, yang adalah objek-objek haknya. Karenanya, legitimasi subjek Masyarakat Adat di tingkat daerah dalam bentuk Peraturan Daerah sesungguhnya absurd dan tidak dibutuhkan. (WF)