Jakarta, RMI – Selama periode Februari-Juni 2018 RMI melakukan riset tentang Proses Pra dan Pasca Penetapan Hutan Adat di Indonesia bekerjasama dengan Koalisi Hutan Adat. Koalisi Hutan Adat ini terdiri dari HuMa (Jakarta), YMP (Sulteng), Bantaya (Sulteng), AMAN Sulsel, LBBT (Kalbar), dan Qbar (Sumbar). Hasil riset yang didukung oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) ini disampaikan di Hotel Century Park; Jakarta, Jumat, (30/11/2018).
Di antara temuan riset ini adalah lamanya waktu yang dibutuhkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memproses pengajuan hingga proses verifikasi dan validasi Hutan Adat, atau dari proses verifikasi dan validasi ke tahap penetapan Hutan Adat. Sebagai contoh, penetapan Hutan Adat Kasepuhan Karang (Banten), Ammatoa Kajang (Sulsel), Marga Serampas (Jambi), dan Wana Posangke (Sulteng) butuh waktu empat belas bulan sejak proses pengajuan. Sebagai contoh; sudah empat belas bulan sejak pengajuan Hutan Adat Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih, namun kedua Hutan Adat tersebut belum juga ditetapkan.
“…..Penetapan Hutan Adat relatif lama dan tidak sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Namun, proses pengakuan Hutan Adat di kawasan non-hutan atau areal penggunaan lain (APL) cenderung diproses lebih cepat daripada di hutan negara,” ungkap Koordinator Tim Riset Nia Ramdhaniaty saat mempresentasikan hasil riset di atas.
Lebih lanjut Nia Ramdhaniaty mengatakan, luasan penetapan Hutan Adat lebih kecil dari luasan yang diajukan oleh masyarakat adat, seperti yang terjadi dengan Hutan Adat Wana Posangke, Kulawi di Marena, dan Kasepuhan Karang.
Yon Fernandes de Larrinoa, mewakili FAO menilai, proses pengakuan dan penetapan Hutan Adat terbilang lamban. Dia membandingkan di sejumlah negara di dunia dimana progres pengakuannya sangat cepat. Kolombia, misalnya, menetapkan sekitar 20 juta ha Hutan Adat pasca perang selama 40 tahun. Begitu juga dengan Honduras dan India yang memberikan jutaan hektar kepada Masyarakat Hukum Adatnya.
Pengakuan Masyarakat Hukum Adat di negara-negara tersebut tidak dikaitkan dengan urusan teritorial, melainkan pengakuan hak yang melekat pada diri Masyarakat Hukum Adat itu sendiri.
Yon Fernandes menilai pengakuan Masyarakat Hukum Adat beserta Hutan Adatnya mengalami proses yang panjang karena menyertakan Perda dan peta. Baginya, belajar dari negara-negara di atas, pengakuan Masyarakat Hukum Adat tidak perlu lewat Perda dan berdasarkan tertorial tetapi lewat pengakuan dari masyarakat sendiri dan tidak perlu konfirmasi kepada Pemda. “Hak untuk hidup tidak boleh bersyarat. Ini harus menjadi perhatian Pemerintah Pusat dan tidak bisa diserahkan kepada Pemda,” ucapnya lebih lanjut. (YA)