Future Leader In The Making: Serunya Menyelami Isu-Isu Lingkungan Dan Sosial Terkini Di Short Course Batch 3

Peserta dan Panitia Short Course : Relawan Lingkungan Untuk Perubahan Sosial Batch 3

Pentingnya generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan untuk memahami dan menyelami isu social dan lingkungan, serta bagaimana gerakan kerelawanan dalam mendukung kedua hal tersebut dirasa perlu bagi RMI untuk mencetak calon pemimpin sensitive gender yang bisa menciptakan perubahan yang berkeadilan sosial. Karena itu, sejak 2016 RMI rutin mengadakan kegiatan Short Course atau Kursus Singkat seputar isu social dan lingkungan.

Hingga saat ini, Short Course RMI sudah menelurkan 40 alumni dari dua tahun angkatan. Pada tahun ini, Short Course RMI kembali diadakan pada 27-29 September 2019, di Bogor, dengan tema besar “Gerakan Kerelawanan Lingkungan untuk Perubahan Sosial.” Short course kali ini diikuti oleh mahasiswa dari berbagai universitas, mulai dari Universitas IPB, Universitas Pakuan, Universitas Indonesia, dan tidak menutup juga untuk mereka yang tidak duduk di bangku pendidikan tinggi formal. Selama 3 hari berkegiatan bersama; 20 peserta short course ini mempelajari isu-isu lingkungan sosial dan lingkungan, serta keterhubungan antar berbagai isu dan konteks yang melatarbelakanginya, serta bagaimana peran integral pemudi/a untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada saat ini.

Apa yang Kita Pelajari?

Materi short course ini disusun secara sistematis sehingga memudahkan peserta untuk menemukan benang merah yang mengikat tiap materi yang disampaikan sehingga menjadi satu pemahaman utuh. Pada hari pertama—setelah diawali dengan sesi perkenalan dengan metode Appreciative Inquiry—secara berkelompok, peserta diajak mengidentifikasi “Isu-isu Lingkungan Populer” melalui potongan-potongan gambar dari surat kabar yang telah disediakan lalu mempresentasikan pemikirannya.

Setelah memahami bahwa satu permasalahan lingkungan ternyata tidak benar-benar berdiri sendiri, peserta lalu mendapatkan materi yang tidak kalah menarik yaitu “Pengenalan Konsep Jender.” Materi sesi ini banyak diisi dengan tugas dan diskusi kelompok, misalnya merinci gambaran laki-laki dan perempuan ideal. Dalam rangka menguatkan pemahaman bahwa konsep jender sangat erat kaitannya dengan konstruksi sosial dan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat, short course hari pertama ditutup dengan memaknai sebuah klip pendek menggugah tentang peran jender di tengah masyarakat, yang dipublikasikan oleh United Nation berjudul Impossible Dream.

Hari kedua short course, peserta diajak menguji bias-bias implisit yang tertanam dalam benak masing-masing. “Apa yang terlintas dalam pikiran kalian ketika mendengar kata: perempuan, laki-laki, gay, lesbi, anak-anak, Orang Papua, pemerintah, LSM, keturunan Cina?” merupakan pertanyaan utama di sesi awal ini. Setelah merinci dan mereview tiap stereotif yang peserta miliki, pemateri rupanya menghubungkannya dengan materi “Kepemimpinan.” Dipaparkan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin, diperlukan kualitas diri (nilai, sikap dan keterampilan) calon pemimpin yang sensitif terhadap berbagai bias-biasa yang ada di masyarakat karena itu memengaruhi keputusan yang akan diambil. Secara berturut-turut materi yang kemudian disampaikan membahas “Ekologi Politis”, “Kemiskinan Struktural dan Kebijakan Pembangunan”, dan “Gerakan Kerelawanan untuk Perubahan Sosial.”

Narasumber, Mardha Tillah, sedang menyampaikan materi tentang stereotype dan bias implisit.

Peserta diajak untuk mengurai benang-benang semerawut yang melingkupi kompleksnya pengelolaan sumber daya alam (PSDA) di Indonesia. Masalah PSDA saat ini tidak dapat dipisahkan dari konteks kesejarahannya (masa kolonial) yang kerap menjadi akar timbulnya konflik antara masyarakat dengan negara. Kebijakan PSDA yang diskriminatif terhadap masyarakat marjinal memicu lahirnya sistem yang melanggengkan semangat kolonialisme terhadap warga negara. Di titik ini peserta lalu menyadari bahwa masyarakat miskin, sebagai salah satu masalah yang ditimbulkan dari kompleksnya PSDA di Indonesia, bukan semata-mata hadir karena anggapan bahwa mereka malas atau bodoh; namun karena adanya sistem/tata pemerintahan yang memangkas kesempatan masyarakat marjinal untuk berkembang. Pembangunan manusia (human development) adalah salah satu area pembangunan yang dapat didorong untuk perlahan-lahan mengikis permasalahan tersebut. Dalam hal ini pemuda pun dapat ikut ambil bagian dengan cara menginisiasi atau tergabung dalam kegiatan kerelawanan.

Sedangkan pada hari ketiga kegiatan short course Angkatan 3, dijelaskan materi “Etika Lingkungan.” Di sini pemateri menyebutkan bahwa pada hakikatnya setiap mahkluk hidup, tidak hanya manusia, memiliki hak untuk hidup dan kondisinya perlu dipertimbangkan ketika mengambil suatu keputusan. Berbagai paradigma yang dipresentasikan menyadarkan peserta bahwa selama ini kita menganut paradigma anthropocentrism—manusia adalah pusat kehidupan, logika manusia adalah hal yang paling utama.

Peserta Short Course Batch 3 sedang mengidentifikasi “Isu-isu Lingkungan Populer” melalui potongan-potongan gambar dari surat kabar yang telah disediakan lalu mempresentasikan pemikirannya.

Metode Penyampaian yang Inovatif

Materi-materi yang disampaikan selama short course dapat terserap optimal oleh peserta karena adanya metode penyampaian materi yang sangat inovatif. Diskusi kelompok, permainan, tugas individu, dan sesi team building merupakan beberapa metode yang kerap peserta dapatkan selama 3 hari berkegiatan bersama. Kombinasi metode penyampaian materi antara ceramah/presentasi pemateri dengan aktivitas individu maupun kelompok menjadi salah satu kekuatan sekaligus keunikan short course dibandingkan kegiatan lain yang serupa. Partisipasi aktif peserta juga terfasilitasi melalui sesi tanya jawab maupun presentasi kelompok.

Pemapar dan fasilitator benar-benar memahami cara mengemas materi yang terkesan berat dengan metode penyampaian yang sederhana, salah satunya permainan “Minta dong!” dalam materi “Kemiskinan dan Kebijakan Struktural.” Awalnya peserta mengira bahwa salah satu materi yang akan disampaikan di hari kedua ini akan membahas teori-teori kemiskinan juga hukum/kebijakan yang relevan dengannya. Namun pemateri meminta komitmen seluruh peserta untuk bermain “Minta dong!” dari awal sampai akhir. Jadi tidak ada peserta yang diperbolehkan berhenti di tengah-tengah permainan ini. Setiap peserta masing-masing mendapat 2 biji jagung, 2 biji kacang hijau, 2 biji kopi, dan 2 biji kacang kedelai. Setiap satu biji kopi bernilai 20 poin, jagung 10 poin, kacang kedelai 5 poin, dan kacang hijau 2 poin. Peserta diminta untuk melakukan barter biji-bijian tersebut dengan peserta lainnya dengan menyebutkan kata “Minta dong!”. Setiap berakhirnya ronde barter, poin dari tiap-tiap biji dihitung dan dijumlahkan. Hingga ronde barter kelima atau ronde terakhir, apabila jumlah poin biji-bijian peserta kurang dari 80 maka peserta tersebut mendapat hukuman makan malam dengan nasi putih dan garam saja.

Peserta sedang memainkan permainan ‘Minta Dong!’. Metode ini digunakan untuk menyampaikan materi Kemiskinan Struktural dan Kebijakan Pembangunan.

Permainan ini diluar dugaan peserta karena berhasil mendekatkan konteks kemiskinan kepada peserta. Dalam masyarakat ada orang-orang yang dianggap ‘kalah’ dan kesempatannya untuk berkembang lebih minim dibanding mereka yang memiliki sumber daya kapital lebih banyak. Orang-orang yang dianggap ‘kalah’ tersebut dicap sebagai orang miskin dengan berbagai kriteria/standar nasional maupun internasional yang telah ditetapkan. Tidak pernah diperhatikan kondisi masyarakat yang memang terbiasa hidup subsisten. Menilik kembali kondisi masyarakat banyak diantara mereka yang cukup hidup dengan bercocok tanam dan mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari dengan mengelola SDA. Intervensi pihak luar melalui program dan kebijakan yang ditujukan untuk ‘menolong’ orang-orang ini pun kadang tidak dilandasi dengan kajian dan perencanaan yang tepat. Dalam permainan “Minta dong!” misalnya ditunjukkan bahwa bantuan pemerintah kadang tidak tepat saran karena diberikan kepada orang-orang yang lebih mampu.

Refleksi dari permainana ini antara lain perubahan sistem, cara pandang melihat orang-orang yang dicap miskin, serta penyesuaian kriteria ‘orang miskin’ memang perlu dilakukan. Tapi hal terbut bukan satu-satunya cara. Melihat kerentanan program atau kebijakan yang disusun oleh pemerintah lebih berorientasi pada output, maka kontribusi Civil Society Organization menjadi vital karena mereka memiliki potensi dalam merancang program pemberdayaan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan berorientasi pada perubahan perilaku (behavioural change) masyarakat.

Akhirnya, rangkaian kegiatan short course ditutup dengan penyampaian testimoni dari peserta kegiatan. Ini juga merupakan salah satu bagian yang paling mengesankan karena tiap peserta berkesempatan mengutarakan rencana mereka ke depan setelah mengikuti kegiatan short course. Ada peserta yang ingin menjelaskan materi yang didapatkan selama short course kepada teman-temannya, mengembangkan projek organisasi kampusnya berdasarkan materi dan metode pelatihan yang didapat, maupun akan secara mandiri mendalami kembali materi-materi yang telah diperoleh. Melihat antusiasme peserta setelah mengikuti short course, diharapkan kebermanfaatan kegiatan ini dapat meluas dan lebih banyak pemuda yang tergerak untuk melakukan perubahan di lingkungannya dengan cara mereka masing-masing.

Penulis: Supriadi

Editor: Dinda Tungga Dewi

Silakan klik link berikut untuk melihat tanggapan peserta mengenai kegiatan Kursus Singkat ini.

Cerita Emmerald Falah:

Cerita Nafisa Nur Alifah:

Cerita Alfina Khairunisa:

Cerita Nadyati Fajrin:

Tonton video di bawah ini: