Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Dalam Menjaga Lingkungan

Masyarakat adat suku Sunda, atau lebih dikenal sebagai masyarakat adat Kasepuhan memiliki kearifan lokal dalam menjaga hutannya. Mereka masih menggantungkan sebagian besar penghidupannya pada hutan dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan untuk hidup harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Hutan dan masyarakat adat Kasepuhan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. 

Kasepuhan Cibedug merupakan salah satu Kasepuhan yang terletak di Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kasepuhan Cibedug terletak di wilayah ekosistem Gunung Halimun. Perjalanan menuju Kasepuhan Cibedug umumnya dilakukan menggunakan motor selama 30 menit, setelah jalan beraspal habis di Kampung Cibengkung, Citorek (3,5 jam dari Kota Bogor dengan kendaraan bermotor). Lokasi cukup terisolir dengan perjalanan naik turun bukit. Kabut seringkali turun saat udara mendingin di pagi atau menjelang sore hari.

Kasepuhan Cibedug merupakan salah satu kelompok Kasepuhan yang masih teguh dalam memelihara hubungan yang harmonis dengan alam, di masa dimana banyak kelompok masyarakat adat lainnya mengalami perubahan-perubahan drastis. Peran kelembagaan adat yang kuat, isolasi geografis serta modal sosial budaya merupakan salah satu dari faktor-faktor yang mendukung kekuatan itu. 

Dalam hal filosofi budaya, terdapat beberapa pepatah yang dipercayai oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug (dan juga kasepuhan-kasepuhan lainnya), yang berhubungan dengan kearifan lokal dalam menata atau mengatur wilayahnya. 

‘Gunung teu meunang dilebur, leuweung teu meunang diruksak’, (gunung tidak boleh dihancurkan dan hutan tidak boleh dirusak. Pepatah ini menyiratkan sistem pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan kearifan lokal, yang mengandung arti bahwa manusia merupakan bagian dari sistem alam. Di mana jika sumber daya alam rusak, maka kehidupan manusia juga terganggu. Pepatah lainnya adalah  ‘penyangga kahirupan supaya hurip’, (penyangga kehidupan supaya hidup). Di mana masyarakat adat Kasepuhan Cibedug percaya bahwa hutan dan air adalah penyangga kehidupan yang harus dijaga.

Dalam pengaturan wilayah hutan (leuweung), masyarakat adat Kasepuhan Cibedug membagi hutan menjadi beberapa bagian yaitu leuweung kolot, leuweung titipan, leuweung cadangan, dan leuweung garapan.

Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug menerangkan bahwa leuweung kolot adalah kawasan hutan yang tidak boleh diganggu, karena di kawasan tersebut terdapat sumber mata air. Leuweung titipan adalah leuweung kolot yang didalamnya terdapat lokasi yang dianggap suci, ditandai misalnya dengan adanya bangunan-bangunan bersejarah (misalnya pada lokasi situs Cibedug yang berupa punden berundak, serta pada lokasi di mana ditemukan tugu-tugu penanda batas). Leuweung cadangan berupa lahan yang dicadangkan oleh masyarakat untuk masa depan, sedangkan leuweung garapan merupakan kawasan yang di dalamnya terdapat, sawah, kebun, serta perkampungan (lembur).

Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug meyakini terdapat suatu kekuatan supranatural yang ikut menjaga leuweung mereka, oleh karena itu mereka percaya jika mereka merusak leuweung maka mereka dapat tertima kemalangan/bencana, atau sering diistilahkan sebagai kebendon. Penggundulan hutan di wilayah adat (wewengkon) misalnya, dipercaya akan menyebabkan alam marah dan menyebabkan hujan tidak akan turun. Kabendon bisa juga turun dalam bentuk lain seperti gagalnya panen karena serangan hama, kebakaran, sampai kecelakaan. Hal ini bisa menimpa orang perseorangan, atau dalam bentuk yang lebih besar (komunitas).

Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memandang hutan dan sekelilingnya sebagai pemberi kehidupan dan  perlu dijaga. Hubungan manfaat yang terjadi perlu berlaku timbal balik di mana masyarakat tidak hanya mengambil manfaat dari hutan, tetapi juga menjaganya melalui pemanfaatan lahan pertanian secara bijak. Dalam bersawah dan berhuma contohnya, penanaman padi (pare gede/padi besar) dilakukan hanya satu kali dalam setahun guna memberikan waktu bagi tanah untuk beristirahat. Selama masa istirahat tersebut, jerami dimasukkan kembali ke dalam tanah (malik jarami) tanpa dibakar guna mengembalikan kesuburan tanah. Tanah (Ibu Bumi) dihormati di dalam budaya kasepuhan, seperti yang dapat dilihat pada ritual nibakeun, yang dilaksanakan sebelum tebar benih di sawah, masyarakat meminta izin dulu kepada Nu Bogana (Tuhan) untuk melakukan tebar benih di sawah .  

Keberadaan dan peran masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam menjaga alam bukan hanya menjaga lingkungan, tetapi juga menjaga budaya mereka. Seperti melaksanakan ritual Nibakeun, yaitu kumpulan adat untuk meminta izin mulai tebar benih di sawah. 

Perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) pada tahun 2003 membuat hampir seluruh wewengkon Kasepuhan Cibedug masuk ke dalam wilayah inti taman nasional. Pihak taman nasional melakukan pelarangan-pelarangan terhadap aktivitas masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang mereka anggap merusak hutan. Kegiatan bertani di lahan kering (ngahuma) misalnya dilarang. Dari pelarangan ini, pada riset yang dilakukan oleh RMI pada tahun 2020, sekitar 10 varietas padi (pare gede) huma menghilang (tidak ditemukan ditanam oleh masyarakat).

Pada tahun 2019, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug menuntut wewengkon yang diklaim oleh negara dikembalikan kepada kelompok masyarakat adat, melalui skema Hutan Adat.

Di Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 5 Juni tiap tahunnya, kita perlu melihat kembali, bahwa kontribusi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sangat besar dalam menjaga lingkungan hidup. Oleh sebab itu, sepatutnya negara mengembalikan hak kelola hutan kepada yang berhak, yaitu masyarakat adat Kasepuhan Cibedug, sehingga dapat dipastikan bahwa hutan dikelola secara adil, lestari, berkesinambungan, untuk kesejahteraan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug.  

 

Referensi:

Andri Santosa, L. N. (2007). Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara – Sebuah Upaya Masyarakat Cibedug Memperoleh Pengakuan. Bogor: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment.

Riset RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment. Profiling Indigenous Food Systems And Their Contribution To Debates On Sustainibility And Climate Resilience. Unpublished

 

Kasepuhan Cibedug Indigenous People in Protecting the Environment

The Sundanese indigenous people, or better known as the Kasepuhan indigenous people, have local wisdom in protecting their forests. They still depend a large part of their livelihood on the forest and develop habits to live in harmony with their surroundings. Forests and the Kasepuhan customary community are two things that cannot be separated. 

Kasepuhan Cibedug is one of the Kasepuhan located in West Citorek Village, Cibeber District, Lebak Regency, Banten Province. Kasepuhan Cibedug is located in the Halimun Mountain ecosystem. The trip to Kasepuhan Cibedug is generally done by motorbike for 30 minutes, after the paved road runs out in Cibengkung Village, Citorek (3.5 hours from Bogor City by motorized vehicle). The location is quite isolated because to reach there we need to travel up and down hills. Fog often falls when the air cools down in the morning or early evening.

Kasepuhan Cibedug is one of the Kasepuhan groups that is still persistent in maintaining a harmonious relationship with nature, while many other indigenous groups have experienced drastic changes. The role of strong customary institutions, geographical isolation and socio-cultural capital is some factors that support this strength. 

In terms of cultural philosophy, there are several proverbs that are believed by the Kasepuhan Cibedug indigenous people (as well as other Kasepuhan), which relate to local wisdom in managing or regulating their territory. 

“Gunung teu meunang melebur, leuweung teu meunang diruksak”, (mountains must not be destroyed and forests must not be destroyed. This proverb implies a natural resource management system in accordance with local wisdom, which implies that humans are part of the natural system. If natural resources are damaged, human life will also be disturbed. Another saying is ‘penyangga kahirupan supaya hurip’, (life support to live), meaning that Kasepuhan Cibedug indigenous people believe that forests and water are life support that must be preserved.

In regulating forest areas (leuweung), the Kasepuhan Cibedug indigenous people divides the forest into several parts, namely leuweung kolot, leuweung titipan, leuweung cadangan, and leuweung garapan.

The Kasepuhan Cibedug indigenous people explained that leuweung kolot is a forest area that should not be disturbed, because there are springs in the area. Leuweung titipan is a leuweung kolot in which inside it there are locations that are considered sacred, marked for example by the presence of historical buildings (for example at the location of the Cibedug site in the form of punden berundak, as well as at locations where boundary markers are found). Leuweung cadangan is a form of land reserved by the community for the future, while leuweung arable is an area where there are fields, gardens, and lembur (villages).

The Kasepuhan Cibedug indigenous people believe that there is a supernatural power that helps guard their leuweung, therefore they believe that if they destroy the leuweung they can receive misfortune / disaster, or often termed kebendon. Deforestation in customary areas (wewengkon), for example, is believed to cause nature to be angry and prevent rain from falling. Kabendon can also come down in other forms such as crop failure due to pest attack, fires, and accidents. This can happen to individuals, or in a larger form (community).

The Kasepuhan Cibedug Indigenous People view the forest and its surroundings as a life-giving and need to be protected. The relationship between the community and nature needs to be reciprocal so the community does not only benefit from the forest, but also maintains it through the wise use of agricultural land. In rice fields for example, rice cultivation (pare gede or large rice) is carried out only once a year to give the land time to rest. During this period of rest, the hay is put back into the soil (malik jarami) without being burned to restore soil fertility. The land (Mother Earth) is respected in the kasepuhan culture, as can be seen in the nibakeun ritual which was carried out before sowing the seeds in the fields, the community asked Nu Bogana (God) for permission to spread the seeds in the fields.  

The existence and role of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People in protecting nature is not only protecting the environment, but also protecting their culture. Like carrying out the nibakeun ritual, which is a custom for the group to ask permission to start sowing seeds in the fields. 

The expansion of the Mount Halimun Salak National Park (TNGHS) in 2003 made almost all of the wewengkon in Kasepuhan Cibedug fall into the core area of ​​the national park. The national park has prohibited the activities of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People because the national park think that they are destroying the forest. For example, farming activities on dry land (ngahuma) are prohibited. From this ban, in research conducted by RMI in 2020, around 10 rice varieties (pare gede) have disappeared (not found to be planted by the community).

In 2019, the Kasepuhan Cibedug Indigenous People demanded that the wewengkon claimed by the country to be returned to indigenous groups, through the Customary Forest scheme.

On World Environment Day, which is celebrated every 5 June each year, we need to take a step back and see that the contribution of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People is very large in protecting the environment. Therefore, the country should return the forest management rights to those entitled, the Kasepuhan Cibedug Indigenous People, so that it can be ensured that the forest is managed fairly and sustainably, for the welfare of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People.  

Author: Siti Marfu’ah

Translator: Alfina Khairunnisa