Jakarta, 16 Juli 2020. Koalisi Hutan Adat mengirimkan surat penolakan pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja. Koalisi Hutan Adat terdiri dari duabelas Lembaga yang fokus mendorong pengakuan dan penetapan wilayah adat masyarakat hukum adat sesuai amanat konstitusi dan Putusan MK 35/PUU-X/2012 mengirimkan surat penolakan RUU Cipta Kerja.
Surat penolakan bertanggal 16 Juli 2020, yang ditujukan kepada Presiden RI dan Pimpinan DPR RI berisikan sembilan alasan untuk menolak pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja. Sembilan alasan yang mendasari penolakan terhadap RUU Cipta kerja ini mencakup:
- Penyusunan RUU Cipta Kerja tidak melibatkan masyarakat hukum adat sebagai pihak yang paling terdampak dari adanya aturan-aturan terkait dengan lingkungan hidup dan pembukaan lahan untuk investasi.
- RUU Cipta Kerja menghidupkan kembali pasal inkonstitusional yang dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 95/PUU-XII/2014 mengecualikan masyarakat hukum adat dari pihak yang diancam dipidana karena memanen atau memungut hasil hutan serta mengembalakan ternak di dalam kawasan hutan tanpa izin.
- RUU Cipta Kerja menambah kewenangan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah melalui Peraturan Presiden.
- RUU Cipta Kerja justru mengukuhkan adanya tumpang tindih dan ketidakjelasan pengakuan masyarakat hukum adat dalam UU sektoral.
- RUU Cipta Kerja justru memfasilitasi perampasan tanah masyarakat hukum adat. Misalnya dengan adanya bank tanah; jangka waktu HGU, HGB dan hak pakai sampai 90 tahun yang bahkan lebih lama dari aturan kolonial; perluasan alasan pembukaan lahan untuk kepentingan umum; dan penghapusan larangan bagi perusahaan perkebunan untuk menelantarkan tanah.
- RUU Cipta Kerja justru akan menambah pengangguran dan memperlebar jurang kesejahteraan karena menghilangkan pencaharian tradisional masyarakat hukum adat.
- RUU Cipta Kerja menghilangkan berbagai instrumen dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang akan mengakibatkan bencana ekologis.
- RUU Cipta Kerja menghapus dan/atau melonggarkan ancaman pidana bagi perusahaan perusak lingkungan. Sebaliknya, justru menambahkan aturan-aturan baru yang dapat digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat hukum adat. Dan
- Perempuan adat menjadi semakin rentan karena pengetahun tradisional yang diampu terancam hilang, terancam termiskinkan karena perampasan lahan dan bencana ekologis, serta semakin kuatnya ketidakadilan gender.
Koalisi Hutan Adat bersimpulan, RUU Cipta Kerja ini berpotensi melanggar hak-hak dan merampas ruang hidup masyarakat hukum adat, serta merugikan dan membahayakan keselamatan masyarakat hukum adat terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Oleh karenanya, Koalisi Hutan Adat menolak pembahasan dan rencana pengesahan RUU Cipta Kerja[.]
Narahubung:
DEMA. Hp. 087878960001
Koalisi Hutan Adat: (1) AKAR Foundation Bengkulu; (2) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan; (3) Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA)Aceh; (4) KKI Warsi; (5) LembagaBela Banua Talino (LBBT) Pontianak; (6) PADI Indonesia; (7) Perkumpulan Bantaya; (8) PerkumpulanHuma Indonesia; (9) Perkumpulan Qbar; (10) Perkumpulan Wallacea; (11) RMI (The Indonesian Institute for Forest and Environment); (12) Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah.