Search

Kabar Terbaru

Maju Mundur Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan

Baru-baru ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan regulasi baru mengenai Hutan Adat, P.17 tahun 2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Peraturan ini menjadi peraturan pelaksana administrasi Hutan Adat yang dibolehkan sejak keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-X/2012 (MK 35) yang mengkoreksi Undang-undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999 dengan mengeluarkan Hutan Adat dari ketegori Hutan Negara dan memasukkannya ke dalam kategori Hutan Hak. Sebelumnya, telah ada dua Peraturan Menteri (Permen) yang mengatur administrasi Hutan Adat yaitu P.32/2015 tentang Hutan Hak dan P.21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Semangat di balik penerbitan P.17/2020 perlu dicermati, karena peraturan pendahulunya baru berumur 16 bulan dan mengingat capaian Hutan Adat yang terbilang sangat kecil yaitu 44.630 Hektare dari keseluruhan target Perhutanan Sosial seluas 4,38 Juta Hektare.

Membaca sekilas Permen ini menunjukkan semangat formalisasi yang kuat dalam rangka melindungi hak Masyarakat Adat atas wilayah adatnya yang berupa hutan. Konsep baru yang diperkenalkan P.17/2020 adalah Penunjukan Hutan Adat yang merujuk pada tahapan pengukuhan kawasan hutan. Penunjukan menjadi alternatif Penetapan Hutan Adat ketika prosesnya terkendala pengakuan Masyarakat Adat melalui produk hukum daerah yang menjadi syarat dilaksanakannya proses verifikasi sebelum penetapan.

Pertanyaannya kemudian, mengapa dibutuhkan konsep baru sementara pada Permen sebelumnya perlindungan yang sama sudah diadministrasikan melalui Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat? Penunjukan Hutan Adat dimaksudkan untuk paling tidak tiga hal: 1.) Memberikan waktu (dua tahun) bagi Masayrakat Adat untuk melengkapi persayaratan pengakuan melalui produk hukum daerah; 2.) Memberikan waktu pada pemegang izin pemanfaatan hutan dan hak pengelolaan lain untuk berkoordinasi dengan Masyarakat Adat empunya Hutan Adat; dan 3.) Melindungi Hutan Adat dari masuknya izin pemanfaatan hutan baru. Ketiganya menjadi kelebihan Penunjukan dibandingkan dengan skema perlindungan terdahulu yang tidak mengatur mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan setelah ditetapkan menjadi indikasi Hutan Adat.

 Maju atau Mundur?

Sayangnya, tidak ada ketentuan peralihan yang mengatur kelanjutan administrasi Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat sementara P.21/2019 yang menjadi dasar hukumnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak diterbitkannya Permen baru ini. Lalu bagaimana nasib 950.129 Hektare wilayah Masyarakat Adat yang telah dilindungi melalui skema ini? Akibat kekosongan hukum ini jika P.17/2020 dilaksanakan secara normatif-tekstual saja, usaha perlindungan atas hak Masyarakat Adat di kawasan hutan yang didukung dan didorong banyak pihak selama ini terancam sia-sia.

Permasalahan lain dalam Penunjukan adalah prasyaratnya yang alih-alih mempercepat, dikhawatirkan justru memperlambat proses Penunjukan maupun Penetapan Hutan Adat. Penunjukan Hutan Adat hanya bisa terjadi jika telah ada proses Identifikasi dan Pemetaan Wilayah Adat. Proses ini juga adalah tahapan baru yang diintroduksi P.17/2020, yang dilakukan oleh tim yang dibentuk Kepala Daerah untuk menjadi dasar penerbitan keputusan pengakuan Masyarakat Adat oleh Kepala Daerah berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Permen ini. Hasil identifikasi dan pemetaan beserta produk hukum daerah pengakuan Masyarakat Adat yang didasarinya kemudian menjadi syarat untuk dapat melewati tahap validasi permohonan Hutan Adat sehingga permohonan dapat diverifikasi sebelum Hutan Adat ditetapkan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana nasib permohonan yang telah diajukan tanpa didahului identifikasi dan pemetaan wilayah adat oleh tim daerah? Apakah harus mengajukan permohonan baru?

Selain itu, pengalaman masyarakat sipil memfasilitasi proses penetapan Hutan Adat sejak 2016 menunjukkan proses politik di daerah dalam rangka memperoleh pengakuan Masyarakat Adat sebagai tantangan terbesar. Alih-alih mempercepat, proses ini justru semakin membebani Masyarakat Adat dalam proses politik di tingkat daerah, bahkan sebelum masuk ke administrasi KLHK untuk mendapatkan Hutan Adat mereka. Sudah begitu P.17/2020 juga menegaskan kembali kriteria Masyarakat Adat dalam Pasal 67 beserta penjelasannya dalam UU 41/1999, yang gugatan masyarakat sipil atasnya tidak dikabulkan Mahkamah Konstitusi delapan tahun silam. Memang betul P.17/2020 juga mengatur kewenangan KLHK untuk memfasilitasi Identifikasi dan Pemetaan Wilayah Adat. Uniknya, proses fasilitasi ini diatur untuk dilaksanakan oleh Tim Terpadu yang dibentuk dan ditetapkan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Dirjen PSKL) yang komposisi maupun tugasnya sama persis dengan Tim Verifikasi. Padahal salah satu faktor internal kelambatan administrasi Hutan Adat selama ini adalah antrean pelayanan di tahap verifikasi oleh Tim yang sepenuhnya di bawah wewenang Dirjen PSKL namun tidak diatur tata waktunya bahkan dalam Permen terbaru ini.

 Butuh Keberanian Birokrasi

Semangat baik P.17/2020 sulit terwujud jika tak didukung keberanian administratif dari para pelaksananya. Menteri LHK diharapkan dapat menghadirkan kebijakan yang menjembatani proses Penunjukan Hutan Adat atas akumulasi Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat yang telah ditetapkan dalam SK.10292/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2019 tentang Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase III. Dirjen PSKL diharapkan dapat mengambil kebijakan-kebijakan taktis terkait permohonan Hutan Adat yang sedang berproses maupun yang baru dalam kaitannya dengan potensi hambatan dalam proses identifikasi dan pemetaan wilayah adat serta produk hukum daerah pengakuan Masyarakat Adat.

Selain kedua hal tersebut, perlindungan hak Masyarakat Adat di kawasan hutan melalui Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat, Penunjukan Hutan Adat saat ini, dan termasuk Penetapan Hutan Adat sejak 2016 yang telah mencapai 66 unit dengan total luasan lebih kurang 44.630 Hektare, akan nirmanfaat jika tidak menghadirkan rasa aman bagi Masyarakat Adat.

Karena itu keterbukaan informasi publik dan pelibatan masyarakat menjadi penting. Minimnya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan mengenai fungsi dan luasan Hutan Adat yang akan ditetapkan menjadi catatan penting masyarakat sipil, juga mengenai SK Penetapan dan peta Hutan Adat yang tertutup untuk diakses masyarakat penyandang haknya.

Semuanya membutuhkan keberanian birokrasi yang belum pernah ditunjukkan dalam pelaksanaan regulasi Hutan Adat selama empat tahun terakhir.

Artikel ini juga terbit di forestdigest.com

Penulis: Wahyubinatara Fernandez

Recent News

WhatsApp Image 2024-10-08 at 20.21
Semiloka “Hutan adat untuk Kesejahteraan Lahir batin Masyarakat Adat”
SAMPUL DEPAN BUKU KAMPUNG KATONG
Kampung Katong
unnamed
Melanjutkan Aksi: Memperdalam Peran Generasi Muda dalam Fasilitasi Pendidikan Kritis dan Kontekstual
1-3
Sepuluh Tahun Jokowi Ingkar Janji kepada Masyarakat Adat
4-1
Tingkatkan Kemampuan Fasilitasi, Alumni Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan Terlibat dalam kegiatan Jelajah Kasepuhan Cirompang
2
Partisipasi Aktif Kaum Perempuan dalam Pembangunan Desa Melalui Forum Perempuan Kasepuhan
5
Beraksi Bersama: Generasi Muda Mengambil Peran Fasilitasi Pendidikan Kritis dan Kontekstual.
image
Aksi Anak dan Remaja untuk Hak Anak Atas Lingkungan di Indonesia
DSCF4752
Masyarakat Baduy dan Tantangannya: Seba Bukan Hanya Sekadar Perayaan Rutin Tahunan.
1-1
Mendorong Peran Perempuan Melalui Pelatihan Koperasi: Menuju Kedaulatan Ekonomi Lokal
Follow by Email
YouTube
YouTube
Instagram