Matahari belum lama beranjak dari peraduannya ketika pemuda berusia 14 tahun melangkahkan kaki keluar rumah menggunakan baju lengan panjang, celana panjang, dan topi yang membuat ia terlihat sama dengan anak seumurannya. Anggapan tersebut sesaat berubah. Ia membawa pacul dan kaneron (tas yang terbuat dari karung).
“Arek ka sawah.”
Ingin ke sawah, katanya. Sawah adalah tempat yang paling sering ia kunjungi sejak dua tahun terakhir. Adut nama pemuda itu. Walaupun melelahkan, menurutnya, di sawah lebih baik daripada merasakan bosan di rumah.
Ketika modernitas dan gaya hidup di kota sudah menyergap, sawah bukanlah tempat yang menarik bagi anak muda seusianya, yang lebih memilih di rumah main gawai.
Bagi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug, Lebak, Banten, sawah bagian dari hutan, tempat menggantungkan hidup karena sebagian besar kehidupan mereka dihabiskan di sawah. Lima hari dalam seminggu, dari pagi hingga petang mereka di leuweung garapan (hutan garapan, termasuk sawah, kebun, dan rumah), dan dua harinya di hutan untuk mengambil kayu bakar atau lalapan.
Kasepuhan Cibedug adalah komunitas masyarakat adat yang berada di wilayah yang berfungsi sebagai taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Kasepuhan ini berada di zona inti TNGHS dan saat ini sedang mengajukan Hutan Adat.
Saat kecil Adut tinggal di Lampung bersama ibu dan ayah tirinya. Adut mengenyam bangku pendidikan hanya 2 tahun, yaitu dari kelas 1 hingga 2 SD. Setelah itu ia menjadi buruh di perkebunan sawit, sebagai pengangkut buah kelapa sawit. Ibu dan ayah tirinya juga bekerja di perkebunan sawit sebagai penyemprot.
Dua tahun yang lalu, Adut pulang ke Kasepuhan Cibedug, kampung halaman ibunya. Ayah tirinya mengaku kalau Adut selama di Lampung tetap bersekolah, tetapi kenyataannya tidak. Dia diminta bekerja di perkebunan sawit. Adut pun telah lupa seperti apa ayah kandungnya. Ia tidak memiliki kenangan apa-apa dengan orang tersebut. Sekarang ayah tirinya pergi meninggalkan ia, ibu dan adik tirinya.
Sejak dua tahun lalu kehidupan Adut bukan lagi di perkebunan sawit, melainkan di sawah milik ibu dan paman-pamannya. Terkadang ia macul (pacul sawah). Terkadang ia ngebabat (membersihkan rumput liar di sawah) atau hanya sekedar memegang tali kokoprok (pengusir burung yang terbuat dari bambu). Adut juga seringkali ke hutan mengambil kayu bakar.
Adut mengakui ia takut dan malu sekolah lagi, meskipun sudah diminta oleh ibu dan pamannya. Ia tetap tidak ingin melanjutkan pendidikan formalnya. Saat ini Adut lupa apa saja yang telah ia pelajari semasa sekolah. Ia tidak bisa baca-tulis. Adut mungkin tidak tahu untuk apa bersekolah, dan ia juga tidak tahu apa dampaknya tidak sekolah.
“Kasihan,” kata sebagian orang melihat Adut. “Tega sekali orangtuanya,” kata sebagian yang lain. “Hebat,” kata sebagian petani yang anaknya tidak bisa bertani.
Apa yang perlu dikasihani? Adut adalah salah satu dari sekian banyak anak di Indonesia yang mengalami hal serupa, yang putus sekolah dan langsung bekerja. Yang tidak bisa baca-tulis. Yang ikut orangtua bertani. Yang tidak tahu apa cita-citanya.
Apa yang membuatnya hebat? Adut mungkin orang yang istimewa dan akan memimpin pertanian di Kasepuhan Cibedug kelak, karena di saat anak seusianya sibuk main atau pergi ke kota, ia memilih bertani dan mengambil kayu bakar di hutan sesuai dengan kearifan lokalnya. Ketika anak seusianya tidak memiliki pengetahuan terkait bertani padi varietas lokal (pare gede), ia malah menanamnya.
Perubahan Persepsi Kehidupan
Berkurangnya minat pada pertanian, dan kearifan lokal sebagai masyarakat adat, berawal dari perubahan persepsi tentang kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug. Misalnya banyaknya anak muda yang memutuskan untuk cari pekerjaan ke kota atau kampung sebelah. Ketika mereka pulang ke Kasepuhan Cibedug, mereka membawa kehidupan baru—kehidupan yang berbeda.
Masih segar di ingatan, ketika kelompok anak muda bercerita bagaimana sepeda motor pertama kali masuk ke wilayah mereka. Saat itu yang membawa sepeda motor adalah salah satu warga yang telah lama tinggal di luar wilayah Kasepuhan Cibedug. Kelompok anak muda itu bercerita bagaimana mereka memegang dan memperhatikan secara seksama alat transportasi tersebut. Saat sepeda motor tersebut pergi mereka mengejarnya. Peristiwa masuknya sepeda motor di Kasepuhan Cibedug terjadi di awal tahun 2000an.
Saat ini generasi muda di Kasepuhan Cibedug berbondong-bondong pergi ke kota. Sebagian besar mereka kerja di lapak sampah. Pemudinya menjadi asisten rumah tangga, atau membantu di lapak sampah. Sepeda motor pun sudah banyak di Kasepuhan Cibedug.
Selain banyaknya anak muda yang pergi ke kota atau kampung sebelah, adanya serbuan teknologi informasi di Kasepuhan Cibedug juga mempengaruhi kehidupan mereka. Walaupun ini bukan kali pertama jaringan internet masuk ke wilayah mereka, tetapi ini yang paling masif.
Contoh yang mempengaruhi kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug adalah berkurangnya anak-anak yang bermain permainan tradisional di luar rumah. Saat ini anak-anak yang bermain permainan tradisional tidak sebanyak tujuh bulan lalu, sebelum internet ada. Saat ini anak-anak lebih senang bermain gawai hingga larut malam. Hal ini dikhawatirkan akan mengurangi minat dan rasa tanggung jawabnya dalam melestarikan adat istiadat, tradisi dan budaya Kasepuhan Cibedug.
Kurangnya Minat di Pertanian
Pentingnya peran petani muda merupakan salah satu faktor keberhasilan pertanian berkelanjutan. Pada hakikatnya pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian yang dilakukan melalui pengelolaan secara optimal potensi sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, kearifan lokal, kelembagaan dan teknologi, untuk menjaga agar suatu upaya terus berlangsung dan tidak mengalami kemerosotan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Menurut data Riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan (KRKP), 70% anak muda yang tinggal di pedesaan mengaku tidak berminat menjadi petani (KRKP, 2015). Hal ini menjadi sebuah dilema, mengingat saat ini 60,8% petani sudah berusia di atas 45 tahun (LIPI, 2017).
Sejauh pengamatan, modernitas dan perubahan persepsi kehidupan yang terjadi membawa dampak positif bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug, apabila ditinjau dari aspek ekonomi. Namun jika ditelusuri lebih dalam, masyarakat tidak menyadari bahwa perubahan-perubahan tersebut dapat mengancam mereka. Bagaimana jika tidak ada yang bertani lagi? Bagaimana jika kearifan lokalnya sudah tidak dipraktekan lagi? Apakah generasi muda Kasepuhan Cibedug akan kehilangan identitas mereka sebagai masyarkat adat?
Anak pergi,
Tidak adalagi penerus kami,
Kearifan lokal tidak dijalani,
Hilangnya identitas diri,
Hidup sulit hingga mati.
Akhirnya, perubahan-perubahan yang terjadi dalam dimensi kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug memang merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Perubahan yang berlangsung dapat membawa pengaruh positif dan negatif bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug itu sendiri. Adaptasi terhadap perubahan itu memang diperlukan agar dapat membawa manfaat yang optimal, namun kelestarian adat istiadat mereka juga tetap perlu terjaga.
Walaupun Adut tidak tahu apa cita-citanya. Tetapi hingga saat ini ia masih konsisten untuk bertani. Menurutnya pergi ke sawah adalah kebiasaan untuk menghilangkan rasa bosan. Di sawah ia biasa macul, ngebabat atau hanya sekedar memegang tali kokoprok. Menurutnya, bukankah bekerja di sawah itu menyenangkan dan tidak membosankan. Semoga ada Adut-Adut lain yang kerasaan kerja berlama-lama di sawah, bukan hanya piknik ke sawah sejam lalu kembali lagi main gadget.
Penulis: Siti Marfu’ah