Pada hari Sabtu dan Minggu (28-29 November 2020), RMI mengadakan pelatihan kepemimpinan di wilayah Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Sejumlah 27 peserta, yang terdiri dari 11 orang pemuda perempuan dan 16 orang pemuda laki-laki, melakukan pembelajaran bersama dan mengaitkannya dengan program yang sedang dikerjakan di lokasi, yaitu perencanaan edu-ekowisata.
Selain diikuti oleh KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan) Pasir Eurih, pelatihan ini juga diikuti oleh kelompok di luar wilayah Kasepuhan, yaitu Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) dari Kampung Ciwaluh dan dari komunitas Relawan4Life. Kedua kelompok ini memiliki pengalaman dalam mengelola program ekowisata dan mengelola kegiatan pendidikan lingkungan. Dengan bergabungnya kedua kelompok tersebut pada pelatihan ini, maka diharapkan pembelajaran yang terjadi bersifat lintas kelompok. Konsep pembelajaran ini seringkali RMI istilahkan sebagai konsep belajar kampus-kampung-komunitas.
“Kami senang dikunjungi oleh teman-teman dari luar. Namun di sini ya begini, apa adanya.” kata Marja, sesepuh kampung sekaligus pembina KOMPAK saat membuka pelatihan. Ia berharap bahwa kebuntuan-kebuntuan yang terjadi saat berpikir “sendiri” dapat dipecahkan dengan adanya teman-teman baru.
Evaluasi dan Mendulang Inspirasi
Pada hari pertama, para peserta melakukan evaluasi terhadap Rencana Tindak Lanjut (RTL) KOMPAK. Sesi ini difasilitasi oleh Indra NH (RMI) dan peserta yang berasal dari luar KOMPAK diminta memainkan peran sebagai “penyelidik” untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai kegiatan-kegiatan KOMPAK. Kegiatan ini diatur agar peserta dari Relawan4Life dan Pokdarwis terinformasi akan beberapa rencana yang dibuat sebelumnya.
Adapun rencana yang sudah dibuat di antaranya terdiri dari: (1). Penggalian data dan pendokumentasian pengetahuan lokal, (2). Peggalian data dan pendokumentasian makanan lokal, (3). Pembenahan jalur trekking, dan (4). Penggalian data dan pendokumentasian tanaman obat. Untuk membahas rencana-rencana tersebut maka dibentuklah kelompok-kelompok berdasarkan 4 tema di atas. Diskusi dan presentasi kemudian dilakukan untuk memaparkan hasil. Presentasi dilakukan oleh peserta di luar KOMPAK. Adapun diskusi dan presentasi yang dilakukan bertujuan untuk melihat kemajuan dan hambatan pada setiap kegiatan, serta untuk menyamakan pengetahuan peserta akan program-program yang sedang disusun KOMPAK.
Pada siang dan sore hari, giliran Pokdarwis Ciwaluh yang berbagi cerita dalam mengembangkan program edu-ekowisata di lokasi kaki Gunung Gede Pangrango. Format sesi ini dibuat menyerupai talkshow dimana Novia F (RMI) berperan sebagai pemandu acara. Narasumber muda ini menceritakan mengenai sepak terjang para pemuda di Kampung Ciwaluh yang berorganisasi sejak 2009 sampai akhirnya memutuskan untuk mengembangkan wisata kampung. Fokus cerita mereka bukan hanya pada keberhasilan mendapatkan tambahan penghasilan dari kegiatan wisata alam, namun juga tantangan-tantangan yang sudah atau masih mereka hadapi saat ini.
Tantangan-tantangan tersebut misalnya adalah berupa pergantian-pembubaran dan pembentukan organisasi, kebutuhan regenerasi dalam kelompok, pengikutsertaan anak muda dan perempuan, persaingan dengan kelompok di luar kampung dalam mengembangkan wisata, konflik dengan pengelola taman nasional untuk lokasi wisata dan lahan garapan, sampai rencana mengembangkan wisata tanpa bantuan dana desa. Peserta dari Kasepuhan Pasir Eurih pun banyak melakukan tanya jawab dengan Pokdarwis, terutama mengenai cara membangun edu-ekowisata secara mandiri.
Pada sesi tersebut, masukan dari peserta di luar KOMPAK (Pokdawris Ciwaluh dan Relawan 4 Life) dirasakan memberikan manfaat bagi KOMPAK. “Kami jadi yakin, bahwa yang kami miliki di sini dapat dikembangkan dan memang harus dikerjakan,” kata Maman Syahroni salah seorang peserta dari KOMPAK.
Relawan4Life misalnya, memberikan pendapat bahwa Kasepuhan Pasir Eurih kaya akan pengetahuan tradisional, budaya, dan kearifan lokal. Mereka berpendapat bahwa kekuatan itulah yang perlu dikedepankan dalam menjalankan program edu-ekowisata. Bagi mereka, mendengarkan cerita mengenai 40-an varietas padi lokal yang ada di Kasepuhan atau bagaimana masyarakat Kasepuhan menyimpan padi di leuit, yang tetap dapat dimakan setelah usianya 20 tahun sangatlah “wah.”
“Sangat menarik, budaya yang ada di sini jika dikembangkan menjadi edu-ekowisata,” tutur Nuri Ikhwana, salah seorang peserta dari Relawan4Life yang juga berstatus mahasiswi dari Institut Pertanian Bogor. Pernyataan ini dikuatkan oleh kedua temannya yang lain.
Bagi peserta KOMPAK, masukan-masukan dari kelompok luar kampungnya tersebut memperkuat mereka dalam membuat keputusan yang strategis dan bermanfaat dalam pengembangan program edu-ekowisata yang sedang disusun.
Acara pada hari itu diselesaikan dengan diskusi ringan mengenai program-program KOMPAK yang perlu diselesaikan atau direvisi. Dalam obrolan yang dilakukan, disepakati juga jika pelatihan hari kedua akan dilakukan lebih siang karena banyak masyarakat yang sedang menandur (menanam padi secara mundur), sebagai kegiatan yang dilakukan oleh para petani pare gede yang mengikuti tatali paranti karuhun (adat istiadat yang dipercaya masyarakat adat Kasepuhan).
Khusus untuk Pokdarwis Ciwaluh dan Relawan4Life, waktu malam hari dipergunakan utuk melakukan evaluasi perjalanan dan proses pembelajaran. Masing-masing kelompok menyampaikan pengalaman dan pembelajarannya dalam mengikuti pelatihan atau saat berbaur dengan masyarakat di kampung. Mereka meyampaikan bahwa tinggal dan berinteraksi bersama Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih membuat mereka banyak belajar tentag kearifan lokal masyarakat. Beberapa kata yang mereka anggap baru didiskusikan kembali malam itu pare gede (padi besar), leuit (lumbung padi), rukun tujuh (tahapan bertani yang mengikuti adat), Kasepuhan (nama kelompok masyarakat adat di Banten dan Jawa Barat), dan lainnya.
Prinsip-prinsip Keorganisasian dan Dokumentasi Budaya
Pelatihan hari kedua dimulai pada pukul 10.00 pagi. Kegiatan hari kedua diawali dengan bermain permainan Zombie untuk proses team building yang juga dapat direfleksikan kepada isu-isu kepemimpinan, inisiatif pribadi, dan kedisiplinan. Permainan ini juga menjadi aktivitas pembuka untuk mendiskusikan kepemimpinan pada level organisasi.
Sesi berikutnya merupakan sebuah sesi yang dirancang untuk memberikan pengetahuan dan dorongan bagi para peserta untuk mengkampanyekan budaya lokal dengan memanfaatkan handphone dan internet. Sesi yang berjudul “Dokumentasi Budaya dan Kampanye untuk Membangun Identitas Masyarakat Adat” ini disampaikan secara daring oleh Karlina Octaviany, seorang antropolog digital dan spesialis strategi komunikasi digital. Karlina menyampaikan bahwa kemajuan teknologi jika tidak disikapi dengan bijak dapat merusak kearifan lokal masyarakat adat.
“Bersama-sama masyarakat harus sadar bahwa semua hal bisa punya dampak buruk, termasuk penggunaan internet. Nah itu yang disepakati bersama secara adat. Sampai batas mana pemanfaatan internet itu sudah mengkhawatirkan dan bagaimana cara mencegahnya,” terang Karlina.
Sesi ini mengingatkan kembali Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih bahwa di tengah-tengah dunia yang semakin terdigitalisasi, internet dan kemajuan teknologi harus diposisikan sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat dan memperkuat tradisi-tradisi adat. Kesempatan ini juga peserta juga bertanya mengenai teknis penggunaan handphone dan media sosial untuk menjangkau masyarakat luas dan menyebarkan informasi mengenai adat Kasepuhan.
Setelah sesi makan siang, kegiatan pelatihan kepemimpinan dilanjutkan dengan materi keorganisasian yang diramu dalam bentuk permainan Rawa Beracun. Pada permainan ini semua peserta diminta untuk berkompetisi, bekerjasama, mencapai target permainan sekaligus berstrategi. Permainan ini berlangsung cukup lama sekitar 2 jam dan dilakukan di bawah rintik hujan. Namun demikian, para peserta mempertahankan semangat mereka untuk menyelesaikan permainan ini, sama seperti yang mereka lakukan saat itu, bekerjasama, konsisten, kreatif dan belajar dari kesalahan untuk mencapai tujuan-tujuan jangka pendek. Kondisi dan rintangan lainnya dalam permainan memang dikondisikan untuk menimbulkan refleksi-refleksi yang dihubungkan dengan program yang sedang dikerjakan KOMPAK.
Walaupun permainan Rawa Beracun cukup melelahkan, namun peserta masih cukup antusias mengikuti sesi terakhir yaitu pendalaman material keorganisasian yang dikaitkan dengan permainan Rawa Beracun tersebut. Sesi ini merupakan sesi pamungkas sekaligus penutup kegiatan. Pada sesi terakhir ini, para peserta diminta berbicara mengutarakan pendapat mereka mengenai pembenahan-pembenahan yang perlu dilakukan untuk mencapai target-target jangka pendek dan panjang dalam program edu-ekowisata. Dengan mengkaitkannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam permainan, para peserta lebih mudah untuk melihat keterhubungan antara bagian-bagian dalam organisasi.
Sebagai langkah terakhir dari pelatihan adalah dengan menyusun kesepakatan untuk menyelesaikan detail-detail pekerjaan termasuk tim, waktu dan bagaimana melakukannya. Community organizer RMI, Fauzan A, yang mendampingi Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih menyatakan bahwa kegiatan perbaikan RTL (Rencana Tindak Lanjut) akan dilakukan kembali pasca pelatihan, dengan melibatkan Marja sebagai pembina KOMPAK. Beliau sendiri mengaku senang dengan diadakannya kegiatan Pelatihan Kepemimpinan yang mendatangkan kelompok dari luar wilayah Kasepuhan.
“Kami senang dikunjungi oleh teman-teman dari luar. Namun di sini ya begini, apa adanya,” kata Marja, sesepuh kampung sekaligus pembina KOMPAK. Ia berharap bahwa kebuntuan-kebuntuan yang terjadi saat berpikir ‘sendiri’ dapat dipecahkan dengan adanya teman-teman baru.
Pembelajaran yang didapat oleh ketiga kelompok yang terlibat dalam pelatihan kepemimpinan ini mungkin berbeda-beda bagi setiap kelompoknya. Namun demikian, langkah kecil selalu diperlukan untuk mencapai tujuan yang letaknya jauh, seperi yang digambarkan dalam permainan dan diskusi-diskusi refleksi pasca permainan tersebut.
Kegiatan Pelatihan Kepemimpinan ini merupakan bagian dari platform ‘Being and Becoming Indigenous’—sebuah platform berlajar bersama generasi muda adat yang dilaksanakan di tiga komunitas adat di dua negara yaitu Kasepuhan Pasir Eurih dan Mollo di Indonesia (RMI dan Lakoat.Kujawas) serta Dumagat-Remontado di Filipina (AFA dan PAKISAMA).
Penulis: Indra N Hatasura