Pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat sangat erat kaitannya dengan pendidikan kontekstual dalam banyak hal. Keduanya menekankan pentingnya keterlibatan aktif, relevansi dengan kehidupan nyata, dan penggunaan pengetahuan lokal. Dalam konteks pendidikan kontekstual, pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat dapat menjadi topik yang relevan untuk diajarkan, karena mencakup isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial yang penting bagi masyarakat. Selain itu, pendidikan kontekstual dapat membantu masyarakat memahami dan mengimplementasikan praktik-praktik pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat ke dalam pendidikan kontekstual, peserta tidak hanya mendapatkan pengetahuan teoritis, tetapi juga keterampilan praktis yang dapat mereka gunakan untuk berkontribusi pada pengelolaan kekayaan alam di komunitas mereka.
RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sebagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu Hak Asasi Manusia dan lingkungan, khususnya dalam memperkuat model pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat seringkali melakukan pembelajaran bersama masyarakat dengan menggunakan prinsip pendidikan kritis, kontekstual dan secara partisipatif. Namun, tidak banyak model pendidikan kontekstual di Indonesia dan untuk mengakselerasi model-model tersebut. Oleh karena itu, sejak tahun 2023 RMI menginisiasi pengembangan program untuk orang muda bersama dua NGO lainnya. Tema yang diangkat adalah “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia dan Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan”. Program ini dijalankan oleh RMI bersama Nexus3 Foundation di Indonesia, dan GITIB, Inc. di Filipina. Tujuan dari program ini adalah memperkuat peran anak muda untuk aktif berpartisipasi dalam mengembangkan program-program pendidikan kontekstual di komunitas masing-masing.
Berangkat dari program tersebut, RMI mengadakan Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program” pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung. Pelatihan ini bertujuan untuk: 1) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anak muda sebagai fasilitator pendidikan lingkungan; 2) meningkatkan kepekaan anak muda terhadap isu pendidikan kritis-kontekstual di wilayah adat Kasepuhan dan sekitarnya; dan 3) meningkatkan intensitas gerakan sosial melalui partisipasi pemuda di wilayah adat Kasepuhan dan sekitarnya. Terdapat 18 peserta yang mengikuti pelatihan, yang terdiri dari enam orang perempuan dan 12 orang laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cibarani, dan masyarakat lokal sekitar kasepuhan.
Peserta didorong untuk berpikir kritis tentang kondisi lingkungan mereka dan peran yang dapat mereka ambil dalam komunitas. Pelatihan ini merupakan salah satu upaya RMI dalam mendorong kaum muda untuk mengembangkan program pendidikan kontekstual sesuai dengan kondisi komunitas masing-masing. Pendidikan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada pendidikan formal, tetapi juga mencakup pendidikan informal dan non-formal yang dapat mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.
Pelatihan berlangsung selama empat hari dengan berbagai kegiatan, termasuk pengenalan isu, pembekalan, hingga identifikasi masalah pada komunitas. Pada hari pertama, peserta diminta mengenal diri sendiri melalui metode “Boks Gue Banget”. Mereka mencari informasi pribadi atau komunitas mereka melalui surat kabar yang sudah disediakan dan menempelkan informasi tersebut pada boks yang sudah dibagikan sebelumnya. Peserta kemudian diminta menceritakan hal-hal yang membuat mereka bangga. Teknik Appreciative Inquiry ini digunakan agar peserta lebih mudah menerima informasi ketika mereka diapresiasi. Sesi pengantar pelatihan juga diadakan pada hari yang sama. Pada sesi ini, peserta diberikan tiga pernyataan berbeda untuk diargumentasikan. Isu yang diangkat berkaitan dengan sistem pendidikan, lingkungan, dan kebudayaan, yang berhasil memantik diskusi kritis di antara peserta.
Hari kedua dimulai dengan kunjungan ke Museum Multatuli untuk meningkatkan rasa ingin tahu dan kepekaan peserta melalui peninggalan Multatuli dan sejarah Indonesia. Kegiatan dilanjutkan dengan penulisan permasalahan pendidikan di Indonesia. Beberapa masalah yang diidentifikasi antara lain pendidikan yang tidak kontekstual, perubahan kurikulum, pendidikan yang belum inklusif, fasilitas yang tidak merata, dan tenaga pendidik yang tidak kompeten. Hal ini sejalan dengan sistem pendidikan Indonesia yang bertujuan menciptakan pekerja daripada mendorong inovasi. Sentralisasi pendidikan dan homogenisasi model menyebabkan kesenjangan antar pelajar di berbagai wilayah, yang mendorong pemuda di kampung mencari kerja di kota dibandingkan mengembangkan potensi di tempat tinggal mereka. Peserta juga dibekali materi mengenai psikologi dan pembelajaran serta dasar-dasar fasilitasi sebagai landasan awal untuk menjadi fasilitator.
Pada hari kedua dan ketiga, peserta melakukan simulasi fasilitasi secara berkelompok. Setiap kelompok diberikan metode fasilitasi yang berbeda dan mengimplementasikannya kepada peserta lain. Hal ini dilakukan agar peserta dapat mencatat hal-hal yang perlu diperbaiki dalam cara memfasilitasi sebelum menerapkannya kepada masyarakat. Hari ketiga juga diisi dengan People First Impact Method (P-FIM), sebuah simulasi bagi peserta untuk berhadapan langsung dengan masyarakat. Hal ini menjadi refleksi bagi peserta untuk memahami masyarakat, terutama ketika dihadapkan dengan kondisi yang tidak terduga. Peserta diajarkan bahwa fasilitator harus mendapatkan kepercayaan masyarakat dengan menjadi percaya diri, dibekali kemampuan dan pengetahuan, peka, berempati, dan mampu mengelola forum. Sesi berikutnya, peserta diminta berkumpul dengan komunitasnya untuk memetakan isu pendidikan kontekstual dan aktor atau organisasi yang dapat dilibatkan.
Pada hari terakhir, peserta dikenalkan dengan empat prinsip hak anak dan Konvensi Hak Anak. Setiap kelompok mengidentifikasi pelanggaran terhadap empat prinsip hak anak yang terjadi di komunitas mereka. Diskusi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman peserta mengenai permasalahan anak di lingkungan mereka, bagaimana seharusnya anak dapat didengarkan, dipertimbangkan, dan bahkan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Hasil Konvensi Hak Anak juga mendukung peserta dalam memahami kaidah dalam perlindungan anak.
Selain pembekalan, terdapat sesi pemberian masukan terhadap strategic goals, focal theme, dan regional specific issue tdh-G yang berkaitan dengan: 1) pendidikan dan pemberdayaan; 2) membangun masyarakat yang demokratis; 3) suara pemuda tentang lingkungan; 4) keadilan gender dan; 5) anti-kekerasan. Peserta menyampaikan pemahaman dan kondisi yang terjadi di komunitas mengenai setiap isu yang dipaparkan. Salah satu bentuk pelanggaran yang terjadi di wilayah kasepuhan berupa adanya pembatasan pendidikan terhadap anak oleh orang tuanya. Hasil dari konsultasi tersebut nantinya disampaikan pada kegiatan National Children and Youth Partner Meeting (NCYPM) yang diselenggarakan di Semarang pada tanggal 04–08 Juli 2024.
Pelatihan ini merupakan rangkaian pertama dari tiga kegiatan yang akan dilaksanakan. Melalui pelatihan ini, RMI mencoba memunculkan kesadaran kritis bagi peserta untuk menciptakan pendidikan dan lingkungan yang mereka harapkan. Metode yang digunakan selama pelatihan menggunakan pendekatan pendekatan kritis, kontekstual, dan mendorong partisipatif bermakna pada peserta. Sehingga, outcome dari pelatihan ini diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan komitmen peserta untuk melakukan gerakan sosial di komunitas masing-masing. Dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam pendidikan lingkungan dan hak anak, peserta dapat berkontribusi secara signifikan dalam menciptakan masyarakat yang lebih sadar lingkungan dan peduli terhadap hak-hak anak.
Penulis: Hanifah Nur Hidayah dan Siti Marfu’ah