Kerja Berjejaring: Mendorong Gerakan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat

oleh | Jan 25, 2025 | Kepemimpinan Perempuan dan Pemuda dalam PSDA

Krisis iklim yang sedang berlangsung menempatkan berbagai kelompok rentan, termasuk anak-anak dan kaum muda, dalam situasi yang mengancam hidup mereka. Kondisi lingkungan yang semakin buruk tidak hanya membuat anak berada dalam kondisi yang tidak aman, tapi juga memberikan beban bagi mereka di masa depan. Anak akhirnya tumbuh dalam situasi yang mengancam dan menjadikan mereka lebih rentan secara fisik, sosial, dan ekonomi. Dampak dari krisis iklim dapat terlihat dalam berbagai aspek, mulai dari masalah kesehatan seperti penyakit pernapasan dan kekurangan gizi, hingga ancaman terhadap pendidikan, seperti tingginya angka putus sekolah akibat kehilangan mata pencaharian keluarga.

Di Indonesia, anak dan kaum muda menghadapi keterpaparan yang tinggi terhadap risiko terjadinya krisis iklim, seperti polusi udara dan banjir rob. Namun di saat bersamaan, pemenuhan layanan sosial terhadap pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak masih jauh dari yang diharapkan. Meskipun pemerintah mengakui bahwa anak-anak merupakan kelompok rentan, kebijakan yang memperhatikan kebutuhan mereka dalam konteks krisis iklim masih sangat minim. Dalam banyak hal, anak-anak dan kaum muda belum dilibatkan secara bermakna dalam penyusunan kebijakan terkait krisis iklim. Berdasarkan laporan “Climate Landscape Analysis for Children” yang dikeluarkan oleh Unicef, dari 32 kebijakan yang dianalisis, hanya 6 kebijakan yang menunjukan sensitivitas terhadap kebutuhan anak dan kaum muda.

Menanggapi kondisi tersebut, pada 15–16 Januari 2025, RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment melaksanakan kegiatan “Konsultasi NGO (organisasi non-pemerintah) untuk Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat”  yang mempertemukan NGO yang memiliki perhatian pada isu krisis lingkungan dan iklim, serta hak anak atas lingkungan. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya untuk mendorong advokasi isu anak dan kaum yang terdampak krisis iklim.

Kegiatan dihadiri oleh 29 peserta dari 20 NGO*, dengan rincian 10 laki-laki dan 19 perempuan. Tujuan kegiatan ini antara lain: 1) mengetahui kerja-kerja antar-NGO yang berhubungan dengan isu krisis lingkungan dan iklim serta hak anak atas lingkungan; 2) meningkatkan pengetahuan terkait isu melalui diskusi-diskusi antar-NGO; dan 3) merumuskan langkah lembaga terkait isu, serta mendorong munculnya inisiatif kerja-kerja bersama (berjaringan) dalam hal advokasi kebijakan.

Pada hari pertama, 15 Januari, agenda utama kegiatan adalah melakukan asesmen terhadap lembaga-lembaga yang terlibat dalam memandang isu anak maupun lingkungan, serta untuk memetakan kerja-kerja yang telah dilakukan oleh masing-masing lembaga. Diskusi ini juga menjadi ruang untuk saling berbagi informasi penting yang berkaitan dengan isu anak dan lingkungan. Beberapa lembaga memiliki fokus pada hak anak secara khusus, sementara yang lain fokus pada isu lingkungan. Meskipun begitu, melalui diskusi yang terbangun, peserta dapat melihat benang merah yang menghubungkan dua isu ini.

“Ada beberapa cerita, seperti di Kasepuhan yang pola tanam mulai bergeser sehingga berpengaruh terhadap pangan. Di NTT, ada perubahan fisik anak yang berubah karena terjadinya krisis air, bahkan di beberapa daerah, fisik anak lebih pendek dibandingkan dengan anak lain. Selain itu, ada korelasi antara kebakaran hutan akibat iklim yang melanggar hak anak,” disampaikan oleh Belgis dari Greenpeace setelah melakukan diskusi mengenai hubungan antara krisis iklim yang akhirnya berkorelasi dengan pemenuhan hak anak. Ini menjadi pemantik diskusi bahwa anak dan kaum muda di rural-urban menghadapi konteks dampak krisis iklim yang berbeda. Meskipun begitu, ancaman terhadap anak dan kaum muda itu ada dan tidak bisa dihindari.

Diskusi juga mencakup pembahasan tentang bagaimana pemerintah merespon isu-isu lingkungan dan anak. Peserta sepakat bahwa sekalipun ada perkembangan positif, namun nyatanya belum maksimal. Masih ada kelompok-kelompok rentan, seperti Masyarakat Adat, perempuan, anak-anak, kaum muda, dan kelompok disabilitas, yang terdampak lebih besar dan seringkali terlupakan. Maka dari itu, penting untuk mendorong partisipasi bermakna dari kelompok rentan, termasuk anak dan kaum muda, dalam proses pengambilan keputusan dengan menjadikan suara mereka didengar dan diperhitungkan. Namun, masih ada hambatan dalam menyampaikan dan merealisasikan inisiatif gerakan, baik karena anak-anak dan kaum muda belum memiliki wadah untuk menyuarakan pendapat mereka, maupun karena adanya kelompok-kelompok tertentu yang menghalangi inisiatif tersebut bisa direalisasikan. Belum lagi akses informasi terkait isu lingkungan masih sulit didapatkan bagi beberapa kelompok.

Diskusi berlanjut dengan pemaparan mengenai kerja-kerja masing-masing lembaga. Sesi ini menjadi salah satu upaya untuk memetakan potensi kolaborasi sehingga dapat mendorong munculnya inisiatif kerja-kerja bersama (berjaringan) dalam hal advokasi kebijakan. Disampaikan oleh Wahyu, Direktur Eksekutif RMI, yang menegaskan bahwa ada dimensi baru yang berkaitan dengan keadilan iklim dan anak, sehingga gerakan yang dilakukan saat ini merupakan bagian dari menambah kekuatan apa yang sudah berjalan.

Pada hari kedua, 16 Januari 2025, kegiatan berlanjut dengan sesi talkshow sebagai bagian dari peningkatan kapasitas. Talkshow pertama bertemakan “Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekosistem”, yang dimoderatori oleh Dinah Rida (RMI) dengan narasumber yaitu Melva Harahap (Walhi Nasional) dan Yune Eribowo (Nexus3 Foundation). Dalam sesi ini, narasumber memaparkan berbagai dampak krisis iklim terhadap kelompok rentan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini menegaskan urgensi dari isu krisis iklim yang telah berdampak terhadap berbagai macam aspek kehidupan.

Yune Eribowo dalam diskusinya menyampaikan, “Di semua tempat anak-anak merasakan dampak krisis iklim, tapi dengan beban yang berbeda. Untuk anak-anak urban, biasanya dampaknya mengalami polusi udara. Untuk di daerah Bekasi mereka merasakan polusi udara, kontaminasi air dari TPA, dan kontaminasi mikroplastik. Untuk di daerah rural, banyak yang terkena dampak akibat deforestasi.” Pernyataan ini menggambarkan bahwa meskipun konteksnya berbeda, dampak krisis iklim terjadi pada anak dan kaum, baik di rural maupun urban.

Talkshow kedua bertemakan “Peran Pemuda dan Anak dalam Mitigasi-Adaptasi terkait Perubahan Iklim”, yang dimoderatori oleh Febiola (Nexus3 Foundation) dengan narasumber yaitu Beatrix Gracella (Sokola Institute) dan Indra N. Hatasura (RMI). Melalui sesi ini, narasumber menceritakan bahwa anak dan kaum muda mulai menyadari terjadinya perubahan pada lingkungan mereka. Berbagai macam upaya dan inisiatif mulai dilakukan oleh kaum muda adat, karena perubahan yang terjadinya nyatanya telah berdampak terhadap sumber penghidupan mereka.

“Di Rimba, mereka meyakini alam sudah berubah, mereka memahami krisis iklim dengan bahasa sehari-hari mereka. Dan juga yang kami perhatikan dari masyarakat adat, dampak perubahan iklim menyentuh ke tahap spiritual mereka,” cerita Grace dalam melihat dampak krisis iklim pada konteks Masyarakat Adat di Jambi.

Diskusi yang berkembang dari kedua sesi tersebut semakin menegaskan bahwa isu hak anak dan lingkungan bukanlah masalah yang berjalan secara terpisah, melainkan saling terkait dan berhubungan. Para peserta dari berbagai lembaga sepakat untuk terus mengawal isu ini, termasuk melalui advokasi di ruang-ruang kebijakan yang ada. Salah satu usulan yang muncul adalah keterlibatan dalam Koalisi Kritik Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) yang sedang mendorong disahkannya RUU Keadilan Iklim—yang oleh pemerintah disebut dengan nama RUU Pengelolaan Perubahan Iklim. Setiap lembaga perlu memastikan bahwa aspek hak anak dan kebutuhan kaum muda dipertimbangkan dalam proses penyusunan RUU ini, serta memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan dapat mengakomodir kebutuhan mereka. Diperlukan juga ruang-ruang diskusi yang lebih banyak untuk memastikan isu hak anak dan lingkungan menjadi perhatian dalam proses penyusunan kebijakan.

Kegiatan ini menjadi awal yang penting untuk memetakan potensi kolaborasi dan upaya yang dapat dilakukan bersama. Upaya advokasi ini merupakan bagian dari proyek CYA-ECR (Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights) yang dilakukan oleh RMI bersama Nexus3 Foundation dan GITIB, Inc. yang bertujuan untuk mengurangi dampak krisis lingkungan dan iklim terhadap komunitas yang terpinggirkan, khususnya anak dan kaum muda. Dalam proyek CYA-ECR ini, ada beberapa kegiatan utama yang berhubungan dengan; 1) peningkatan kapasitas anak dan kaum muda melalui program ETP (ECR/Environmental Children’s Rights Training Program) serta untuk NGO yang bergerak di isu anak, kaum muda dan lingkungan; 2) advokasi kepada pengambil keputusan; dan 3) kampanye untuk penyadartahuan masyarakat terkait krisis lingkungan dan iklim, serta hak anak atas lingkungan yang sehat. Maka dari itu, upaya-upaya advokasi ini akan dilanjutkan dan menjadi salah satu fokus utama untuk mengangkat isu mengenai hak anak atas lingkungan yang sehat.

 

Penulis: Hanifah Nur Hidayah

Editor: Siti Marfu’ah dan Ajeng Lestari

*RMI, Nexus3 Foundation, Yayasan SETARA, Sokola Institute, Teens Go Green, Indonesia Joining Forces, Global Youth Biodiversity Network, Earth Hour Indonesia, Walhi Nasional, SOS Children Village, Biodiversity Warriors Kehati, Greenpeace Indonesia, Teras Kamala, Yayasan Humanis Inovasi Sosial, Perkumpulan HuMa Indonesia, Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Yayasan PKPA, Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, ECOTON, dan Puskapa UI.