Pertemuan Kampung: Ngaji SK Penetapan Hutan Adat Wewengkon Kasepuhan Cibedug

Dokumentasi oleh: Asti (WGII) 

Udara terasa sangat dingin di luar ruangan, suhu udara mencapai 19

°°

C yang terasa seperti 15

°°C. Untuk menggambarkan betapa dinginnya, warga kampung saja mengaku tidak berani mandi sore. Sebuah gurauan yang ditopang kebenaran. Belakangan ini cuaca khususnya di Lebak-Banten memang curah hujan sedang tinggi-tingginya. Hampir pasti setiap sore hari diguyur hujan, beruntungnya pada sabtu malam (04/03/2023) cuaca sedang bersahabat, sehingga dapat melaksanakan acara Syukuran dan Sosialisasi Penetapan SK Hutan Adat Kasepuhan Cibedug. Bertempat di luar ruangan, persisnya di alun-alun rumah kasepuhan. Peserta yang hadir kurang lebih 150 orang anggota masyarakat Kasepuhan Cibedug dengan antusias yang tinggi dalam mengikuti setiap rangkainya. Selain dari Kampung Cibedug, kegiatan ini dihadiri juga oleh perwakilan masyarakat dari kampung Lebak Kalahang, Cihara, Cinakem dan Cibledug. 

Sepekan sebelumnya, rabu (22/02/2023) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaksanakan penyerahan Surat Keputusan Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) secara factual dan virtual. Kegiatan faktualnya di laksanakan di Kalimantan Timur yang dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia. Sementara kegiatan secara virtual dilaksanakan di beberapa Provinsi termasuk Provinsi Banten. Kegiatan Penyerahan SK ini secara resmi telah dilakukan di Pendopo Gubernur Banten, KP3B Curug, Kota Serang. Dari Kasepuhan Cibedug hadir 10 perwakilan, 8 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Pada waktu yang sama, selain Kasepuhan Cibedug yang menerima penyerahan SK, ada Kasepuhan Cisungsang dan Kasepuhan Cisitu yang juga menerima SK Hutan Adat.  Penyerahan SK ini menjadi titik awal bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug untuk mengelola wilayah adat mereka sendiri sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku di komunitas. 

Rangkaian kegiatan syukuran dan sosialisasi diawali dengan acara pembukaan, lalu pembacaan isi SK Hutan Adat dan Penyerahan Salinan SK Hutan Adat kepada perwakilan tiap-tiap kampung. Substansi dari pertemuan ini dagingnya adalah wejangan-wejangan yang disampaikan sesepuh adat. Olot Asbaji selaku Tetua Kasepuhan menyampaikan amanat untuk seluruh warga masyarakat Wewengkon Kasepuhan Cibedug. Setelah diterimanya SK tanah adat ini menjadi tanggung jawab bersama dalam hal keamanan, ketertiban dan pemanfaatannya. Dalam istilah Sunda yang paling seringkali disampaikan adalah ungkapan berikut “Ulah pacarok kokod, paluhur-luhur tangtung, pagirang-girang tampian” yang berarti teratur dalam melakukan pemanfaatan, tidak saling merugikan satu sama lain sesama incu putu kasepuhan begitu juga dengan orang lain. 

Amanat berikutnya disampaikan Aki Nurja selaku Tetua Adat Wewengkon Kasepuhan Cibedug yang berpesan bahwa Hutan Adat ini merupakan amanah yang perlu dijaga, harapannya lebih aman dari pada ketika dikelola TNGHS. Harus sesuai dengan ketentuan aturan-aturan adat yang berlaku, seperti jika hendak menebang pohon di garapannya wajib izin dulu ke tetangga garapan lainnya. Hal ini merupakan upaya agar tidak terjadi selisih paham yang berujung konflik.  

Pak Sarmin selaku Tokoh Masyarakat juga menguatkan bahwa Hutan Adat yang telah diterima oleh masyarakat Wewengkon Kasepuhan Cibedug sudah seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mencukupi kehidupan masyarakat adat. Pesannya leuweung yg sudah dibuka, sudah saatnya dimanfaatkan dengan baik. Jenis tanamannya perlu diberagamkan, kayu yang sudah ada tidak masalah, dan perlu ditambah dengan jenis-jenis pohon buah. Karena jika menanam pohon buah, masyarakat dapat memanfaatkan buahnya untuk konsumsi dan komoditi yang dapat menyasar pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Amanat tak kalah pentingnya, jangan mengganggu kayu alam yang telah berusia ratusan tahun, karena itu merupakan sumber kesuburan air sebagai penopang keberlanjutan kehidupan orang banyak, bukan saja masyarakat Wewengkon Cibedug. 

Simpulannya beliau menekankan bahwa SK Hutan Adat merupakan hasil perjuangan bersama selama 22 tahun lamanya. Sejak tahun 2000 masyarakat telah berjuang, sudah sepatutnya juga masyarakat secara kolektif tetap kompak dalam melestarikan Hutan Adat yang telah diterima ini.  

Dari 2.173 hektar luasan yang diusulkan oleh masyarakat, Kementerian LHK melalui SK Hutan Adat menetapkan seluas 1.268 hektar dengan fungsi konservasi dan produksi. Mengacu pada Tujuan SK Hutan Adat ditetapkan oleh pemerintah agar menjamin ruang hidup masyarakat, melestarikan ekosistem, menjamin kearifan lokal (cara atau tradisi yang dilakukan turun temurun), dan menjamin kesejahteraan masyarakat yang ada di Wewengkon Cibedug. Penyerahan SK ini menjadi sejarah baru yang menandai bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab bersama dalam pengelolaan wilayahnya dengan mandiri dan berdaualat untuk tujuan kesejahteraan lahir batin bagi incu-putu Wewengkon Kasepuhan Cibedug.  

Dokumentasi oleh: Asti (WGII) 

Usai pembacaan SK Hutan Adat, kegiatan ditutup dengan acara simbolik Penyerahan Salinan SK Hutan Adat kepada perwakilan masing-masing kampung; Kasepuhan Cibedug, Lebak Kalahang, Cinakem, Ciara, dan Cibeledug. Pertemuan kampung ini diakhiri dengan do’a dan makan bersama sebagai wujud syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas diserahkannya SK Huatan Adat kepada masyarakat Wewengkon Kasepuhan Cibedug. 

*** 

Penulis : Murti Aria 

Editor : Abdul Waris 

KAWAL: Upaya Generasi Muda Adat dalam Mengkaji Peralihan Desa ke Desa Adat 

Sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi Masyarakat Adat Kasepuhan dan juga Baduy. Hari itu tanggal 22 Februari 2023, Masyarakat Kasepuhan Cibarani tengah disibukkan dengan kegiatan pertanian. Banyak masyarakat yang sedari pagi pergi ke sawah atau ladang untuk mengumpulkan hasil panen pare gede (padi lokal), yang nantinya akan disimpan untuk kebutuhan pangan harian maupun ritual adat di kemudian hari. 

Di tengah kesibukan tersebut, ada sebagian masyarakat yang tidak ikut mengambil hasil panen. Mereka adalah beberapa kokolot (generasi adat senior) dan Generasi Muda Adat yang mengikuti pertemuan forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani, peserta pertemuan terdiri dari 15 perempuan dan 50 laki-laki dari empat komunitas adat Kasepuhan dan Masyarakat Adat Baduy. Pertemuan ini merupakan kali ke-4 forum KAWAL diadakan yang bertujuan membicarakan perihal Desa Adat dan pandangan Generasi Muda Adat terhadapnya. 

Selain pengembalian wilayah adat melalui skema Perhutanan Sosial, Desa Adat merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh sebagai upaya pengakuan Masyarakat Adat sesuai dengan yang dimandatkan konstitusi. Wacana tentang Desa Adat sendiri bukan hal baru di Indonesia. Sudah ada beberapa Desa Adat yang terbentuk seperti Desa Adat di Bali, Minangkabau, Ambon, dan Papua. Namun wacana Desa Adat di Kabupaten Lebak, Banten baru dilegitimasi melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Banten No.2 Tahun 2022 Tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Depan Jabatan Kepala Desa Adat.  

Dalam konteks Lebak, khususnya di wilayah adat Baduy dan di sebagian wilayah Kasepuhan, wacana peralihan desa menjadi Desa Adat ini merupakan hal penting karena adanya perbedaan sistem pemerintahan yang tidak diakomodir dalam nomenklatur desa. Adapun peran Generasi Muda Adat menjadi hal penting karena tongkat estafet perjuangan dalam pengukuhan hak-hak Masyarakat Adat akan diberikan pada mereka. 

Model pemerintahan desa di masa Orde Baru dan Reformasi 

Foto peserta forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani

Diskusi forum KAWAL diawali dengan perbandingan definisi desa dan desa adat pada masa Orde Baru dan Reformasi. Pada masa Orde Baru, ditetapkan UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang menyebutkan bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.  

Pada masa itu, pemerintahan desa berada langsung di bawah kecamatan dan penerapan model pemerintahan desa di seluruh wilayah Indonesia disamakan dengan model pemerintahan desa di Pulau Jawa. Hal ini bertentangan dengan sistem kehidupan Masyarakat Adat yang sejak dulu memiliki perbedaan nilai dan aturan tentang sistem kesatuan wilayah adat. Dengan adanya perbedaan tersebut, Masyarakat Adat terpaksa harus mengikuti aturan dan syarat sesuai undang-undang yang berlaku. 

Kemudian pada masa Reformasi dikeluarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Adat. Disebutkan bahwa “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sejak ditetapkannya UU ini, pemerintahan desa kemudian sudah tidak lagi diposisikan sebagai pemerintahan terendah di bawah kecamatan. 

Wacana peralihan desa menjadi desa adat dan pandangan Generasi Muda Adat terhadapnya 

Selama lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, pengakuan terhadap hak-hak Masyarakat Adat masih sulit untuk didapatkan. Dikeluarkannya konstitusi dan aturan-aturan lain yang memperkuat pengukuhan hak-hak Masyarakat Adat, seperti UU Pokok Agraria dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.35, juga masih belum cukup untuk menyelesaikan persoalan. 

Foto peserta forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani

Dalam konteks Banten sendiri, perbincangan terkait Desa Adat di wilayah Lebak semakin marak terdengar setelah dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Banten No. 2 Tahun 2022. Kemudian muncul pertanyaan, apa yang membuat pembicaraan tentang Desa Adat menjadi satu hal yang penting?  

Dalam skema Desa Adat, terdapat ruang pengakuan dan penghormatan atas hak-hak Masyarakat Adat. Hak asal-usul Masyarakat Adat menjadi lebih diakui melalui pemberian wewenang tambahan kepada Masyarakat Adat untuk menyelenggarakan pemerintahan di level desa. Hal itu menjadi poin yang dirasa dapat menjadi “jawaban” atas persoalan. Namun hal itu belum tentu terjadi. Untuk itu Generasi Muda Adat perlu diperdalam pemahamannya terkait wacana ini, sehingga mereka dapat berpartisipasi secara bermakna dalam proses-proses peralihan desa ke Desa Adat. 

Salah satu upaya peningkatan pemahaman Generasi Muda Adat tersebut yaitu dengan melakukan simulasi. Peserta dibagi ke dalam empat kelompok yang kemudian masing-masingnya diberikan peran dan situasi yang berbeda: masyarakat desa (non-adat), pemerintah desa, Masyarakat Adat, dan DPRD. Tiap kelompok lalu diinstruksikan untuk membayangkan kemungkinan peristiwa apa saja yang akan terjadi dalam upaya peralihan desa ke Desa Adat di dunia nyata.  

Setelah selesai simulasi, ada beberapa poin yang direfleksikan bersama yakni kemungkinan terjadinya perang saudara antara Masyarakat Adat dan masyarakat non-adat (yang berada di desa yang sama, maupun masyarakat desa yang wilayahnya saling berdekatan) terkait perbedaan persepsi dan kecenderungan dukungan atas wacana tersebut.  

Masyarakat Adat diproyeksikan akan lebih cenderung mendukung pengusungan Desa Adat, sedangkan masyarakat non-adat beranggapan perlu adanya upaya untuk menilik ulang dampak-dampak yang mungkin mengikutinya. Salah satu dampak yang dikhawatirkan tersebut misalnya bahwa setelah pengukuhan Desa Adat hak-hak mereka sebagai masyarakat non-adat akan dikesampingkan. Dalam situasi ini posisi pemerintah desa dimungkinkan untuk mendapatkan tekanan dari berbagai sisi—baik dari Masyarakat Adat maupun non-adat.   

Melalui simulasi dan paparan poin diskusi tersebut di atas, akhirnya memantik Generasi Muda Adat untuk menyuarakan pandangannya terhadap Desa Adat. Refleksi dan dualisme pandangan pun tidak bisa dihindarkan. Posisi pertama menganggap peralihan status desa ke Desa Adat merupakan hal yang harus dijadikan prioritas. Kang Nadi dan Kang Raisan (peserta asal Baduy) berpendapat bahwa negara yang selama ini menyebutkan adat sebagai hal penting, tidak memberikan bukti atau aksi nyata atas perkataannya tersebut. Jalannya diskusi kemudian berlabuh pada pandangan bahwa persoalan atas pengakuan hak-hak Masyarakat Adat dapat diselesaikan salah satunya melalui pengajuan Desa Adat.  

Ada pula Generasi Muda Adat yang tidak menyetujui peralihan ini. Iqbal (peserta asal Kasepuhan Pasir Eurih) menyampaikan pendapatnya tentang ketidaksetujuan tersebut yang muncul atas anggapan bahwa rangkap jabatan mungkin bisa terjadi, yakni kepala desa merangkap sebagai abah/olot (tetua adat). Kekhawatiran berikutnya adalah lahirnya “raja-raja kecil” di kampung dengan abah/olot yang menurunkannya jabatannya sebagai kepala Desa Adat kepada keturunannya. Menurutnya meskipun musyawarah terkait Desa Adat dapat dilakukan, namun karena ada Perda Provinsi Banten No.2 Tahun 2022—yang menyebutkan bahwa pengisian jabatan kepala Desa Adat dilaksanakan sesuai hukum adat (melalui musyawarah)–dikhawatirkan masyarakat tidak dapat berpartisipasi aktif dalam forum tersebut. 

Pentingnya Kolaborasi Multipihak di Level Kampung 

Foto bersama peserta forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani

Pengajuan Desa Adat oleh masyarakat desa secara tidak langsung membuat Generasi Muda Adat perlu mengambil posisi. Generasi Muda Adat yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang terpinggirkan sebenanrnya memiliki pemikiran dan pendapat untuk kemajuan kampungnya. Salah satunya terkait peralihan status desa menjadi Desa Adat ini. Untuk menyikapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sehubungan dengan peralihan ini, perlu adanya kolaborasi dari berbagai pihak termasuk Generasi Muda Adat dan kokolot (tetua adat).  

Kolaborasi ini menjadi bentuk harmonisasi antara Generasi Muda Adat dan kokolot untuk mensinergikan tujuan yang berkaitan dengan Desa Adat. Namun di sisi lain, Generasi Muda Adat perlu lebih mendorong diri untuk lebih memahami adat mereka, agar lebih dapat memahami persoalan yang terjadi di tempat tinggal mereka secara mendalam. Karena dengan menguatnya akar pengetahuan lokalnya, Generasi Muda Adat akan mampu menyikapi persoalan yang terjadi dengan konteks lokalitas mereka. 

Untuk itu perlu adanya ruang-ruang bagi Generasi Muda Adat untuk berpartisipasi aktif dalam menyuarakan pandangan dan pendapatnya mengenai peralihan desa menjadi Desa Adat ini. Karena sudah saatnya anggapan Generasi Muda Adat tidak berpengalaman dan berpengetahuan digantikan dengan Generasi Muda Adat yang lebih berdaya. Dengan adanya forum ini sebetulnya cukup membuktikan bagaimana Generasi Muda Adat dapat berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan, dalam menentukan arah kedepannya. Tercatat hingga bulan Februari 2023, sudah ada 14 desa di wilayah Lebak, yang mengusungkan perubahan status desa ke ke desa adat.  

Daftar Pustaka 

RMI. (2022). Catatan Rapat KAWAL Cibarani. Bogor: unpublished. 

INSISTPress. (2017). Wacana: Jurnal Transformasi Sosial. Dinamika Hak Adat dan Desa Adat di Lebak dalam Pelaksanaan Undang Undang Desa. 

Peraturan Daerah Provinsi Banten, Nomor. 02 Tahun 2022 Tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat 

Undang-undang Nomor. 06 Tahun 2014 Tentang Desa 

Undang-undang Nomor. 05 Tahun 1979 Tentang Pemerintah Desa 

Penulis: Dinah Ridadiyanah 

Editor: Supriadi 

Hutan Adat Sebagai Obat Trauma Bagi Masyarakat Kasepuhan Karang

Awan abu-abu mulai menyelimuti Hutan Adat, Desa Jagaraksa, Lebak, Banten. Dua orang laki-laki jalan kaki keluar dari hutan dan menghampiri kami di saung warung dekat jalan raya antar kecamatan Muncang dengan Sobang. Ada yang berteriak “itu dia orangnya”, orang yang pada tahun 2013 sempat ditangkap oleh Polisi Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) karena memanfaatkan ranting di kawasan konservasi.

Laki-laki yang berusia 45 tahun itu menghampiri kami yang sedang duduk di pinggir jalan tersebut, dengan membawa koneren (tas yang terbuat dari karung plastik), baju biru, dan menggunakan topi mengajukan tangan untuk salaman dengan kami. Kami bersalaman dengan menyebutkan nama masing-masing, Pak SL namanya.

Percakapan diawali dengan menanyakan kabar dan kesibukan sehari-hari. Saat ini Pak SL sibuk menanam kopi, merawat kebun, kerja di pembibitan kopi dan bersawah. Ia juga menceritakan bahwa saat ini kopi sedang berkembang pesat dan harganya lumayan, oleh sebab itu ia menanam kopi di kebunnya. Selain kopi, ia juga menanam duren, pete, jengkol, manggis, serta jengjeng.

Saat kami menanyakan tentang kejadian penangkapan oleh polisi hutan di tahun 2013, raut wajahnya berubah, ia diam lama, air mengambang di matanya, jari-jari di tangan kanannya memainkan tulang hidungnya seolah menahan air agar tidak jatuh dari matanya.

“(dulu ditangkap karena) arang, bikin arang dari ranting-ranting karet di dalam kawasan (Taman Nasional / TN), yang nyieun (bikin) Ibu HN.” katanya. Ibu HN merupakan salah satu warga/tetangga Pak SL.

Sambil memegang tulang hidungnya, ia bercerita bahwa saat itu dia baru pulang mengambil arang dari dalam hutan. Setelah keluar dari hutan, di pinggir jalan ada polisi hutan yang menegur Pak SL, “jangan taro di sini” kata polisi hutan. Kemudian arang tersebut diambil dan ia ditangkap oleh polisi hutan lalu dibawa ke kantor TNGHS Resort Cikawah. Meskipun tidak lama, tapi kejadian tersebut sangat membekas di dirinya. Ia menceritakan bahwa ada masyarakat lainnya juga yang ditangkap. “Kalau [membuat] arang mah diambil aja [arangnya]. [tapi] Kalau [memiliki] kebun diancam penjara 20 tahun dan uang 100 juta,” katanya dibarengi dengan air mata yang jatuh.

Selanjutnya di tahun 2014, Komnas HAM bersama beberapa organisasi masyarakat sipil melaksanakan Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Adat. Pak SL juga hadir dalam pertemuan tersebut, tetapi ia takut bercerita sehingga kejadian tersebut diceritakan oleh Kepala Desa Jagaraksa, “tetapi yang ada kan hanya ada kepala-kepalanya (pimpinan TNGHS saat Inkuiri Nasional, bukan polisi hutan)”, kata Pak SL. 

Sebelum berubah fungsi jadi Taman Nasional (TN) pada tahun 2003, wilayah adat Kasepuhan Karang merupakan bagian dari Perhutani. Di mana menurut Pak SL tidak ada bedanya saat wilayah adat dikuasai oleh Perhutani dengan saat dikuasai TN.  “Pas (zaman penguasaan oleh) Perhutani (masyarakat) disuruh pulang, sama kaya (pada zaman penguasaan oleh] TN,” jelas Pak SL. Pak SL menambahkan di kedua era tersebut masyarakat sama-sama diminta upeti.  

“Boro-boro ngebun harita mah, masuk wae geh sieun, punya Taman Nasional. (Boro-boro berkebun waktu itu, masuk aja takut karena punya Taman Nasional). Dulu tetep ke kebun tapi bukan di kawasan TN, tapi di kawasan yang ada SPPTnya,” jawab Pak SL, saat ditanya bedanya dulu dan sekarang. 

Pembicaraan pun kembali ke masa kini, tahun 2022. Setelah kejadian tersebut, Pak SL dan Ibu HN tidak membuat arang lagi, karena takut, dan terlebih lagi saat ini jarang ada yang membeli. Pak SL menceritakan bahwa setelah Hutan Adat Kasepuhan Karang diakui oleh Negara sebagai milik masyarakat Kasepuhan Karang, ia mengaku merasa bungah (sangat senang). Perasaan tersebut tercermin dari raut wajahnya yang berubah. “Setelah hutan adat [diakui], bisa pepelakan (menanam pepohonan) lagi juga. Ada peningkatan pendapatan. Tetangkalan (pohon) nambah, baru nanam lagi,” katanya dengan senyum lebar.  Meskipun kejadian tersebut telah berlalu, namun perasaan trauma masih menghantui Pak SL, ia mengakui bahwa hingga saat ini kalau bertemu dengan pihak Taman Nasional ia masih merasa sangat was-was. 

Sementara, Ibu HN sibuk mengelola sawahnya yang jaraknya jauh, sehingga pulang sudah hampir maghrib, padahal warga lain biasanya pulang ke rumah lepas tengah hari. Sehingga membuat ia sulit untuk ditemui.

Penulis: Siti Marfu’ah

Cerita Perubahan : Perawatan Kepedulian Pemuda Terhadap Kampung Sendiri

Terhitung sudah berjalan tiga bulan, kegiatan yang berfokus untuk membersamai kemajuan penciptaan ruang-ruang inklusif lewat pemberdayaan perempuan, pemenuhan hak-hak disabilitas dan inklusi sosial serta penguatan masyarakat sipil di empat Masyarakat Adat Kasepuhan dan Masyarakat Adat Baduy yang berlokasi di Kabupaten Lebak, Banten. Di awali dengan kegiatan penyusunan baseline data program.

Sejak disosialisasikan, kegiatan ini berkomitmen untuk melibatkan kelompok pemuda dan perempuan dalam proses pengambilan data. Dengan keterlibatannya, kelompok pemuda dan perempuan memperlihatkan kemauan keras untuk belajar  dan  kapabilitas mereka sebagai kelompok yang partisipasinya minim di kampung untuk tujuan pendataan. Hal ini tampak dari kerja sama antar enumerator kader lokal yang bergerak dengan dua cara yaitu berkelompok dan individu dalam suatu jangkauan kampung. Mereka berkoordinasi, membagi peran dan tanggung jawab dalam proses pendataan.

Selain itu, dari proses pendataan ini, enumerator kader lokal mampu melihat permasalahan yang muncul secara tersirat dari pertanyaan yang mereka tanyakan ke masyarakat yang ada  di kampung mereka. Beberapa diantaranya bercerita mengenai pendapatan yang lebih sedikit daripada pengeluaran setiap bulannya, banyaknya yang belum mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun, sampai layanan administrasi kependudukan yang belum dimiliki oleh masyarakat.

Cerita menarik, salah satunya datang dari Kasepuhan Cibedug. Enumerator kader lokal disana terdiri dari dua orang yaitu Ega Juanda dan Ahmad Setiadi. Selama proses tiga bulan pendataan baseline data ini, mereka selalu terlibat dalam proses pelatihan pendataan yang diberikan terhitung tiga kali oleh RMI. Setelah itu, keduanya juga sering menanyakan kepada RMI mengenai permasalahan yang dihadapi saat pendataan, menanyakan teknis secara mendalam dan menyatakan alasan macetnya pendataan yaitu musim panen di Cibedug yang membuat orang-orang di Kasepuhan Cibedug sibuk dan menghambat proses pendataan. Alhasil, Ega Juanda mampu mengumpulkan paling banyak data dengan 82 data dan Ahmad Setiadi mengumpulkan 55 data tertinggi ketiga dibandingkan seluruh enumerator.

Dari proses selama tiga bulan tersebut, kedua enumerator dari Cibedug menunjukkan rasa ingin belajar, mau mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahan. Menurut RMI, disinilah sisi inklusivitasnya, karena sebelumnya aktivitas pemuda di Kasepuhan Cibedug minim. Dengan terlibatnya kedua enumerator kader lokal disana, membuat mereka terlibat aktif dalam kegiatan di Kasepuhan Cibedug dan mampu melihat permasalahan yang muncul selama proses pendataan.

Hal positif lain yang bisa dilihat adalah praktik baik yang diperlihatkan oleh pemuda yang terlibat dalam pengumpulan data, ini memberikan dampak ke pemuda yang lain menjadi semangat untuk meningkatkan kapasitas dan mengembangkan diri. Karena memang pemuda dan perempuan bisa dikategorikan kedalam kelompok marjinal, di mana kesempatan untuk belajar dan partisipasi mereka masih sangat minim, baik dalam level desa maupun komunitas.

Berkerjasama dengan Kemitraan Partnership melalui program ESTUNGKARA “Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi” RMI melakukan kegiatan yang sudah dijelaskan di atas.  

Penulis : Rifky Putra K  dan Slamet Widodo

Editor: Siti Marfu’ah

Kolaborasi Pengelolaan Lahan Antara Masyarakat Adat Baduy Dengan Masyarakat Lokal Di Kawasan Hutan

Baduy adalah salah satu masyarakat adat yang berada di Kabupaten Lebak provinsi Banten, tepatnya di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar. Masyarakatnya masih teguh memegang pikukuh karuhun (tradisi leluhur) sebagai tuntunan perilaku kehidupan sehari-hari. Salah satu dari pikukuh tersebut adalah kewajiban warganya untuk ngahuma (menanam padi di ladang). Oleh karenanya ngahuma bagi orang Baduy bukan semata-mata aktivitas yang bersifat ekonomistik namun merupakan bagian kegiatan spiritual pada rukun wiwitan

Baduy sendiri mendiami wilayah ulayat seluas 5.101,8 Ha. Wilayah tersebut terbagi ke dalam beberapa bagian berdasarkan pikukuh yaitu hutan lindung atau yang mereka sebut sebagai leuweung tutupan (secara literal berarti hutan tutupan) seluas 3.000 Ha dan sisanya adalah pemukiman dan areal pertanian. Menurut BPS Kabupaten Lebak, populasi penduduk Baduy pada tahun 2020 mencapai 11.699 jiwa dan tersebar di 3 kampung Baduy dalam dan 64 kampung Baduy luar. Meskipun begitu, konon jumlah penduduk saat ini diperkirakan mencapai ± 15.000 jiwa.

Jumlah penduduk tersebut sangat tidak berimbang dengan luas lahan yang mereka miliki dan telah menjadi persoalan baru yang muncul di tengah-tengah kehidupan warga Baduy saat ini. Keterbatasan lahan pertanian di tanah ulayat memaksa mereka keluar dari tanah garapannya untuk mencari lahan yang bisa digarap untuk ngahuma. Berdasarkan data Desa Kanekes tahun 2018, kegiatan ngahuma warga Baduy telah tersebar di 11 kecamatan. Akses menggarap lahan mereka dapatkan melalui skema menyewa, menumpang, maro bahkan ada juga yang membeli dari orang lain.

Kegelisahan akan kekurangan lahan sudah beberapa kali disampaikan masyarakat Baduy secara langsung kepada pemerintah, salah satunya pada kegiatan seba yang setiap tahun mereka selenggarakan. Di hadapan Gubernur Banten dan Bupati Lebak, kondisi kekurangan lahan menjadi salah satu kebutuhan khusus yang disampaikan

Berdasarkan kondisi tersebut, pada tahun 2017 RMI melakukan kajian tentang lahan ngahuma Baduy yang mana hasil kajiannya menjadi dasar bagi RMI untuk melakukan proses pendampingan untuk mengatasi masalah kekurangan lahan bagi masyarakat Baduy. Pada tahun 2018 RMI mulai melakukan pendampingan dan proses tersebut berlangsung hampir 3 tahun lamanya. Salah satu yang menjadi kendala adalah lokasi yang dimohonkan sebagai area garapan Baduy berada di luar Desa Kanekes atau berada jauh dari tanah ulayat. Berbagai pendekatan kemudian dilakukan untuk mengakomodir kebutuhan mereka. Salah satunya melalui pembangunan kesepahaman dengan masyarakat lokal yang berada di kawasan hutan yang diusulkan–yang selanjutnya dituangkan dalam perjanjian tertulis antara Baduy dengan warga Pasir bitung. Untuk lahan yang diusulkan sendiri terletak di Desa Pasir Bitung Kecamatan Bojongmanik yang merupakan bagian dari area hutan produksi di bawah pengelolaan Perum Perhutani KPH Banten. Selanjutnya proses konsolidasi berlangsung melalui kerjasama antara Baduy dengan warga Pasir Bitung yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Bitung Raya dan Paguyuban Petani Baduy. 

Pada September 2021, KLHK melalui Dirjen PSKL menetapkan SK Kulin KK Baduy dan Pasir Bitung sebagai kelompok masyarakat yang secara resmi diberikan izin mengakses lahan di wilayah yang diusulkan. Untuk luas lahannya sendiri berdasarkan SK Kulin KK Nomor SK. 5401/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/3/2021 dan Nomor SK. 5400/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/3/2021 masing-masing memiliki akses lahan garapan seluas 121,02 Ha untuk Baduy dan 202,35 Ha untuk KTH Bitung Raya.

Namun pasca keluarnya SK tersebut tidak serta merta membuat warga Baduy dapat mengakses lahan secara langsung, selain lahan yang eksisting. Persoalan teknis di lapangan sempat menjadi ganjalan bagi Baduy untuk menggunakan haknya dalam mengakses lahan. Kondisi tersebut disebabkan oleh lamanya proses konsolidasi di lapangan serta warga belum sepenuhnya menyadari haknya dalam skema KulinKK. Perlu sosialisasi berulang-ulang untuk meyakinkan masyarakat Baduy maupun Pasir Bitung bahwa mereka telah resmi dapat mengakses lahan sesuai dengan aturan yang dituangkan dalam NKK dan SK Kulin KK yang sudah diterima. Baru pada Maret 2022 warga Baduy dan Pasir Bitung bersepakat untuk mulai mengakses lahan dengan memperjelas batas lahan garapan kedua kelompok tersebut lalu menandai batas-batas tersebut sesuai kesepakatan yang dibuat kedua belah pihak. 

Baduy sendiri dalam mengelola dan mengakses lahan memiliki cara khusus dimana pengelolaan lahan didasarkan pada adat dan tradisi mereka, termasuk soal waktu pembukaan lahan. Terdapat zona-zona larangan yang ditetapkan diantaranya sumber mata air atau dalam istilah mereka disebut hulu-hulu cai. 

Kolaborasi satu skema antara Masyarakat Adat Baduy dengan masyarakat lokal dalam satu hamparan merupakan sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan lahan. Meskipun pada dasarnya masyarakat Baduy sudah terbiasa menggarap lahan di luar wilayah adatnya dan bercampur dengan masyarakat lokal; skema kulinKK ini semakin memperjelas status dan perlindungan hak-hak pengelolaan karena memiliki kekuatan hukum mengikat melalui SK yang diberikan. 

Masyarakat Baduy sendiri terkenal dengan kepiawaiannya menggarap lahan. Ketekunan dan kerja kerasnya dalam bercocok tanam menjadi salah satu alasan yang memperlancar penerimaan Baduy oleh masyarakat lokal dalam kolaborasi ini. Masyarakat Pasir Bitung sendiri berharap jika mereka bergandengan dengan Baduy dalam mengelola lahan akan menjadi stimulus bagi mereka untuk mengolah lahan secara serius agar hasil yang didapatkan maksimal seperti yang diperoleh masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy di mata warga Pasir Bitung telah menjadi cerminan bagaimana aktivitas mengolah lahan secara sungguh-sungguh dapat menopang kesejahteraan mereka sendiri.  

Kini masyarakat Baduy dan Pasir Bitung tengah menyiapkan diri bersama untuk mengelola lahan diantaranya dengan melakukan identifikasi lahan untuk dilakukan distribusi kepada anggota serta identifikasi jenis tanaman yang cocok ditanam di lokasi/lahan tertentu, mulai dari sayuran sampai tanaman hortikultura. Tanaman-tanaman tersebut kemudian akan disesuaikan dengan tutupan lahan dan kondisi topografi tanah yang tersedia. Untuk Baduy sendiri, lahan tersebut akan digunakan untuk ngahuma yang nantinya pada masa bera (masa jeda dalam aktivitas bercocok tanam sebagai waktu bagi tanah untuk beristirahat dan mengembalikan kesuburannya) akan ditanami rempah-rempah dan hortikultura sebagai tanaman selingan yang turut menunjang pemenuhan kebutuhan hidup mereka.

Penulis: Fauzan Adima

Editor : Supriadi