Menguatkan Inisiatif: Langkah Lanjutan Mendorong Pendidikan Kritis Kontekstual pada Generasi Muda

RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sejak awal berkomitmen untuk melakukan pembelajaran dengan mengedepankan prinsip pendidikan kritis, kontekstual, dan secara partisipatif. Melalui Program “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia – Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia serta Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan,” RMI melaksanakan kegiatan Environmental Children’s Rights (ECR) Training Program (ETP) atau Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan. 

Fasilitator Pendidikan Lingkungan terdiri dari tiga rangkaian seri yang dilaksanakan secara bertahap:

Dokumentasi ETP Seri 1

Seri Pertama: Dilaksanakan pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung. Pelatihan ini fokus pada pembekalan mengenai pendidikan kontekstual dan dasar-dasar fasilitasi. Sebagai tindak lanjut, peserta diminta untuk melaksanakan mini project sebagai implementasi dari pelatihan tersebut, sekaligus sebagai kesempatan bagi mereka untuk mencoba menjadi fasilitator di komunitas masing-masing.

Dokumentasi ETP Seri 2

Seri Kedua: Dua bulan kemudian, seri kedua dilaksanakan pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Pelatihan kedua mengadopsi pendekatan People First Impact Method (PFIM), mendorong peserta untuk dapat menggali informasi melalui wawancara mendalam dengan topik yang telah ditentukan. Selain itu, dikenalkan pula isu-isu mengenai perubahan iklim, kemiskinan struktural, gender, dan politik ekologi yang dikaitkan dengan kondisi masing-masing komunitas.

Dokumentasi ETP Seri 3

Seri Ketiga: Seri terakhir dilaksanakan pada tanggal 25–27 Oktober 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih, diikuti oleh 15 peserta, terdiri dari tiga perempuan dan 12 laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Jamrut, serta masyarakat lokal di sekitar Kasepuhan. Pelatihan ini berlangsung selama tiga hari dengan isu-isu yang saling berhubungan dengan pelatihan sebelumnya, seperti pembangunan berkelanjutan, gerakan sosial, keanekaragaman hayati, dan keadilan iklim.

Pada hari pertama, peserta diajak untuk mengenal diri mereka melalui tes MBTI, diharapkan dapat mengetahui arah pengembangan sesuai dengan kepribadian masing-masing. Selain itu, peserta juga diberikan kesempatan untuk saling berbagi pengetahuan berdasarkan keahlian atau ketertarikan masing-masing. Sesi pertama dilakukan oleh Hanifah Nur Hidayah dengan topik “Otoritas dan Kekerasan,” yang menjelaskan bahwa seseorang dapat melakukan tindakan yang bertentangan dengan moralnya ketika menerima perintah dari orang yang lebih berwenang.  Selanjutnya, Siti Sopariah menjelaskan tentang “Keseimbangan Ekosistem,” membahas interaksi biotik dan abiotik yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan ketika salah satu komponen hilang. Pendekatan ini memantik diskusi terbuka antara peserta karena sifatnya yang peer-to-peer.

Hari pertama diakhiri dengan pengenalan media pembelajaran melalui permainan quartet yang berisikan informasi mengenai Kasepuhan, seperti perangkat adat, hewan langka di kawasan Halimun, hingga objek Kasepuhan. Melalui permainan ini, peserta dapat membaca dan mengetahui informasi yang tertera di kartu. Hal ini diharapkan dapat menjadi pemicu untuk menciptakan alat serupa sebagai media pembelajaran bagi anak-anak dan kaum muda dengan cara yang lebih menyenangkan dan kontekstual.

Pada hari kedua, isu yang diangkat berkaitan dengan keanekaragaman hayati melalui praktik biomonitoring untuk menguji kualitas air sungai. Peserta dibagi menjadi empat kelompok dan melakukan biomonitoring di titik-titik sungai sekitar. Peserta diminta mengidentifikasi makhluk makroinvertebrata yang terdapat dalam ekosistem sungai sebagai indikator kualitas air. Sekalipun hasil yang didapat perlu dikaji lebih dalam untuk menghasilkan data yang valid, peserta tetap dapat mengenali dan mengidentifikasi secara sederhana kondisi lingkungan yang ada di sekitar mereka.

Menyusul isu yang sama, peserta terlibat dalam permainan “Mancing Mania,” yang mencerminkan tantangan pengelolaan kekayaan alam yang terbatas. Dalam permainan ini, peserta berperan sebagai perusahaan penangkap ikan yang berusaha untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan skor paling tinggi. “Hanya satu orang yang sadar, sedangkan yang lainnya tidak,” ucap Yadin, salah satu peserta dari Kasepuhan Cirompang, ketika seluruh sumber daya ikan habis karena kurangnya tindakan pengelolaan yang bijak dari peserta. Hal ini dilanjutkan dengan pemaparan materi mengenai pembangunan berkelanjutan yang menegaskan tentang pentingnya pertimbangan lingkungan-sosial-ekonomi dalam pembangunan.

Di hari kedua, Dida Nuraida dan Arsani juga berbagi pengetahuan dengan topik yang berbeda. Dida Nuraida mengambil topik “Gizi Seimbang dari Pangan Lokal Menuju Gaya Hidup Sehat,” mengedukasi peserta tentang pengertian dan pentingnya gizi seimbang bagi tubuh serta mengaitkannya dengan kandungan gizi dalam pangan lokal yang sering kali diabaikan. Sementara itu, Arsani menjelaskan mengenai pengertian, tingkatan, dan manfaat keanekaragaman hayati, serta mengajak peserta mengidentifikasi keanekaragaman hayati di Kasepuhan masing-masing dari perspektif kesehatan, budaya, perikanan, dan pertanian. Diskusi dua arah pun terjadi, membahas kondisi lingkungan masing-masing dan keterkaitannya.

Hari ketiga dibuka dengan talkshow tentang keadilan iklim yang disampaikan oleh Fadilla Mutiarawati dari Sokola Institute dan Indra N. H. dari RMI. Talkshow dikemas secara interaktif dengan membahas tentang dampak krisis iklim dan mitigasi yang dapat dilakukan, terutama bagi peserta yang tinggal di kawasan pegunungan. “Rugi, biasanya bekal padi cukup untuk periode tertentu, tetapi jika masa tanam mundur, masyarakat harus membeli beras untuk mencukupi kebutuhan,” cerita Yadin mengenai dampak krisis iklim yang dialami masyarakat Kasepuhan. Fadilla dan Indra juga menjelaskan dampak serupa yang dialami masyarakat lain.

Talkshow ini diharapkan dapat mendorong peserta untuk mulai bergerak dan mengambil tindakan, seperti yang disampaikan Fadilla dalam pernyataannya, “Kita sudah berefleksi tentang banyak hal, harus dipikirkan lebih dalam dan segera mengambil tindakan. Anak-anak muda harus mengambil peran besar untuk mitigasi krisis iklim.” Melalui sesi ini, krisis iklim dijelaskan secara kontekstual sehingga menegaskan dampak nyata yang akan dihadapi oleh masyarakat, khususnya Masyarakat Adat.

Selanjutnya, isu tentang gerakan sosial diperkenalkan melalui permainan “Hands of Power.” Terdapat satu peserta yang mendapatkan perintah untuk mengikuti arah tangan dari fasilitator ke mana pun dan dalam kondisi apapun tanpa bisa berhenti. Sementara itu, peserta lain diminta agar dapat menghentikannya. Permainan ini menunjukkan pentingnya kekuatan kolektif dalam mengatasi suatu permasalahan, karena tanpa adanya keinginan melawan bersama maka kemungkinan besar gerakan sosial tidak akan terjadi.

Sebagai penutup dari rangkaian pelatihan, permainan “Jaring Laba-Laba” digunakan dengan cara peserta mengidentifikasi cerita yang telah disediakan. Cerita tersebut dibuat berdasarkan fenomena sosial yang terjadi sehingga peserta dapat menjelaskan hubungan sebab-akibat dari berbagai permasalahan sosial yang muncul, seperti isu iklim, kemiskinan struktural, pembangunan berkelanjutan, pendidikan, dan akar masalah lainnya. “Karena permasalahan ini kompleks, maka perlu dipecahkan satu per satu,” ungkap Manil, salah satu peserta, saat menanggapi permainan tersebut. Fasilitator menegaskan bahwa terdapat benang merah antar-isu yang ada, dan solusi yang ditawarkan harus mempertimbangkan berbagai sudut pandang.

Dalam prosesnya, peserta mengimplementasikan keterampilan yang didapat dari pelatihan ini melalui berbagai macam kegiatan. Seperti kegiatan mini project yang dilakukan di komunitas masing-masing, seperti pendokumentasian pengetahuan lokal di Kasepuhan Cirompang, pengenalan tanaman obat di Kasepuhan Pasir Eurih, serta pengenalan krisis iklim di SMAN 1 Sobang. Selain itu, beberapa peserta juga terlibat dalam kegiatan Forum KAWAL, Jelajah Kasepuhan, Semiloka yang diselenggarakan oleh KMA Kemendikbud, serta aktivitas lain yang menjadikan mereka sebagai penggerak pendidikan kontekstual.

Setelah mengikuti serial pelatihan ini, peserta akan melakukan aktivitas dalam rangka Global Action Month, seperti identifikasi tanaman obat dan kesenian di SD sekitar Kasepuhan, termasuk SDN 2 Sindanglaya, SDN 2 Wangunjaya, SDN 1 Sukaresmi, SDN 1 Cirompang, dan SDN 4 Hariang.

“Semua hal berkesan, tetapi yang paling berkesan adalah metodenya. Ternyata penyampaian materi tidak harus lewat presentasi, tetapi bisa melalui permainan, seperti permainan pohon-tupai, nasi garam, mancing-mancing, dan hands of power. Pada seri kedua, kami juga mendapatkan pengetahuan baru dari tempat tinggal sendiri saat wawancara,” ungkap Nina Nuraina ketika berbagai kesan setelah mengikuti pelatihan sepanjang tiga seri.

Melalui berbagai pengalaman yang telah dijalani, berbagai macam metode dan pendekatan yang telah dilakukan, salah satunya melalui pendidikan kontekstual. Maka diharapkan peserta dapat memahami pembelajaran secara lebih relevan dan bermakna, tidak hanya fokus pada pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga mendorong mereka untuk melihat keterkaitan antara pembelajaran dengan kondisi di komunitas mereka. Para peserta kini didorong untuk mengambil peran aktif dan memunculkan inisiatif yang baru di komunitas masing-masing. Mereka diharapkan mampu mengidentifikasi permasalahan yang ada di komunitas dan memberikan solusi yang relevan. Dengan keterampilan ini, para peserta dapat menganalisis tantangan yang dihadapi, baik dalam konteks lingkungan, sosial, maupun ekonomi. RMI berharap melalui pelatihan ini, akan muncul inisiatif-inisiatif baru yang muncul dari kebutuhan komunitas itu sendiri.

Penulis: Hanifah Nur Hidayah

Semiloka “Hutan adat untuk Kesejahteraan Lahir batin Masyarakat Adat”

Wangunjaya, Rabu 25 September 2024 – Dalam rangka memperkuat pengakuan dan perlindungan terhadap hutan adat, semiloka bertajuk “Hutan Adat untuk Kesejahteraan lahir Batin Masyarkat Adat” acara ini diinisiasi oleh masyarkat adat Kasepuhan Jamrut dengan dukungan dari berbagai pihak, termasuk Kementrian Pendidikan, Kebudayan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Melalui Dit.KMA, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Lebak, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), dan Perkumpulan HuMa.

Semiloka ini menjadi momentum penting dalam Upaya pengakuan hutan adat sebagai wilayah Kelola Masyarakat adat yang berkelanjutan. Kasepuhan Jamrut, sebagai salah satu masyarkat adat di Kabupaten Lebak, telah lama menjaga kelestarian hutan sebagai bagian integral dari kahidupan mereka. Melalui Semiloka ini, berbagai pihak berkumpul untuk membahas Langkah-langkah yang perlu dilakukan agar wilayah hutan adat dapat di akui secara resmi oleh pemerintah.

Dalam Sambutan Sekdes Wangunjaya (Pemdes) – Beberapa bulan terakhir kami warga Kasepuhan Jamrut sudah melakukan proses pemetaan lapangan didampingi oleh teman- teman dari RMI, JKPP dan Forum KAWAL

Status lahan di Desa Wangunjaya ini ada 3 status:

  1. Tanah Milik Taman Nasional (kami harap dengan adanya proses pemetaan ini mudah- mudahan menjadi awal mula dari kepemilikan masyarakat adat.
  2. Milik Perum PERHUTANI, dengan adanya kegiatan ini mudah- mudahan harapan kami hak milik dapat berubah
  3. HPL (PT. Pertiwi Lestari) kami juga sebagian menduduki hak milik tersebut

Mudah- mudahan kedepannya kami bisa lebih sejahtera dengan memiliki legalitas hak atas tanah masyarakat adat kami sendiri yang sudah sejak lama kami tempati untuk hidup sehari- hari secara turun temurun.

Pihak Dit.Kepercayaan Masyarakat Adat (Kemendikbutristek RI)

Data dari KLHK ada 137 Hutan Adat yang sudah mendapatkan SK, karena yang memiliki kewenangan menerbitkan SK Hutan adat adalah KLHK sementara Kemedikbud memberikan dukungan untuk memajukan objek dari Hutan Adat

KMA bisa membantu proses verifikasi dalam proses penetapan Hutan Adat (Masukan untuk melakukan verifikasi secara bersam- sama)

Dari KMA turut berpartisipasi dalam upaya mendorong pengakuan hutan adat

Berkaitan dengan kegiatan ini mudah- mudahan bisa menjadi awal untuk melakukan diskusi menuju kearah pengajuan SK Hutan Adat. Harapannya dari kegiatan ini bapak ibu semua memperoleh informasi terkait hutan adat dan bisa mendorong untuk mempercepat SK Hutan Adat, selain itu Dinas Lingkungan Hidup Kab.Lebak menyatakan bahwa pihaknya siap bekerja sama untuk mempersecepat proses adminitrasi pengakuan hutan adat diwilayah kasepuhan jamrut.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) juga berperan penting dalam memfasilitasi pemetaan wilayah adat secera partisipatif, sebagai salah satu langkah awal menuju pengakuan resmi. Sementara itu, Perkumpulan Huma – Definisi Politik Hukum dalam buku Ilmu Hukum by Satjipto Rahardjo Ketidakadilan Agraria sudah terjadi prakteknya selama ini di Indonesia.

Proses pengajuan Hutan Adat adalah proses yang panjang dan tidak instant, oleh karena itu masyarakat adat harus memiliki konsistensi dan juga keterikatan yang solid antar satu sama lain dalam memperjuangkan wilayah adat mereka. Masyarakat sudah mulai sadar bahwa selama ini pemerintah belum menganggap masyarakat hidup dan berkegiatan didalam wilayah hutan yang merupakan bagian dari kehidupan mereka.

Ada 3 jenis Hutan yang ditetapkan oleh Undang- undang, yaitu: Hutan Negara, Hutan Hak dan Hutan Adat. Setiap kasepuhan yang sudah diakui oleh Perda berhak mendapatkan hak mereka terhadap wilayah adat mereka masing- masing berdasarkan Perda Lebak tentang kasepuhan.

Dengan berakhirnya Semiloka ini, diharapkan Langkah-langkah konkret segera dilakukan oleh semua pihak terkait, guna mempercepat pengakuan hutan adat yang akan memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan Masyarakat adat, kelestarian lingkungan, dan perlindungan hak- hak Masyarakat Adat di Indonesia.

Penulis :

Deki Maulana (Forum Kawal)

Forum Perempuan Seri Kedua: Keadilan dan Hak-Hak Perempuan Dalam Pembangunan di Kampung

Banyak Perempuan Indonesia di pedesaan yang masih belum sepenuhnya mengetahui dan memahami hak-hak mereka sebagai perempuan. Hal ini dikarenakan, kurangnya akses pendidikan dan informasi, budaya dan nilai tradisional yang cenderung membatasi Perempuan, minimnya peran pemerintah, keterbatasan ekonomi, dan ketidaksetaraan dalam hukum dan kebijakan.

Alhasil, banyak Perempuan Indonesia di pedesaan rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi, mengalami ketidak setaraan ekonomi, tidak berpartisipasi dalam pengambilan Keputusan, hak-hak tidak dipenuhi, sulit keluar dari lingkar kemiskinan, hingga terjadi penurunan kualitas hidup keluarga.

Oleh karena itu, RMI yang bekerjasama dengan Kemitraan Partnership dalam program Estungkara, berupaya untuk melakukan peningkatan kesadaran terhadap hak-hak perempuan di Kasepuhan, melalui pertemuan ke-dua Forum Perempuan di Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya dan di Kasepuhan Cirompang, Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak.

Forum Perempuan Kasepuhan

Jika pertemuan Forum Perempuan Kasepuhan yang pertama, yang dilakukan pada bulan Juni lalu, lebih banyak menggali aspirasi perempuan tentang pembangunan desa, pada pertemuan ke-dua Forum Perempuan Kasepuhan, yang dilakukan pada sekitar akhir Agustus dan awal September 2024, para perempuan diajak untuk memahami tentang keadilan gender.

Dalam sesi kali ini RMI memaparkan materi mengenai Gender dengan maksud agar para perempuan di Desa Sindanglaya dan Desa Cirompang bisa memahami terlebih dahulu makna tentang Gender dan juga beberapa hal terkait hak- hak dasar Perempuan, terutama dalam Pembangunan desa.

Selama ini kondisi masyarakat di Komunitas Adat Kasepuhan masih sangat minim informasi terkait isu tentang keadilan gender dan mereka biasanya mengaggap isu ini cenderung tabu untuk dibahas secara luas, padahal sebenarnya isu tentang keadilan gender ini merupakan informasi dasar yang bisa menjadi modal utama kaum perempuan untuk bisa ikut berparpartisipasi aktif dalam proses pembangunan masyarakat dan desa. Keadilan gender cenderung dianggap tabu karena banyak factor, diantaranya adalah karena budaya patriarki yang selama ini mengakar kuat di Kasepuhan, minimnya sumber informasi yang bisa diakses dan juga rasa keingintahuan dari masyarakat sendiri yang belum memiliki kesadaran dan kemauan untuk memahami isu- isu semacam ini karena dianggap tidak terlalu berpengaruh dalam keseharian mereka. Selain informasi dan pemahaman yang sama terkait keadilan gender, forum dilanjutkan dengan membahas materi tentang Ketidakadilan Gender. Dalam forum ini peserta yang hadir juga diajak untuk sharing pengalaman atau bercerita tentang kondisi yang pernah dialami oleh masing- masing peserta.

Di forum ini para peserta mendapatkan pengalaman baru membahas mengenai topik gender dan juga memahami hal- hal apa saja terkait ketidakadilan gender yang sebenarnya terjadi sekitar lingkungan mereka. Dengan saling bertukar informasi seperti ini diharapkan kedepannya para perempuan lebih peduli dan peka dengan kondisi kesejahteraan kaum perempuan di lingkungannya.

Partisipasi Perempuan di Pembangunan Desa

Setelah materi-materi di sampaikan, para perempuan juga diajak untuk memahami tentang hak perempuan dalam pembangunan desa. Para perempuan yang hadir meyampaikan bahwa selama ini belum terlalu memahami hak- hak mereka dalam pembangunan desa mereka sendiri, karena tidak pernah merasa dilibatkan dalam kegiatan pertemuan musyawarah pengambilan keputusan ataupun penyusunan anggaran desa.

Kemudian para Perempuan diajak juga untuk memahami beberapa tahapan dalam proses musyawarah pembangunan desa. Tujuannya agar mereka juga memahami bahwa dalam penentuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), pemerintah desa juga memiliki tahapan- tahapan yang cukup sistematis dalam pengambilan keputusan bukan bisa secara otomatis memutuskan usulan mana yang akan dianggarkan dalam RPJMDes.

RMI berharap dengan adanya pembelajaran bersama kali ini perempuan menjadi lebih teredukasi dengan hak- hak mereka untuk nantinya berperan aktif terlibat dalam pembangunan desa.

Penulis: Siti Marfu’ah dan Ummi Nadrah

Kampung Katong

Judul Buku:

Kampung katong: Membangun dari Kampung

Penulis:

Ardy Milik

Penerbit:

RMI—Indonesian Institute for Forest and Environment

Tahun Terbit:

Desember 2023

Identitas Buku:

ix+110 hlm, 12 x 219 cm

ISBN: Sedang dalam Proses

Sinopsis:

Buku Kampung Katong – Membangun Dari Kampung  menuliskan kiprah orang muda yang “pulang”—bersolidaritas untuk “membangun dari kampung”. Buku ini bercerita tentang segelintir orang muda NTT yang memutuskan “Pulang” untuk merespons keresahan atas apa yang terjadi di kampung. Pulang yang tidak disimplifikasi dengan kehadiran fisik belaka, namun dikerahkannya juga pikiran dan aksi swadaya orang muda untuk mengatasi persoalan di kampungnya dengan pengorganisasian warga aktif sebagai basis gerakan.

RMI-Indonesia Institute for Forest and Environment, selaku organisasi yang berfokus pada isu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang inklusif dan berkelanjutan, melihat bahwa komunitas seperti Lakoat.Kujawas di Mollo, SimpaSio Institute di Larantuka, dan Kolektif Videoge di Labuan Bajo, berada pada benang merah perjuangan yang sama. Perjuangan tersebut adalah mengupayakan dekolonialisasi melalui reproduksi pengetahuan lokal secara swadaya dan menanggapi permasalahan lokal di wilayah masing-masing.

Dekolonisasi yang diartikan sebagai proses melepaskan diri dari berbagai pengaruh kolonialisme, berupaya memposisikan realita lokal sebagai acuan utama dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi komunitas sehari-hari. Dengan dekolonisasi, pengetahuan dan identitas lokal menjadi kompas dari penyelesaian berbagai permasalahan sosial-lingkungan, budaya, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, hingga keberlanjutan ruang hidup dan penghidupan.

PDF Loading...

Melanjutkan Aksi: Memperdalam Peran Generasi Muda dalam Fasilitasi Pendidikan Kritis dan Kontekstual

Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program” menjadi salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan untuk dapat mendorong kaum muda berpikir kritis tentang kondisi lingkungan mereka dan peran yang dapat mereka ambil dalam komunitas. Pelatihan ini dilakukan dalam dua seri kegiatan dengan peserta yang berasal dari kaum muda adat Kasepuhan dan kaum muda lokal di sekitar kasepuhan. Sebelumnya, pelatihan pertama telah berlangsung pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung dan Pelatihan kedua berlangsung pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Berikut rangkaian dua seri kegiatan Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan yang sudah diselenggarakan:

Seri Pertama: Pelatihan pertama telah berlangsung pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung, dengan fokus pada pembekalan mengenai pendidikan kontekstual dan dasar-dasar fasilitasi. Sebagai tindak lanjut, peserta melaksanakan proyek mini sebagai implementasi dari pelatihan, dan juga sebagai ajang bagi para peserta untuk mencoba menjadi fasilitator di komunitas masing-masing. Misalnya, Mela dan Fikri menerapkan pelatihan ini kepada siswa kelas, sementara Siti Sopariah memainkan permainan “Tupai Pohon” dan “Angka Setan” di komunitas KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Pasir Eurih). Dalam permainan “Tupai Pohon dan Angka Setan”. Untuk permainan tupai pohon berjalan lancar, tetapi untuk permainan angka setan agak kesulitan, karena banyak para peserta yang kebingungan,” cerita Siti Sopariah ketika mencoba menjadi fasilitator dalam kegiatan komunitasnya. “Harus lebih sabar dalam memfasilitasi,” dilanjutkan Mela ketika ditanya kesulitan dalam memfasilitasi siswa kelas 1 SD. Sementara itu, Arsani memimpin permainan dalam kegiatan Paskibra, dan Hanifah menguji media pembelajaran baru dengan mahasiswa. Pada sesi ini menunjukkan bahwa RMI telah mendorong partisipasi bermakna melalui proyek dan aktivitas yang dilakukan.

Seri Kedua: Pelatihan kedua berlangsung pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Terdapat 20 peserta yang mengikuti pelatihan, yang terdiri dari enam perempuan dan 14 orang laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Jamrut, dan masyarakat lokal di sekitar Kasepuhan. 13 peserta diantaranya merupakan peserta yang telah mengikuti pelatihan dari seri pertama. 

Pelatihan kedua berfokus terhadap berbagai macam isu yang relevan dengan kondisi yang ada di kampung, beberapa di antaranya berkaitan dengan perubahan iklim, gender dan seksualitas, ketidakadilan gender, ekologi politik, serta kemiskinan struktural. Melalui pengenalan terhadap berbagai isu ini, diharapkan para peserta dapat melihat keterhubungan masalah yang ada dalam lingkungan mereka. Pada seri kali ini, alumni pelatihan seri pertama juga diberikan kesempatan untuk dapat memfasilitasi sesi ice breaking atau energizer, salah satunya dilakukan oleh Arsani yang memandu permainan “Pindah Rumah”. 

Pada hari pertama, dilakukan pengenalan lebih dekat antar-peserta melalui kartu “Kenalan Yuk!” yang dapat menjadi inspirasi bagi peserta untuk membuat alat pembelajaran serupa dengan pertanyaan yang lebih kontekstual. Kegiatan selanjutnya, para peserta melakukan tes kecerdasan majemuk untuk mengetahui kecerdasan yang dimiliki oleh peserta berdasarkan kategori linguistik, logika-matematika, spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Pengenalan kecerdasan ini diharapkan dapat membuat peserta mengenali potensi diri dan timnya. Setelah itu, para peserta mengidentifikasi permasalahan yang ada di kampungnya menggunakan metode matriks ranking, dengan menilai seberapa besar isu-isu tersebut berdampak pada lingkungan mereka. Beberapa masalah yang teridentifikasi antara lain sampah, perburuan satwa liar, peracunan ikan di sungai, dan pembukaan lahan. Sesi ini menjadi pemantik bagi peserta untuk melihat apakah setiap isu terjadi secara berkaitan atau tidak.

Pada hari kedua, peserta menerapkan metode People-First Impact Method (P-FIM) dengan wawancara tokoh masyarakat untuk mengumpulkan informasi berdasarkan tema yang telah ditentukan. Hasil wawancara ditampilkan dalam bentuk seni pertunjukan seperti drama, tablo, monolog, dan puisi yang menggambarkan berbagai isu yaitu hutan, kebudayaan, pendidikan, serta ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Salah satu peserta, Cecep Sanusi, mengungkapkan perasaannya setelah melakukan wawancara ke tokoh masyarakat. Dari metode ini kita dapat “menggali informasi dari berbagai sisi, sehingga banyak yang didapatkan, dan informasi yang dikumpulkan lebih komprehensif,” ujarnya. Berbeda dengan Cecep, Jamal yang berasal dari Kasepuhan Jamrut membandingkan kondisi yang ada di Kasepuhan Pasir Eurih dengan kampungnya, “Hasil wawancara berbeda dengan kondisi di Jamrut, terutama terkait pendidikan. Di Jamrut, sekolah [Madrasah] Aliyah tidak punya gedung sekolah, baru tahun 2024 dibuat gedung permanen.”  Hal ini menunjukan bahwa metode yang digunakan mendorong peserta untuk mengidentifikasi dan meningkatkan sensitivitas peserta terhadap isu yang ada di lingkungan atau komunitasnya.

Setelah mendapatkan gambaran tentang kondisi di lingkungan, hari ketiga difokuskan pada penyampaian isu-isu yang relevan melalui diskusi. Pertama, isu hutan dan perubahan iklim. Diskusi dimulai dengan mini drama yang menggambarkan dampak perubahan iklim di kampung, diikuti penjelasan tentang proses dan dampaknya pada kehidupan, terutama bagi Masyarakat Adat. Diskusi ini membantu peserta, khususnya kaum muda, memahami peran mereka dalam mengatasi perubahan iklim dengan perspektif berdasarkan pengetahuan lokal.

Isu kedua berkaitan dengan pengetahuan dasar tentang gender dan seks. Hal ini menjadi krusial karena berdampak pada adanya pembagian peran yang tidak seimbang dan terbatasnya kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, baik di ranah domestik maupun publik. Pada sesi ini para peserta diminta untuk menyebutkan sosok pasangan ideal sekaligus menuliskan deskripsi sosok ideal pada kertas yang telah disediakan. Melalui aktivitas ini, para peserta diajak untuk menyadari dan membedakan antara konsep seks sebagai kategori biologis dan gender sebagai konstruksi sosial yang erat dengan peran-peran tertentu.

Diskusi ini menjadi relevan ketika membahas peran-peran yang melekat pada perempuan dan laki-laki di masyarakat Kasepuhan. Peserta diajak berpikir kritis untuk menghubungkan seks dan gender dengan isu ketidakadilan gender yang marak terjadi di lingkungannya. Bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut meliputi beban ganda, kekerasan berbasis gender, subordinasi, marjinalisasi, stereotipe, dan diskriminasi. Dalam diskusi ini salah satu peserta mengungkapkan pendapatnya, “Sangat relevan di sekitar kita, pekerjaan lebih banyak ada di perempuan. Beberapa hal yang terjadi: pekerjaan domestik dilakukan oleh perempuan, sedangkan laki-laki berleha-leha padahal mengetahui pekerjaan perempuan yang belum selesai,” cerita Manil ketika mengidentifikasi kondisi yang terjadi di lingkungannya.

Hari terakhir, isu yang diangkat berkaitan dengan kemiskinan struktural dan ekologi politik. Materi ekologi politik disampaikan oleh Wahyubinatara Fernandez (Direktur RMI) dengan dipandu oleh Dinah dari RMI dan Irsyadudin dari perwakilan anak muda kasepuhan. Sesi berlangsung secara hybrid yang disajikan dalam bentuk talkshow. Peserta diajak untuk melihat kebijakan-kebijakan terkait hak atas tanah dari waktu ke waktu. Ini menegaskan bahwa krisis ekologi yang terjadi dipengaruhi oleh kepentingan politik, tidak hanya terjadi di tingkat negara, namun dapat juga terjadi di kampung. 

Selanjutnya, isu yang diangkat berkaitan dengan kemiskinan struktural. Peserta diajak bermain permainan yang mencerminkan kondisi saat ini, yakni adanya jurang yang sangat besar antara orang kaya dan orang miskin. Peserta didorong untuk memahami bahwa kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan faktor individu atau kultural, akan tetapi terjadi karena sistem yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan gerakan sosial untuk menciptakan keadilan, terutama bagi golongan miskin. 

Tentang Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program”

RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sebagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu Hak Asasi Manusia dan lingkungan, khususnya dalam memperkuat model pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat, berkomitmen untuk melakukan pembelajaran bersama masyarakat dengan menggunakan prinsip pendidikan kritis, kontekstual, dan secara partisipatif. Melalui penyampaian berbagai isu dalam pelatihan fasilitator pendidikan lingkungan, peserta diharapkan dapat melihat adanya keterhubungan antar-isu yang terjadi di lingkungan atau komunitasnya masing-masing, bahwa setiap isu tersebut memiliki benang merah yang menunjukkan adanya sebab akibat. 

Inisiatif yang dilakukan oleh RMI dalam mengembangkan pendidikan kontekstual ini juga didukung oleh program “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia dan Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan”. Pemahaman terhadap isu ini dituangkan dalam Rancangan Tindak Lanjut (RTL) sebagai bentuk implementasi Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan yang diselenggarakan dalam 2 Seri kegiatan. Beberapa di antaranya ada yang melanjutkan project sebelumnya dan ada yang mendorong project baru. Dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam memahami beragam isu, peserta dapat mendorong gerakan sosial yang kontekstual.

Penulis: Hanifah Nur Hidayah, Siti Marfu’ah, Ajeng Lestari Midi Setyoputri

Editor: Renal Rinoza

Sepuluh Tahun Jokowi Ingkar Janji kepada Masyarakat Adat

Siaran Pers Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat

Sumber foto oleh: RMI (Foto hanya ilustrasi)

Jakarta, 16 Agustus 2024 – Selama sepuluh tahun Jokowi memerintah republik ini, Masyarakat Adat merasa tertipu dengan janji-janji yang pernah Jokowi sampaikan dan komitmennya di awal pemerintahan Jokowi yang tercantum dalam Nawacita. Demikian disampaikan oleh Abdon Nababandari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat merespon pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Penyampaian Laporan Kinerja Lembaga-Lembaga Negara dan Pidato Kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan RI.


“Tidak ada satu pun frasa “Masyarakat Adat” dalam pidato itu. Pidato itu hanya berisi klaim-klaim angka keberhasilan pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, bendungan dan jaringan irigasi. Jokowi juga mengklaim keberhasilan pembangunan smelter dan industri pengolahan untuk nikel, bauksit, dan tembaga,” tambah Abdon Nababan.


“Perjumpaan AMAN dengan calon Presiden Jokowi di tahun 2014 menorehkan 6 janji Nawacita Jokowi-JK untuk Masyarakat Adat. AMAN dan jaringan pendukung bekerja secara sukarela menggalang suara. Paling sedikit 12 juta suara kami sumbangkan untuk kemenangan Jokowi-JK. Setelah kemenangan, saya mewakili AMAN menerima obor relawan dari Surya Paloh dalam satu upacara di Kemayoran,” kata Abdon Nababan.

Sumber foto oleh: RMI (Foto hanya ilustrasi)


“Dalam sepuluh tahun terakhir, politik hukum Masyarakat Adat semakin memburuk. Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN, UU KSDAHE, dan  berbagai peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan sumber daya alam mengandung unsur-unsur “penyangkalan” yang kuat terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya. Political will pemerintahan sangat rendah. Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan Masyarakat  Adat,” papar Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Sumber foto oleh: RMI (Foto hanya ilustrasi)


Sayangnya lagi, seluruh klaim keberhasilan di dalam pidato tersebut dibangun di atas perampasan dan penggusuran wilayah masyarakat adat. “Data AMAN hingga Mei 2024 menunjukkan bahwa sepanjang rezim pemerintahan Jokowi berkuasa, telah terjadi perampasan wilayah adat seluas 11,07 juta hektar, 687 konflik Masyarakat Adat yang mengakibatkan 925 orang dikriminalisasi, serta puluhan diantaranya mengalami luka-luka dan satu orang meninggal dunia,” kata Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).


“Selain itu, pengakuan wilayah adat baru mencapai 16% dari 30,1 juta hektar peta wilayah adat yang teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Sedangkan pengakuan hutan adat baru mencapai 8% dari 3,4 juta hektar potensi hutan adat dari wilayah adat yang telah ditetapkan pengakuannya oleh Pemerintah Daerah,” tambah Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).


Hingga penghujung kepemimpinannya, belum ada legacy baik yang ditinggalkan Jokowi bagi Masyarakat Adat. Padahal, 10 tahun lalu, demi meraup suara Masyarakat Adat, Jokowi berjanji akan mendukung Masyarakat Adat.


“Janji tinggal janji. Janji Nawacita hanya tipuan. Jokowi 10 tahun berkuasa tak satu pun janjinya dipenuhi. Jangankan berterimakasih dan minta maaf bahkan satu kata Masyarakat Adat pun tidak disebutkan di Pidato Kenegaraan terakhirnya pagi tadi,” pungkas Abdon Nababan. [ ]


oooOOOooo
Kontak media:
A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154