Mengenal Sistem Pangan dan Dampak Krisis Iklim Bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug

Sistem pangan adalah hal yang mencakup seluruh jajaran pelaku, aktivitas, dan nilai tambah yang saling terkait dalam produksi, agregasi, pemrosesan, distribusi, konsumsi, dan pembuangan produk makanan. Sistem pangan terdiri dari semua produk pangan yang berasal dari tumbuhan, ternak, hutan, perikanan dan akuakultur, serta lingkungan ekonomi, sosial dan alam yang lebih luas. Sistem pangan masyarakat adat sendiri memiliki siklus produksi pangannya berbasiskan nilai dan praktik kearifan lokal.

Salah satunya adalah sistem pangan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang berada di wilayah administratif Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber, kecamatan terluas di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Penghidupan warga Kasepuhan Cibedug berpola subsisten. Aktivitas memproduksi sumber pangan di Kasepuhan Cibedug sendiri dapat dibedakan berdasarkan lokasi aktivitas tersebut dilaksanakan; antara lain bercocok tanam di sawah dan kebun (dudukuhan), beternak di sekitar kebun dan perkampungan, memancing dan memelihara ikan di kolam (balong) dan sawah, mengumpulkan tanaman liar, juga berburu dan menjebak binatang dari hutan. Kegiatan pertanian diatur oleh Kasepuhan sesuai dengan ketentuan adat yaitu rukun tujuh (tujuh langkah kegiatan bercocok tanam pare gede), dimulai dari membersihkan dan memberi batas lahan yang akan ditanami hingga panen. Kegiatan bercocok tanam di sawah juga mengenal sistem tumpangsari. Beberapa jenis tanaman ada yang ditanam di pematang sawah, seperti terubuk, pinang juga sebagai penjaga tanah sawah supaya tidak longsor, talas, dan beberapa jenis palawija. Sementara itu, di beberapa sawah juga ada yang sengaja menyisihkan sedikit lahan di bagian pinggirannya untuk ditanami sayuran berumur pendek.

Dari hutan, masyarakat tidak hanya mengumpulkan kayu bakar namun juga mengumpulkan tanaman liar yang dapat diolah sebagai sumber pangan. Tanaman-tanaman liar tersebut biasanya mereka konsumsi dengan cara dilalap atau diolah terlebih dahulu (direbus, dijadikan sebagai campuran untuk sayur, dan lain-lain). Saking seringnya masyarakat memanfaatkan tanaman-tanaman liar tersebut sebagai sumber pangan sehari-hari; beberapa tanaman liar tersebut didomestikasi dengan cara ditanam di kebun, pinggiran sawah, maupun kebun pinggiran rumah. Tiga diantara jenis tanaman liar yang didomestikasi tersebut yaitu terubuk, pohpohan, dan rendeu (tiga jenis tanaman liar yang juga sering dijual oleh perempuan Cibedug ke luar kampung). Selain itu pisang, pare gede, dan cengkeh juga hasil kekayaan alam yang umum mereka jual. Leweung juga menjadi tempat tumbuhnya beragam jenis obat-obatan herbal yang masih dimanfaatkan warga Cibedug dengan baik. Tanaman yang diambil liar dari leweung tersebut dimanfaatkan dengan beragam cara (direbus, diminum getahnya, ditumbuk dan dibalurkan, langsung dimakan, dll) dan berkhasiat untuk mengobati berbagai jenis penyakit.

Sekitar tahun 1960 hingga akhir 1990-an warga Cibedug juga sebenarnya cukup sering berburu dan menjebak hewan di hutan untuk dimakan (terutama kijang/rusa). Namun memasuki tahun 2000-an kijang tersebut sudah semakin jarang terlihat. Kegiatan menjebak ikan menggunakan sosog dan badodon (perangkat ikan berbahan dasar bambu) di sungai, di sisi lain, masih dipraktikkan. Terkadang ketika menangkap ikan, untuk dikonsumsi; warga juga secara tidak sengaja menemukan bulus (Dogania subplana) yang dikenal berkhasiat mengobati berbagai penyakit. Selain itu ada juga warga yang berburu tupai, puyuh, dan beragam jenis burung dengan menggunakan senapan angin. Selain tiga acara pemenuhan pangan di atas, Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug juga beternak ayam, bebek, ikan, dan kambing. Lebih jauh, kebutuhan pangan warga tidak hanya dipenuhi melalui hasil panen yang ditanam sendiri atau diambil liar dari hutan, namun juga dibeli dari warung-warung di Kampung Cibedug mapun Desa Citorek Tengah.

Secara umum Kasepuhan Cibedug memiliki tingkat kemandirian yang tinggi dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan dan penghidupannya sendiri. Proporsi sumber makanan yang dikonsumsi warga Cibedug yang merupakan hasil produksi sendiri sekitar 50-60% sedangkan 20-30% diambil langsung dari wilayah adat Kasepuhan Cibedug. Sumber penghasilan utama masyarakat berasal dari aktivitas berbasis lahan (menjadi buruh tani) di mana 100% warga Cibedug sendiri masih mengakses lahan pertaniannya sendiri-sendiri. Kemandirian dan ketahanan pangan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug juga ditopang oleh sistem penyimpangan padi dalam lumbung tradisional (leuit). Setiap rumah memiliki setidaknya satu buah leuit yang berisi antara 100-500 pocong pare gede (1 pocong setara dengan 5 liter beras). Pare gede yang disimpan di leuit dapat bertahan antara 5 hingga 20 tahun lamanya dan kualitasnya tetap terjaga dengan baik.

Dampak Krisis Iklim Bagi Masyarakat Adat Cibedug

Kampung Cibedug, salah satu dari 5 kampung yang masuk wilayah adat (wewengkon) Kasepuhan Cibedug di Desa Citorek Barat, berjarak 8 kilometer jauhnya dari pusat desa. Kasepuhan Cibedug di Desa Citorek Barat, berjarak 8 kilometer jauhnya dari pusat desa. Kampung Cibedug dapat diakses selama 3,5 jam berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor melewati jalanan tanah berbatu yang menghubungkan Desa Citorek dengan kampung tersebut. Menurut stasiun pengamatan cuaca di Cikotok dan Cirotan, curah hujan di wewengkon Kasepuhan Cibedug ini cukup tinggi yaitu berkisar antara 4.000-5.000 milimeter per tahun. Dengan kemiringan lahan 0% sampai 45%, suhu rata-rata bulanan adalah 21°C sedangkan suhu terendah yang pernah tercatat yaitu 17°C dan tertinggi 33°C. Wilayah adat Kasepuhan Cibedug seluas 2.104,4 Ha terletak di ketinggian antara 600-900 mdpl di kawasan pegunungan Halimun Salak yang ditetapkan menjadi taman nasional sejak tahun 1992 hingga saat ini.

Bentang alam Kasepuhan Cibedug yang terdiri atas bukit dan pegunungan dengan musim hujan dan kemarau yang tidak terlalu ekstrem memastikan keamanan pangan warga Cibedug. Namun tercatat bahwa krisis iklim, yang hadir dalam bentuk bencana hidrometeorologi, membawa dampak-dampak sebagai berikut:

Kesulitan membaca pergantian musim dan perubahan pola tanam. Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug mengenal adanya fenomena-fenomena alam yang menandai pergantian musim tertentu untuk bercocok tanam. Tanda alam yang ditunjukkan oleh hewan dan tumbuhan tertentu ini menjadi penanda penting bagi warga Kasepuhan Cibedug sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Namun, saat ini mereka menyadari bahwa musim telah bergeser hingga warga kesulitan mengenali pergantian musim dan kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam jenis tanaman tertentu. Misalnya menurut kalender lokal musim ngijih (hujan) ini terjadi dari Desember hingga April, namun saat ini hujan lebat sudah terjadi sejak November bahkan terkadang Oktober sedangkan padi belum memasuki masa tanam dan lahan pertanian masih waktunya diistirahatkan. Terlebih dengan berkurangnya jumlah burung bareboyan yang semakin jarang ditemui di hutan-hutan menyebabkan warga kesulitan mengenali bahwa musim ngijih telah datang.

Perubahan curah hujan, minimnya pasokan air bersih, dan gagal panen. Di tahun 2019 curah hujan di sekitar wilayah Kasepuhan Cibedug berkurang cukup drastis, memicu gagal panen pare gede saat itu. Padahal di tahun sebelumnya curah hujan relatif tinggi dan hasil panen pun memuaskan. Di tahun itu sayur-sayuran yang ditanam warga juga banyak yang tidak tumbuh sebab pasokan air berkurang drastis. Kemarau ini juga menyebabkan area Waru Doyong (pemukiman penduduk Cibedug di sebelah selatan) mengalami kekeringan. Karena secara geografis Waru Doyong berada di ketinggian dan sumber air warga di sini berasal dari sumur, maka kemarau di tahun 2019 berdampak pada keringnya sumur dan sawah-sawah. Keluarga di Waru Doyong harus turun 400-500m untuk mengambil air ke sungai tiap pagi dan sore hari setiap harinya—sedangkan yang biasanya bertugas memastikan air selalu tersedia di rumah adalah perempuan. Kemarau di tahun 2019 ini merupakan kemarau terparah yang pernah dialami oleh warga Cibedug diantara musim kemarau berkepanjangan lainnya (tahun 1958, 1963, dan 1965) yang dialami warga. Di tahun 1958 kemarau terjadi selama beberapa bulan tanpa diselingi hujan sekalipun. Sedangkan pola kemarau di tahun 1963 dan 1965 yaitu musim kemarau berlangsung cukup panjang selama 3 bulan diselingi hujan tiap seminggu sekali. Kondisi ini menyebabkan rendahnya hasil panen pare gede dan sayur-sayuran warga sebab lahan pertanian mengering.

Masuknya pupuk kimia ke dalam sistem pertanian mengikis kesuburan lahan dan menggeser kearifan lokal. Kondisi musim yang tidak bersahabat tersebut juga menjadi salah satu faktor pemicu lebih masifnya penggunaan pupuk kimia oleh masyarakat di awal tahun 1970-an sebab pupuk kimia dinilai lebih cepat menyuburkan tanah. Setelah menggunakan pupuk kimia, yang awalnya 1-3 liter per pocongnya, hasil panen pare gede setelah memakai pupuk kimia bertambah menjadi 5 liter per pocong. Meskipun demikian, masyarakat mengakui bahwa kondisi tanah lebih subur dahulu dibandingkan sekarang. Sebelum tahun 1970, dalam bercocok tanam hampir semua warga menggunakan pupuk dari daun kotoran ternak. Daun-daun, rumput, dan tanaman pare gede sisa panen diinjak ke dalam sawah sebagai pupuk alami. Berbeda dengan saat ini yang mayoritas petani menggunakan pupuk jenis TSP (Triple Super Phospate), urea, dan phonska. Dengan kedalaman tanah 1-2m, sekarang pun lahan sawah warga dirasa cepat mengering jika tidak terairi. Namun demikian, warga menyadari bahwa penggunaan pupuk kimia telah menyebabkan lahan pertanian semakin kering dan mematikan bakteri-bakteri baik dalam tanah. Oleh karenanya saat ini petani Cibedug mulai mengurangi penggunaan pupuk kimia dan kembali memanfaatkan dedaunan, kotoran ternak, serta rumput sebagai pupuk organik.

Serangan hama dan munculnya jenis penyakit tanaman yang tidak dikenali. Maraknya penggunaan pupuk kimia serta perubahan pola musim menimbulkan permasalahan hama dan penyakit tanaman yang masih sulit ditangani oleh warga Kasepuhan Cibedug. Hama yang menyerang tanaman sayuran di Kasepuhan Cibug utamanya adalah wereng dan ulat yang menyerang cesin, kacang panjang, timun, dan singkong. Wereng dan ulat ini menyebabkan batang dan daun tanaman berlubang-lubang yang kemudian mengering dan akhirnya tanaman menjadi mati. Sedangkan padi di Cibedug umumnya diserang oleh walang sangit yang menghisap sari padi sehingga bulir-bulir padi mengering atau kosong (hapa). Wereng dan walang sangit ini sangat mudah berkembang populasinya terutama apabila bercocok tanam tidak serentak—kegiatan bercocok tanam yang saat ini kian ditemui di Kasepuhan Cibedug sendiri. Gangguan lainnya pada tanaman padi warga Cibedug berasal dari virus/bakteri yang menyebabkan pucuk-pucuk daun padi memerah kemudian mengering dan mati (warga Cibedug menyebut penyakit padi tersebut dengan ganyur atau angin lada). Disamping ada hama-hama yang diketahui, ada pula penyakit tanaman yang tidak diketahui sumber masalahnya apa dan menimbulkan kebingungan warga seperti tanaman sayur atau padi yang mati secara cepat dan tiba-tiba.

Meningkatnya risiko longsor yang mencemari pasokan air bersih dan mengancam kesehatan. Karena Kampung Cibedug berada di ketinggian dengan kontur tanah berupa bukit dan pegunungan, maka kemiringan lahan di Cibedug pun cukup tinggi. Hujan lebat diikuti longsor beberapa kali terjadi yang masa tanahnya jatuh menimpa lahan pertanian atau kebun warga maupun akses jalan dan listrik menuju Kampung Cibedug. Longsor ini meningkatkan ancaman bagi keselataman warga selain berdampak pada kesehatan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug. Longsor dan hujan lebat di hulu sungai atau dekat mata air mencemari pasokan air bersih yang apabila dikonsumsi dalam jangka waktu lama akan mengganggu kesehatan warga Cibedug. Apalagi beberapa kegiatan seperti mandi, mencuci, dan buang air besar pun masih dilakukan oleh sejumlah warga di sungai sebab tidak semua rumah sudah memiliki fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) yang baik. Rata-rata jarak antara sungai dengan rumah-rumah warga sendiri adalah 100-200m jauhnya. Air-air dari sungai masuk ke dalam rumah warga dengan melewati selang-selang yang dibeli sendiri-sendiri oleh tiap keluarga sejak tahun 2008. Air tersebut utamanya digunakan untuk memasak, mandi, dan mencuci.

 

Penulis: Supriadi

Sumber: 

Supriadi. (2020). Food System Profile of Kasepuhan Cibedug Indigenous Peoples in Cibeber, Lebak, Indonesia and Elements of Sustainability and Climate Resilience. Bogor: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment.

 

 

Indigenous Peoples Community of Cibarani and Their Potentials

Kasepuhan Cibarani Indigenous Peoples are indigenous peoples who live in the administrative area of ​​Cibarani Village, Cirinten District, Lebak, Banten. According to the current village head and customary head, Dulhani, the first pupuhu or ancestor of Kasepuhan was Ama Haji Dul Patah. They had lived in their wewengkon (customary territory) long before the Dutch colonial era.

The customary territory of Kasepuhan Cibarani covers almost the entire Cibarani Village which consists of 10 villages with an area of ​​approximately 1,200 hectares. Kasepuhan Cibarani Indigenous Peoples are descended from Parung Kujang, a pancer (center, parent group) in the Kasepuhan.

Generally, the Cibarani people are engaged in agriculture. Every day, they cultivate rice fields and gardens. This routine is carried out from morning to evening, except Friday and Tuesday due to taboos in Kasepuhan Cibarani. 

On November 5, 2018, the customary head of Kasepuhan Cibarani Indigenous Peoples, Abah Dulhani, directly submitted the Kasepuhan Cibarani Customary Forest application to the Minister of Environment and Forestry, Siti Nurbaya in Manggala Wanabakti, Jakarta. Part of the customary area proposed to become Customary Forest is a forest area that functions as Production Forest and is held by Perum Perhutani.

Furthermore, on July 31, 2019, the Kasepuhan Cibarani Customary Forest Verification and Validation Team carried out the verification and validation process of the subject and object of submitting Customary Forest simultaneously in three locations: (1) Kasepuhan Cibarani Multipurpose Center, (2) Border between Cibarani and Baduy in Sukawaris Village, and (3) Mount Liman Block in Pasir Sempur Village. 

Economic Potential and Natural Resources

Cultivating rice fields is a primary activity for the Kasepuhan Cibarani Indigenous Peoples. Kasepuhan Cibarani Indigenous Peoples usually grow rice and harvest it twice a year. The seed varieties that are used are various types of local seeds called pare gede. There are about 20 varieties recorded that are still stored in leuit (traditional barn). Generally, the community use cereh apel seeds which take 4-5 months to harvest. The rice harvest is not traded, but only for the community’s consumption and stored in the leuit (traditional barn). This activity is also a form of the food sovereignty system initiated by the Kasepuhan ancestors.

To get cash, the community trades plantation products such as palm sugar, chocolate, cloves, coffee, rindu, petai, jengkol and seasonal fruits. In addition, the community also works as daily and/or weekly farm laborers, timber transporters and seasonal harvest workers. The distribution of the livelihoods sources of Kasepuhan Cibarani Indigenous Peoples from the agricultural sector can be divided into daily, weekly, monthly and annually.

Income that is included in the daily source of livelihoods, among others, farm labour and the sale of palm sugar. Whereas income that is classified as a weekly source of livelihood, namely farm laborers and harvest laborers, bananas, picung, chocolate, palm sugar, and rubber. Monthly sources of livelihood consist of sales of rice, corn, cucumbers, bananas, as well as farm laborers and harvest laborers. On the other hand, the main source of annual livelihood comes from selling cloves, coffee, durian, rambutan and timber. Although the numbers are not large, some people also earn income from raising goats and chickens.

Kasepuhan Cibarani Indigenous Peoples have quite diverse sources of income. With the issuance of the Customary Forest Decree, their livelihoods will be more secure. Customary forests are the rights of indigenous peoples and a community management system combined with local wisdom will certainly provide two benefits at once: forest benefits and preservation.

 

Author: Siti Marfu’ah

Editor: Indra N. Hatasura

Translator: Alfina Khairunnisa

Local Varieties of Rice, A Very Valuable Source of Biodiversity

Maybe some of us know that there used to be a national superior rice named IR 64. IR 64 is one of the many names of rice that was launched in 1986 by President Soeharto. IR rice, government rice, superior rice are other names for IR 64.

Apart from that, there is also rice which is called Pandan WangiPandan Wangi is a local variety of rice from Cianjur, which has been developed since the 1970s. In addition, there are also Rojolele, Padi Ketan (glutinous rice), and other types of rice.

In fact, there are so many types of rice that it cannot be counted with ten fingers. As in Kasepuhan alone, you can find at least 34 rice varieties that are physically available (at the Pare Gede Festival in Kasepuhan Cirompang, October 2015 held by RMI). Through discussions with customary figures, they mentioned that there are at least 40 types of local rice there called pare gede (characterized by its tall plant shape).

Each of these varieties also has its own advantages because it has adapted well to its environment. Some are resistant to certain pests, some have different colours (black, red, white, brown), some are drought resistant, some have different flavours, and many more. Another advantage is that this variety of unhulled rice can be stored for a very long time in the traditional barn of the Kasepuhan community called the leuit (rice barn).

When visiting Kasepuhan, occasionally, we are treated with local rice which has been stored for around 20 years. The taste is still delicious, only differs in a deeper brown colour or maybe the origin of the variety is indeed brown rice.

The people of Kasepuhan added, that government superior rice (also known as pare leutik by local people) planted in the same location can only last a maximum of one year if stored because it will spoil. The seeds fall out immediately after harvesting. Its high productivity comes at a price for its inability to be stored.

These local rice varieties are a very valuable source of biodiversity. They are not the past but a hope for the future. These local rice varieties are still here because they are preserved by the Kasepuhan community, therefore indigenous peoples and their cultures need to be recognized, protected, and be fulfilled of their rights.

Author: Indra N. Hatasura

Editor: Siti Marfu’ah

Translator: Alfina Khairunnisa