SPORA Batch V: Menumbuhkan Keresahan dan Refleksi Generasi Muda dalam Menyelami Persoalan Sosial-Lingkungan

 

   Foto bersama peserta SPORA Batch V (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

“SPORA batch V banyak memberikan makna baru dalam kamus hidup setiap peserta. Selain dilatih untuk berpikir kritis, SPORA juga melatih keseimbangan antara otak dan hati.” -Elif Ivana Hendastari (Peserta SPORA Batch V)

Generasi muda memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam melakukan perubahan sosial-lingkungan. Bukan hal baru jika julukan agen perubahan hingga pembaharu dengan semangat progresif melekat dalam diri generasi muda. Pengharapan terhadap mereka pun bahkan sempat disampaikan oleh presiden pertama RI, di mana ia berkata bahwa dunia dapat diguncang dengan berbekal 10 pemuda. 

Namun dalam melakukan suatu perubahan, menjadi satu hal penting bagi generasi muda untuk lebih memahami isu-isu sosial-lingkungan dengan menarik keterkaitan antara masyarakat dengan pengelolaan kekayaan alam. Bagaimana dari keterkaitan tersebut tanpa kita sadari memiliki dampak pada ketimpangan serta krisis sosial-ekologis yang terjadi di sekitar kita. 

Berawal dari kesadaran atas pentingnya memahami isu sosial-lingkungan bagi generasi muda, menjadi dorongan besar bagi RMI untuk mengadakan kursus singkat yang di dalamnya membicarakan seputar isu tersebut. Kegiatan yang menjadi model pembelajaran sejak tahun 2016 ini telah membawa 82 alumni (dari lima batch) yang diharapkan dapat menjadi penggerak sosial di lingkungan mereka masing-masing. 

Kursus SPORA, yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Short Course sempat terhenti selama dua tahun akibat pandemi Covid-19, akhirnya kembali terlaksana pada tanggal 6-10 Agustus 2022. Sebanyak 22 peserta yang terdiri dari 14 orang perempuan dan 8 orang laki-laki berkegiatan bersama selama lima hari, saling bertukar pikiran dan pendapat, mempelajari isu-isu sosial dan lingkungan, serta keterhubungan antar berbagai isu beserta konteks yang melatarbelakanginya. 

Perjalanan Generasi Muda Merefleksikan Diri dan Sekitarnya

Foto diskusi kelompok peserta SPORA Batch V (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Materi SPORA yang dibawakan dikemas secara sistematis dengan metode-metode yang beragam dan menyenangkan berdasarkan pengalaman RMI dalam menyelenggarakan kegiatan bersama dengan masyarakat. Hal ini bertujuan agar penyampaian materi kepada seluruh peserta tersalurkan dengan optimal dan mudah dipahami sehingga menjadi satu pemahaman yang utuh. 

Pembelajaran yang didapat setiap harinya menjadi pengalaman unik bagi setiap peserta yang mengikuti kegiatan SPORA. Akan tetapi ada kesamaan tujuan dalam penyampaian setiap materi: menumbuhkan keresahan dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis generasi muda dalam melihat persoalan sosial-lingkungan di sekitar. Tujuan tersebut terfasilitasi melalui sejumlah materi yang disampaikan, antara lain mindfulness dan Kepemimpinan inklusif, Kebijakan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA), Gender dan Inklusi Sosial, Etika Lingkungan, Ekologi Politik, Kebijakan dalam PSDA, Kemiskinan Struktural, kemudian dilanjutkan dengan Observasi Sosial di sekitar lokasi kegiatan.

Untuk menunjukan kompleksitas persoalan sosial-lingkungan, materi yang disiapkan untuk kegiatan SPORA pun saling terkait dengan materi lain. Seperti halnya dengan materi Etika Lingkungan yang dibawakan oleh Mardha Tillah, di mana peserta diajak untuk menyelami pemahaman atas keterhubungan alam dengan makhluk hidup di dalamnya. Bagaimana manusia memahami, menghuni, sampai mengubah lingkungan di sekitarnya; bagaimana rasio dianggap lebih superior ketimbang perasaan; bagaimana tradisi serta dogma agama dapat mempengaruhi manusia dalam mengelola kekayaan alam yang tersebar di bumi; hingga pada akhirnya mendorong tumbuh dan makin menjamurnya praktik kapitalisme sampai saat ini. 

Foto Mia Siscawati, pemateri Gender dan PSDA di SPORA Batch V (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Materi Etika Lingkungan di atas pada dasarnya adalah pengantar bagi materi yang disampaikan setelahnya yaitu Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA). Menjadi satu hal yang menarik saat seluruh peserta diajak untuk membuat pentas drama atau bermain peran (role play) oleh Mia Siscawati, sebagai penghubung dalam memahami materi yang akan disampaikan. Beragam persoalan sosial-lingkungan mulai dari persoalan gender di wilayah rural-urban ditampilkan seluruh peserta dengan cara yang amat kreatif. Tanpa disadari hal-hal yang telah ditampilkan peserta melalui role play tersebut mengajak mereka untuk lebih tersadar dan memahami persoalan gender sehari-hari yang mereka temui namun luput untuk direfleksikan lebih mendalam. Bagaimana peran gender sebetulnya terbagi menjadi beberapa peran seperti domestik atau reproduksi, produktif, dan peran sosial adalah salah satu pembelajaran penting yang diperoleh peserta selama sesi ini berlangsung. 

Pemateri lalu melanjutkan pemaparannya bahwa persoalan gender yang ada tidak akan terlepas dari relasi antar kelas dan bentuk-bentuk lain dari ketidakadilan gender. Paparan terkait dengan sistem tenurial menjadi pembelajaran menarik lain di dalam materi Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA). Melalui penjelasan tentang sistem tenurial yang juga mencakup seluruh komponen dalam ruang hidup, dapat berdampak pula pada keterkaitan lain yang memungkinkan untuk menimbulkan konflik seperti konflik agraria. Hal ini menjadi isu yang seringkali berada di luar perhatian publik maupun pemberitaan media massa. Karena persoalan tersebut masih dianggap sebagai persoalan milik mereka yang ruang hidupnya terampas. Proses yang dilalui peserta dalam materi ini kemudian mengantarkan mereka pada satu pemahaman bahwa kerusakan lingkungan dan konflik agraria dapat melanggengkan praktik ketidakadilan gender.

Foto peserta SPORA Batch V bermain Mancing Mania (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Pembelajaran dan refleksi yang didapat selama kegiatan SPORA berlangsung tidak hanya berasal dari materi-materi yang disampaikan dalam metode ceramah saja. Adapun metode ajar yang disampaikan melalui diskusi, tugas individu, sesi team building, dan permainan-permainan. Pembelajaran menarik salah satunya terlihat dalam permainan “Mancing Mania” pada materi Konsep Keberlanjutan, Konflik, dan Resolusi yang mengajak peserta untuk memahami konsep berkelanjutan itu sendiri. Dalam realita pemanfaatan kekayaan alam; tak jarang masyarakat, perusahaan, atau bahkan pemerintah sendiri melakukan kegiatan pemanfaatan kekayaan alam dengan cara-cara ekstraktif tanpa mempertimbangkan kekayaan alam kian menipis seiring berjalannya waktu. 

Refleksi akan pentingnya merubah cara pandang terhadap pemanfaatan kekayaan alam menjadi pembelajaran penting setelah permainan ini usai dilakukan. Tidak sedikit peserta yang kesal karena secara gamblang menyaksikan ketamakan yang diperlihatkan selama permainan berlangsung. Hal tersebut merefleksikan pola-pola pemanfaatan kekayaan alam yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan. 

Pasca-SPORA Batch V

Seluruh peserta telah mengikuti lima hari kegiatan SPORA dengan sangat baik. Proses pembelajaran serta transfer pengetahuan dan pengalaman juga terjalin secara mandiri di antara peserta, tidak terpaku pada fasilitator atau pemateri saja. Di akhir kegiatan, setiap peserta juga menyampaikan cita-cita mereka di kemudian hari bagi lingkungan di sekitarnya. Penguatan komitmen, oleh karenanya, merupakan satu hal penting untuk memastikan keberlanjutan dari pengharapan yang ingin mereka wujudkan. Bagaimana gerakan sosial yang digawangi oleh generasi muda dapat menjadi pendekatan dalam merespon persoalan sosial-lingkungan yang tengah kita hadapi saat ini menjadi hal yang diproyeksikan terjadi pasca-SPORA berlangsung.

Foto peserta SPORA Batch V (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Kegiatan SPORA Batch V telah usai. Namun seluruh pengalaman dan pembelajaran yang telah didaparkan oleh peserta dan juga pemateri tidak serta merta terhenti setelah kegiatan. Pengetahuan dan informasi selama kegiatan SPORA diharapkan dapat menjadi bekal kaum muda dalam memahami dan merespon persoalan sosial-lingkungan yang terjadi disekitar. Oleh karena itu seluruh peserta yang telah menyelesaikan kegiatan SPORA diajak untuk bergabung dan aktif berkegiatan di dalam Relawan4life, yang merupakan ruang belajar generasi muda yang diinisiasi RMI sebagai tempat bagi orang muda untuk merawat inisiatif-inisiatif gerakan sosial-lingkungannya bersama

Sampai bertemu lagi di SPORA Batch selanjutnya!

 

Penulis: Dinah Ridadiyanah 

Editor: Supriadi

 

Silakan klik link berikut untuk melihat tanggapan peserta mengenai kegiatan Kursus Singkat ini :

Cerita Tias: Spora: Menyikapi Pesimisme dengan Positif – Relawan for Life (wordpress.com)

Cerita Elif: SPORA batch V : Letih, Tertatih, namun Melatih   – Relawan for Life (wordpress.com)

Cerita Anggi: Karena SPORA Tak Harus Tumbuh Saat Itu Juga – Relawan for Life (wordpress.com)

Pengumuman Seleksi – SPORA Relawan Lingkungan untuk Perubahan Sosial (Batch 5)

Terima kasih atas antusias kaum muda yang telah mendaftarkan diri pada SPORA, Relawan Lingkungan untuk Perubahan Sosial Batch ke-5. Setelah melalui proses seleksi, telah terpilih 30 kaum muda yang memenuhi kualifikasi untuk mengikuti kegiatan ini:

  1. Rifky Putra Kurniawan (Universitas Padjadjaran)
  2. Fitri Widya Utami (Universitas Indonesia)
  3. M. Khoirul Imamil M (Universitas Gadjah Mada)
  4. Analia Nur Shasanti (UNISBANK)
  5. Novita Sari (Universitas Jambi)
  6. Muhammad Udhian Sidqi (Universitas Brawijaya)
  7. Siti Sopariah (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)
  8. Elif Ivana Hendastari (Universitas Institut Pertanian Bogor)
  9. Jenly Haurissa (Universitas Papua)
  10. Ahmad Hazim Fakhri (Universitas Syiah Kuala )
  11. Sucia Lisdamara Yulmanda Taufik (UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)
  12. Qaedi Zulfahmi (Universitas Pendidikan Indonesia)
  13. Heri Prasetyoning Tias (Universitas Airlangga)
  14. Yeti Khusnul Khotimah (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)
  15. Erlangga Yoga Hutama (Universitas Trisakti)
  16. Ari Zonanda (Universitas Syiah Kuala)
  17. Ainun Sholikhatul Fatimah (Universitas Sebelas Maret)
  18. Adella Zahra (Universitas Negeri Jakarta)
  19. Anggi Nopitasari (IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
  20. Alfina Damayanti (Universitas Institut Pertanian Bogor)
  21. Solehudin (Universitas Jenderal Achmad Yani)
  22. Zidan Fachrisyah (Universitas Nasional)
  23. Nabila Ulayya Nurbani (Universitas Bina Nusantara)
  24. Anisa Jasmine Putri Prabowo (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
  25. Donna Setiawan (Politeknik LPP Yogyakarta)
  26. Jeki Anderson Nababan (Politeknik Ahli Usaha Perikanan)
  27. Ikaf fandulu (Kompilasi Ujungkulon)
  28. Intan Nurhidayati (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)
  29. Ridadiyanah (Universitas Diponegoro)
  30. Ikhsan Mustaqim (Universitas Diponegoro)

Selamat untuk peserta yang terpilih! Untuk kalian yang belum masuk ke dalam list penerima beasiswa jangan berkecil hati, karena kalian dapat mencoba untuk mendaftarkan diri pada SPORA Batch selanjutnya!

Terkait teknis pelaksanaan short course ini, perlu disampaikan kembali beberapa hal berikut ini:

  • Calon peserta diwajibkan untuk mengikuti pertemuan online yang akan dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 2022 pukul 19.00 WIB.
  • Beasiswa yang diberikan hanya meliputi transport lokal antara kantor RMI dan lokasi short course serta akomodasi dan berbagai keperluan selama pelaksanaan short course. Transportasi dari domisili masing-masing menuju dan dari kantor RMI tidak ditanggung.
  • Bagi peserta yang berasal dari luar Jabodetabek diharapkan tiba di Bogor pada Jumat, 05 Agustus 2022 karena kegiatan akan dimulai pada pagi hari Sabtu, 06 Agustus 2022. RMI menyediakan tempat menginap seadanya di kantor RMI bagi yang telah berada di Bogor sejak tanggal 05 Agustus 2022 (harap membawa peralatan tidur seperti sleeping bag dan obat anti nyamuk). RMi juga menyediakan tempat untuk menginap pada tanggal 11 Agustus 2022 (di kantor RMI) bagi seluruh peserta yang ingin melanjutkan ke kegiatan Green Camp.

Upaya Mengenali Diri dan Kaitannya dengan Kepemimpinan Pribadi

Lebih mengenal dan memahami diri merupakan suatu tantangan bagi individu yang berkegiatan dengan lembaga maupun komunitas yang bergerak dalam kerja-kerja sosial. Tanpa disadari, upaya untuk lebih mengenali diri tidak jarang tertinggal atau bahkan tersingkirkan di tengah-tengah kerja sosial yang dinamis. Sedangkan proses mengenali diri, di sisi lain, dapat membantu mengatasi kelemahan serta memetakan potensi diri yang kita miliki–untuk kemudian dioptimalkan dalam kerja-kerja bersama di komunitas. 

Penguatan kapasitas, baik secara individual maupun organisasional, menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh ketiga komunitas yang tergabung dalam inisiatif Kampung Katong (Simpasio Institute, Kolektif Videoge, dan Lakoat.Kujawas) karena berkaitan dengan kebutuhan regenerasi dan pendalaman cakupan kerja di dalam internal komunitas mereka sendiri. Selama inisiatif Kampung Katong ini berjalan hingga tahun 2023, kegiatan Pelatihan Kepemimpinan akan dilaksanakan sebanyak tiga kali. Pelatihan akan disampaikan dengan materi-materi pendukung yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas kepemimpinan dalam beberapa tingkatan yakni; level pribadi pada Pelatihan Kepemimpinan 1, level penggerak organisasi Pada Pelatihan Kepemimpinan 2, dan level sistemik pada Pelatihan Kepemimpinan 3.

Kali ini kegiatan Pelatihan kepemimpinan 1 diselenggarakan di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dilaksanakan selama lima hari, Pelatihan Kepemimpinan 1 yang telah ditujukan untuk meningkatkan pemahaman akan diri pribadi secara lebih mendalam dan memahami posisi pribadi dalam gerakan sosial dan meningkatkan semangat kerja kolektif untuk kemajuan komunitas yang selama ini telah menjadi nafas utama dalam aktivitas rutin ketiganya.

Perkenalan dan Refleksi terhadap Kerja di Komunitas

Kegiatan pelatihan dimulai pada tanggal 22 Mei 2022, di mana ketiga komunitas pada akhirnya bertemu kembali setelah sebelumnya melakukan kegiatan Residensi selama satu minggu di Mollo (lokasi Lakoat.Kujawas) pada bulan Maret 2022 lalu. Meskipun  ketiga komunitas yang tergabung dalam inisiatif Kampung Katong berasal dari wilayah yang berbeda-beda, tidak menghalangi pembelajaran yang didapatkan selama prosesnya. Beberapa sesi dalam pelatihan justru disusun untuk mempelajari keberagaman latar belakang sosial-budaya dan saling mengapresiasi kerja-kerja komunitas–termasuk pembelajaran yang diperoleh sejauh ini.

Beragam kisah, budaya, dan pengalaman dituangkan oleh setiap peserta pelatihan melalui metode perkenalan di hari pertama. Penggunaan metode “Kita pung box” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Kotak Kepunyaan Saya” menjadi media perkenalan peserta yang sangat menarik. Dimulai dengan memberikan hiasan menggunakan spidol, krayon, potongan koran dan majalah bekas, hingga menggunakan bunga serta dedaunan yang ada di sekitar Biara Susteran PRR Weri yang menjadi lokasi dilaksanakannya pelatihan. 

Setelah memperindah box yang sudah disediakan, semua peserta mempresentasikan hasil karya mereka seraya memperkenalkan diri dengan cara yang unik dan kreatif. Marto salah seorang peserta pelatihan dari komunitas Teater SiapaKita Labuan Bajo (salah satu jejaring Kolektif Videoge) menceritakan bahwa proses pengenalan dirinya relevan dengan unfolding theory (salah satu metode pembawaan alur cerita dalam teater/drama). Dia berkata bahwa pada saat membuka satu lapisan dalam diri, pasti tidak akan langsung terbuka karena akan ada lapisan-lapisan lain setelahnya. Selain memperkenalkan diri kepada peserta lain, adapun peserta pelatihan yang membagi kisah hidup yang dialami hingga ia bisa bertahan sampai hari ini. 

Refleksi yang dilakukan selama proses pembuatan “Kita pung box” menjadi pembelajaran tersendiri, selain dapat dijadikan proses pengenalan diri bagi peserta pelatihan. Aden dari Kolektif Videoge memaparkan bahwa pembelajaran yang diterima melalui penggunaan metode “Kita pung box” dapat memunculkan pemikiran, informasi, dan perasaan yang mungkin selama ini hanya dipendam dalam diri sendiri. Mengenali kelebihan diri dan mempersiapkan masa depan. Hal itu pula yang nantinya akan sangat berdampak pada kerja-kerja di komunitas: dengan lebih memahami diri sendiri dan makin munculnya keterbukaan di antara anggota komunitas pastinya akan memudahkan apa yang sedang diusahakan.

Proses Pengenalan Diri dan Kepemimpinan Pribadi (Stereotip dan Bias Implisit)

Dalam menjalani proses pengenalan diri, perlu adanya alat bantu yang digunakan untuk mendalami diri dan merefleksikan segala hal yang telah maupun telah dilalui. Salah satu alat bantu yang digunakan di sini yaitu mengenal kepribadian melalui tes Myers-Briggs Type Indicator (MBTI). 

Untuk mengikuti tes MBTI ini, setiap peserta diminta untuk memberikan nilai pada pernyataan yang telah disediakan sebelumnya. Melalui pernyataan tersebut akan menghasilkan beberapa indikator tipe kepribadian yang diantaranya berisi Ekstrovert/Introvert, Intuitive/Sensing, Feeling/Thinking, dan Perceiving/Judging.

Walaupun hasil dari tes MBTI belum tentu akurat, tes MBTI ini dapat menjadi salah satu jalan pembuka untuk mengidentifikasi potensi dan mengenal diri lebih dalam. Menanggapi hasil tesnya,  Retha dari SimpaSio Institut berpendapat bahwa banyak tips yang perlu dipahami terlebih dahulu dan jangan langsung diterima begitu saja. Dari penjelasan MBTI, ada penjelasan mengenai kelebihan dan kekurangan diri serta bagaimana memperbaikinya. Namun menurutnya kepribadian tidak akan berhenti di satu titik. Pembelajaran yang telah dilalui selama ini dapat mempengaruhi kepribadian kita kedepannya. 

Lain halnya dengan pendapat yang dipaparkan oleh Ari dari Lakoat.Kujawas. Ia memberikan tanggapan bahwa setelah melihat tips yang diberikan melalui modul, masing-masing individu semakin sadar dan mengetahui potensi serta batasan-batasan yang mungkin ada dalam diri. Melalui tes kepribadian yang telah dilakukan, hasilnya cukup merepresentasikan kepribadian dan apa yang dirasakan setiap anggota komunitas.

Selanjutnya, upaya untuk lebih memahami dan melihat potensi diri di dalam komunitas terkonfirmasi melalui diskusi yang dilakukan bersama dengan anggota komunitas masing-masing. Banyak pembicaraan menarik yang disampaikan oleh tiap-tiap komunitas. Di dalam kelompok, mereka saling bergantian memberikan masukan berdasarkan contoh sehari-hari serta mengkonfirmasi penjelasan dan tips yang dituliskan di dalam modul MBTI. 

Untuk dapat memimpin sesuatu, kita perlu menjadi pemimpin untuk diri kita sendiri. Oleh karenanya selain mengenali diri sendiri, seorang pemimpin hendaknya mampu memahami realita sosial dan tantangan-tantangan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu tantangan tersebut mewujud ke dalam stereotip dan bias implisit yang terbentuk sedari dulu di tengah-tengah masyarakat. Dalam pelatihan kali ini, disinggung pula bagaimana stereotip dan bias implisit telah disematkan kepada seseorang sejak masih berada di usia dini, hingga berkembang ketika dewasa. Melalui teori interseksionalitas, diskriminasi beserta keistimewaan pada ras tertentu, jenis kelamin, agama, gender, usia, etnis, atau karakteristik lainnya. 

Selama kegiatan berlangsung, semua peserta saling memberikan pendapat terkait stereotip yang terjadi disekitar mereka maupun yang mereka rasakan sendiri. Ari dari Lakoat.Kujawas mengungkapkan bahwa ia sempat beranggapan bahwa semua idol yang berasal dari Korea Selatan pasti melakukan operasi plastik. Namun operasi plastik yang marak dilakukan oleh idol-idol Korea kebanyakan datang dari wilayah luar yang pada akhirnya mempengaruhi standar kecantikan di negara tersebut. Ditambah lagi dengan pemasukan Korea Selatan yang lebih banyak datang dari bidang hiburan yang menambah penggunaan jasa operasi plastik. Melalui diskusi yang telah dilakukan mengenai stereotip dan bias implisit, seluruh peserta akan mengonfirmasikan beberapa hal secara langsung dengan turun ke lapangan dan melakukan observasi sosial.

Sementara Eda dari SimpaSio Institut menceritakan tentang stereotip yang diperlihatkan kepada masyarakat di Indonesia timur. Pelabelan tersebut dapat dilihat melalui film-film yang sempat beredar. Banyak film-film tentang masyarakat Indonesia timur yang hanya menggambarkan potret-potret kemiskinannya saja. Eda melanjutkan bahwa sistem pendidikan yang terlalu Jawa sentris pada akhirnya berdampak pada masyarakat di timur yang kurang memahami konteks kesejarahan yang ada di tempat masing-masing. Akibat dari pelabelan atau stereotyping yang terjadi akan berpengaruh pada cara membangun relasi dengan komunitas lain.

Melihat dan Mempelajari Keadaan Sekitar dengan Observasi Sosial

Setelah mengikuti materi tentang kepemimpinan pribadi yang berkaitan dengan stereotip dan bias implisit, seluruh peserta melanjutkan kegiatan dengan mengikuti observasi sosial yang tersebar di lima titik. Secara berkelompok, ada peserta yang melakukan observasi sosial di Pelabuhan Larantuka, Pelabuhan Tradisional (masyarakat Melayu pesisir), menyambangi kelompok tenun Waibalun (Lamaholot), mengobservasi keadaan Pasar Inpres, dan mengunjungi komunitas transpuan yang ada di Lebao. 

Semua peserta pelatihan yang mengikuti observasi sosial saling bertukar pembelajaran tentang apa yang berbeda dari tempat asal mereka dan bekerja sama untuk mendapatkan informasi yang nantinya akan dipresentasikan kepada peserta lainnya. 

 Dokumentasi oleh Toni (Lakoat.Kujawas)

Citra dari Kolektif Videoge, yang merupakan anggota kelompok yang melakukan observasi di Pasar Inpres Larantuka, bercerita tentang apa yang ia lihat dan pelajari selama melakukan observasi. Ia bercerita bahwa pasar tersebut identik dengan payung berwarna-warni dan di dalamnya tersimpan beberapa hal yang cukup menarik. Adapun perbedaan antara pasar yang ada di tempat asalnya (Labuan Bajo) dengan Pasar Inpres yang ada di Larantuka yaitu komoditas yang diperjualbelikan di Pasar Inpres terasa lebih beragam: mulai dari batang kecombrang yang ditanam oleh orang-orang Adonara, kerajinan tangan dari daun lontar, hingga kue-kue pasar yang menambah kemeriahan suasana Pasar Inpres. Selain itu, kebanyakan penjual yang ada di Pasar Inpres Larantuka adalah perempuan. Walaupun ada laki-laki yang ikut berjualan, jumlahnya tidak lebih banyak dari jumlah perempuan menggelar lapak di sepanjang Pasar Inpres.

Dokumentasi oleh Marto (Kolektif Videoge)

Selain mencari tahu apa-apa saja yang sekiranya berbeda dengan tempat asal, ada pula pembelajaran baru yang didapat oleh peserta setelah melakukan observasi. Salah satu kelompok observasi yang berkunjung ke Lebao, tempat Komunitas Ikwal (Ikatan Waria Larantuka) transpuan berada, diajak untuk mendiskusikan stereotip yang disematkan kepada transgender. Mereka berbincang tentang banyak hal mulai dari sejarah terbentuknya Komunitas Ikwal, perubahan tren pilihan pekerjaan kelompok transpuan di Larantuka, stigma dan stereotip masyarakat mengenai transpuan itu sendiri, hingga bagaimana pada akhirnya sebutan “oncu” atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti “anak bungsu” digunakan oleh komunitas transpuan di Larantuka. 

Refleksi Kemiskinan Struktural dan Kerja Sama Kelompok

Pembelajaran tidak hanya berhenti di kegiatan observasi sosial. Setelah melakukan observasi sosial, semua peserta pelatihan diajak untuk memahami suatu kondisi sosial yang terjadi di tengah-tengah mereka dengan menggunakan metode permainan “Minta Dong” untuk lebih memahami mengenai persoalan kemiskinan struktural. Sebelum memulai permainan, fasilitator meminta persetujuan dari seluruh peserta yang ingin mengikuti permainan. Setelah mengukuhkan komitmen, mereka yang setuju ikut bermain tidak boleh keluar dari permainan dan diharuskan menerima konsekuensi apabila kalah dalam permainan. Namun untuk peserta yang tidak ingin bermain maka akan menjadi observer selama permainan berlangsung.

Sesi pertama pun dimulai, seluruh peserta diminta untuk mengambil 8 dari 4 jenis biji-bijian berbeda, yang telah disiapkan dan melakukan barter dengan peserta lain sambil menyebutkan kata “Minta dong!”. Namun selama ronde awal dimulai, seluruh peserta yang tengah melakukan barter belum diberitahu bahwa biji-bijian tersebut memiliki nilai yang berbeda antara satu dan lainnya. Permainan ini terbagi kedalam beberapa ronde untuk melakukan barter. Setiap berakhirnya ronde barter, poin dari tiap-tiap biji dihitung dan dijumlahkan. Barulah kemudian dilihat siapa yang mendapatkan poin paling rendah pada ronde tersebut. 

Setelah melalui ronde ketiga, barulah fasilitator menyampaikan bahwa setiap biji-bijian memiliki nilainya masing-masing. Setelah mengetahui bahwa ada perbedaan nilai, peserta yang mengikuti permainan mulai mencari cara untuk mendapatkan nilai tertinggi agar tidak kalah dalam permainan dan mendapatkan sanksi. Setelah permainan memasuki ronde terakhir, ada sedikit perubahan dalam cara bermain para peserta. Mereka yang sebelumnya saling berlomba untuk mendapatkan nilai tertinggi, mulai membagi rata nilai biji-bijian kepada seluruh peserta.

Diskusi dan refleksi kemudian dilakukan seselesainya permainan ini. Terkait dengan cara pandang melihat orang-orang yang dilabeli “kalah dalam permainan” serta kerja sama untuk membantu sesama peserta yang memiliki nilai paling rendah untuk menghindari kesenjangan. Adanya kecenderungan dari peserta dengan nilai yang tinggi untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan jumlah biji-bijiannya, meminta dari peserta lain yang kekurangan biji-bijian, juga menghindar ketika diminta barter. Salah satu refleksi utama dari permainan ini adalah bagaimana orang-orang yang kalah dalam permainan ini (si miskin) bukan karena tidak mau berusaha, melainkan karena adanya orang-orang yang “menang” (si kaya) yang terus menjalankan sistem sosial-ekonomi yang melanggengkan kondisi ini.

Penguatan Komitmen Peserta untuk Kerja-Kerja Bersama di Komunitas

Rangkaian kegiatan Pelatihan Kepemimpinan 1 diakhiri dengan melakukan penguatan komitmen dari seluruh peserta yang dilakukan di Pantai Asam Satu. Sebelum berangkat ke pantai, seluruh peserta diminta untuk menuliskan harapan dan komitmen berkaitan dengan komunitas mereka masing-masing. Setelah sampai di pantai, peserta yang mendapatkan giliran untuk membacakan harapan dan komitmen dikelilingi oleh peserta lain dengan memegang pundak atau kepala peserta sembari membacakan tulisan yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah selesai membacakan komitmen serta harapan, peserta diminta untuk berlari ke arah pantai dan melompat ke dalam air sebagai simbol penguatan komitmen yang sebelumnya sudah mereka buat.

Setelah Pelatihan Kepemimpinan 1 selesai diselenggarakan, diharapkan seluruh peserta yang juga tergabung ke dalam inisiatif Kampung Katong ini mendapatkan pembelajaran terkait pengenalan diri dan kepemimpinan pribadi yang nantinya akan sangat dibutuhkan untuk menjaga semangat kerja kolektif yang tengah diusahakan oleh ketiga komunitas. Sampai bertemu di Pelatihan Kepemimpinan selanjutnya!

Penulis: Dinah Ridadiyanah

Editor: Supriadi

Lowongan Kerja Staf Pengorganisasian Masyarakat (Community Organizer)

RMI adalah organisasi independen non profit yang berkantor di Bogor, Jawa Barat dan memiliki visi “terwujudnya kedaulatan rakyat, perempuan, dan laki-laki atas tanah dan kekayaan alam untuk mewujudkan sistem penghidupan berkelanjutan”. Informasi tentang RMI dapat dilihat pada website www.rmibogor.id

Untuk menunjang kegiatan-kegiatannya, terutama dalam pengelolaan pengetahuan lembaga, maka RMI membuka lowongan kerja pada posisi staf pengorganisasian masyarakat (community organizer) pada divisi Pengorganisasian Masyarakat. Posisi ini adalah posisi penuh waktu (full time) dan pelamar diharapkan bisa mulai bekerja secepatnya. 

Tugas

  • Memfasilitasi kelompok-kelompok di masyarakat (Kelompok Tani, Kelompok Perempuan, Kelompok Pemuda, dll) dengan fokus khusus pada kelompok perempuan
  • Mengidentifikasi dan mengembangkan potensi-potensi yang ada di masyarakat
  • Mengembangkan hubungan dan kerjasama dengan para pihak untuk mempercepat pencapaian program kerja lembaga
  • Membangun strategi pengorganisasian masyarakat
  • Melakukan dinamisasi kondisi di masyarakat terkait dengan program kerja lembaga
  • Membuat laporan kemajuan program secara periodik

 

Kualifikasi

  • Perempuan, maksimal usia 30 tahun
  • Pendidikan S1 dengan pengalaman kerja minimal 2 tahun, yang relevan dengan kerja-kerja pengorganisasian masyarakat
  • Terbiasa tinggal dan melakukan kerja-kerja di masyarakat
  • Sehat secara fisik dan psikologis
  • Mampu bekerja secara independent dan juga bersama team
  • Memahami isu-isu kesetaraan gender dan isu kemasyarakatan lain
  • Diutamakan bagi yang mampu berbahasa Sunda

 

Harap mencantumkan salary yang diharapkan dalam surat lamaran.

 

Berkas yang berisi surat lamaran dan CV harap dikirimkan paling lambat tanggal 29 April 2022 ke alamat email ajeng@rmibogor.id .Tuliskan subyek dalam format sebagai berikut: <Loker Staf Pengorganisasian Masyarakat>_Nama Pelamar

 

Hanya pelamar yang memenuhi syarat akan diikutsertakan pada tahapan selanjutnya dan RMI tidak melakukan hubungan komunikasi secara personal di luar skema lowongan kerja ini.

 

Sekolah Kaki Gunung (SKG) Bekal Generasi Muda dalam Merespon Persoalan Sosial, Lingkungan, dan Agraria

Keterhubungan masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan dengan pengelolaan kekayaan alam dan pembangunan yang tidak menggambarkan keadilan, menjadi faktor ketimpangan serta krisis sosial-ekologis yang terjadi di tengah-tengah kita. Bagaimana pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam hanya dikelola oleh segelintir orang saja, hingga dinamika kebijakan yang berdampak pada krisis lingkungan yang pada akhirnya berpengaruh pada ruang hidup dan kesejahteraan masyarakat.  Masyarakat yang tinggal di …

Dinamika Pelatihan Pemetaan Sosio-spasial Wilayah Adat Kasepuhan Cibarani dan Refleksi atas Proses Pendampingan Masyarakat

Sesuai dengan agenda yang telah disusun oleh Tim Pengorganisasian Masyarakat, RMI bersama JKPP akan menyelenggarakan Pelatihan Pemetaan Sosio-spasial Wilayah Adat secara Partisipatif pada tanggal 24-30 Januari 2022 bertempat di Kasepuhan Cibarani, Desa Cibarani, Kec. Cirinten, Kabupaten Lebak, Banten, dengan mengundang perwakilan dari Kasepuhan lainnya. Selain mengundang mereka yang telah mendapatkan SK Hutan Adat yaitu Kasepuhan Cirompang, Karang, dan Pasir Eurih; kegiatan ini juga dihadiri oleh Kasepuhan Cibedug yang sedang berproses untuk diakuinya Hutan Adat mereka. Penguatan kapasitas dan pembekalan kader-kader lokal yang bergabung dalam Forum Koordinasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL) juga merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan pelatihan.

Menyoal Skema Pembagian Keuntungan dengan Perhutani

Pada hari pertama, kita berkumpul di Imah Gede bersama masyarakat yang baru saja selesai mengadakan acara pertemuan. Di malam itu kita mensosialisasikan agenda pelatihan yang akan dilakukan selama 7 hari kedepan selain juga membahas surat dari Perum Perhutani perihal pembagian keuntungan (profit sharing) dari kerjasama yang dilakukan oleh Perhutani dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Cibarani. Armaya, salah seorang anggota LMDH Cibarani yang hadir di pertemuan ini, menjelaskan bahwa kerjasama terbentuk lantaran pada saat itu lahan garapan warga masih masuk dalam kawasan hutan. Masyarakat tetap diizinkan menggarap lahan mereka dengan syarat dikenakannya uang pajak 25% setiap kali panen. Meskipun begitu, Armaya beserta pengurus LMDH lainnya yang bertanggungjawab memungut pajak tersebut, tidak pernah memaksa masyarakat untuk membayar penuh tapi seikhlasnya saja. Di sisi lain, selama menjabat sebagai pengurus LMDH beliau baru sekali saja menerima hasil profit sharing yang kemudian dibelikan traktor.

Terkait surat berita acara yang saat ini diterima Masyarakat Kasepuhan Cibarani; walaupun tertulis bahwa terdapat sejumlah uang hasil profit sharing dari kerjasama terdahulu, LMDH tidak serta merta mengambil uang tersebut tanpa mengkoordinasikannya terlebih dahulu kepada kepala desa dan RMI. Warga Cibarani yang hadir malam itu mengaku bahwa mereka belum betul-betul memahami maksud dan tujuan dari surat tersebut. Beberapa diantara mereka juga menolak surat profit sharing tersebut. Penolakan muncul atas pemikiran bahwa masyarakat sudah tidak lagi berurusan dengan Perhutani sejak SK Hutan Adat Kasepuhan Cibarani telah mereka peroleh. Musyawarah malam itu berujung pada kesepakatan bahwa bahwa mereka akan membuat surat balasan yang kurang lebih berisi pengajuan pembubaran LMDH Kasepuhan Cibarani. Selain alasan penolakan profit sharing, pertimbangan diajukannya pembubaran LMDH lainnya yaitu adanya opini masyarakat yang memandang bahwa para pengurusnya lebih pro kepada Perhutani dibandingkan kepada sesama incu putu (keturunan Cibarani) sendiri; yang mana pandangan ini berpotensi menimbulkan konflik yang lebih meluas di internal Kasepuhan Cibarani sendiri.

 

Pentingnya Pengelolaan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani Pasca Ditetapkannya Hak

Selesai membahas surat dari Perum Perhutani, Waris kemudian mengajak masyarakat mengingat kilas balik perjalanan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani sampai dikeluarkannya SK Hutan Adat. Bagaimana perasaan masyarakat Cibarani ketika SK tersebut telah mereka dapatkan? Lalu manfaat apa yang hadir pasca diperolehnya SK Hutan Adat tersebut? Kebanyakan masyarakat yang hadir menjawab bahwa pasca memperoleh status Hutan Adat mereka lebih merasa aman dan nyaman dalam mengelola lahan garapan, terlebih sudah tidak ada lagi pungutan pajak dari Perhutani. Warga yang hadir juga menyampaikan bahwa jenis tanaman yang mereka budidaya belum banyak berubah, hanya bertambah jahe, porang, kopi, dan lain-lain.

Bagaimana dengan rencana atau keinginan ke depan pasca diperolehnya status Hutan Adat? Waris kembali bertanya. Peserta pertemuan menjawab bahwa mereka ingin lebih maju lagi, khususnya dalam bidang pertanian, namun masih belum paham bagaimana memulainya. Dengan adanya SK, apa masyarakat sudah merasa sejahtera? Mereka serentak menjawab belum sejahtera sebab belum semua masyarakat mempunyai akses terhadap lahan di Hutan Adat. Sama halnya dengan status Hutan Adat yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lainnya, status Hutan Adat Kasepuhan Cibarani pun merupakan hutan hak yang kepemilikan dan pengelolaannya harus dilakukan secara komunal sehingga segala sesuatunya harus melibatkan masyarakat dan lembaga adat. Saat ini kelembagaan Adat kasepuhan Cibarani sendiri bisa dikatakan masih  belum memiliki rencana pengelolaan pasca terbitnya SK. Oleh karenanya kehadiran kami kali ini pada dasarnya berupaya memfasilitasi terjadinya ruang diskusi antara kelompok masyarakat, perempuan, dan generasi muda Kasepuhan tentang pentingnya pengelolaan Hutan Adat yang inklusif pasca penetapan hak sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Di Hutan Adat Kasepuhan Cibarani kini, masih banyak lahan yang kosong atau belum digarap; selain situasi penguasaan lahan di Cibarani yang juga belum merata. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI kembali mengingatkan perwakilan warga yang hadir malam itu tentang rencana Kepala Desa (Jaro) Dulhani meredistribusi lahan yang ada di dalam wilayah Hutan Adat. Selain pemerataan akses, redistribusi ini  juga dimaksudkan agar masyarakat memiliki rasa memiliki serta kewajiban untuk melestarikan wilayah adat serta mengantisipasi tidak dipindahtangankannya kepemilikan lahan garapan ke pihak luar Kasepuhan Cibarani. Bagaimana pandangan masyarakat mengenai wacana ini? Masyarakat pada dasarnya mendukung agenda tersebut dan berpendapat bahwa Kelembagaan Adat Kasepuhan Cibarani perlu menyusun sejumlah aturan, hak, dan kewajiban bagi para pengelola lahan serta warga Cibarani pada umumnya. Rencana redistribusi ini pun dinilai sejalan dengan istilah lokal sabeungketan yang berarti sebagai masyarakat adat kita harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan senasib sepenanggungan, mulai dari masa-masa berjuang hingga nanti diperolehnya buah dari perjuangan tersebut.

Untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang merata, pengelolaan Hutan Adat pasca penetapan hak kemudian menjadi satu rangkaian proses yang krusial. Keberadaan data sosial-spasial diperlukan sebagai basis perencanaan komunitas dan wilayah adat Kasepuhan Cibarani. Pelatihan dan proses pengumpulan data ini sendiri berusaha menangkap kondisi seputar pengelolaan Hutan Adat saat ini yaitu dengan mengumpulkan informasi mengenai penggarap, luasan lahan, tanaman yang dibudidaya, keberadaan lahan yang masih kosong, dll. Guna mendukung terkumpulnya data yang akurat, teman-teman dari JKPP turut serta hadir untuk memberi pemahaman tentang data sosial-spasial dan mendampingi warga ketika praktik langsung. Generasi muda Kasepuhan sendiri banyak dilibatkan selama pelatihan dan proses pengelolaan Hutan Adatnya ke depan supaya semangat merawat wilayah adat mereka semakin terbangun dan apa yang diinginkan masyarakat dapat benar-benar tercapai.

Proses Pelatihan dan Pemetaan Wilayah Adat Kasepuhan Cibarani

Pada kegiatan hari kedua kita kedatangan teman-teman peserta dari Kasepuhan Pasir Eurih, Cibeas dan Cirompang. Sementara perwakilan masyarakat dari lokasi lain tidak bisa hadir dikarenakan ada halangan. Peserta yang hadir menyampaikan bahwa mereka hadir ke Kasepuhan Cibarani untuk menghadiri dan mengikuti pelatihan yang menarik ini. Rencana menerbangkan drone, yang diagendakan terlaksana di hari ini, gagal karena hujan mengguyur Cibarani dari pagi sehingga diputuskan untuk ditunda. Berdasarkan kesepakatan sebelumnya bahwa, pelatihan akan mulai setelah dhuhur karena pagi hari masyarakat Kasepuhan Cibarani melakukan gotong royong untuk mendirikan rumah warga yang terdampak gempa bumi. Namun setelah kita tunggu sampai sore, ternyata tidak ada satupun warga yang datang. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI kemudian  memutuskan untuk menunda pertemuan ke malam hari dan menghabiskan waktu siang itu dengan mengobrol dengan teman-teman yang datang dari Kasepuhan lain. Setelah maghrib kita meminta tolong Pak RT Samanan untuk mengumumkan lewat speaker supaya masyarakat dapat berkumpul dan mengikuti pelatihan. Akan tetapi setelah ditunggu sampai malam, ternyata hanya baris olot saja yang hadir; alhasil tidak mungkin untuk melanjutkan rencana yang disepakati apalagi untuk melakukan pelatihan. Hasil diskusi dengan baris olot membuahkan gagasan untuk langsung membuat daftar nama perwakilan anak muda yang akan diundang mengikuti kegiatan esok hari pukul 09.00 WIB. Ini dilakukan sebab anak muda Kasepuhan Cibarani memang agak susah untuk diajak kumpul/riungan, tutur baris olot

Besok paginya lumayan banyak masyarakat yang berkumpul di Imah Gede; dari Kasepuhan Cibarani sendiri ada perwakilan dari anak muda laki-laki dan perempuan adat dan baris olot. Kita membuka pelatihan dengan menyampaikan rencana pendataan sosial dan spasial yang karenanya sangat diharapkan masyarakat, terutama anak muda Kasepuhan, dapat terus mengikuti kegiatan pelatihan dan praktik lapangan dalam beberapa hari ke depan. Selanjutnya Fauzan memaparkan refleksi dari perjalanan Hutan Adat dari awal persiapan sampai terbitnya SK Hutan Adat–termasuk menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan SK hutan Adat dicabut jika dianggap tidak memberikan manfaat dan/atau justru menimbulkan kerusakan serta konflik di masyarakat. Maka dari itu perlu dipersiapkan perencanaan tata kelola Hutan Adat pasca penetapan hak supaya benar-benar memberikan manfaat lebih untuk masyarakat. Kemudian Opet dari JKPP menyambung penjelasan dengan memberikan gambaran pengelolaan Hutan Adat yang pernah didampingi JKPP sehingga masyarakat Kasepuhan yang hadir lebih mudah memahami proses pengelolaan serta proyeksi hasil yang didapatkan pasca pengelolaannya. Hanya saja perlu ditekankan terkait komitmen masyarakat karena memang prosesnya tidak sebentar sehingga masyarakat bisa jadi malas untuk berproses, sebagaimana kerap dihadapi masyarakat lainnya juga. Setelah istirahat, peserta yang telah sepakat untuk kumpul kembali, ternyata cuma sedikit dan hanya peserta perempuan yang kembali. 

Secara terpisah kita juga memutuskan untuk menerbangkan drone selagi kondisi cuaca agak mendukung. Setelah mencoba 2 kali misi, ternyata hasil yang didapatkan sangat kecil sekali. Sekali terbang hanya mendapatkan 15 Ha dan masih jauh dari total luasan wilayah Adat Kasepuhan Cibarani yang luasnya mencapai 1200 Ha sehingga perlu terbang berapa kali dan banyak memakan waktu. Ini tidak sesuai dengan hasil diskusi sebelum turun lapang, yang menurut keterangan Aziz dari JKPP, bahwa dengan luasan 1200 Ha mungkin drone hanya perlu terbang 4-5 kali. Dari hasil diskusi, kita memprioritaskan untuk memetakan batas-batas Hutan Adat terlebih dahulu. 

Di hari berikutnya, kita membagi tim menjadi dua yaitu sebagian mengawal pelatihan dan sebagian lagi turun lapang untuk menerbangkan drone. Hasil dari setiap misi penerbangan drone langsung kita olah. Namun ternyata pelatihan tidak lanjut lagi, dikarenakan tidak ada peserta yang hadir. Malam harinya kita mengobrol dengan teman-teman dari Kasepuhan lain. Ada sedikit protes dari mereka, bahwa mereka datang untuk belajar dan mengikuti pelatihan. Dikarenakan undangan dari RMI dan ditambah ketertarikan mereka terhadap tema yang akan dibawakan dalam pelatihan, mereka rela untuk meninggalkan kesibukan mereka masing-masing. Namun setelah mereka sampai di Kasepuhan Cibarani dan melihat kondisi masyarakat, terkhusus pemudanya, mereka ikut kesal dan kecewa. Sempat juga terlontar pertanyaan, “Kenapa sih Mas pelatihannya diadakan di Cibarani? Kenapa tidak ditempat kita saja, yang pasti akan mendapatkan sambutan yang positif dan tentunya banyak yang ikut berpartisipasi. Karena kita merasa juga butuh pengelolaan dan perencanaan HA kedepannya”. Kemudian kami menjawab bahwa Kasepuhan Cibarani dipilih karena mempertimbangkan kondisi kapasitas anak muda dan masyarakatnya yang masih perlu ditingkatkan, supaya memiliki kapasitas yang sama dengan masyarakat di wilayah Kasepuhan lain yang juga sudah mendapatkan SK Hutan Adat dan sudah terlebih dahulu difasilitasi dengan berbagai kegiatan peningkatan kapasitas di komunitasnya. Kehadiran teman-teman dari Kasepuhan lain juga diharapkan dapat menambah semangat masyarakat Cibarani untuk mengikuti pelatihan dan berbagi pengalaman. Tetapi memang kenyataannya anak muda Cibarani belum terlalu tergugah minatnya dengan kegiatan-kegiatan seperti ini. Kemudian mereka bertanya lagi, “Seandainya sampai besok tidak ada yang hadir lagi, apa pelatihannya juga akan ditunda lagi?” Akhirnya kita putuskan walaupun nantinya masyarakat lokal tidak ada yang hadir, kita akan tetap melanjutkan pelatihan demi menghargai teman-teman yang sudah jauh-jauh datang dengan tujuan mengikuti kegiatan. Malam harinya pun kita ngobrol-ngobrol dengan teman-teman dari kasepuhan lain, mereka bercerita situasi dan kondisi yang ada di wilayah mereka masing-masing serta mereka meminta saran dan masukan dari RMI dan JKPP.

Untungnya keesokan harinya pelatihan bisa dilanjutkan dengan dihadiri juga oleh ibu-ibu Kasepuhan Cibarani. Materi yang disampaikan tentang Perencanaan Pengolahan Lahan dan juga dibahas mengenai perubahan-perubahan dan hasil yang didapat setelah perencanaan. Peserta lalu diminta untuk berdiskusi dan membuat perencanaan sederhana di wilayah adat mereka masing-masing. Di lain tempat kita juga secara paralel melakukan penerbangan drone di area Hutan Adat dan berhasil menerbangkan misi selama 6 kali di pagi dan sore hari. Namun setelah data diolah ternyata foto udara yang dihasilkan tidak seragam, ada yang terlalu cerah ada juga yang gelap karena pengaruh cuaca yang berubah-ubah. Di pelatihan hari terakhir, dari warga lokal ternyata hanya perempuan dari Kasepuhan Cibarani saja yang hadir mengikuti pelatihan. Sangat disayangkan agenda yang sudah susah payah kita persiapkan kurang berjalan maksimal dikarenakan kurangnya respon masyarakat setempat. Misi drone pun juga belum menjangkau seluruh area Hutan Adat Cibarani sebab tim kesusahan mencari masyarakat yang bisa mendampingi turun lapang sehingga dalam prosesnya kita hanya berpatokan trek pada koordinat misi yang dibuat.

Menegaskan Kembali Komitmen Masyarakat

Malam hari di hari terakhir kegiatan kita meminta tolong Pak RT Samanan mengumpulkan masyarakat, karena ada beberapa hal yang mau disampaikan sebelum pulang ke Bogor. Di malam terakhir ini ternyata lumayan banyak masyarakat yang hadir, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Dalam riungan malam itu kita menyampaikan kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan dalam seminggu kebelakang, mulai dari pelatihan-pelatihan sampai pemetaan dengan menggunakan drone. Disampaikan juga bahwa hasil yang sudah didapatkan masih jauh dari kata maksimal dikarenakan partisipasi masyarakat sangat minim sekali. Hasil olahan data melalui drone selanjutnya ditampilkan kepada masyarakat, dimana setelah ditampilkan ternyata masyarakat juga masih belum begitu hafal terhadap wilayahnya sendiri. Namun setelah kami beri petunjuk salah satu lokasi yang mudah dikenal, akhirnya mereka mulai paham dan bisa menyebutkan area-area tersebut sembari mencoba didigitasi dan menyebutkan pola pengelola lahan. Dari percobaan digitasi, ternyata banyak perbedaan seperti luasan lahan dari keterangan yang disebutkan oleh pemilik lahan dan hasil hitungan setelah data diolah. 

Dalam kesempatan ini kami juga menyampaikan respons dan pemikiran kami atas partisipasi masyarakat Kasepuhan Cibarani selama berlangsungnya pelatihan. Ketika tim RMI bersama JKPP datang, masyarakat sendiri yang menyepakati dan siap untuk berpartisipasi dalam pelatihan-pelatihan dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Tapi kenyataannya sedikit sekali yang hadir, bahkan tidak sekali atau dua kali kita selalu umumkan lewat speaker tetapi memang respon masyarakat yang kurang baik. Ditegaskan juga bahwa posisi RMI dan teman-teman JKPP disini hanya sebagai pendamping dan teman diskusi, bukan sebagai pekerja masyarakat. Kalaupun dari hasil diskusi muncul keinginan masyarakat menuju perubahan kearah yang lebih baik, itu semua tergantung dari masyarakat sendiri. Disaat masyarakat semangat, kita juga tambah semangat; begitu juga sebaliknya kalau masyarakat diam saja, kita juga tidak bisa berbuat apa-apa. RMI pun tidak selamanya akan berada di Kasepuhan Cibarani  karena masih banyak wilayah lain yang juga ingin didampingi seperti Cibarani. Kami menjadikan Cibarani sebagai prioritas dikarenakan melihat kondisi dan semangat masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi lebih sejahtera. Namun melihat apa yang terjadi dalam kegiatan seminggu terakhir, komitmen itu tampaknya hanya sebatas ucapan saja. Sekarang kami mengembalikan lagi ke masyarakat, jika memang proses ini dianggap tidak penting dan tidak perlu dilanjutkan bagi kami tidak masalah. Semua proses ini berangkat dari kesepakatan masyarakat sehingga keputusan mutlak ada di tangan masyarakat pula. 

Masyarakat menjawab bahwa mereka sebenarnya sudah meminta anak muda Cibarani untuk mengikuti pelatihan yang dilaksanakan, tetapi memang pemuda di sini agak susah kalau diajak diskusi, riungan, ataupun pelatihan. Sebagai orang tua, masyarakat Cibarani yang hadir juga mengaku kebingungan bagaimana membuat mereka–sebagai generasi penerus Kasepuhan Cibarani–lebih peduli dengan kampungnya. Terkait kelanjutan proses yang tengah berlangsung, hal ini sepertinya perlu direnungkan kembali antara lembaga adat dan masyarakat. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI lalu menyampaikan bahwa silakan sampaikan hasil diskusi tersebut kepada kami, dengan catatan bahwa jika ternyata ingin lanjut berarti sudah sewajarnya semua masyarakat partisipasi penuh dalam prosesnya. Disepakati bahwa jika selama 2 minggu ke depan kita tidak menerima kabar dari Kasepuhan Cibarani, maka kami anggap bahwa masyarakat memutuskan untuk tidak melanjutkan proses yang tengah berjalan. 

Pembelajaran

Dari 7 hari kami di Kasepuhan Cibarani, ternyata apa yang telah kita rencanakan kurang bisa berjalan maksimal. Termasuk pernyataan dari teman-teman JKPP yang dapat menjadi bahan introspeksi bahwa mereka menganggap masyarakat belum siap untuk berproses dan juga belum punya sosok yang bisa dijadikan pegangan. Abah Jaro sebagai kepala adat sekaligus kepala desa tampak kurang merespon kegiatan yang tengah dilaksanakan. Ini terlihat dari pertama kali datang, beliau belum pernah hadir dalam kumpulan ataupun sekedar menanyakan kegiatan yang dilakukan. Kami juga berasumsi bahwa masyarakat Kasepuhan Cibarani sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap seorang pemimpin. Sehingga dari kegiatan-kegiatan yang diadakan kurang mendapatkan respon positif dari masyarakat. Kedepannya mungkin perlu ada forum diskusi antara pihak RMI dan Kelembagaan Adat Cibarani untuk membahas kelanjutan proses-proses di Kasepuhan Cibarani, sebab hanya akan membuang-buang energi jika dipaksakan sedangkan dampak bagi masyarakat minim. Perlu dibangun kembali komitmen-komitmen yang bisa dipegang bersama sehingga bisa berproses menuju ke arah yang jelas dalam pendampingan kedepan. Selain itu juga masih perlunya waktu untuk mendorong kesadaran masyarakat, terutama anak mudanya, supaya tergerak dan mau melakukan inisiatif-inisiatif pengelolaan ruang wilayah adat.  

Pembelajaran lain yang diperoleh dari percobaan digitasi atau pemetaan wilayah adat Kasepuhan Cibarani yaitu ternyata tidak semua penggunaan lahan bisa diketahui batasnya. Seperti kebun, dikarena jenis tanamannya tidak terlihat jelas maka untuk menentukan batas-batasnya masyarakat juga kesusahan. Dikarenakan tidak semua lahan bisa ditentukan batas-batasnya, evaluasinya adalah perlu pengambilan titik koordinat ke lapangan terhadap lahan yang masih sulit diidentifikasi batas-batasnya. Konsekuensinya bagi masyarakat adalah mereka harus siap untuk pemetaan kembali, walaupun prosesnya mungkin tidak perlu lama sebab foto sawah dihasilkan dari drone sudah sangat jelas sehingga tidak perlu diambil kembali. Pasca diolah/didigitasi, hasilnya akan kembali ditampilkan ke masyarakat sebagai bahan diskusi rencana berikutnya. 

Penulis: Slamet Widodo

Editor: Supriadi