Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program” menjadi salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan untuk dapat mendorong kaum muda berpikir kritis tentang kondisi lingkungan mereka dan peran yang dapat mereka ambil dalam komunitas. Pelatihan ini dilakukan dalam dua seri kegiatan dengan peserta yang berasal dari kaum muda adat Kasepuhan dan kaum muda lokal di sekitar kasepuhan. Sebelumnya, pelatihan pertama telah berlangsung pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung dan Pelatihan kedua berlangsung pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Berikut rangkaian dua seri kegiatan Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan yang sudah diselenggarakan:
Seri Pertama: Pelatihan pertama telah berlangsung pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung, dengan fokus pada pembekalan mengenai pendidikan kontekstual dan dasar-dasar fasilitasi. Sebagai tindak lanjut, peserta melaksanakan proyek mini sebagai implementasi dari pelatihan, dan juga sebagai ajang bagi para peserta untuk mencoba menjadi fasilitator di komunitas masing-masing. Misalnya, Mela dan Fikri menerapkan pelatihan ini kepada siswa kelas, sementara Siti Sopariah memainkan permainan “Tupai Pohon” dan “Angka Setan” di komunitas KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Pasir Eurih). Dalam permainan “Tupai Pohon dan Angka Setan”. Untuk permainan tupai pohon berjalan lancar, tetapi untuk permainan angka setan agak kesulitan, karena banyak para peserta yang kebingungan,” cerita Siti Sopariah ketika mencoba menjadi fasilitator dalam kegiatan komunitasnya. “Harus lebih sabar dalam memfasilitasi,” dilanjutkan Mela ketika ditanya kesulitan dalam memfasilitasi siswa kelas 1 SD. Sementara itu, Arsani memimpin permainan dalam kegiatan Paskibra, dan Hanifah menguji media pembelajaran baru dengan mahasiswa. Pada sesi ini menunjukkan bahwa RMI telah mendorong partisipasi bermakna melalui proyek dan aktivitas yang dilakukan.
Seri Kedua: Pelatihan kedua berlangsung pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Terdapat 20 peserta yang mengikuti pelatihan, yang terdiri dari enam perempuan dan 14 orang laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Jamrut, dan masyarakat lokal di sekitar Kasepuhan. 13 peserta diantaranya merupakan peserta yang telah mengikuti pelatihan dari seri pertama.
Pelatihan kedua berfokus terhadap berbagai macam isu yang relevan dengan kondisi yang ada di kampung, beberapa di antaranya berkaitan dengan perubahan iklim, gender dan seksualitas, ketidakadilan gender, ekologi politik, serta kemiskinan struktural. Melalui pengenalan terhadap berbagai isu ini, diharapkan para peserta dapat melihat keterhubungan masalah yang ada dalam lingkungan mereka. Pada seri kali ini, alumni pelatihan seri pertama juga diberikan kesempatan untuk dapat memfasilitasi sesi ice breaking atau energizer, salah satunya dilakukan oleh Arsani yang memandu permainan “Pindah Rumah”.
Pada hari pertama, dilakukan pengenalan lebih dekat antar-peserta melalui kartu “Kenalan Yuk!” yang dapat menjadi inspirasi bagi peserta untuk membuat alat pembelajaran serupa dengan pertanyaan yang lebih kontekstual. Kegiatan selanjutnya, para peserta melakukan tes kecerdasan majemuk untuk mengetahui kecerdasan yang dimiliki oleh peserta berdasarkan kategori linguistik, logika-matematika, spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Pengenalan kecerdasan ini diharapkan dapat membuat peserta mengenali potensi diri dan timnya. Setelah itu, para peserta mengidentifikasi permasalahan yang ada di kampungnya menggunakan metode matriks ranking, dengan menilai seberapa besar isu-isu tersebut berdampak pada lingkungan mereka. Beberapa masalah yang teridentifikasi antara lain sampah, perburuan satwa liar, peracunan ikan di sungai, dan pembukaan lahan. Sesi ini menjadi pemantik bagi peserta untuk melihat apakah setiap isu terjadi secara berkaitan atau tidak.
Pada hari kedua, peserta menerapkan metode People-First Impact Method (P-FIM) dengan wawancara tokoh masyarakat untuk mengumpulkan informasi berdasarkan tema yang telah ditentukan. Hasil wawancara ditampilkan dalam bentuk seni pertunjukan seperti drama, tablo, monolog, dan puisi yang menggambarkan berbagai isu yaitu hutan, kebudayaan, pendidikan, serta ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Salah satu peserta, Cecep Sanusi, mengungkapkan perasaannya setelah melakukan wawancara ke tokoh masyarakat. Dari metode ini kita dapat “menggali informasi dari berbagai sisi, sehingga banyak yang didapatkan, dan informasi yang dikumpulkan lebih komprehensif,” ujarnya. Berbeda dengan Cecep, Jamal yang berasal dari Kasepuhan Jamrut membandingkan kondisi yang ada di Kasepuhan Pasir Eurih dengan kampungnya, “Hasil wawancara berbeda dengan kondisi di Jamrut, terutama terkait pendidikan. Di Jamrut, sekolah [Madrasah] Aliyah tidak punya gedung sekolah, baru tahun 2024 dibuat gedung permanen.” Hal ini menunjukan bahwa metode yang digunakan mendorong peserta untuk mengidentifikasi dan meningkatkan sensitivitas peserta terhadap isu yang ada di lingkungan atau komunitasnya.
Setelah mendapatkan gambaran tentang kondisi di lingkungan, hari ketiga difokuskan pada penyampaian isu-isu yang relevan melalui diskusi. Pertama, isu hutan dan perubahan iklim. Diskusi dimulai dengan mini drama yang menggambarkan dampak perubahan iklim di kampung, diikuti penjelasan tentang proses dan dampaknya pada kehidupan, terutama bagi Masyarakat Adat. Diskusi ini membantu peserta, khususnya kaum muda, memahami peran mereka dalam mengatasi perubahan iklim dengan perspektif berdasarkan pengetahuan lokal.
Isu kedua berkaitan dengan pengetahuan dasar tentang gender dan seks. Hal ini menjadi krusial karena berdampak pada adanya pembagian peran yang tidak seimbang dan terbatasnya kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, baik di ranah domestik maupun publik. Pada sesi ini para peserta diminta untuk menyebutkan sosok pasangan ideal sekaligus menuliskan deskripsi sosok ideal pada kertas yang telah disediakan. Melalui aktivitas ini, para peserta diajak untuk menyadari dan membedakan antara konsep seks sebagai kategori biologis dan gender sebagai konstruksi sosial yang erat dengan peran-peran tertentu.
Diskusi ini menjadi relevan ketika membahas peran-peran yang melekat pada perempuan dan laki-laki di masyarakat Kasepuhan. Peserta diajak berpikir kritis untuk menghubungkan seks dan gender dengan isu ketidakadilan gender yang marak terjadi di lingkungannya. Bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut meliputi beban ganda, kekerasan berbasis gender, subordinasi, marjinalisasi, stereotipe, dan diskriminasi. Dalam diskusi ini salah satu peserta mengungkapkan pendapatnya, “Sangat relevan di sekitar kita, pekerjaan lebih banyak ada di perempuan. Beberapa hal yang terjadi: pekerjaan domestik dilakukan oleh perempuan, sedangkan laki-laki berleha-leha padahal mengetahui pekerjaan perempuan yang belum selesai,” cerita Manil ketika mengidentifikasi kondisi yang terjadi di lingkungannya.
Hari terakhir, isu yang diangkat berkaitan dengan kemiskinan struktural dan ekologi politik. Materi ekologi politik disampaikan oleh Wahyubinatara Fernandez (Direktur RMI) dengan dipandu oleh Dinah dari RMI dan Irsyadudin dari perwakilan anak muda kasepuhan. Sesi berlangsung secara hybrid yang disajikan dalam bentuk talkshow. Peserta diajak untuk melihat kebijakan-kebijakan terkait hak atas tanah dari waktu ke waktu. Ini menegaskan bahwa krisis ekologi yang terjadi dipengaruhi oleh kepentingan politik, tidak hanya terjadi di tingkat negara, namun dapat juga terjadi di kampung.
Selanjutnya, isu yang diangkat berkaitan dengan kemiskinan struktural. Peserta diajak bermain permainan yang mencerminkan kondisi saat ini, yakni adanya jurang yang sangat besar antara orang kaya dan orang miskin. Peserta didorong untuk memahami bahwa kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan faktor individu atau kultural, akan tetapi terjadi karena sistem yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan gerakan sosial untuk menciptakan keadilan, terutama bagi golongan miskin.
Tentang Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program”
RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sebagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu Hak Asasi Manusia dan lingkungan, khususnya dalam memperkuat model pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat, berkomitmen untuk melakukan pembelajaran bersama masyarakat dengan menggunakan prinsip pendidikan kritis, kontekstual, dan secara partisipatif. Melalui penyampaian berbagai isu dalam pelatihan fasilitator pendidikan lingkungan, peserta diharapkan dapat melihat adanya keterhubungan antar-isu yang terjadi di lingkungan atau komunitasnya masing-masing, bahwa setiap isu tersebut memiliki benang merah yang menunjukkan adanya sebab akibat.
Inisiatif yang dilakukan oleh RMI dalam mengembangkan pendidikan kontekstual ini juga didukung oleh program “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia dan Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan”. Pemahaman terhadap isu ini dituangkan dalam Rancangan Tindak Lanjut (RTL) sebagai bentuk implementasi Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan yang diselenggarakan dalam 2 Seri kegiatan. Beberapa di antaranya ada yang melanjutkan project sebelumnya dan ada yang mendorong project baru. Dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam memahami beragam isu, peserta dapat mendorong gerakan sosial yang kontekstual.
Penulis: Hanifah Nur Hidayah, Siti Marfu’ah, Ajeng Lestari Midi Setyoputri
Editor: Renal Rinoza