Melanjutkan Aksi: Memperdalam Peran Generasi Muda dalam Fasilitasi Pendidikan Kritis dan Kontekstual

Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program” menjadi salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan untuk dapat mendorong kaum muda berpikir kritis tentang kondisi lingkungan mereka dan peran yang dapat mereka ambil dalam komunitas. Pelatihan ini dilakukan dalam dua seri kegiatan dengan peserta yang berasal dari kaum muda adat Kasepuhan dan kaum muda lokal di sekitar kasepuhan. Sebelumnya, pelatihan pertama telah berlangsung pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung dan Pelatihan kedua berlangsung pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Berikut rangkaian dua seri kegiatan Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan yang sudah diselenggarakan:

Seri Pertama: Pelatihan pertama telah berlangsung pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung, dengan fokus pada pembekalan mengenai pendidikan kontekstual dan dasar-dasar fasilitasi. Sebagai tindak lanjut, peserta melaksanakan proyek mini sebagai implementasi dari pelatihan, dan juga sebagai ajang bagi para peserta untuk mencoba menjadi fasilitator di komunitas masing-masing. Misalnya, Mela dan Fikri menerapkan pelatihan ini kepada siswa kelas, sementara Siti Sopariah memainkan permainan “Tupai Pohon” dan “Angka Setan” di komunitas KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Pasir Eurih). Dalam permainan “Tupai Pohon dan Angka Setan”. Untuk permainan tupai pohon berjalan lancar, tetapi untuk permainan angka setan agak kesulitan, karena banyak para peserta yang kebingungan,” cerita Siti Sopariah ketika mencoba menjadi fasilitator dalam kegiatan komunitasnya. “Harus lebih sabar dalam memfasilitasi,” dilanjutkan Mela ketika ditanya kesulitan dalam memfasilitasi siswa kelas 1 SD. Sementara itu, Arsani memimpin permainan dalam kegiatan Paskibra, dan Hanifah menguji media pembelajaran baru dengan mahasiswa. Pada sesi ini menunjukkan bahwa RMI telah mendorong partisipasi bermakna melalui proyek dan aktivitas yang dilakukan.

Seri Kedua: Pelatihan kedua berlangsung pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Terdapat 20 peserta yang mengikuti pelatihan, yang terdiri dari enam perempuan dan 14 orang laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Jamrut, dan masyarakat lokal di sekitar Kasepuhan. 13 peserta diantaranya merupakan peserta yang telah mengikuti pelatihan dari seri pertama. 

Pelatihan kedua berfokus terhadap berbagai macam isu yang relevan dengan kondisi yang ada di kampung, beberapa di antaranya berkaitan dengan perubahan iklim, gender dan seksualitas, ketidakadilan gender, ekologi politik, serta kemiskinan struktural. Melalui pengenalan terhadap berbagai isu ini, diharapkan para peserta dapat melihat keterhubungan masalah yang ada dalam lingkungan mereka. Pada seri kali ini, alumni pelatihan seri pertama juga diberikan kesempatan untuk dapat memfasilitasi sesi ice breaking atau energizer, salah satunya dilakukan oleh Arsani yang memandu permainan “Pindah Rumah”. 

Pada hari pertama, dilakukan pengenalan lebih dekat antar-peserta melalui kartu “Kenalan Yuk!” yang dapat menjadi inspirasi bagi peserta untuk membuat alat pembelajaran serupa dengan pertanyaan yang lebih kontekstual. Kegiatan selanjutnya, para peserta melakukan tes kecerdasan majemuk untuk mengetahui kecerdasan yang dimiliki oleh peserta berdasarkan kategori linguistik, logika-matematika, spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Pengenalan kecerdasan ini diharapkan dapat membuat peserta mengenali potensi diri dan timnya. Setelah itu, para peserta mengidentifikasi permasalahan yang ada di kampungnya menggunakan metode matriks ranking, dengan menilai seberapa besar isu-isu tersebut berdampak pada lingkungan mereka. Beberapa masalah yang teridentifikasi antara lain sampah, perburuan satwa liar, peracunan ikan di sungai, dan pembukaan lahan. Sesi ini menjadi pemantik bagi peserta untuk melihat apakah setiap isu terjadi secara berkaitan atau tidak.

Pada hari kedua, peserta menerapkan metode People-First Impact Method (P-FIM) dengan wawancara tokoh masyarakat untuk mengumpulkan informasi berdasarkan tema yang telah ditentukan. Hasil wawancara ditampilkan dalam bentuk seni pertunjukan seperti drama, tablo, monolog, dan puisi yang menggambarkan berbagai isu yaitu hutan, kebudayaan, pendidikan, serta ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Salah satu peserta, Cecep Sanusi, mengungkapkan perasaannya setelah melakukan wawancara ke tokoh masyarakat. Dari metode ini kita dapat “menggali informasi dari berbagai sisi, sehingga banyak yang didapatkan, dan informasi yang dikumpulkan lebih komprehensif,” ujarnya. Berbeda dengan Cecep, Jamal yang berasal dari Kasepuhan Jamrut membandingkan kondisi yang ada di Kasepuhan Pasir Eurih dengan kampungnya, “Hasil wawancara berbeda dengan kondisi di Jamrut, terutama terkait pendidikan. Di Jamrut, sekolah [Madrasah] Aliyah tidak punya gedung sekolah, baru tahun 2024 dibuat gedung permanen.”  Hal ini menunjukan bahwa metode yang digunakan mendorong peserta untuk mengidentifikasi dan meningkatkan sensitivitas peserta terhadap isu yang ada di lingkungan atau komunitasnya.

Setelah mendapatkan gambaran tentang kondisi di lingkungan, hari ketiga difokuskan pada penyampaian isu-isu yang relevan melalui diskusi. Pertama, isu hutan dan perubahan iklim. Diskusi dimulai dengan mini drama yang menggambarkan dampak perubahan iklim di kampung, diikuti penjelasan tentang proses dan dampaknya pada kehidupan, terutama bagi Masyarakat Adat. Diskusi ini membantu peserta, khususnya kaum muda, memahami peran mereka dalam mengatasi perubahan iklim dengan perspektif berdasarkan pengetahuan lokal.

Isu kedua berkaitan dengan pengetahuan dasar tentang gender dan seks. Hal ini menjadi krusial karena berdampak pada adanya pembagian peran yang tidak seimbang dan terbatasnya kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, baik di ranah domestik maupun publik. Pada sesi ini para peserta diminta untuk menyebutkan sosok pasangan ideal sekaligus menuliskan deskripsi sosok ideal pada kertas yang telah disediakan. Melalui aktivitas ini, para peserta diajak untuk menyadari dan membedakan antara konsep seks sebagai kategori biologis dan gender sebagai konstruksi sosial yang erat dengan peran-peran tertentu.

Diskusi ini menjadi relevan ketika membahas peran-peran yang melekat pada perempuan dan laki-laki di masyarakat Kasepuhan. Peserta diajak berpikir kritis untuk menghubungkan seks dan gender dengan isu ketidakadilan gender yang marak terjadi di lingkungannya. Bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut meliputi beban ganda, kekerasan berbasis gender, subordinasi, marjinalisasi, stereotipe, dan diskriminasi. Dalam diskusi ini salah satu peserta mengungkapkan pendapatnya, “Sangat relevan di sekitar kita, pekerjaan lebih banyak ada di perempuan. Beberapa hal yang terjadi: pekerjaan domestik dilakukan oleh perempuan, sedangkan laki-laki berleha-leha padahal mengetahui pekerjaan perempuan yang belum selesai,” cerita Manil ketika mengidentifikasi kondisi yang terjadi di lingkungannya.

Hari terakhir, isu yang diangkat berkaitan dengan kemiskinan struktural dan ekologi politik. Materi ekologi politik disampaikan oleh Wahyubinatara Fernandez (Direktur RMI) dengan dipandu oleh Dinah dari RMI dan Irsyadudin dari perwakilan anak muda kasepuhan. Sesi berlangsung secara hybrid yang disajikan dalam bentuk talkshow. Peserta diajak untuk melihat kebijakan-kebijakan terkait hak atas tanah dari waktu ke waktu. Ini menegaskan bahwa krisis ekologi yang terjadi dipengaruhi oleh kepentingan politik, tidak hanya terjadi di tingkat negara, namun dapat juga terjadi di kampung. 

Selanjutnya, isu yang diangkat berkaitan dengan kemiskinan struktural. Peserta diajak bermain permainan yang mencerminkan kondisi saat ini, yakni adanya jurang yang sangat besar antara orang kaya dan orang miskin. Peserta didorong untuk memahami bahwa kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan faktor individu atau kultural, akan tetapi terjadi karena sistem yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan gerakan sosial untuk menciptakan keadilan, terutama bagi golongan miskin. 

Tentang Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program”

RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sebagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu Hak Asasi Manusia dan lingkungan, khususnya dalam memperkuat model pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat, berkomitmen untuk melakukan pembelajaran bersama masyarakat dengan menggunakan prinsip pendidikan kritis, kontekstual, dan secara partisipatif. Melalui penyampaian berbagai isu dalam pelatihan fasilitator pendidikan lingkungan, peserta diharapkan dapat melihat adanya keterhubungan antar-isu yang terjadi di lingkungan atau komunitasnya masing-masing, bahwa setiap isu tersebut memiliki benang merah yang menunjukkan adanya sebab akibat. 

Inisiatif yang dilakukan oleh RMI dalam mengembangkan pendidikan kontekstual ini juga didukung oleh program “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia dan Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan”. Pemahaman terhadap isu ini dituangkan dalam Rancangan Tindak Lanjut (RTL) sebagai bentuk implementasi Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan yang diselenggarakan dalam 2 Seri kegiatan. Beberapa di antaranya ada yang melanjutkan project sebelumnya dan ada yang mendorong project baru. Dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam memahami beragam isu, peserta dapat mendorong gerakan sosial yang kontekstual.

Penulis: Hanifah Nur Hidayah, Siti Marfu’ah, Ajeng Lestari Midi Setyoputri

Editor: Renal Rinoza

Sepuluh Tahun Jokowi Ingkar Janji kepada Masyarakat Adat

Siaran Pers Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat

Sumber foto oleh: RMI (Foto hanya ilustrasi)

Jakarta, 16 Agustus 2024 – Selama sepuluh tahun Jokowi memerintah republik ini, Masyarakat Adat merasa tertipu dengan janji-janji yang pernah Jokowi sampaikan dan komitmennya di awal pemerintahan Jokowi yang tercantum dalam Nawacita. Demikian disampaikan oleh Abdon Nababandari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat merespon pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Penyampaian Laporan Kinerja Lembaga-Lembaga Negara dan Pidato Kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan RI.


“Tidak ada satu pun frasa “Masyarakat Adat” dalam pidato itu. Pidato itu hanya berisi klaim-klaim angka keberhasilan pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, bendungan dan jaringan irigasi. Jokowi juga mengklaim keberhasilan pembangunan smelter dan industri pengolahan untuk nikel, bauksit, dan tembaga,” tambah Abdon Nababan.


“Perjumpaan AMAN dengan calon Presiden Jokowi di tahun 2014 menorehkan 6 janji Nawacita Jokowi-JK untuk Masyarakat Adat. AMAN dan jaringan pendukung bekerja secara sukarela menggalang suara. Paling sedikit 12 juta suara kami sumbangkan untuk kemenangan Jokowi-JK. Setelah kemenangan, saya mewakili AMAN menerima obor relawan dari Surya Paloh dalam satu upacara di Kemayoran,” kata Abdon Nababan.

Sumber foto oleh: RMI (Foto hanya ilustrasi)


“Dalam sepuluh tahun terakhir, politik hukum Masyarakat Adat semakin memburuk. Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN, UU KSDAHE, dan  berbagai peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan sumber daya alam mengandung unsur-unsur “penyangkalan” yang kuat terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya. Political will pemerintahan sangat rendah. Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan Masyarakat  Adat,” papar Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Sumber foto oleh: RMI (Foto hanya ilustrasi)


Sayangnya lagi, seluruh klaim keberhasilan di dalam pidato tersebut dibangun di atas perampasan dan penggusuran wilayah masyarakat adat. “Data AMAN hingga Mei 2024 menunjukkan bahwa sepanjang rezim pemerintahan Jokowi berkuasa, telah terjadi perampasan wilayah adat seluas 11,07 juta hektar, 687 konflik Masyarakat Adat yang mengakibatkan 925 orang dikriminalisasi, serta puluhan diantaranya mengalami luka-luka dan satu orang meninggal dunia,” kata Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).


“Selain itu, pengakuan wilayah adat baru mencapai 16% dari 30,1 juta hektar peta wilayah adat yang teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Sedangkan pengakuan hutan adat baru mencapai 8% dari 3,4 juta hektar potensi hutan adat dari wilayah adat yang telah ditetapkan pengakuannya oleh Pemerintah Daerah,” tambah Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).


Hingga penghujung kepemimpinannya, belum ada legacy baik yang ditinggalkan Jokowi bagi Masyarakat Adat. Padahal, 10 tahun lalu, demi meraup suara Masyarakat Adat, Jokowi berjanji akan mendukung Masyarakat Adat.


“Janji tinggal janji. Janji Nawacita hanya tipuan. Jokowi 10 tahun berkuasa tak satu pun janjinya dipenuhi. Jangankan berterimakasih dan minta maaf bahkan satu kata Masyarakat Adat pun tidak disebutkan di Pidato Kenegaraan terakhirnya pagi tadi,” pungkas Abdon Nababan. [ ]


oooOOOooo
Kontak media:
A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154

Partisipasi Aktif Kaum Perempuan dalam Pembangunan Desa Melalui Forum Perempuan Kasepuhan

Seorang perumus metodologi Participatory Rural Appraisal (PRA) yang terkenal, Robert Chambers mengatakan bahwa “praktik pembangunan yang baik ialah menempatkan masyarakat sebagai pusat, menghargai dan menghormati pengetahuan dan kapasitas lokal, dan memastikan bahwa mereka yang paling terdampak memiliki hak bersuara dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.” Merujuk formula Chambers di atas maka sudah sepatutnya menempatkan masyarakat sebagai pusat dalam pembangunan, baik di desa maupun di kota, yang memiliki hak bersuara dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Hal ini mengingat, bahwa mereka adalah pihak yang paling terdampak atas pembangunan tersebut. Terlebih bagi kelompok perempuan yang sering kali tidak dilibatkan dalam proses pembangunan di desa. Padahal perempuan memiliki pengetahuan dan kapasitasnya sendiri seperti kemampuannya dalam pengembangan ekonomi. Misalnya, kapasitas mereka sebagai tulang punggung ekonomi keluarga dan masyarakat desa.

Dengan melibatkan perempuan dalam pembangunan dapat mengoptimalkan potensi ekonomi mereka, yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan keluarga dan komunitas, serta lebih jauh lagi bisa juga berdampak positif pada generasi berikutnya. Hal tersebut dapat memutus mata rantai kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup di desa​.  Selain itu, pelibatan perempuan dapat membawa perspektif unik. Perspektif unik inilah yang kemudian memperkaya proses pengambilan keputusan di masyarakat desa. Hal ini dikarenakan perempuan cenderung lebih peka terhadap isu-isu yang sangat penting dalam pembangunan desa seperti isu kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak. Dengan kapasitasnya tersebut, peran perempuan dapat memperkuat kohesi sosial dan keberlanjutan budaya lokal.

Berdasarkan data tingkat partisipasi dan keterwakilan perempuan di kelembagaan desa, mengutip dari Lipsus Kompas, menurut data Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) pada Maret 2023, persentase keterwakilan perempuan di pemerintahan desa yaitu 38,6 persen, di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) 28,45 persen, di Lembaga Kemasyarakatan Desa 55,55 persen, dan 33,69 persen di Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Data tersebut mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi masih banyak tantangan yang harus diatasi bersama-sama.  

Forum Perempuan Kasepuhan

Partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan desa (Meaningfull Participation) adalah kunci untuk memastikan kebijakan dan program desa yang mencerminkan kebutuhan serta aspirasi seluruh komunitas. Partisipasi ini melibatkan perempuan secara substansial, bukan hanya sebagai simbol atau token, melainkan dengan mengakui dan memperkuat peran mereka dari perencanaan hingga evaluasi kebijakan publik. Dengan demikian, melibatkan perempuan secara aktif dalam pengambilan keputusan dapat menghasilkan kemajuan yang inklusif, berkelanjutan, dan merata bagi masyarakat desa.

Bertolak dari isu itulah, maka pada tahun 2024, tepatnya bulan Juni lalu RMI mulai mengambil langkah strategis untuk meningkatkan partisipasi dan aspirasi perempuan di tingkat desa dengan menggagas terbentuknya forum khusus perempuan di dua kasepuhan yang berada di dua desa, yaitu Kasepuhan Pasir Eurih yang berada di Desa Sindanglaya dan Kasepuhan Cirompang yang berada di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, sebagai wadah partisipasi, menyampaikan berbagai gagasan dan aspirasi dalam konteks pembangunan desa. Pertemuan ini bertujuan untuk mendengar aspirasi kelompok-kelompok perempuan yang ada di dua desa tersebut yang selama ini suaranya sangat minim saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).

Pertemuan Forum Perempuan di Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya, dihadiri oleh 26 orang Perempuan yang mewakili Kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Kader Posyandu dan Kelompok Usaha Perempuan (Kelompok Canoli). Di pertemuan ini peserta diajak menggali pengalaman dan perspektif tentang kegiatannya masing-masing di lembaga, mengidentifikasi harapan dan ekspektasi masing-masing peserta agar mereka tertarik mau bergabung dengan kelompok/lembaganya, memahami dan menggali lebih dalam apa peran dan fungsi lembaga mereka masing-masing, menggambarkan lokasi melalui pembuatan sketsa kampung/desa untuk mengetahui di mana saja mereka biasa berkegiatan, mengidentifikasi dukungan dari mana saja dan berbentuk apa dukungan tersebut mereka terima, dan mengidentifikasi tantangan baik internal maupun eksternal di kelompok mereka masing-masing. Semua proses tersebut kemudian mereka presentasikan melalui perwakilan kelompok. Dari presentasi tersebut, masing-masing kelompok secara bergantian meminta kelompok lain untuk mengomentari dan bertanya terkait dengan informasi yang dipresentasikan.

Beberapa hal yang menjadi temuan menarik adalah peserta mengakui bahwa pertemuan ini merupakan pertama kali diadakan, dan dengan forum seperti ini banyak sekali informasi-informasi penting tentang gerakan perempuan di desa yang sebenarnya bisa terhubung satu sama lain untuk saling menguatkan. Menurut salah satu peserta yang hadir, pertemuan seperti ini juga penting karena selama ini peserta atau perempuan tidak pernah punya wadah untuk menyampaikan aspirasi dan gagasannya, kalaupun ada hanya sebatas formalitas. Peserta juga merasakan bahwa proses perencanaan pembangunan desa dan proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa pelibatan perempuannya sangat kurang, kalaupun ada mereka hanya hadir tanpa berani menyampaikan pendapat apalagi mempengaruhi kebijakan desa.

Setelah pertemuan di Kasepuhan Pasir Eurih, RMI melakukan pertemuan Forum Perempuan di Kasepuhan Cirompang, Desa Cirompang. Pertemuan ini dihadiri 26 orang Perempuan yang terdiri dari perwakilan RT, RW, Kelompok PKK, Kader Posyandu, pemerintah desa, dan Kelompok Usaha (Kisancang). Proses yang dilakukan sama dengan yang dilakukan di Kasepuhan Pasir Eurih, yang membedakan adalah hasil refleksi dari salah satu peserta. Salah satu peserta perempuan yang juga menjabat sebagai perangkat desa bidang Ekbang (Ekonomi dan pembangunan) menyampaikan bahwa selama ini perempuan di tingkat desa belum diprioritaskan kepentingannya, jangankan masyarakat, perangkat desa perempuan pun masih terpinggirkan kepentingannya, contohnya dapat ditemukan di kegiatan peningkatan kapasitas yang diutamakan selalu staf-staf laki-laki daripada perempuan. Ia juga menyampaikan arah dan kebijakan desa mengenai peran serta perempuan dalam musyawarah desa. Masalah penting menurutnya adalah masih besarnya rasa ketidakpercayaan diri bagi perempuan dalam mengikuti proses musyawarah atau proses pengambilan keputusan di desa menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya partisipasi perempuan di tingkat desa. Maka forum seperti ini menjadi salah satu momen penting untuk mendorong kepercayaan diri kelompok perempuan yang diharapkan ke depan dapat terlibat secara aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa salah satunya di forum Musrenbangdes.

Pertemuan forum perempuan ini merupakan rangkaian yang akan dilakukan selama beberapa waktu kedepan secara rutin yang akan didampingi oleh RMI untuk mempersiapkan terbentuknya wadah bersama para kaum perempuan dalam satu forum yang nantinya menjadi sebuah Forum Perempuan Desa yang berpartisipasi aktif dalam komunitas desa dan masyarakat. Melalui forum seperti ini nantinya diharapkan seluruh aspirasi dari kelompok-kelompok perempuan dapat didengar, dipertimbangkan, ditindaklanjuti, dan didukung oleh berbagai pihak. Melalui wadah forum perempuan inilah segala kepentingan kaum perempuan di desa dapat diperjuangkan yang mana salah satunya adalah agar bisa masuk ke dalam penyusunan anggaran operasional tahunan desa yang bertujuan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan bersama, baik untuk kaum perempuan khususnya maupun untuk kemajuan komunitas desa secara keseluruhan. Dengan demikian, agenda inklusi sosial yang salah satunya melibatkan partisipasi kaum perempuan dalam pembangunan desa dapat terwujud.

Penulis  : Siti Marfu’ah & Umi Nadrah

Editor    : Renal Rinoza

Aksi Anak dan Remaja untuk Hak Anak Atas Lingkungan di Indonesia

Krisis iklim yang terjadi saat ini menimbulkan dampak buruk yang dirasakan di berbagai belahan wilayah di dunia, pun di Indonesia, dan telah menjadi perhatian banyak pihak.  Deforestasi dan degradasi hutan, penggunaan bahan bakar fosil dan aktivitas manusia lainnya yang merusak lingkungan dinilai memperburuk terjadinya krisis iklim ini. Permasalahan ini akan memberikan dampak buruk, terutama bagi kelangsungan hidup anak-anak dan kaum muda, baik saat ini maupun di masa depan. 

Sebagai salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia turut berkomitmen untuk melindungi anak dari segala hal yang mempengaruhi kehidupan dan dan tumbuh kembangnya. Hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 28B ayat 2 yang menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan diri dari kekerasan dan diskriminasi.” Akan tetapi, dalam perkembangannya, pemerintah Indonesia dinilai lebih mengutamakan program-program ketahanan ekonomi daripada menyediakan perlindungan yang memadai bagi anak dan komunitasnya dari risiko-risiko dan ancaman yang sedang dan akan mereka hadapi seiring dengan krisis iklim yang semakin memburuk. Meskipun demikian, anak-anak serta kaum muda sudah mulai dan semakin peduli terhadap permasalahan lingkungan dan dampak dari perubahan iklim yang sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, akses pengetahuan mereka terkait isu ini masih terbatas.

Berangkat dari permasalahan di atas, RMI  bekerja sama dengan Nexus 3 Foundation di Indonesia dan Gitib, Inc. di Filipina menjalankan projek My Planet My Rights (MPMR) pada tahun 2021—sebuah kampanye global untuk meningkatkan kesadaran terhadap hak anak atas lingkungan yang aman, sehat, dan berkelanjutan. Kampanye yang dilakukan melalui projek ini berhasil untuk mendorong Komite di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mensahkan General Comment no 26 di tahun 2023, yang menekankan adanya kebutuhan mendesak untuk mengatasi dampak buruk degradasi lingkungan, dengan fokus khusus pada perubahan iklim, penikmatan hak-hak anak, dan memperjelas kewajiban negara untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Komite juga menjelaskan bagaimana hak-hak anak berdasarkan Konvensi Hak Anak berlaku untuk perlindungan lingkungan hidup, dan menegaskan bahwa anak-anak mempunyai hak atas lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan. 

Berdasarkan hasil yang didapatkan dalam projek sebelumnya, yakni MPMR, RMI kembali bekerja sama dengan Nexus3 Foundation dan Gitib, Inc. untuk menginisiasi projek dengan tema “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” (“Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)”). Projek ini akan dilaksanakan di dua negara, yakni Indonesia dan Filipina, dan berlangsung selama tiga tahun (Oktober 2023 hingga Desember 2026). Melalui projek ini, diharapkan bahwa anak-anak dan kaum muda bisa mendapatkan akses informasi tentang isu lingkungan untuk meningkatkan kesadaran mereka dan mendukung mereka aktif berpartisipasi dalam memberikan solusi terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi. Selain itu, orang dewasa dari berbagai kalangan diharapkan juga mendukung secara aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak dan kaum muda untuk menyuarakan pendapat mereka. Hal ketiga yang diharapkan dalam projek ini adalah diakuinya hak anak atas lingkungan yang sehat secara lebih luas dengan diintegrasikannya hak atas lingkungan yang sehat ke dalam program dan kebijakan pemerintah, baik di tingkat lokal, provinsi, nasional, maupun regional (ASEAN). Projek ini mendapat dukungan dari tdh-Germany dan BMZ (Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung) atau Kementerian Federal Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Pemerintah Jerman. 

Dalam implementasinya, RMI akan melaksanakan projek ini di tiga lokasi yang berbeda, yaitu Kabupaten Lebak (2024), Kabupaten Pandeglang (2025), serta Kabupaten Kuningan (2026). Selain berfokus pada isu lingkungan, RMI juga akan memperkuat peran kaum muda untuk aktif berpartisipasi dalam mengembangkan program-program pendidikan kontekstual di komunitasnya masing-masing. Dalam projek ini RMI akan mengadakan beberapa kegiatan, antara lain pelatihan fasilitator pendidikan lingkungan yang kemudian akan diimplementasikan di sekolah maupun di komunitas, seminar/peningkatan kapasitas untuk guru dan CSO, dan beberapa lokakarya serta aksi inisiatif, sebagai dukungan bagi kaum muda dalam mengembangkan dan mengimplementasikan program pendidikan kontekstual di wilayahnya.

-Ajeng Lestari

Masyarakat Baduy dan Tantangannya: Seba Bukan Hanya Sekadar Perayaan Rutin Tahunan.

Seba adalah proses ritual Masyarakat Adat Baduy untuk menyampaikan amanat puun (Ketua Adat) kepada pemerintah Kabupaten dan Provinsi sesuai dengan filosofi mereka “Ngasuh Ratu Ngayak Menak” yang artinya mengasuh dan membimbing pemimpin sebagai bagian dari tugas Baduy. Masyarakat Baduy juga membawa hasil bumi sebagai oleh-oleh/buah tangan pada saat Seba. Ritual ini telah dilakukan oleh Masyarakat Adat Baduy selama ratusan tahun, karena dengan ritual ini Masyarakat Adat Baduy, atau yang menyebut diri mereka dengan Urang Kanekes, membuktikan bahwa mereka patuh dan menghormati hukum negara, sesuai dengan prinsip hidup mereka yaitu nyanghulu ka hukum nyanghunjar ka nagara. Selain itu, Seba juga sebagai momen untuk menunjukan eksistensi sekaligus silaturahmi dengan pemerintah setempat. 

Ritual Seba Baduy 2024 dilaksanakan pada Jum’at, 17 Mei 2024 di Pendopo Pemerintah Kabupaten Lebak. Beberapa hari sebelum ritual, Masyarakat Adat Baduy akan mengumpulkan hasil bumi yang telah mereka panen dalam setahun terakhir, kemudian dikumpulkan di halaman rumah Jaro (Kepala Desa) di Baduy Luar. Pada hari pelaksanaannya waktu pagi hari rombongan Masyarakat Adat Baduy Dalam berjalan kaki menuju kantor Pemda Lebak. Di siang harinya masyarakat berbondong-bondong membawa hasil bumi yang sudah terkumpul ke truk yang sudah disiapkan. Lalu dilanjutkan dengan rombongan Masyarakat Adat Baduy Luar yang menggunakan transportasi (elf/mobil) menuju ke pemerintah setempat. Menurut Jaro ada 1.500an Masyarakat Baduy yang ikut dalam rombongan Seba tahun ini. 

Ada hal yang berbeda Seba tahun 2024 dengan Seba tahun-tahun sebelumnya. Tahun-tahun sebelumnya Masyarakat Adat Baduy akan berdialog dengan pemda Lebak untuk menyampaikan laporan kondisi warga, hasil panen, dan keamanan wilayah. Seba tahun ini, Masyarakat Adat Baduy hanya babacakan (makan bersama) dengan Pemda Lebak. 

Pada Sabtu, 18 Mei 2024, rombongan Masyarakat Adat Baduy melanjutkan perjalanan ke Pemprov Banten. Saat berdialog dengan Pemprov Banten, mengutip dari laman Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), Pejabat Gubernur Banten, Al Muktabar, menitipkan anak-anak di Baduy jangan sampai terkena stunting. Apabila memerlukan dukungan, Pemprov Banten siap hadir.

Hak Masyarakat Adat Baduy Yang Belum Terpenuhi 

Masyarakat Adat Baduy adalah kelompok minoritas yang memiliki berbagai tantangan dalam kehidupan bernegara. Meskipun Seba dilakukan tiap tahun, dan setiap tahun juga Masyarakat Adat Baduy juga bertemu dengan pemerintah setempat yang membuat kebijakan dan mempengaruhi kehidupan mereka, semua ini bukan berarti hak mereka telah dipenuhi. 

Ada dua hak  Masyarakat Adat Baduy yang belum dipenuhi, salah satunya adalah hak-hak administrasi kependudukan, dan hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 pasal 58 ayat (2) huruf H yang mengatur perihal data dan dokumen kependudukan yang terdiri dari data perseorangan dan salah satunya adalah “agama/kepercayaan”. 

Ketika awal tahun 2019 pemerintah mengeluarkan KTP-el baru bagi penganut kepercayaan. Di kolom agama KTP-el tersebut penganut kepercayaan akan ditulis ‘Kepercayaan’. Padahal, Masyarakat Adat Baduy adalah kelompok minoritas yang memiliki agama sendiri yaitu Sunda Wiwitan. Pengakuan agama Sunda Wiwitan ini tidak hanya memenuhi hak dasar Masyarakat Baduy sebagai warga negara namun juga mendorong inklusivitas sosial bagi mereka.

Terlebih, tidak semua warga Baduy sepakat dengan isian format kolom agama ‘Kepercayaan’ tersebut. Muncul pendapat yang tegas dari berbagai kalangan Masyarakat Baduy supaya tetap agama Sunda Wiwitan yang dicantumkan dalam KTP-el karena agama tersebut sudah diwariskan turun temurun (“Kolom Agama KTP Warga Baduy Diisi Penganut Kepercayaan”, 2019). Dapat diduga bahwa munculnya keberatan tersebut adalah karena pada hakikatnya Sunda Wiwitan bukan sekedar aspek kepercayaan yang berdiri sendiri. Sunda Wiwitan bagi warga Baduy adalah identitas kultural (cultural identity) yang seiring pengakuannya juga berarti mengukuhkan hak-hak kultural (cultural rights) Masyarakat Adat Baduy itu sendiri (Dinamika Pemenuhan Hak Administrasi Kependudukan Baduy dan Preferensi Dicantumkannya ‘Sunda Wiwitan’ Dalam Kolom Agama Ktp Elektronik (Ktp-El), 2019).  

Hak yang belum dipenuhi lainnya adalah lahan untuk ngahuma (berladang) warga Baduy. Seiring pertumbuhan populasi warga Baduy dan pembatasan wilayah adat sejak 2001, lahan yang dikelola oleh warga Baduy semakin menyempit. Karena konon jumlah penduduk Baduy saat ini ini diperkirakan mencapai ± 26.000 jiwa, tetapi Baduy masih mendiami wilayah ulayat seluas 5.101,8 Ha. Wilayah tersebut terbagi ke dalam beberapa bagian berdasarkan pikukuh yaitu hutan lindung atau yang mereka sebut sebagai leuweung tutupan (secara literal berarti hutan tutupan) seluas 3.000 Ha dan sisanya adalah pemukiman dan areal pertanian. 

Seperti kita ketahui, Masyarakat Adat Baduy sendiri terbagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar, dan mereka memiliki tata penguasaan lahan yang berbeda. Pada kelompok Baduy Dalam, penguasaan lahan (khususnya lahan garapan) dikendalikan oleh pemimpin adat dan didistribusikan kepada keluarga-keluarga dalam kelompok. Begitu pula untuk lahan pemukiman, penambahan bangunan di Baduy Dalam harus melalui persetujuan pemimpin adat. Sedangkan, pada kelompok Baduy Luar, penguasaan lahan (termasuk lahan pemukiman) telah berada di tangan keluarga dan konsep pewarisan telah dikenal dan dipraktikkan (RMI, 2018). 

Dapat dibayangkan bagaimana dengan sistem pewarisan ini setiap waktunya kepemilikan lahan tiap kepala keluarga kelompok Baduy Luar akan semakin kecil karena populasi yang terus bertambah. Sementara itu, menurut adat, masyarakat Baduy Dalam hanya boleh mengelola lahan di wilayah Baduy Dalam. 

Titipan Pemerintah dan Hak Masyarakat Adat Baduy

Pemerintah Provinsi Banten saat Seba Baduy menitipkan ke warga Baduy agar tidak ada lagi anak yang mengalami stunting di kelompoknya, mengingat banyaknya penderita stunting di wilayahnya. 

Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya yang berada di bawah standar.  Menurut data Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, tahun 2023 terjadi penurunan angka jumlah stunting, yang sebelumnya 4.618 orang menjadi 3.682 orang yang menderita stunting. Sedangkan berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2023, angka stunting nasional mencapai 21,6%, sedangkan angka stunting Kabupaten Lebak berdasarkan data (SSGI) sebesar 26,2%. Tidak ada angka pasti berapa yang menderita stunting di Baduy, baik Baduy dalam maupun Baduy Luar. Sulitnya akses untuk ke seluruh kampung menjadi salah satu tantangannya. 

Meskipun begitu, stunting di Baduy juga memiliki beberapa faktor penyebab. Seperti kurangnya akses lahan yang bisa dikelola, pembangunan pariwisata yang masif, dan akses pasar yang sangat dekat, serta tidak diiringi dengan peningkatan pengetahuan tentang konsumsi makanan beragam untuk memenuhi gizi seimbang. Sehingga menyebabkan warga Baduy lebih sering mengkonsumsi makanan dari luar, yang melalui ultra proses, lebih banyak mengandung gula dan bahan sintetis. 

Selain itu, masih banyak anggota masyarakat Baduy belum memiliki KTP-el sehingga tidak mendapatkan pelayanan/bantuan dasar dari pemerintah. Kemudian, permasalahan laju pertumbuhan penduduk, perkawinan usia dini dan serta perkawinan saudara, dalam masyarakat Baduy juga harus diatasi untuk menjawab tantangan. 

Pendampingan intensif di lapangan melalui pendidikan alternatif yang memperkuat kearifan dan pengetahuan lokal dapat dilakukan untuk ini. Pengetahuan yang telah ada dalam masyarakat Baduy sendiri, termasuk pengetahuan lokal mereka terkait kontrol populasi, disandingkan dengan berbagai fenomena yang mereka temui dalam interaksi mereka dengan pihak-pihak di luar masyarakat Baduy. 

Sehingga Seba bukan hanya jadi rutinitas tiap tahun untuk bersilaturahmi dengan pemerintah, tetapi menjadi moment untuk menunjukan eksistensi Masyarakat Adat Baduy sesungguhnya secara keseluruhan.

Penulis: Siti Marfu’ah

Langkah Kolaboratif Pendokumentasian dan Pelestarian Keragaman Pangan Lokal Nusantara

Bincang-bincang Seputar Permasalahan Pangan Lokal, Tantangannya dan Kenapa Harus Didokumentasikan

Pada pekan keempat bulan Maret 2024, bertempat di sebuah restoran yang menyajikan pangan lokal khas NTT di bilangan Kemang, Jakarta Selatan diselenggarakan acara kegiatan peluncuran situs web Nusantarafoodbiodiversity.org.

Ide pembuatan situs web pendokumentasian pangan lokal ini diinisiasi oleh teman-teman KRKP, KEHATI, CIFOR-ICRAF, EKO NTT, dan Ahmad Arif, seorang wartawan Harian Kompas yang banyak menulis tentang isu pangan lokal di Nusantara. Inisiatif pendokumentasian keragaman pangan lokal ini muncul karena adanya keresahan bersama diantara sesama pegiat yang memang sudah lama berkecimpung di isu-isu pangan lokal dan  disamping itu mereka juga melihat adanya potensi yang luar biasa dari masa depan pangan lokal Indonesia.  

Gambar 1. Salah satu hasil pengidentifikasian tanaman di kebun dan hutan di kegiatan Pelatihan Pangan Lokal

Kegiatan peluncuran dashboard pangan lokal ini diawali dengan rangkaian sesi diskusi yang dipandu oleh Widya Hasian Situmeang dari KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan). Pada sesi diskusi ini menghadirkan empat orang pembicara, diantaranya adalah Said Abdullah dari KRKP, Mulia Nurhasan dari CIFOR-ICRAF, Imroatul Mukhlishoh dari KEHATI, dan Ahmad Arif dari Harian Kompas. Sesi diskusi ini juga mengundang perwakilan dari Pemerintah yaitu Rina Syawal, Direktur Penganekaragaman dan Konsumsi Pangan dari Badan Pangan Nasional (BAPANAS) sebagai penanggap diskusi. Sedangkan RMI sendiri hadir sebagai undangan dari kegiatan peluncuran situs web Nusantarafoodbiodiversity.org ini.

Kegiatan diskusi ini mengambil tema “Mulai dari lokal untuk berdaulat pangan”. Harapannya dari tema diskusi tersebut dapat menjadi langkah awal untuk setidaknya bisa menjawab kompleksitas tantangan krisis pangan dengan mengkampanyekan konsumsi pangan lokal. Pada hematnya, konsumsi pangan lokal cenderung lebih tahan terhadap guncangan iklim, dapat mengurangi emisi karbon, dan menjadi relevan mengingat Indonesia begitu kaya dengan sumber pangan yang beranekaragam baik dari segi jenis maupun keberlimpahannya. Dengan begitu, maka, pemanfaatan pangan lokal berbasis sumberdaya setempat sudah barang tentu berimplikasi pada tercapainya kedaulatan pangan di masing-masing komunitas masyarakat di Indonesia.

Gambar 2. Ahmad Arif (kiri) sedang memaparkan permasalahan pangan lokal di Tanah Air. Foto oleh: Tim dokumentasi KRKP.

Pembicara pertama yang berbagi pandangan dan pengalamannya adalah Ahmad Arif. Arif memulai dengan menceritakan kondisi yang ironis dari permasalahan keberagaman pangan lokal. Di satu sisi, cerita tentang keberagaman pangan yang luar biasa melimpah banyak dia temui di seantero wilayah Indonesia. Kedudukan pangan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal pedesaan selalu identik dan menjadi bagian yang paling penting dalam ritual-ritual karena memang begitulah pola hidup mereka yang notabene dibentuk oleh ketersediaan layanan alam termasuk sumber pangan yang mereka produksi dan konsumsi. Namun, di sisi yang lain, rupanya telah terjadi pergeseran pola konsumsi yang sangat tajam di masyarakat kampung dan ketidaktahuan terhadap pemanfaatan konsumsi pangan lokal.

Tentunya pergeseran dan ketidaktahuan ini membawa pada konsekuensi mulai pudarnya bahkan sampai hilangnya pengetahuan tentang cerita asal usul produksi dan konsumsi pangan lokal. Dalam kasus ini, Arif mencontohkan seperti yang terjadi di Flores, NTT. Di sana, cerita mengenai keberagaman pangan telah menjadi cerita masa lalu terutama bagi anak-anak muda saat ini. Banyak dari anak-anak muda di Flores tidak mau lagi mengkonsumsi jagung bosse sebagai sumber karbohidrat. Eksistensi jagung bosse telah digantikan dengan masifnya konsumsi nasi putih yang notabene berasal dari beras.

Sialnya, beras yang beredar di pasaran sebagian besar didatangkan dari luar pulau dan tentu saja masyarakat membeli beras itu di warung sembako. Parahnya lagi, tingkat ketergantungan terhadap beras yang sangat tinggi membuat masyarakat Flores seakan-akan mengalami ketiadaan pilihan-pilihan konsumsi pangan lain. Ditambah belakangan ini, harga beras mencapai rekor tertinggi dan risiko gagal panen padi di Pulau Flores akibat dampak El Nino semakin menyulitkan masyarakat memperoleh pasokan beras di sana. Akibatnya, situasi tersebut memunculkan permasalahan krisis pangan yang tidak boleh dianggap remeh.

Terkait permasalahan krisis iklim yang disinggung Arif ini, Imroatul Mukhlishoh, Asisten Program Agroekosistem Pertanian KEHATI, menandaskan bahwa varietas tanaman pangan lokal justru lebih tangguh terhadap dampak guncangan iklim. Selain tangguh, mulai dari proses produksi, rantai distribusi hingga konsumsinya pangan lokal lebih rendah emisi karbon. Potensi rendah emisi karbon inilah yang terbukti relevan untuk menjawab tantangan krisis perubahan iklim dewasa ini. Melihat dari potensi luar biasa pangan lokal dalam kompleksitas permasalahan krisis iklim ini, Mukhlishoh menekankan tentang pentingnya mendorong pemanfaatan dan pelestarian pangan lokal secara berkelanjutan.

Dalam hal ini, Arif menambahkan bahwa masyarakat Indonesia di masing-masing daerah memiliki kemampuan beradaptasi dengan budaya dan lingkungan spesifik. Di situlah letak pengetahuan dan teknologi mereka yang sebenarnya. Leluhur orang Indonesia sebenarnya sudah mewariskan segenap pengetahuannya kepada generasi penerus dalam mengolah sumber pangan. Pengalaman Arif berkeliling Indonesia membuktikan bahwa di masyarakat adat dan komunitas lokal adalah bagaimana cara mereka mulai dari mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan makanan telah menjadi pengetahuan yang paling berharga apalagi dihadapkan pada krisis perubahan iklim.

Selain kemampuannya yang tahan terhadap krisis perubahan iklim, pangan lokal dengan kekayaan biodiversitasnya mengandung keragaman komposisi gizi yang masing-masing memiliki keunikannya tersendiri. Mulia Nurhasan, Peneliti Pangan dan Gizi dari CIFOR-ICRAF, menjelaskan kepada para peserta diskusi bahwa permasalahan gizi di berbagai wilayah Indonesia itu bermacam-macam dan sangat lokal sehingga dibutuhkan penanganan yang juga lokal dan spesifik. Oleh karena itu, kekhasan pangan lokal di masing-masing tempat sebenarnya sudah mampu menangani permasalahan dan kebutuhan gizi masyarakat setempat.

Dalam pengamatan Nurhasan, selama ini permasalahan gizi seringkali hanya ditangani dengan pendekatan medis (medicalize approach) padahal itu bukanlah cara penanganan yang berkelanjutan. Baik pemerintah maupun masyarakat masih melihat permasalahan gizi mirip seperti penyakit yang segera dicarikan obatnya dan berharap dengan begitu masalah gizinya akan selesai. Misalnya dalam kasus tekes (stunting) yang melulu ditangani dengan pendekatan medis. Dalam kasus ini, Nurhasan mengajak agar kedepannya kita tidak bisa ketergantungan kepada solusi-solusi yang medicalize approach semata melainkan sudah seharusnya kita memberi karpet merah untuk solusi-solusi yang berkelanjutan—yang sumbernya berasal dari kekayaan pangan lokal Indonesia. Namun, tantangannya kini varietas pangan lokal kita sendiri sudah banyak yang hilang dan banyak pula dari kita semua sudah tidak mengkonsumsinya.

Berangkat dari keresahan atas permasalahan eksistensi pangan lokal tersebut, prakarsa pendokumentasian melalui sebuah dashboard di situs web menjadi langkah untuk menjaga dan melestarikan jenis-jenis dan pengetahuan tentang pangan lokal agar tidak punah. Harapannya dengan hadirnya dashboard ini, data yang terinput nantinya bisa dipakai menjadi basis argumentasi untuk mengadvokasi kebijakan. Dengan dua kata kunci: biodiversity dan locality diharapkan data di dashboard situs web ini akan menjadi pangkalan data (database) yang lengkap dan beragam untuk penyusunan kebijakan pangan yang lebih presisi dan sesuai dengan konteks lokalitasnya, tegas Said Abdullah dari KRKP dengan mantab.

Abdullah juga mengingatkan bahwa masalah intervensi kebijakan pangan lokal menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi kita semua dan bagaimana kebijakan dapat memperkuat itu dan tugas teman-teman di NGO memberi masukan dan bekerja secara kolaboratif dengan pemerintah. Apa yang Abdullah serukan, disambut oleh Rina Syawal, Direktur Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, BAPANAS (Badan Pangan Nasional), dengan menekankan bahwa berbagai inisiatif dari masyarakat yang muncul diharapkan dapat berkolaborasi dengan Pemerintah dalam merealisasikan mandat UU Pangan yang terkait dengan penganekaragaman pangan berbasis potensi pangan lokal.

Disamping itu, Arif menambahkan, dengan hadirnya dashboard ini dapat memetakan keberagaman pangan lokal di Indonesia dan mencatat mana saja yang masih eksis atau sudah lenyap. Dalam proses input data di dashboard ini, dikerjakan dengan pendekatan citizen science dan crowdsourcing yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam mendokumentasikan keanekaragaman pangan lokal di sekitar mereka dan cerita-cerita tentang pangan lokal bahkan yang keberadaannya sudah hilang sekalipun. Namun demikian, semangatnya adalah mengajak kita semua untuk berkontribusi bersama sehingga situs web ini bisa menjadi alat bersama yang bisa dipakai oleh siapa saja dan membangun kembali kebanggaan terhadap keberagaman pangan lokal yang ada di sekitar kita dan menjadi bagian budaya kita kembali, sergah Arif.

RMI dan Kerja-kerja Advokasi Pangan lokal

Mengingat betapa pentingnya eksistensi pangan lokal di kalangan masyarakat adat dan komunitas lokal di pedesaan, sebagai organisasi yang berfokus pada advokasi masyarakat adat di sekitar hutan, sejauh ini RMI sudah berkecimpung di dalam kerja-kerja menjaga dan melestarikan pangan lokal. Memang harus diakui bahwa saat ini telah terjadi pergeseran pola konsumsi yang masif di kalangan masyarakat adat. Ahmad Arif menyampaikan bukti-bukti yang menujukkan telah terjadinya pergeseran itu. Misalnya apa yang terjadi di masyarakat Baduy di Banten atau di Sumba, NTT.

Namun demikian, dalam amatan Arif ternyata masih ada peluang untuk bisa dimunculkan kembali. Senada dengan apa yang Arif katakan barusan, berdasarkan pengalaman RMI belakangan ini, kegairahan untuk melakukan kerja-kerja pendokumentasian pangan lokal juga semarak dilakukan oleh komunitas-komunitas mitra RMI. Misalnya kerja-kerja pendokumentasian dan penghidupan kembali marwah pangan lokal yang dilakukan oleh teman-teman Lakoat.Kujawas di Mollo, NTT; SimpaSio Institute di Larantuka, Flores; dan masyarakat kasepuhan di Lebak – Banten. Bahkan tidak hanya berhenti dalam menghidupkan pangan lokal tetapi juga meluas ke kegiatan pencarian berbagai jenis tumbuhan dari hutan adat yang bisa diolah menjadi jamu dan obat-obatan.

Kerja-kerja advokasi yang dilakukan oleh RMI yang berkolaborasi dengan Komunitas Pemuda Adat Cirompang (Kisancang) misalnya di Festival Pare Ketan yang diselenggarakan di bulan Oktober 2023 di Kasepuhan Cirompang – Lebak, di mana masyarakat kasepuhan Cirompang terutama kaum perempuan menjadi garda terdepan dalam menampilkan hasil olahan pangan lokal menjadi hidangan dan aneka panganan kue. Dampak positif dari festival tersebut adalah munculnya kesadaran dan rasa percaya diri terhadap pangan lokal mereka sendiri.

Disamping itu, keterlibatan RMI dalam advokasi pangan lokal secara serius dilakukan di Kasepuhan Cibedug melalui proyek penelitian Sistem Pangan Lokal yang bekerjasama dengan FAO di tahun 2019. Dalam proyek penelitian ini, RMI berfokus pada pendeskripsian aspek-aspek keberlanjutan dan resiliensi dari sistem pangan masyarakat Kasepuhan Cibedug dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim, masuknya input-input pertanian modern dan pengaruhnya terhadap sistem pangan tradisional, penurunan regenerasi petani, dan perubahan besar sejak wilayah kasepuhan masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) di tahun 1992.

Dari hasil temuan penelitian ini didapat bahwa sistem pangan masyarakat Kasepuhan Cibedug ternyata masih menunjukkan adanya tanda-tanda resiliensi, terutama kemampuannya dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim. Hal ini dibuktikan ketika terjadinya kekeringan di tahun 2019, di mana dampaknya tidak mempengaruhi ketersediaan pangan mereka lantaran disebabkan oleh masih kuatnya basis kemandirian pangan mereka dan masih minimnya ketergantungan pada pasokan pangan dari luar.

Pasokan pangan mereka diperoleh sebesar 50-60 persen dari hasil produksi pangan di lahan pertanian, 20 persen dari hutan, dan sisanya sekitar 20-30 persen dari pasar. Belum lagi dengan kebiasaan masyarakat Cibedug yang menyimpan padi di leuit (lumbung), pengumpulan pangan liar dari hutan, dan praktik mengawetkan pangan secara alami juga turut berkontribusi besar dalam menjaga ketahanan pangan dari terpaan guncangan iklim sehingga menjaga ketersediaan pangan mereka.

Namun demikian, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Cibedug adalah masuknya input-input pertanian modern seperti pupuk kimia, pestisida, dan mesin traktor yang didatangkan dari luar. Input-input pertanian modern ini berdampak pada penurunan kualitas kesuburan tanah. Penurunan kualitas kesuburan tanah ini mulai dikeluhkan oleh para petani. Untungnya, belakangan ini masyarakat Cibedug mulai memahami bahwa keputusan mereka menggunakan pupuk kimia dan mesin traktor mungkin merupakan keputusan yang keliru dan berakibat pada kualitas kesuburan tanah dalam jangka panjang.

Atas permasalahan tersebut, masyarakat Cibedug mulai gencar menghidupkan kembali penggunaan pupuk organik. Terlepas dari permasalahan tersebut, mereka masih mempunyai keinginan yang kuat dalam melestarikan adat dan tradisinya termasuk mempertahankan sistem pertanian tradisional mereka. Bagaimanapun, sistem pertanan tradisional ini sangat mendukung bagi keberlanjutan sistem pangan mereka.

Gambar 3. Seorang Petani di Kasepuhan Cibedug menangkap ikan dan organisme air tawar lainnya di sawah. Foto oleh: Dokumentasi Riset Sistem Pangan RMI di Cibedug.

Persoalan lain yang tak kalah gentingnya adalah masa depan regenerasi petani di Cibedug yang dirasa cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, banyak generasi muda di Cibedug enggan bertani dan lebih memilih bekerja di luar kampungnya. Selain itu, pengetahuan generasi muda terhadap tradisi dan kearifan lokal semakin menurun. Untuk mengatasi problem regenerasi petani ini, para tetua adat memandang perlu untuk melakukan penyegaran kembali pembelajaran adat dan tradisi bagi generasi muda. Meskipun demikian, tumpuan pendidikan dalam bertani di masing-masing keluarga di Kasepuhan Cibedug masih tetap dijalankan.

Di penelitian ini ditemukan bahwa anak-anak di Cibedug “sejak kecil dibawa ke sawah dan kebun lalu mengamati aktivitas pertanian orang tuanya. Kegiatan yang biasa mereka lakukan bersama keluarga antara lain memancing di sawah, memanen, menanam padi, memasang perangkap, dan terkadang berburu babi hutan. Anak-anak Kasepuhan Cibedug juga mempelajari kearifan lokal lokal melalui sosialisasi dengan teman sebaya: bertukar cerita dan pengalaman, bermain di sawah, memancing di sungai, memetik buah-buahan liar, dan lain sebagainya.”1

Dari kondisi faktual tersebut, krisis regenerasi petani di Cibedug ternyata sudah mereka antisipasi dengan melakukan mitigasi melalui penguatan kembali pembelajaran tradisi dan adat serta pendidikan dalam bertani di keluarga masing-masing. Dalam hal permasalahan dengan pihak TNGHS, dengan dukungan RMI kini status wilayah dan hutan adat masyarakat Kasepuhan Cibedug sudah diakui keberadaannya.

Tentunya, pengakuan dari negara ini berkonsekuensi terhadap masa depan keberlanjutan sistem pangan lokal masyarakat Cibedug karena mengingat sebagian besar lahan pertanian, kebun, dan aktivitas meramban pangan liar di hutan terdapat di kawasan TNGHS. Atas pengakuan ini, membuat masyarakat Cibedug bisa lebih bebas mengakses dan mengelola sistem pangan sesuai dengan kearifan dan pengetahuan lokal mereka sendiri.

Selain itu, dalam hal pengetahuan tentang sistem pangan lokal di masyarakat kasepuhan bertolak dari pengalaman RMI sejauh ini. Faktanya, di lapangan ditemukan bahwa masyarakat kasepuhan lainnya masih menjalankan praktik dari sistem pengetahuan pangan mereka. Salah satu praktik yang hingga kini masih dijalankan adalah tradisi ngalasan, yaitu, berupa aktivitas meramban pangan liar di dalam hutan sebagai aktivitas rutin masyarakat kasepuhan dalam pemenuhan kebutuhan gizi harian mereka.

Tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun, biasanya dilakukan jelang petang hari setelah mereka selesai beraktivitas bertani di sawah atau kebun. Apa yang mereka dapat selama ngalasan, itulah yang akan mereka bawa untuk dimasak sebagai menu makan malam atau sore hari. Beberapa jenis pangan liar yang didapat peramban selama melakukan aktivitas ngalasan biasanya berbagai jenis jamur, sayur-sayuran, lalap-lalapan, sarang lebah hutan, tanaman obat untuk jamu-jamuan dan minuman herbal, buah-buahan yang tumbuh di hutan seperti durian, umbut rotan (kambium di dalam rotan yang masih muda biasanya untuk disayur), dan tanaman di dalam hutan lainnya yang layak dikonsumsi.

Sementara itu, pangan lokal lainnya juga dapat mereka olah menjadi produk yang bisa dipasarkan untuk meningkatkan taraf penghidupan masyarakat sebagai pendapatan keluarga atau kelompok seperti singkong, pisang, durian, dukuh, langsat, gula aren, kulang-kaleng, dan buah manggis yang tumbuh di sekitar kebun dan di dalam hutan yang dikelola masyarakat kasepuhan.

Gambar 4. Hasil meramban pangan liar yang dikenal dengan tradisi ngalasan di masyarakat kasepuhan di
Lebak – Banten. Foto oleh: Fauzan Adima (Staf Pengorganisasian Masyarakat RMI).

Melihat dari pengalaman RMI inilah, menurut Ahmad Arif sebenarnya masyarakat kasepuhan bisa berpeluang untuk berkolaborasi dalam mendukung pendokumentasian pangan lokal di pangkalan data Nusantarafoodbiodiversity.org. Bahkan Said Abdullah menyambut RMI dan teman-teman lainnya untuk sama-sama membesarkan situs web ini dengan memfasilitasi masyarakat kasepuhan dan komunitas adat Baduy di wilayah kerja RMI terutama bagi generasi mudanya sebagai kontributor. Dengan demikian, hadirnya pangkalan data pangan lokal ini dapat menjadi alat advokasi bersama bagi para pihak yang sama-sama memiliki perhatian dan kepedulian terhadap keberlanjutan khazanah keanekaragaman pangan lokal di Nusantara.

1 RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment. “Food System Profile of Kasepuhan Cibedug
Indigenous Peoples in Cibeber, Lebak, Indonesia and Elements of Sustainability and Climate Resilience”
dalam Profiling Indigenous Food Systems And Their Contribution To Debates On Sustainibility And Climate Resilience. Unpublished

Penulis: Renal Rinoza (Staf Knowledge Management, RMI)