Surat Cinta di Penghujung Tahun 2021 Dan Kembalinya Gairah Petani Ciwaluh – Cipeucang

Slot Deposit Dana – Diakhir tahun 2021, tepatnya tanggal 29 Desember 2021 lalu,  KTH Ciwaluh, Desa Wates Jaya, Kec. Cigombong dan KTH Cipeucang, Desa Pasir Buncir, Kec. Caringin, Kab. Bogor,  mendapatkan undangan dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) yang isinya berupa undangan pendandatanganan Perjanjian Kerjasama (PKS).  Berita tersebut merupakan sebuah kabar yang dinanti-nanti setelah hampir empat tahun lamanya tiga Kelompok Tani Hutan (KTH) dari dua kampung tersebut menunggu.

Permainan game online Pay4d datang dari kekasih, mereka pun menyambutnya dengan sukacita dengan mengumumkannya melalui pengeras suara di mesjid. Seorang pengurus KTH, yang juga sebagai Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM), mengumumkan kabar tersebut sekaligus meminta kepada anggota KTH untuk berkumpul membahas undangan yang rencananya akan dibahas malam hari. Bagi masyarakat Ciwaluh, pengeras suara masjid tidak hanya digunakan untuk kepentingan ibadah seperti azan dan pengajian, tetapi juga berfungsi sebagai sarana komunikasi sosial untuk menyampaikan berbagai informasi yang diterima oleh masyarakat setempat. Informasi yang disampaikan melalui pengeras suara masjid biasanya berisi informasi-informasi penting dan kondisi-kondisi darurat saja.

 

Tanggal 29 Desember 2021, menjadi hari keramat bagi para penggarap lahan di Ciwaluh dan Cipeucang, karena untuk kesekian kalinya mereka bisa duduk berhadapan dengan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE), Wiratno. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, kali ini Wiratno bertemu penggarap Ciwaluh dan Cipeucang dalam rangkan menyaksikan penandatanganan Perjanjian Kerjasama (PKS) Kemitraan Konservasi yang dilakukan oleh Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) dengan masing-masing ketiga dari ketiga KTH, yaitu KTH Ciwaluh Hilir, KTH Ciwaluh Girang dan KTH Cipeucang.

Proses penandatanganan PKS tersebut berjalan  dengan menarik, di mana Wiratno meminta perubahan durasi PKS yang awalnya direncanakan hanya tiga tahun menjadi lima tahun. Hal ini menunjukan bagaimana beliau berpihak kepada masyarakat yang memiliki hak untuk mengakses hutan sebagai ruang hidupnya selama ini.

Penandatangan PKS yang telah dilakukan ternyata belum cukup bagi KTH untuk dapat mengimpelementasikan isi perjanjian kerjasama tersebut, pasalnya mereka diwajibkan membuat dokumen Rencana Pelaksanaan Pogram (RPP) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) selama 5 tahun ke depan. RPP dan RKT merupakan amanat yang tertuang dalam PKS yang disusun bersama-sama antara KTH dan BBTNGGP dengan durasi penyusunan 3 bulan setelah PKS ditandatangani.

Penyusunan RPP dan RKT di Tiga KTH

Berdasarkan amanat PKS yang telah ditandatangani, di minggu pertama Januari 2022 ketiga KTH pun mulai melakukan penyusunan draft Rencana Pelaksanaan Program (RPP) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Kemitraan Konservasi. Dokumen RPP dan RKT bagi KTH bukan hanya persoalan administrasi semata, namun jauh dari itu memiliki makna besar bagaimana mereka menyiapkan rencana implementasi secara kolektif berdasarkan hasil diskusi mereka  sendiri. Agar penyusunan RPP dan RKK berjalan dengan efektif, maka teknis penyusunan dilakukan secara bergilir di tiga KTH yang dimulai dengan KTH Ciwalu hilir. Hal ini sengaja dilakukan dengan melihat jumlah anggota KTH yang cukup banyak, sehingga tidak mungkin disatukan dalam satu forum.

Ada suasana yang beda ketika pertemua di tiga KTH baik Ciwaluh hilir, Ciwaluh girang maupun Cipeucang, anggota yang datang lebih banyak dari biasanya. Kondisi ini menunjukan bahwa ada semangat baru pada diri masyarakat penggarap setelah PKS ditandatangani.  Terlihat ada kepercayaan diri pada mereka yang sebelumnya cukup pesimis dengan proses usulan Kemitraan Konservasi. Demi memperlancar proses penyusunan RKP dan RKT, KTH menyiapkan proyektor yang dipinjam dari kelompok wisata. Difasilitasi oleh RMI, pertemuan ini diawali dengan menyampaikan tujuan dan maksud penyusunan dokumen tersebut sekaligus membahas ulang tiap point isi PKS.

Proses peyusunan RPP dan RKT mengacu pada ruang lingkup kerjasama yang tertuang dalam PKS meliputi: 1) Perlindungan dan pengamanan Kawasan; 2) Pembinaan Habitat; 3) Akses pemungutan HHBK; 4) Budidaya Tradisional dan Tanaman Obat, Multi Puprpose Tree Species (MTPS–sistem pengelolaan lahan dimana berbagai jenis kayu, daun-daunan, dan buah-buahan ditanam dan dikelola, yang dapat digunakan sebagai bahan makanan ataupun pakan ternak); 5) Monitoring dan Evaluasi. Proses penyusunan dilakukan dengan metode diskusi, dimana setiap anggota menyampaikan pendapatnya, baik lisan maupun tulisan. Tujuannya agar setiap anggota dapat menyampaikan pendapatnya sesuai perspektif masing-masing. Proses selanjutnya adalah penyusunan RPP dan RKT secara detil hingga terbentuk matrik durasi dan timeline-nya, yang akan dikerjakan oleh tim khusus yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan satu orang anggota dari masing-masing KTH.

Ringkasan hasil diskusi dari pertempuan tersebut antara lain:

1.Perlindungan dan Pengamanan Kawasan;

Meliputi kegiatan pengamanan melalui sebaran infomasi tentang aturan pengelolaan, sosialisasi dan patroli rutin secara mandiri maupun berkolaborasi dengan petugas BBTNGGP.

2. Pembinaan Habitat;

Kegiatan ini disepakati berupa inventarisasi lahan kritis dan rawan longsor, penyemaian dan penanaman pohon hutan endemik.

3.Akses Pemungutan HHBK;

Kegiatan ini meliputi aktivitas harian masyarakat dalam memanfaatkan lahan, berupa kebun dan sawah yang secara produktif mereka kelola selama ini, termasuk pemanfaatan getah pinus. Selain itu juga soal penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas, serta pembentukan lembaga ekonomi seperti koperasi.

4.Budidaya Tradisional dan Tanaman Obat, MPTS;

Kegiatan ini meliputi pemanfaatan buah-buahan seperti jengkol, pete, nangka hingga sengon. Sengon merupakan jenis tanaman yang secara khusus pemanfaatannya diatur berdasarkan skema yang telah disiapkan KTH berupa sistem tanam tebang.

5.Monitoring dan Evaluasi.

Kegiatan ini meliputi pencatatan, pelaporan secara berkala, evaluasi tahunan dan lima tahunan.

Kembalinya Kepercayaan Diri dan Semangat Baru Para Penggarap

Ditandanganinya PKS Kemitraan Konservasi pada 29 Desember 2021 lalu membawa angin segar bagi para penggarap di kampung Ciwaluh dan Cipeucang. Ada kepercayaan diri yang perlahan tumbuh dibenak mereka bahwa keberadaannya kini telah mendapat pengakuan meskipun berupa kerjasama.

Di tengah proses diskusi Ketua KTH Ciwaluh Hilir, Adom bercerita bahwa sekarang ini para penggarap mulai berdatangan kepadanya dan memberikan secara sukarela sumbangan dalam bentuk uang, beras, kapolaga dan juga kopi untuk mendukung dan membiayai berbagai kegiatan yang akan dilakukan KTH kedepannya. Pasalnya mereka sekarang percaya bahwa perjuangan yang dilalui telah mendatangkan hasil, maka sudah sepatutnya anggota juga turut serta memberikan suport melalui iuran sukarela yang akan dikumpulkan oleh pengurus sebagai kas kelompok yang nantinya akan digunakan untuk membiayai kegatan-kegiatan KTH. Diwaktu yang sama, Adom juga membacakan satu persatu iuran sukarela yang masuk beserta pengeluaran apa saja yang telah dikeluarkan. Para anggota menyaksikan dengan seksama. Beberapa orang menanggapi bahwa  anggota kini percaya dan siap untuk bekerjasama kedepannya karena pada dasarnya semuanya memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, yakni memperbaiki taraf hidup dan memperkuat solidaritas dan persatuan di internal kampung.

Meski belum besar nilainya, namun hal ini merupakan inisiatif baik dari para penggarap yang sebelumnya relatif tak acuh kini mulai acuh degan kegiatan-kegiatan KTH, termasuk membangun inisiatif dan rencana. Hal ini tidak hanya terjadi di Ciwaluh, di Cipeucang sendiri dalam diskusi perumusan RPP dan RKK, ketua RT menyampaikan bahwa dirinya beberapa waktu lalu telah mengusulkan di forum Musrembangdes Desa Pasir buncir agar memasukan KTH Cipeucang sebagai sasaran kelompok yang perlu didukung pengembangannya oleh pemerintah desa melalui Dana Desa.  Menurutnya respon Kepala Desa cukup baik dengan menyetujui usulan yang disampaikan oleh Pak RT. Dalam waktu dekat, beliau akan mengajak ketua KTH Cipeucang untuk bertemu dengan Kepala Desa tujuannya mempertegas apa yang sudah diusulkan dalam Musrembang tersebut.

Ditandatanganinya PKS juga berdampak pada kepercayaan diri penggarap dalam menjalankan aktivitas keseharian mengolah tanah, mereka lebih merasa tenang dan nyaman, berbeda dengan kondisi sebelumnya. Sejak ada PKS Kemitraan Konservasi, masyarakat menganggap ada batasan dan aturan baku yang diterapkan, sehingga membuat mereka semakin yakin dalam mengelola lahannya. Di kesehariannya, KTH pun mulai berani menjalin komunikasi secara langsung dengan TNGGP, baik bertanya maupun melakukan klarifikasi terkait isu-isu tertentu yang berkaitan dengan aktivitas dan kondisi pengelolaan lahan garapan.

Mimpi 5 Tahun Ke Depan

Lahan garapan berupa sawah dan kebun sudah menjadi sumber kehidupan masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang yang mayoritas sebagai petani. Sejarah panjang telah menjadi perjalanan dan saksi nyata bagaimana masyarakat memiliki hak untuk menguasai, memiliki dan memanfaatkan kekayaan alam di sekitar mereka dengan tenang dan aman.

Sebelumnya, konflik dengan TNGGP telah membawa masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang semakin termarginalkan keberadaannya karena pembatasan akses yang bertolak belakang dengan aktivitas mereka selama ini. Kondisi ini secara otomatis membawa dampak buruk bagi ksejahteraan masyarakat setempat yang memiliki sumber kehidupan di kawasan hutan yang dikuasai negara.

Melalui skema Kemitraan Konservasi secercah harapan kembali hadir,  ditengah rasa pesimis bahkan frustasi karena lamanya perjuangan yang ditempuh. Kini mereka telah resmi diakui aksesnya sebagai bagian dari pengelolaan kawasan hutan. 5 tahun yang diatur dalam PKS merupakan bungkusan mimpi penggarap untuk bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari secara legal tanpa dibayang-bayangi rasa takut akan pelanggaran hukum oleh petugas TNGGP.

Awal Januari 2022 masyarakat mulai menata apa yang akan dilakukan selama 5 tahun kedepan. Berbagai rencana dan harapan muncul dari mulut penggarap, salah satunya adalah memulai pertanian organik untuk kehidupan mendatang. Di tengah semakin sulit dan mahalnya biaya bertani, terutama sawah bagi petani kecil, maka pertanian organik akan menjadi solusi bagaimana meminimalisir biaya pertanian yang juga sangat bermanfaat untuk mewujudkan masyarakat Ciwaluh-Cipeucang lebih sehat. Dalam aspek usaha, para penggarap berharap selama 5 tahun ke depan KTH memiliki badan usaha sendiri atau lembaga keuangan sendiri seperti koperasi, yang dapat menjadi motor gerakan kemandirian petani dalam meningkatan produtivitas dan pendapatan.

Penulis: Fauzan Adima

Editor: Siti Marfu’ah

Arah Penetapan dan Pengelolaan Hutan Adat Pasca UU Cipta Kerja Disahkan

Pada tanggal 27 Januari 2022, telah berlangsung seminar dengan tema Pengelolaan Hutan Adat Pasca Penetapan Hak yang dilaksanakan secara hybrid, luring dan daring, sebagai salah satu bagian dari rangkaian Festival PeSoNa Kopi Agroforestry 2022. Seminar yang diselenggarakan di Gedung Manggala Wanabakti ini dihadiri oleh berbagai pembicara diantaranya Anitasria dan Hadi Brata yang merupakan perwakilan Masyarakat Adat Puyangsure Aek Bigha dari Kabupaten Muara Enim, Nadya Demadevina dari Perkumpulan HuMa, Agus Zainudin selaku kepala Bappeda Kabupaten Merangin, serta Muhammad Said yang merupakan Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) KLHK.

Permainan merupakan salah satu program nasional yang dicanangkan oleh pemerintah guna membuka akses kelola hutan bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada keberlanjutan hutan serta keanekaragaman hayati di dalamnya. Melalui skema Perhutanan Sosial yang sudah diluncurkan sejak tahun 2014, negara telah berkomitmen untuk membagikan total 12,7 juta hektar lahan di kawasan hutan melalui 5 skema, salah satunya Hutan Adat. Tercatat bahwa sampai dengan tahun 2021, progres perluasan Hutan Adat sudah mencapai 76.156 ha, yang tersebar di 15 provinsi, 32 kabupaten, dengan 89 SK, dan sebanyak 44.768 masyarakat penerima manfaat. Namun pasca UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU CK) disahkan, ada beberapa poin yang harus dipahami bersama berkaitan dengan arah pengelolaan Hutan Adat pasca penetapan yang juga masuk ke dalam skema Perhutanan Sosial. Isu inilah yang juga menjadi fokus bahasan utama dalam kegiatan seminar ini.

Poin pertama yakni ketentuan yang menyebutkan bahwa skema food estate dapat diberikan di atas hutan yang sudah dibebani skema Perhutanan Sosial. Dengan begitu, penetapan skema Hutan Adat tidak serta merta menjamin keberlangsungan pengelolaan ruang yang sebelumnya telah diberikan kepada Masyarakat Adat. Poin selanjutnya mengenai hak pemangku Hutan Adat, di mana pada masa pra UU CK, pemanfaatan hutan dapat dilakukan asalkan sesuai dengan fungsi hutan. Hal ini berbeda pasca UU CK disahkan, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan hanya bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ada beberapa pihak yang menyatakan bahwa pemanfaatan hutan di luar kebutuhan sehari-hari masih diperbolehkan, namun perlu adanya perlindungan hukum terkait hal tersebut. Poin ketiga berkaitan dengan subjek pemangku Perhutanan Sosial.  Pada UU CK, Masyarakat Adat tidak dimasukkan ke dalam subjek pemangku Perhutanan Sosial. Subjek yang disebutkan di dalamnya antara lain, perseorangan (individu),  Kelompok Tani Hutan (KTH), dan juga koperasi. 

Agus Zainudin (Bappeda Merangin) berpendapat bahwa Masyarakat Adat merupakan salah satu kelompok yang terdiskriminasi oleh negara. Salah satunya Masyarakat Adat Serampas yang wilayah adatnya sepenuhnya ditetapkan sebagai Taman Nasional Kerinci Seblat. Negara lupa bahwa di sana terdapat wilayah adat yang sudah ada secara turun temurun. Dengan peraturan yang mengatur tentang persoalan Masyarakat Adat, sudah sepatutnya negara mengakui secara legal keberadaan Masyarakat Adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan peraturan perundangan.

Pemda Merangin sangat mendukung ditetapkannya Hutan adat karena mereka menilai bahwa hutan lebih efektif dirawat oleh Masyarakat Adat dibandingkan dijaga oleh polisi hutan. Adanya putusan MK 45 dan MK 35 mendasari serta mendorong Pemda Merangin untuk memperjuangkan penyusunan Perda Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Bappeda Merangin juga mendorong DPRD untuk menggunakan hak inisiatif mereka, termasuk untuk berdiskusi dengan KLHK dalam menyepakati adanya perda tersebut. Selain itu karena pemda tidak memiliki wewenang untuk mengatur kawasan kehutanan, pemda menggunakan UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan untuk mengeluarkan Peraturan Bupati terkait Afirmasi APBD melalui dana desa untuk pengelolaan hutan adat. Di tahun 2022, masing-masing desa adat di Merangin mendapatkan dana sebesar 200 juta rupiah.

Muhammad Said (PKTHA) menyampaikan tanggapan terkait dengan Masyarakat Adat di dalam UU CK. Ia membenarkan bahwa di dalam UU tersebut Masyarakat Adat memang tidak disebutkan secara jelas. Akan tetapi aturan terkait dengan Masyarakat Adat dijelaskan dalam peraturan turunannya. Ia menjelaskan pula bahwa melalui UU CK,  Hutan Adat memiliki skemanya tersendiri. Di mana status hutan beserta fungsinya berubah menjadi hutan hak (komunal) dan bukan menjadi bagian dari hutan negara, berbeda dengan skema hutan lainnya. Oleh karena itu, Masyarakat Adat bisa mendapatkan haknya untuk mengelola Hutan Adat.

Sejalan dengan hal tersebut, Nadya Demadevina atau Dema (Perkumpulan HuMa) memaparkan bahwa keberadaan Hutan Adat memiliki dampak yang sangat besar terhadap pemenuhan hak serta kesejahteraan Masyarakat Adat. Sebagai contoh yang terjadi pada Masyarakat Adat Marena yang berada di Sulawesi. Sebelum menerima SK Hutan Adat, Masyarakat Adat tersebut tidak dapat mengakses Hutan Adatnya sama sekali karena berada di dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Mata Allo. Selain itu di dalamnya terdapat konsesi PT Adimitra, perusahaan penyadapan getah pinus. Adapun setelah pemberian SK Hutan Adat di tahun 2018, Masyarakat Adat Marena bernegosiasi dengan PT Adi Mitra dan diperbolehkan untuk menggarap Hutan Adat dengan menanam kopi varietas lokal (kopi dalai) dan palawija di bawah tegakkan pohon.

Selain itu, Dema juga menegaskan bahwa UU CK didalamnya mengatur terkait pasca penetapan hutan adat. Dia menyoroti bahwa ketentuan diberikannya food estate di kawasan yang sudah dijadikan kawasan Perhutanan Sosial nyatanya tidak memberikan kepastian hukum bagi pemangku kepentingan Perhutanan Sosial, termasuk didalamnya Masyarakat Adat. Dalam UU CK perlu ada perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, salah satunya untuk memberi akses bagi mereka dalam memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK). 

Selain Masyarakat Adat Marena, dampak yang dirasakan melalui pemanfaatan Hutan Adat pun sangat dirasakan oleh Masyarakat Adat Puyangsure Aek Bigha, khususnya bagi kelompok perempuan adat. Melalui tuturan Anitasria, yang mewakili kelompok perempuan adat Puyangsure Aek Bigha, diketahui bahwa perempuan dan hutan tidak dapat dipisahkan sehingga penting bagi perempuan adat Puyangsure Aek Bigha untuk menjaga Hutan Adatnya. Mereka beranggapan bahwa semua yang berada di dalam Hutan Adat dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan masyarakat, khususnya untuk kebutuhan sehari-hari.

Hal ini dijelaskan bahwa di dalam areal Hutan Adat mereka, terdapat beberapa jenis tumbuhan yang biasa digunakan untuk pembuatan anyaman yakni bambu, batang uwih, serta resam yang bisa dibuat menjadi gelang, cincin, serta kerajinan lokal yang biasa disebut dengan kudu. Pemanfaatan hasil Hutan Adat juga tidak hanya digunakan untuk pembuatan anyaman saja, tanaman-tanaman liar kerap kali dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh Masyarakat Adat Puyangsure Aek Bigha. Salah satu contohnya yakni pemanfaatan tanaman akar kekait yang dapat dijadikan sebagai obat batuk dan tanaman pacing yang juga dapat dimanfaatkan sebagai obat penurun panas. Menyambung pemaparan Anitasria, Hadi Brata pun menambahkan bahwa Hutan Peramuan sangat penting bagi Masyarakat Adat Aek Bigha dan dengan ditetapkannya Hutan Adat maka semakin memperkuat posisi Hutan Peramunan tersebut.

Melalui persoalan-persoalan yang telah dihadapi, dapat dilihat bahwa pendekatan Masyarakat Adat yang tidak bersifat formalistik membuat perlindungan Hutan Adat lebih proaktif dan bersifat fleksibel. Mendiskusikan tantangan dan pengalaman dalam pengelolaan Hutan dat penting sebagai pembelajaran untuk membangun strategi percepatan Hutan Adat melalui inovasi dan kolaborasi para pihak. Perlu juga digarisbawahi bahwa upaya yang dilakukan tidak hanya terhenti ketika status Hutan Adat telah didapatkan. Masih sangat dibutuhkan kolaborasi multipihak dalam hal penguatan regulasi, anggaran, dan komitmen pemerintah pusat maupun daerah dalam pengelolaan Hutan Adat pasca penetapan hak guna memastikan terjaminnya keamanan ruang hidup Masyarakat Adat.

Penulis: Dinah Ridadiyanah

Editor: Supriadi

Pertemuan Majelis Permusyawaratan Masyarakat Kasepuhan Di Banten Untuk Merumuskan Peran Pemuda Adat

Keterlibatan generasi muda dan perempuan adat dalam Majelis Permusyawaratan Masyarakat Kasepuhan (MPMK) merupakan hal yang harus diapresiasi dan dikawal. Pasalnya, selama ini pemuda adat jarang dilibatkan dalam kegiatan adat, pengelolaan hutan, dan proses pengambilan keputusan lainnya. Mengingat pentingnya peran generasi muda sebagai generasi berikutnya yang melestarikan adat budaya Kasepuhan, sudah sepatutnya mereka dilibatkan. Terlebih lagi banyaknya ancaman yang hadir kemudian menyebabkan hilangnya wawasan adat budaya kasepuhan pada generasi muda.

MPMK sendiri adalah wadah komunikasi yang dibentuk oleh Masyarakat Kasepuhan dan terdiri dari unsur kokolot (tetua), unsur perempuan adat, unsur pemuda adat, dan unsur lainnya, seperti yang diamanatkan pada Bab 1 Ketentuan Umum Peraturan Daerah (Perda) Lebak No.8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan. MPMK dibentuk pada 20 Desember 2020 melalui musyawarah adat di Kasepuhan Guradog, Kecamatan Curugbitung, Kabupaten Lebak. Pembentukan MPMK dinilai mendesak, mengingat saat ini sudah lima kasepuhan yang dikembalikan Hutan Adatnya.

Pada Selasa, 19 Januari 2021, bertempat di kantor DPRD Kabupaten Lebak, Banten, pengurus MPMK mensosialisasikan hasil musyawarah adat tersebut. Pertemuan sosialisasi MPMK melibatkan beberapa pihak, seperti unsur perempuan dan pemuda kasepuhan, Satuan Adat Banten Kidul (SABAKI). Dari organisasi masyarakat sipil hadir RMI, JKPP, dan HuMA yang telah lama bekerja sama dengan masyarakat Kasepuhan, untuk mendorong pemenuhan hak-hak mereka sebagai bagian dari masyarakat adat. 

Junaedi Ibnu Jarta, atau yang akrab disapa Jun, selaku Ketua Umum menyampaikan bahwa MPMK merupakan organisasi yang memiliki visi “Menjadi Organisasi Terdepan yang PEDULI dan TURUT BERTANGGUNG JAWAB dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup dan kelangsungan Masyarakat Adat Kasepuhan dengan tiga jenis keanggotaan, pertama Anggota biasa yaitu merupakan masyarakat keturunan masyarakat adat Kasepuhan. Kedua anggota luar biasa, adalah organisasi yang masyarakat adat kasepuhan dari masing-masing kasepuhan. Terakhir anggota luar biasa, yaitu masyarakat non adat yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap masyarakat adat kasepuhan.

Dalam kesempatan itu Jun juga menyampaikan bahwa MPMK memiliki sembilan ketua, yaitu Ketua Umum; Ketua Hukum dan HAM; Ketua Bidang Sosial dan Ekonomi; Ketua Bidang Penelitian, Pendidikan; Ketua Bidang Keagamaan dan Kebudayaan; Ketua Bidang Pemuda dan Infrastruktur Masyarakat Kasepuhan ; Ketua Bidang Kesehatan, Pemberdayaan Perempuan Adat dan Perlindungan Anak; Ketua Bidang Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanian; dan Ketua Bidang Organisasi, kaderisasi, dan Keanggotaan. Selain itu, dalam kepengurusan MPMK juga terdapat Direktur Eksekutif yang membawahi administrasi dan keuangan. MPMK juga memiliki  Pelindung, Pembina dan Penasehat yang berada di struktur organisasinya.

Jun menyatakan bahwa pemuda perlu terlibat dalam kepengurusan MPMK, sehingga kemudian dipilih pemuda untuk berposisi  di bagian keuangan dan di bidang pemuda MPMK. Dengan keterlibatan tersebut, Jun berharap ke depannya partisipasi pemuda akan semakin meningkat.

Adapun menurut pengamatan RMI, selama ini generasi muda adat Kasepuhan adalah kelompok yang suaranya kurang didengarkan. Padahal pemuda dan perempuan adat kasepuhan dinilai memberikan beragam perspektif baru yang mengisi ruang-ruang kosong dalam perjuangan masyarakat adat kasepuhan.

Dalam riungan SABAKI “Regenerasi: Adat dan Pengembangan Sumber Daya Alam di Mata Generasi Muda”, pada tahun 2019 di Kasepuhan Citorek, para pemuda yang mengikuti pelatihan  menyatakan bahwa mereka belum banyak dilibatkan di organisasi tersebut. Namun demikian, keinginan mereka untuk berpartisipasi di organisasi dan kegiatan budaya sebenarnya sangat besar. Kendalanya adalah seringnya perasaan segan kepada orang-orang yang dituakan (baris kolot atau juru basa, misalnya) muncul, dan menahan mereka untuk berpartisipasi secara aktif.

Sebagai salah satu organisasi yang mengadvokasi pengakuan masyarakat adat Kasepuhan sejak 2003, RMI menilai Keterlibatan generasi muda dalam kepengurusan MPMK merupakan tahap dari jalan panjang yang harus ditempuh untuk mencapai kesejahteraan. Terlebih lagi setelah penyerahan Surat Keputusan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani, Hutan Adat Kasepuhan Cirompang, Hutan Adat Kasepuhan Citorek, dan Hutan Adat Kasepuhan Pasir Eurih, pada 7 Januari 2021.

Selain memastikan keterlibatan generasi muda dalam pengurus MPMK, RMI bersama JKPP dan HuMA juga menyampaikan bahwa MPMK idealnya menjadi forum strategis dan independen yang menelurkan rekomendasi, gagasan untuk mendistribusikan kesejahteraan masyarakat kasepuhan dan pengamanan adat dan budaya kasepuhan agar tidak tergerus globalisasi, serta mengawasi kebijakan daerah atau organisasi lainnya yang terkait dengan masyarakat kasepuhan.

 

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Indra N. Hatasura

Serial Diskusi Pengembangan Konsep dan Instrumen Wellbeing

Agenda pembangunan hari ini dibangun atas asumsi bahwa ekonomi merupakan indikator utama wellbeing. Produk Domestik Bruto (PDB) masih banyak digunakan untuk mengukur pertumbuhan dan menunjukkan status/tingkat ekonomi.  Hal tersebut menyebabkan pendekatan yang saat ini populer dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah ekonomi terbuka/liberalisasi di sektor sumber daya alam, di mana investasi merupakan penggerak utamanya. Inilah kunci ide di balik pembahasan dan pengesahan UU Omnibus Cipta Kerja dan beberapa RUU bermasalah dalam kurun waktu setahun terakhir.

Meskipun pendekatan ini dapat menciptakan banyak lapangan kerja formal, namun di saat bersamaan juga menimbulkan ancaman besar bagi masyarakat di pedesaan, di mana mata pencaharian mereka ada di sektor pertanian dan pekerjaan tradisional lainnya yang sangat bergantung pada sumber daya alam dan lahan.  Padahal, krisis ekonomi global tahun 2008 telah menunjukan bahwa  ekonomi berbasis masyarakatlah yang menstabilisasi ekonomi nasional. Saat krisis ekonomi terjadi pada tahun tersebut, sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang diandalkan untuk penciptaan lapangan pekerjaan.[1]

Pendekatan yang sama juga cenderung mengabaikan krisis iklim yang sedang berlangsung akibat eksploitasi alam. Bahkan, undang-undang dan peraturan saat ini lebih mengesampingkan aspek perlindungan lingkungan untuk memastikan keran investasi terbuka lebar. Oleh karena itu, ketidakadilan dalam berbagai dimensi dipastikan akan memburuk di masa mendatang.

RMI bersama Koalisi Tenure[2] melaksanakan serial diskusi terarah Pengembangan Konsep dan Instrumen Wellbeing. Kegiatan ini bertujuan untuk merancang, mencobakan, dan mempromosikan cara memahami wellbeing secara menyeluruh dan menekankan pada seluruh aspek berbeda yang saling ketergantungan; termasuk di fase awal ini adalah merepresentasikan dan mendefinisikan wellbeing itu sendiri dalam bahasa Indonesia dengan berbagai indikatornya.

Diskusi ini sudah dilakukan dua kali. Diskusi pertama diikuti oleh 19 orang, pada Selasa, 3 November dan diskusi kedua, diikuti 20 orang, pada Rabu, 11 November 2020. Kegiatan diskusi terarah ini dimoderatori oleh Wahyubinatara Fernandez (RMI), dan dengan dua narasumber ahli, yaitu Faisal Basri dan Melani Abdulkadir Sunito, dan satu peneliti pengembangan wellbeing yaitu Ruth I. Raha

Diskusi kedua bertujuan untuk menghimpun masukan dari narasumber (seluruh peserta diskusi), baik yang bersumber dari data, maupun yang memiliki pengalaman kondisi aktual dan kontekstual di masyarakat. Selain itu juga untuk menyepakati empat lokasi awal pengambilan data terkait pengukuran wellbeing di tingkat komunitas, di mana alat ukurnya saat ini sedang disusun. Empat lokasi ini diharapkan dapat mewakilkan ragam komunitas masyarakat di Indonesia. 

Hasil Diskusi Pertama

Pada diskusi kedua dibuka dengan pemaparan hasil diskusi pertama oleh Ruth I. Rahayu. Pada pemaparannya ia menjelaskan hasil diskusi pertama yang membahas tentang pendefinisian wellbeing. Wellbeing adalah kesejahteraan, tetapi tidak hanya diukur dari segi ekonomi, melainkan juga pemenuhan fisik, psikologis, sosial, kerohanian, kebertubuhan (seksualitas), makmur (kecukupan ekonomi), selamat dan bahagia (hidup senang dan nyaman). Wellbeing juga dapat diartikan kondisi manusia dan alam yang dapat hidup secara baik, nyaman, dan betah.

Kemudian dilanjutkan dengan dimensi wellbeing. Ruth menjelaskan bahwa Melani Abdulkadir S. menawarkan enam  dimensi wellbeing, yaitu Kesehatan Fisik dan Mental; Ekonomi dan Sumber Daya (termasuk akses terhadap pekerjaan atau sumber nafkah); Sosial dan Pembangunan Komunitas (termasuk juga cara masyarakat memperoleh pelayanan dan fasilitas sosial untuk menunjang hidupnya); Partisipasi, Demokrasi, dan Pemerintah yang Baik (bukan hanya saat pemilihan umum tetapi juga untuk membenahi pemerintah di tingkat lokal); Nilai, Budaya, Makna (termasuk cara masyarakat mengekspresikan dan melestarikan nilai-nilai maupun produk dimiliki); dan Lingkungan dan Keberlanjutan (cara masyarakat merawat lingkungan untuk menunjang keberlangsungan hidupnya sendiri).

Tanggapan Narasumber Ahli

Terkait pendefinisian wellbeing, Melani menyampaikan, bahwa menurut Wiseman dan Brasher, tahun 2008, wellbeing komunitas adalah kombinasi dari kondisi-kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, dan politik yang diidentifikasi oleh individu-individu dan komunitasnya sebagai hal-hal yang esensial bagi mereka untuk berkembang dan mewujudkan potensinya.  

Melani juga mengingatkan bahwa banyak definisi, lembaga, dan penelitian-penelitian mengenai wellbeing. Di mana pengukuran wellbeing ini dapat digunakan dalam tingkat negara, komunitas, atau individu. Ia pun menyarankan untuk mengukur wellbeing di tingkat komunitas, karena nantinya bisa melihat hubungan komunitas dengan negara, dan hubungan komunitas dengan individu-individu di dalamnya. Selain itu komunitas juga bisa berelasi dengan komunitas yang lainnya.

Diskusi dilanjutkan dengan tanggapan dari Faisal Basri. Pertama Faisal menyarankan untuk membuat semacam indeks pada pengukuran wellbeing ini, di mana di dalamnya memuat metodologi pembobotan, hal-hal yang penting dimasukkan dalam perhitungan indeks, dan sebagainya.

Kedua, terkait lokasi untuk pengambilan data, Faisal menyarankan mengambil data di komunitas yang memiliki konflik dengan pertambangan, perkebunan (khususnya sawit), pembangunan pariwisata, wilayah perkotaan (selain Jakarta), dan komunitas yang tidak memiliki konflik.

Ketiga, ia  juga mengingatkan untuk memperhatikan data-data yang sudah tersedia beserta indikatornya, seperti data Survei Sosial Ekonomi yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Karena dalam data survei tersebut bisa dilihat kekhawatiran atau ketidakpastian yang dirasakan oleh masyarakat. Menurutnya ketika masyarakat merasakan kekhawatiran maka kondisi wellbeing belum tercapai.

Diskusi Peserta

Diskusi yang berlangsung pada sesi terakhir sangat menarik, semakin banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam penentuan lokasi untuk pengukuran wellbeing. Perwakilan organisasi masyarakat sipil juga memberikan pendapatnya masing-masing. Seperti Arifin Saleh dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang mengusulkan untuk ada perbandingan sampel wilayah, antara wilayah yang negaranya hadir dengan wilayah yang negaranya hanya berfungsi administratif.  

Wahyubinatara Fernandez (RMI) sebagai moderator juga mengingatkan bahwa kehadiran negara di suatu wilayah perlu diperhatikan, bahwa ada negara yang hadir untuk merusak wilayah tersebut atas nama “pembangunan”, dengan negara yang hadir benar-benar membangun masyarakatnya.

Selain itu Even Sembiring (WALHI) juga menanggapi terkait penentuan wilayah untuk pengambilan data pengukuran wellbeing di tingkat komunitas. Menurutnya, jika risetnya ingin memunculkan wacana baru atau narasi tandingan harus melihat komunitas yang mampu bertahan dari ancaman konflik dan bisa mencegah aktivitas korporasi. Selain itu, perlu juga wilayah yang masyarakatnya juga bisa membuktikan bahwa ekonomi ekologisnya berhasil membawa mereka pada lingkungan yang lebih baik, yang dapat menyelamatkan tanah, air, dan spesies nya, dan itu mereka anggap penting.

Semua peserta berharap penentuan lokasi atau wilayah awal pengambilan data terkait pengukuran wellbeing di tingkat komunitas ini dapat mewakili wilayah agraris, pesisir, dan perkotaan. Baik yang mengalami konflik maupun tidak, ini akan didiskusikan lebih lanjut dan diperdalam oleh tim peneliti.

Diskusi ini bisa menjadi suatu langkah besar untuk penggunaan alat ukur wellbeing. Di mana pengukurannya bisa memotret keadaan masyarakat secara lebih adil dan beradab, berprinsip demokrasi, dan bertujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Penulis: Siti Marfu’ah

[1] Bappenas, 2009, hal I-8. Ringkasan Eksekutif Buku Pegangan Tahun 2009 Penyelenggaraan Pemerintahan Pembangunan Daerah. Penguatan Ekonomi Daerah: Langkah Menghadapi Krisis Keuangan Global. https://www.bappenas.go.id/files/4413/5027/4149/ringkasan-eksekutifhandbook-2009060509__20090518105300__0.pdf.

[2] Anggota Koalisi Tenure yang hadir dalam diskusi : Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ; Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) ; HuMa-Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis ; Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA); Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ; RMI-Indonesian Institute for Forest and Environment ; Rights and Resources Initiatives (RRI) ; Sajogyo Institute ; Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) ; dan Working Group for ICCAs in Indonesia (WGII)

Back and forth Protecting the Rights of Indigenous Peoples in Forest Areas

Recently, the Ministry of Environment and Forestry (KLHK) issued a new regulation on Customary Forests, P. 17/2020 concerning Customary Forests and Private Forests. This regulation is the implementing regulation for the administration of Customary Forests that have been allowed since the Constitutional Court decision number 35/PUU-X/2012 (MK 35) which corrected Forestry Law number 41 of 1999 by removing Customary Forest from the State Forest category and placing it in the Private Forest category. Previously, there were two Ministerial Regulations (Permen) regulating the administration of Customary Forests, namely P.32/2015 concerning Private Forests and P.21/2019 concerning Customary Forests and Private Forests. The spirit behind the issuance of P.17/2020 needs to be observed, because the predecessor regulation is only 16 months old and considering the achievements of Customary Forests which are quite small, namely 44,630 acres, from the Social Forestry’s target which is 4.38 million acres.

A quick glance at this Ministerial Regulations (Permen) shows the strong spirit of formalization in order to protect Indigenous Peoples’ rights to their customary territories in the form of forests. The new concept introduced by P.17/2020 is the Designation of Customary Forest which refers to the stage of validation of forest areas. The appointment is an alternative to the Designation of Customary Forest when the process is hindered by the recognition of Indigenous Peoples through regional legal products which become a condition for carrying out the verification process prior to stipulation.

The question then is, why is a new concept needed while in the previous Ministerial Regulations (Permen) the same protection has been administered through the Indigenous Forest Indicative Area Map? Designation of Customary Forest is intended for at least three things: 1) Providing time (two years) for Indigenous Peoples to complete the requirements for recognition through regional legal products; 2) Give time for holders of forest utilization permits and other management rights to coordinate with the Indigenous Peoples who own the Customary Forest; and 3) Protecting Customary Forests from the entry of new forest utilization permits. The three of them are the advantages of designation compared to the previous protection scheme which did not regulate what can and cannot be done after being determined to be an indication of Customary Forest.

Forward or backward?

Unfortunately, there are no transitional provisions governing the continuation of the administration of the temporary Indigenous Forestry Map while the legal basis, which is P.21/2019 is revoked and declared invalid since the issuance of this new regulation. Then what about the fate of the 950,129 hectares of Indigenous Peoples territory that has been protected through this scheme? As a result of this legal vacuum, if P.17/2020 is implemented in a normative-textual manner, efforts to protect the rights of Indigenous Peoples in forest areas that are supported and encouraged by many parties have been threatened in vain.

Another problem in the appointment is the prerequisite that instead of speeding up, it is feared that it will actually slow down the process of Designating and Stipulating Customary Forests. Designation of Customary Forest can only occur if there is a process of Identification and Mapping of Customary Areas. This process is also a new stage introduced by P.17/2020, which is carried out by a team formed by the Regional Head to become the basis for the issuance of a decision to recognize Indigenous Peoples by the authorized Regional Head as regulated in Article 14 of this Ministerial Regulations (Permen). The results of the identification and mapping along with the regional legal products recognition for the Indigenous Peoples on which they are based are then required to pass the validation stage of the Customary Forest application so that the application can be verified before the Customary Forest is determined. The question is then, what will happen to the application that has been submitted without prior identification and mapping of customary areas by the regional team? Do they have to submit a new application?

In addition, the experience of civil society in facilitating the process of determining Customary Forest since 2016 shows the political process in the regions in order to gain recognition for the Indigenous Peoples as the biggest challenge. Instead of speeding up, this process has put more burdens on Indigenous Peoples in the political process at the regional level, even before entering into the KLHK administration to get their Customary Forest. P.17/2020 also reaffirmed the criteria for Indigenous Peoples in Article 67 along with its explanation in Law (UU) No. 41/1999, which the Constitutional Court did not grant to the civil society lawsuit eight years ago. It is true that P.17/2020 also regulates the authority of the Ministry of Environment and Forestry to facilitate the Identification and Mapping of Customary Areas. Uniquely, this facilitation process is arranged to be carried out by an Integrated Team that is formed and appointed by the Director General of Social Forestry and Environmental Partnerships (Dirjen PSKL) whose composition and duties are exactly the same as the Verification Team. In fact, one of the internal factors for the delay in the administration of Customary Forests is the queue for services at the verification stage by the Team which is fully under the authority of the Director General of Social Forestry and Environmental Partnerships (Dirjen PSKL) but the time frame is not regulated even in this latest Ministerial Regulations (Permen). 

Need Bureaucratic Courage

The good spirit of P.17/2020 is difficult to be realized if it is not supported by the administrative courage from the executors. The Minister of Environment and Forestry is expected to be able to present a policy that bridges the process of Designating Customary Forests over the accumulation of Indigenous Forest Indicative Area Map that have been stipulated in SK.10292/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2019 concerning Maps of Customary Forests and Indicative Areas of Indigenous Forests Phase III. It is hoped that the Director General of Social Forestry and Environmental Partnerships (Dirjen PSKL) will be able to take tactical policies regarding applications for customary forests that are currently in process or that are new in relation to potential obstacles in the process of identifying and mapping customary territories and regional legal products that are recognized by Indigenous Peoples.

Apart from these two things, protection of the rights of Indigenous Peoples in forest areas through the Indigenous Forest Indicative Area Map, the current Designation of Customary Forests, and including the Designation of Customary Forests since 2016 which has reached 66 units with a total area of ​​approximately 44,630 hectares, will be useless if it does not present a sense of security for Indigenous Peoples.

Therefore, openness of public information and community involvement are important. The lack of community involvement in decision making regarding the function and extent of Customary Forests which will be designated serve as important notes for civil society, as well as regarding the Decree and maps of Customary Forests which are not open to be accessed by the rightful communities.

All of them require bureaucratic courage that has not been demonstrated in the implementation of Customary Forest regulations in the last four years.

This article is also published on forestdigest.com

Author: Wahyubinatara Fernandez

Translated by: Alfina Khairunnisa

Maju Mundur Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan

Baru-baru ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan regulasi baru mengenai Hutan Adat, P.17 tahun 2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Peraturan ini menjadi peraturan pelaksana administrasi Hutan Adat yang dibolehkan sejak keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-X/2012 (MK 35) yang mengkoreksi Undang-undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999 dengan mengeluarkan Hutan Adat dari ketegori Hutan Negara dan memasukkannya ke dalam kategori Hutan Hak. Sebelumnya, telah ada dua Peraturan Menteri (Permen) yang mengatur administrasi Hutan Adat yaitu P.32/2015 tentang Hutan Hak dan P.21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Semangat di balik penerbitan P.17/2020 perlu dicermati, karena peraturan pendahulunya baru berumur 16 bulan dan mengingat capaian Hutan Adat yang terbilang sangat kecil yaitu 44.630 Hektare dari keseluruhan target Perhutanan Sosial seluas 4,38 Juta Hektare.

Membaca sekilas Permen ini menunjukkan semangat formalisasi yang kuat dalam rangka melindungi hak Masyarakat Adat atas wilayah adatnya yang berupa hutan. Konsep baru yang diperkenalkan P.17/2020 adalah Penunjukan Hutan Adat yang merujuk pada tahapan pengukuhan kawasan hutan. Penunjukan menjadi alternatif Penetapan Hutan Adat ketika prosesnya terkendala pengakuan Masyarakat Adat melalui produk hukum daerah yang menjadi syarat dilaksanakannya proses verifikasi sebelum penetapan.

Pertanyaannya kemudian, mengapa dibutuhkan konsep baru sementara pada Permen sebelumnya perlindungan yang sama sudah diadministrasikan melalui Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat? Penunjukan Hutan Adat dimaksudkan untuk paling tidak tiga hal: 1.) Memberikan waktu (dua tahun) bagi Masayrakat Adat untuk melengkapi persayaratan pengakuan melalui produk hukum daerah; 2.) Memberikan waktu pada pemegang izin pemanfaatan hutan dan hak pengelolaan lain untuk berkoordinasi dengan Masyarakat Adat empunya Hutan Adat; dan 3.) Melindungi Hutan Adat dari masuknya izin pemanfaatan hutan baru. Ketiganya menjadi kelebihan Penunjukan dibandingkan dengan skema perlindungan terdahulu yang tidak mengatur mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan setelah ditetapkan menjadi indikasi Hutan Adat.

 Maju atau Mundur?

Sayangnya, tidak ada ketentuan peralihan yang mengatur kelanjutan administrasi Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat sementara P.21/2019 yang menjadi dasar hukumnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak diterbitkannya Permen baru ini. Lalu bagaimana nasib 950.129 Hektare wilayah Masyarakat Adat yang telah dilindungi melalui skema ini? Akibat kekosongan hukum ini jika P.17/2020 dilaksanakan secara normatif-tekstual saja, usaha perlindungan atas hak Masyarakat Adat di kawasan hutan yang didukung dan didorong banyak pihak selama ini terancam sia-sia.

Permasalahan lain dalam Penunjukan adalah prasyaratnya yang alih-alih mempercepat, dikhawatirkan justru memperlambat proses Penunjukan maupun Penetapan Hutan Adat. Penunjukan Hutan Adat hanya bisa terjadi jika telah ada proses Identifikasi dan Pemetaan Wilayah Adat. Proses ini juga adalah tahapan baru yang diintroduksi P.17/2020, yang dilakukan oleh tim yang dibentuk Kepala Daerah untuk menjadi dasar penerbitan keputusan pengakuan Masyarakat Adat oleh Kepala Daerah berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Permen ini. Hasil identifikasi dan pemetaan beserta produk hukum daerah pengakuan Masyarakat Adat yang didasarinya kemudian menjadi syarat untuk dapat melewati tahap validasi permohonan Hutan Adat sehingga permohonan dapat diverifikasi sebelum Hutan Adat ditetapkan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana nasib permohonan yang telah diajukan tanpa didahului identifikasi dan pemetaan wilayah adat oleh tim daerah? Apakah harus mengajukan permohonan baru?

Selain itu, pengalaman masyarakat sipil memfasilitasi proses penetapan Hutan Adat sejak 2016 menunjukkan proses politik di daerah dalam rangka memperoleh pengakuan Masyarakat Adat sebagai tantangan terbesar. Alih-alih mempercepat, proses ini justru semakin membebani Masyarakat Adat dalam proses politik di tingkat daerah, bahkan sebelum masuk ke administrasi KLHK untuk mendapatkan Hutan Adat mereka. Sudah begitu P.17/2020 juga menegaskan kembali kriteria Masyarakat Adat dalam Pasal 67 beserta penjelasannya dalam UU 41/1999, yang gugatan masyarakat sipil atasnya tidak dikabulkan Mahkamah Konstitusi delapan tahun silam. Memang betul P.17/2020 juga mengatur kewenangan KLHK untuk memfasilitasi Identifikasi dan Pemetaan Wilayah Adat. Uniknya, proses fasilitasi ini diatur untuk dilaksanakan oleh Tim Terpadu yang dibentuk dan ditetapkan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Dirjen PSKL) yang komposisi maupun tugasnya sama persis dengan Tim Verifikasi. Padahal salah satu faktor internal kelambatan administrasi Hutan Adat selama ini adalah antrean pelayanan di tahap verifikasi oleh Tim yang sepenuhnya di bawah wewenang Dirjen PSKL namun tidak diatur tata waktunya bahkan dalam Permen terbaru ini.

 Butuh Keberanian Birokrasi

Semangat baik P.17/2020 sulit terwujud jika tak didukung keberanian administratif dari para pelaksananya. Menteri LHK diharapkan dapat menghadirkan kebijakan yang menjembatani proses Penunjukan Hutan Adat atas akumulasi Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat yang telah ditetapkan dalam SK.10292/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2019 tentang Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase III. Dirjen PSKL diharapkan dapat mengambil kebijakan-kebijakan taktis terkait permohonan Hutan Adat yang sedang berproses maupun yang baru dalam kaitannya dengan potensi hambatan dalam proses identifikasi dan pemetaan wilayah adat serta produk hukum daerah pengakuan Masyarakat Adat.

Selain kedua hal tersebut, perlindungan hak Masyarakat Adat di kawasan hutan melalui Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat, Penunjukan Hutan Adat saat ini, dan termasuk Penetapan Hutan Adat sejak 2016 yang telah mencapai 66 unit dengan total luasan lebih kurang 44.630 Hektare, akan nirmanfaat jika tidak menghadirkan rasa aman bagi Masyarakat Adat.

Karena itu keterbukaan informasi publik dan pelibatan masyarakat menjadi penting. Minimnya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan mengenai fungsi dan luasan Hutan Adat yang akan ditetapkan menjadi catatan penting masyarakat sipil, juga mengenai SK Penetapan dan peta Hutan Adat yang tertutup untuk diakses masyarakat penyandang haknya.

Semuanya membutuhkan keberanian birokrasi yang belum pernah ditunjukkan dalam pelaksanaan regulasi Hutan Adat selama empat tahun terakhir.

Artikel ini juga terbit di forestdigest.com

Penulis: Wahyubinatara Fernandez