Policy Brief RUU Masyarakat Adat

Jika mendengar istilah ‘Masyarakat Adat’, masyarakat umum akan merujuk kepada sekelompok orang yang tinggal di perkampungan mengenakan baju adat, dan kerajinan tangan “etnik” yang menjadi cindera mata saat berkunjung ke daerahnya. Seromantis dan sesederhana itukah?

Terkait dengan definisinya dalam pandangan  semantik, normatif, dan politis, ada perdebatan panjang tentang apa dan siapa itu Masyarakat Adat.

Namun secara konseptual, sulit dipungkiri bahwa Masyarakat Adat dikenal oleh khalayak umum (terutama mereka yang lahir, besar, dan tinggal di wilayah urban) sebagai kelompok masyarakat yang terbelakang, terkungkung, dan minim akses layanan publik, namun sekaligus sebagai simbol pariwisata, hidup bahagia sentosa tanpa konflik yang berarti.

Bukan pula fakta yang asing bahwa masyarakat kebanyakan tidak menganggap keberadaan masyarakat adat memberikan dampak signifikan terhadap keberlangsungan keanekaragaman hayati ibu bumi. Tidak ada yang betul-betul menyadari peran dari Masyarakat Adat sehingga mereka sering kali terpinggirkan dalam berbagai rencana pembangunan bernuansa neo-liberalisme yang dilakoni pemerintah saat ini.

Padahal pada kenyataannya, praktik pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh Masyarakat Adat, selain berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan hidup, juga dapat memberikan kontribusi ekonomi. Riset yang dilakukan AMAN (2018) menunjukan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di enam wilayah adat menghasilkan Rp 159,21 miliar per tahun, dan nilai jasa lingkungan mencapai Rp 170,77 miliar per tahun, dan hal ini berpotensi mendorong perekonomian di daerahnya.

Bahkan Konvensi ILO No.169 tahun 1986 sudah mengakui bahwa:
Mereka (Masyarakat Adat) bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu sukubangsa, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.

Meskipun keberadaaan Masyarakat Adat Sudah diakui oleh negara melalui berbagai perangkat hukum, namun pengabaian hak terhadap Masyarakat Adat masih kerap terjadi, yang kemudian menyebabkan timbulnya kekerasan dan pengucilan di dalam banyak ruang hidup.

Policy Brief RUU Masyarakat Aday berikut disusun oleh Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, yang menganalisa bahwa setidaknya ada enam hak Masyarakat Adat yang terus-menerus terlanggar, di mana hak-hak tersebut satu sama lain tidaklah dapat terpisahkan (indivisibility) dan melekat (inheren). Dokumen ini juga merekomendasikan mengenai hal-hal yang harus diakomodasi dalam Undang-undang Masyarakat Adat yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2020, demi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.

Klik di sini untuk mengakses Policy Brief RUU Masyarakat Adat.

Mengadvokasi Kearifan Lokal Masyarakat Adat Sebagai Upaya Membangun Ketahanan Iklim

Pada Kamis, 4 September 2019, RMI berpartisipasi dalam Asia-Pacific Climate Week (APCW) yang diselenggrakan pada 2-6 September 2019 di Bangkok. Melalui presentasi yang berjudul “Indonesia’s Customary Forests: Indigenous People’s Fundamental Role to Build Climate Resilient and a Long Struggle over Cultural Identity”, RMI menyampaikan bahwa traditional ecological knowledge (pengetahuan ekologis tradisional) atau kearifan lokal masyarakat adat sebenarnya menjadi kunci bagi perlindungan lahan, hutan, sungai, serta sumber daya alam lainnya. Masyarakat adat berkontribusi dalam pelestarian hutan dan lahan-lahan yang paling dilindungi serta menahan lepasnya emisi karbon ke atmosfer. Penetapan hutan adat selain menyumbang capaian target NDC (Nationally Determined Contribution) nasional juga berarti memberikan akses bagi masyarakat adat di Indonesia untuk secara legal mengelola hutannya secara berkelanjutan dan mengakui keberadaan masyarakat adat tersebut beserta seluruh identitas kulturalnya yang lekat dengan alam.

Dalam kesempatan ini disampaikan juga bahwa penetapan hutan adat bukanlah satu-satunya tujuan akhir, sebab masyarakat adat harus mampu mengelola hutan adatnya secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil riset pra dan paska penetapan hutan adat yang dilakukan oleh RMI atas dukungan FAO, diketahui bahwa kelompok perempuan dan pemuda adat masih minim keterlibatannya dalam pengelolaan hutan adat tersebut. Selain kurangnya kesempatan dan minimnya ruang partisipasi yang diberikan, kapasitas perempuan dan generasi muda adat untuk mengelola hutan adatnya ini pun masih terbatas. Atas dasar itulah RMI memfasilitasi berbagai pelatihan yang partisipatif dan inklusif–melibatkan perempuan dan pemuda–bagi masyarakat adat supaya meningkat kapasitasnya dalam hal manajemen komunitas maupun hutan adatnya. Secara spesifik RMI juga membuka peluang bagi pemuda untuk membangun konektivitas dengan sesama pemuda adat maupun pemuda desa dan kota. Jejaring antarpemuda ini dapat terbentuk salah satunya karena adanya kerja sama RMI dengan OROL (Our River Our Live)–kampanye biodiversitas sungai dan kesehatan lingkungan se-Asia Tenggara.

Selain diskusi panel serta dialog tematik; APCW juga menyelenggarakan kegiatan Knowledge Corner, Action Hub, dan Side Event yang memberikan kesempatan bagi para stakeholder untuk menyampaikan aksi/inisiatif iklim yang dilakukan di negaranya masing-masing. Secara umum keseluruhan kegiatan APCW ini membahas transisi energi, transisi industri, solusi berbasis alam, aksi lokal dan perkotaan, serta resiliensi dan adaptasi sebagai sektor-sektor utama penerapan inovasi berbasis iklim.

APCW dapat menjadi wadah untuk mengembangkan aksi iklim multi-stakeholder yang sesuai dengan semangat Dialog Talanoa pada tahun 2018 lalu. Dialog tersebut menggagas kerja sama dan diskusi yang bersifat partisipatif, inklusif, dan transparan. Oleh karena itu APCW menyediakan ruang bagi para stakeholder (perwakilan pemerintah, sektor privat/swasta, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan institusi internasional) untuk berkumpul dan bersama-sama merumuskan rekomendasi demi pencapaian target netralitas iklim di tahun 2050.

Acara ini diorganisir oleh UN ESCAP (United Nations Economic and Social Commission for Asia Pacific) bersama organisasi internasional lainnya seperti UNCC (United Nations Climate Change), IGES (Institute for Global Environmental Strategies).

 

Penulis: Supriadi

Editor : Mardha Tillah dan Dinda Tungga Dewi

Upaya Mendapatkan Akses Legal Lahan Garapan Di Wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Cianjur, Selasa 30 Mei 2019. Perwakilan dari Kelompok Tani Hutan (KTH) kampung Cipeucang dan kampung Ciwaluh didampingi oleh RMI melakukan pertemuan dengan pihak Kepala Bidang Wilayah III Bogor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dalam rangka menindaklanjuti usulan Kemitraan Konservasi (KK) yang diajukan oleh KTH Cipeucang dan KTH Ciwaluh pada Desember 2018 lalu.

Pertemuan ini adalah pertemuan pertama yang dilakukan oleh KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan pihak TNGGP setelah pengajuan KK. Sebelumnya, pihak TNGGP juga telah menunjukkan upayanya untuk menindaklanjuti pengajuan KK oleh KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan berkunjung ke RMI untuk memulai diskusi lebih dulu dengan RMI sebagai pendamping sebelum pertemuan tanggal 30 April 2019.

Pada kesempatan ini, diskusi dilakukan dalam rangka mengeksplorasi beberapa pilihan bentuk kerjasama. Dibutuhkannya beberapa pilihan ini karena perbedaan aturan yang ada dalam Perdirjen No. 6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi dengan aktivitas dan penghidupan masyarakat yang selama ini telah terjadi di tingkat tapak. Berbagai aktivitas yang diajukan oleh kedua KTH dalam proposal Kemitraan Konservasi mereka, yang sebagian merupakan kegiatan yang mereka telah jalani selama puluhan tahun, hanya dapat dilakukan apabila wilayah yang diajukan tersebut adalah Zona Tradisional dalam wilayah kelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sementara, menurut pengelolaan TNGGP dalam bentuk zonasi yang ditetapkan tahun 2016, aktivitas penghidupan masyarakat Kampung Ciwaluh dan Kampung Cipeucang berada di Zona Rehabilitasi taman nasional tersebut. Menurut Perdirjen No.6 tahun 2018 tentang KK, Skema KK yang dapat dilakukan di Zona Tradisional taman nasional disebut dengan Skema Pemberdayaan Masyarakat, sementara skema KK yang dapat dilakukan di Zona Rehabilitasi adalah Skema Pemulihan Ekosistem. Keduanya berbeda, terutama dalam hal tujuan legalisasi akses masyarakat ke kawasan taman nasional dan jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

Pendek kata, jika kedua KTH mengambil opsi Skema Pemulihan Ekosistem, maka secara de jure mereka tidak lagi dapat melakukan berbagai aktivitas pengelolaan kebun hutan dan sawah yang telah mereka jalani berpuluh-puluh tahun. Jika skema kemitraan yang akan dilakukan adalah Skema Pemberdayaan Masyarakat agar masyarakat masih dapat terus melaksanakan berbagai aktivitas penghidupan yang selama ini menjadi kehidupan mereka, maka perlu dilakukan perubahan zonasi dari Zona Rehabilitasi menjadi Zona Tradisional.

Lebih lanjut, diskusi menemui kebuntuan saat membicarakan perihal keberadaan sawah yang telah ada sejak tahun 1940an. Dalam KK, baik Skema Pemulihan Ekosistem maupun Skema Pemberdayaan Masyarakat, sawah bukan merupakan aktivitas masyarakat yang cocok dalam definisi hutan yang dianut oleh sektor kehutanan di Indonesia.

Lahan garapan masyarakat kampung Ciwaluh dan kampung Cipeucang saat ini sebagian besar berada di kawasan zona rehabilitasi. Di mana zona tersebut bertujuan untuk memulihkan ekosistem yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.

“Kami tidak bisa kasih keputusan apa-apa karena menyangkut semua orang, yang pasti buat kami sawah harus dipertahankan,” kata Irpan, salah satu anggota KTH Ciwaluh.

Masyarakat sudah menetap di kampung tersebut sejak tahun 1930-an, dan untuk memenuhi kebutuhannya adalah dengan bersawah. Namun, sejak tahun 2003 ketika wilayah Perum Perhutani yang telah digarap secara tumpang sari oleh masyarakat kedua kampung tersebut dilebur ke dalam wilayah konservasi TNGGP, masyarakat kesulitan dalam menuai hasil hutan.

Kenyataan seperti ini tidak hanya ditemukan di kampung Ciwaluh dan kampung Cipeucang saja, tetapi juga di lokasi lain yang di mana lahan garapan masyarakat masuk di dalam kawasan hutan. Oleh sebab itu, maka konteks kawasan hutan harus ditempatkan dalam pola pikir tata ruang dan interaksi antar unsur. Serta, perkembangan paradigma pengelolaan hutan juga harus ditempatkan dalam pola antropologis dan tidak hanya selalu praktik pengelolaan teknis kehutanannya.

Adapun hasil dari pertemuan antara KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan pihak TNGGP saat ini masih mencari titik temu, dan rencananya kedua KTH dengan difasilitasi oleh RMI akan menempuh upaya konsultatif kepada Dirjen KSDAE untuk mengupayakan proses legalisasi lahan pertanian terutama sawah dalam kawasan TNGGP.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor : Mardha Tillah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KLHK Tetapkan Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase 1

Jakarta, 27 Mei 2019. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutana (KLHK) meluncurkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase 1 di Jakarta. Peta tersebut untuk menjamin usulan-usulan di daerah yang telah memiliki subjek dan objek masyarakat hukum adat.

Melalui SK nomor 312/MenLHK/Setjen/PSKL.1/4/2019 yang dikeluarkan pada tanggal 29 April 2019, ditetapkan peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat fase I seluas ± 472.981 Ha. Terdiri dari Hutan Negara seluas ± 384.896 Ha, Areal Penggunaa Lain seluas ± 68.935 Ha dan Hutan Adat seluas ± 19.150 Ha. Peta tersebut juga diserahkan ke Sekretaris Daerah yang mewakili Kabupaten/Kota dimana ada Hutan Adat atau ada Wilayah Indikasi Hutan Adat. Melalui keputusan ini pula, nantinya penetapan akan dilakukan secara berkala dan kumulatif setiap tiga bulan.

“Tapi saya minta ke Pak Dirjen jangan sampai fase ke 1.000 karena targetnya jelas. Ini soal antara pekerjaan Birokrasi dan pekerjaan Society. Kenapa saya bilang sampai fase ke 1.000, nanti tidak dikerjain atau dikerjainnya sedikit-sedikit sehingga butuh waktu yang lama fase ke 1.000 dikeluarkannya tiap 3 bulan, butuh waktu berapa puluh tahun,” kata Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar.

Sampai 27 Mei 2019, tercatat sudah 49 hutan adat yang ditetapkan oleh pemerintah pasca Putusan MK 35/PUU-X/2012 dengan luas 22.193 Ha, sedangkan target hutan adat menurut Menteri LHK dalam pidato utamanya adalah 13 juta-an Ha, dimana 6 juta Ha lebih berada di wilayah Hutan Negara. Menurut riset RMI yang tergabung dalam Koalisi Hutan Adat bersama HuMA, YMP, Bantaya, AMAN Sulsel, Qbar dan LBBT tahun 2018 butuh 196 tahun untuk menetapkan hutan adat untuk 2.332 masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia.

Direktur Pengaduan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat, KLHK Muhammad Said dalam Talk Show “Komitmen Pemerintah Dalam Hutan Adat” mengakui bahwa penghambat utama pengakuan hutan adat adalah syarat adanya  Perda pengakuan masyarakat adat oleh Pemda.  Hal ini juga jadi temuan utama riset tersebut.

Peta indikatif ini bisa terwujud berkat kerjasama intensive dan berkelanjutan antara Organisasi Masyarakat Sipil dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor : Mardha Tillah

 

Masyarakat Bojongmanik Serahkan Usulan IPHPS kepada Dirjen PSKL

Lebak, RMI – Difasilitasi oleh Rimbawan Muda Indonesia (RMI) perwakilan Kelompok Tani Hutan Ongkol Beulah (Desa Harjawana) dan perwakilan Kelompok Tani Hutan Bitung Raya (Desa Pasir Bitung) menyerahkan usulan Izin Pemanfaatan Perhutanan Sosial atau IPHPS kepada Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto di lokasi Perhutani, Desa Harjawana, Kecamatan Bojongmanik, Lebak, Banten, Jumat (21/12/2018). Luas IPHPS yang diusulkan …

Menuju Percepatan Hutan Adat yang Berkualitas

Catatan Diseminasi Riset Pra dan Pasca Pengakuan Hutan Adat di Indonesia Jumat (30/11) RMI melangsungkan diseminasi hasil riset mengenai penetapan Hutan Adat kepada para pemangku kepentingan terkait. Riset yang terlaksana atas dukungan Food and Agriculture Organization (FAO) ini telah dilakukan selama setahun terakhir oleh RMI bersama beberapa organisasi anggota Koalisi Hutan Adat yang terdiri dari HuMa, Bantaya Sulawesi Tengah, Yayasan …