KAWAL: Upaya Generasi Muda Adat dalam Mengkaji Peralihan Desa ke Desa Adat 

Sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi Masyarakat Adat Kasepuhan dan juga Baduy. Hari itu tanggal 22 Februari 2023, Masyarakat Kasepuhan Cibarani tengah disibukkan dengan kegiatan pertanian. Banyak masyarakat yang sedari pagi pergi ke sawah atau ladang untuk mengumpulkan hasil panen pare gede (padi lokal), yang nantinya akan disimpan untuk kebutuhan pangan harian maupun ritual adat di kemudian hari. 

Di tengah kesibukan tersebut, ada sebagian masyarakat yang tidak ikut mengambil hasil panen. Mereka adalah beberapa kokolot (generasi adat senior) dan Generasi Muda Adat yang mengikuti pertemuan forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani, peserta pertemuan terdiri dari 15 perempuan dan 50 laki-laki dari empat komunitas adat Kasepuhan dan Masyarakat Adat Baduy. Pertemuan ini merupakan kali ke-4 forum KAWAL diadakan yang bertujuan membicarakan perihal Desa Adat dan pandangan Generasi Muda Adat terhadapnya. 

Selain pengembalian wilayah adat melalui skema Perhutanan Sosial, Desa Adat merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh sebagai upaya pengakuan Masyarakat Adat sesuai dengan yang dimandatkan konstitusi. Wacana tentang Desa Adat sendiri bukan hal baru di Indonesia. Sudah ada beberapa Desa Adat yang terbentuk seperti Desa Adat di Bali, Minangkabau, Ambon, dan Papua. Namun wacana Desa Adat di Kabupaten Lebak, Banten baru dilegitimasi melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Banten No.2 Tahun 2022 Tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Depan Jabatan Kepala Desa Adat.  

Dalam konteks Lebak, khususnya di wilayah adat Baduy dan di sebagian wilayah Kasepuhan, wacana peralihan desa menjadi Desa Adat ini merupakan hal penting karena adanya perbedaan sistem pemerintahan yang tidak diakomodir dalam nomenklatur desa. Adapun peran Generasi Muda Adat menjadi hal penting karena tongkat estafet perjuangan dalam pengukuhan hak-hak Masyarakat Adat akan diberikan pada mereka. 

Model pemerintahan desa di masa Orde Baru dan Reformasi 

Foto peserta forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani

Diskusi forum KAWAL diawali dengan perbandingan definisi desa dan desa adat pada masa Orde Baru dan Reformasi. Pada masa Orde Baru, ditetapkan UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang menyebutkan bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.  

Pada masa itu, pemerintahan desa berada langsung di bawah kecamatan dan penerapan model pemerintahan desa di seluruh wilayah Indonesia disamakan dengan model pemerintahan desa di Pulau Jawa. Hal ini bertentangan dengan sistem kehidupan Masyarakat Adat yang sejak dulu memiliki perbedaan nilai dan aturan tentang sistem kesatuan wilayah adat. Dengan adanya perbedaan tersebut, Masyarakat Adat terpaksa harus mengikuti aturan dan syarat sesuai undang-undang yang berlaku. 

Kemudian pada masa Reformasi dikeluarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Adat. Disebutkan bahwa “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sejak ditetapkannya UU ini, pemerintahan desa kemudian sudah tidak lagi diposisikan sebagai pemerintahan terendah di bawah kecamatan. 

Wacana peralihan desa menjadi desa adat dan pandangan Generasi Muda Adat terhadapnya 

Selama lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, pengakuan terhadap hak-hak Masyarakat Adat masih sulit untuk didapatkan. Dikeluarkannya konstitusi dan aturan-aturan lain yang memperkuat pengukuhan hak-hak Masyarakat Adat, seperti UU Pokok Agraria dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.35, juga masih belum cukup untuk menyelesaikan persoalan. 

Foto peserta forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani

Dalam konteks Banten sendiri, perbincangan terkait Desa Adat di wilayah Lebak semakin marak terdengar setelah dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Banten No. 2 Tahun 2022. Kemudian muncul pertanyaan, apa yang membuat pembicaraan tentang Desa Adat menjadi satu hal yang penting?  

Dalam skema Desa Adat, terdapat ruang pengakuan dan penghormatan atas hak-hak Masyarakat Adat. Hak asal-usul Masyarakat Adat menjadi lebih diakui melalui pemberian wewenang tambahan kepada Masyarakat Adat untuk menyelenggarakan pemerintahan di level desa. Hal itu menjadi poin yang dirasa dapat menjadi “jawaban” atas persoalan. Namun hal itu belum tentu terjadi. Untuk itu Generasi Muda Adat perlu diperdalam pemahamannya terkait wacana ini, sehingga mereka dapat berpartisipasi secara bermakna dalam proses-proses peralihan desa ke Desa Adat. 

Salah satu upaya peningkatan pemahaman Generasi Muda Adat tersebut yaitu dengan melakukan simulasi. Peserta dibagi ke dalam empat kelompok yang kemudian masing-masingnya diberikan peran dan situasi yang berbeda: masyarakat desa (non-adat), pemerintah desa, Masyarakat Adat, dan DPRD. Tiap kelompok lalu diinstruksikan untuk membayangkan kemungkinan peristiwa apa saja yang akan terjadi dalam upaya peralihan desa ke Desa Adat di dunia nyata.  

Setelah selesai simulasi, ada beberapa poin yang direfleksikan bersama yakni kemungkinan terjadinya perang saudara antara Masyarakat Adat dan masyarakat non-adat (yang berada di desa yang sama, maupun masyarakat desa yang wilayahnya saling berdekatan) terkait perbedaan persepsi dan kecenderungan dukungan atas wacana tersebut.  

Masyarakat Adat diproyeksikan akan lebih cenderung mendukung pengusungan Desa Adat, sedangkan masyarakat non-adat beranggapan perlu adanya upaya untuk menilik ulang dampak-dampak yang mungkin mengikutinya. Salah satu dampak yang dikhawatirkan tersebut misalnya bahwa setelah pengukuhan Desa Adat hak-hak mereka sebagai masyarakat non-adat akan dikesampingkan. Dalam situasi ini posisi pemerintah desa dimungkinkan untuk mendapatkan tekanan dari berbagai sisi—baik dari Masyarakat Adat maupun non-adat.   

Melalui simulasi dan paparan poin diskusi tersebut di atas, akhirnya memantik Generasi Muda Adat untuk menyuarakan pandangannya terhadap Desa Adat. Refleksi dan dualisme pandangan pun tidak bisa dihindarkan. Posisi pertama menganggap peralihan status desa ke Desa Adat merupakan hal yang harus dijadikan prioritas. Kang Nadi dan Kang Raisan (peserta asal Baduy) berpendapat bahwa negara yang selama ini menyebutkan adat sebagai hal penting, tidak memberikan bukti atau aksi nyata atas perkataannya tersebut. Jalannya diskusi kemudian berlabuh pada pandangan bahwa persoalan atas pengakuan hak-hak Masyarakat Adat dapat diselesaikan salah satunya melalui pengajuan Desa Adat.  

Ada pula Generasi Muda Adat yang tidak menyetujui peralihan ini. Iqbal (peserta asal Kasepuhan Pasir Eurih) menyampaikan pendapatnya tentang ketidaksetujuan tersebut yang muncul atas anggapan bahwa rangkap jabatan mungkin bisa terjadi, yakni kepala desa merangkap sebagai abah/olot (tetua adat). Kekhawatiran berikutnya adalah lahirnya “raja-raja kecil” di kampung dengan abah/olot yang menurunkannya jabatannya sebagai kepala Desa Adat kepada keturunannya. Menurutnya meskipun musyawarah terkait Desa Adat dapat dilakukan, namun karena ada Perda Provinsi Banten No.2 Tahun 2022—yang menyebutkan bahwa pengisian jabatan kepala Desa Adat dilaksanakan sesuai hukum adat (melalui musyawarah)–dikhawatirkan masyarakat tidak dapat berpartisipasi aktif dalam forum tersebut. 

Pentingnya Kolaborasi Multipihak di Level Kampung 

Foto bersama peserta forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani

Pengajuan Desa Adat oleh masyarakat desa secara tidak langsung membuat Generasi Muda Adat perlu mengambil posisi. Generasi Muda Adat yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang terpinggirkan sebenanrnya memiliki pemikiran dan pendapat untuk kemajuan kampungnya. Salah satunya terkait peralihan status desa menjadi Desa Adat ini. Untuk menyikapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sehubungan dengan peralihan ini, perlu adanya kolaborasi dari berbagai pihak termasuk Generasi Muda Adat dan kokolot (tetua adat).  

Kolaborasi ini menjadi bentuk harmonisasi antara Generasi Muda Adat dan kokolot untuk mensinergikan tujuan yang berkaitan dengan Desa Adat. Namun di sisi lain, Generasi Muda Adat perlu lebih mendorong diri untuk lebih memahami adat mereka, agar lebih dapat memahami persoalan yang terjadi di tempat tinggal mereka secara mendalam. Karena dengan menguatnya akar pengetahuan lokalnya, Generasi Muda Adat akan mampu menyikapi persoalan yang terjadi dengan konteks lokalitas mereka. 

Untuk itu perlu adanya ruang-ruang bagi Generasi Muda Adat untuk berpartisipasi aktif dalam menyuarakan pandangan dan pendapatnya mengenai peralihan desa menjadi Desa Adat ini. Karena sudah saatnya anggapan Generasi Muda Adat tidak berpengalaman dan berpengetahuan digantikan dengan Generasi Muda Adat yang lebih berdaya. Dengan adanya forum ini sebetulnya cukup membuktikan bagaimana Generasi Muda Adat dapat berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan, dalam menentukan arah kedepannya. Tercatat hingga bulan Februari 2023, sudah ada 14 desa di wilayah Lebak, yang mengusungkan perubahan status desa ke ke desa adat.  

Daftar Pustaka 

RMI. (2022). Catatan Rapat KAWAL Cibarani. Bogor: unpublished. 

INSISTPress. (2017). Wacana: Jurnal Transformasi Sosial. Dinamika Hak Adat dan Desa Adat di Lebak dalam Pelaksanaan Undang Undang Desa. 

Peraturan Daerah Provinsi Banten, Nomor. 02 Tahun 2022 Tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat 

Undang-undang Nomor. 06 Tahun 2014 Tentang Desa 

Undang-undang Nomor. 05 Tahun 1979 Tentang Pemerintah Desa 

Penulis: Dinah Ridadiyanah 

Editor: Supriadi 

Arah Penetapan dan Pengelolaan Hutan Adat Pasca UU Cipta Kerja Disahkan

Pada tanggal 27 Januari 2022, telah berlangsung seminar dengan tema Pengelolaan Hutan Adat Pasca Penetapan Hak yang dilaksanakan secara hybrid, luring dan daring, sebagai salah satu bagian dari rangkaian Festival PeSoNa Kopi Agroforestry 2022. Seminar yang diselenggarakan di Gedung Manggala Wanabakti ini dihadiri oleh berbagai pembicara diantaranya Anitasria dan Hadi Brata yang merupakan perwakilan Masyarakat Adat Puyangsure Aek Bigha dari Kabupaten Muara Enim, Nadya Demadevina dari Perkumpulan HuMa, Agus Zainudin selaku kepala Bappeda Kabupaten Merangin, serta Muhammad Said yang merupakan Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) KLHK.

Permainan merupakan salah satu program nasional yang dicanangkan oleh pemerintah guna membuka akses kelola hutan bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada keberlanjutan hutan serta keanekaragaman hayati di dalamnya. Melalui skema Perhutanan Sosial yang sudah diluncurkan sejak tahun 2014, negara telah berkomitmen untuk membagikan total 12,7 juta hektar lahan di kawasan hutan melalui 5 skema, salah satunya Hutan Adat. Tercatat bahwa sampai dengan tahun 2021, progres perluasan Hutan Adat sudah mencapai 76.156 ha, yang tersebar di 15 provinsi, 32 kabupaten, dengan 89 SK, dan sebanyak 44.768 masyarakat penerima manfaat. Namun pasca UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU CK) disahkan, ada beberapa poin yang harus dipahami bersama berkaitan dengan arah pengelolaan Hutan Adat pasca penetapan yang juga masuk ke dalam skema Perhutanan Sosial. Isu inilah yang juga menjadi fokus bahasan utama dalam kegiatan seminar ini.

Poin pertama yakni ketentuan yang menyebutkan bahwa skema food estate dapat diberikan di atas hutan yang sudah dibebani skema Perhutanan Sosial. Dengan begitu, penetapan skema Hutan Adat tidak serta merta menjamin keberlangsungan pengelolaan ruang yang sebelumnya telah diberikan kepada Masyarakat Adat. Poin selanjutnya mengenai hak pemangku Hutan Adat, di mana pada masa pra UU CK, pemanfaatan hutan dapat dilakukan asalkan sesuai dengan fungsi hutan. Hal ini berbeda pasca UU CK disahkan, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan hanya bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ada beberapa pihak yang menyatakan bahwa pemanfaatan hutan di luar kebutuhan sehari-hari masih diperbolehkan, namun perlu adanya perlindungan hukum terkait hal tersebut. Poin ketiga berkaitan dengan subjek pemangku Perhutanan Sosial.  Pada UU CK, Masyarakat Adat tidak dimasukkan ke dalam subjek pemangku Perhutanan Sosial. Subjek yang disebutkan di dalamnya antara lain, perseorangan (individu),  Kelompok Tani Hutan (KTH), dan juga koperasi. 

Agus Zainudin (Bappeda Merangin) berpendapat bahwa Masyarakat Adat merupakan salah satu kelompok yang terdiskriminasi oleh negara. Salah satunya Masyarakat Adat Serampas yang wilayah adatnya sepenuhnya ditetapkan sebagai Taman Nasional Kerinci Seblat. Negara lupa bahwa di sana terdapat wilayah adat yang sudah ada secara turun temurun. Dengan peraturan yang mengatur tentang persoalan Masyarakat Adat, sudah sepatutnya negara mengakui secara legal keberadaan Masyarakat Adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan peraturan perundangan.

Pemda Merangin sangat mendukung ditetapkannya Hutan adat karena mereka menilai bahwa hutan lebih efektif dirawat oleh Masyarakat Adat dibandingkan dijaga oleh polisi hutan. Adanya putusan MK 45 dan MK 35 mendasari serta mendorong Pemda Merangin untuk memperjuangkan penyusunan Perda Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Bappeda Merangin juga mendorong DPRD untuk menggunakan hak inisiatif mereka, termasuk untuk berdiskusi dengan KLHK dalam menyepakati adanya perda tersebut. Selain itu karena pemda tidak memiliki wewenang untuk mengatur kawasan kehutanan, pemda menggunakan UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan untuk mengeluarkan Peraturan Bupati terkait Afirmasi APBD melalui dana desa untuk pengelolaan hutan adat. Di tahun 2022, masing-masing desa adat di Merangin mendapatkan dana sebesar 200 juta rupiah.

Muhammad Said (PKTHA) menyampaikan tanggapan terkait dengan Masyarakat Adat di dalam UU CK. Ia membenarkan bahwa di dalam UU tersebut Masyarakat Adat memang tidak disebutkan secara jelas. Akan tetapi aturan terkait dengan Masyarakat Adat dijelaskan dalam peraturan turunannya. Ia menjelaskan pula bahwa melalui UU CK,  Hutan Adat memiliki skemanya tersendiri. Di mana status hutan beserta fungsinya berubah menjadi hutan hak (komunal) dan bukan menjadi bagian dari hutan negara, berbeda dengan skema hutan lainnya. Oleh karena itu, Masyarakat Adat bisa mendapatkan haknya untuk mengelola Hutan Adat.

Sejalan dengan hal tersebut, Nadya Demadevina atau Dema (Perkumpulan HuMa) memaparkan bahwa keberadaan Hutan Adat memiliki dampak yang sangat besar terhadap pemenuhan hak serta kesejahteraan Masyarakat Adat. Sebagai contoh yang terjadi pada Masyarakat Adat Marena yang berada di Sulawesi. Sebelum menerima SK Hutan Adat, Masyarakat Adat tersebut tidak dapat mengakses Hutan Adatnya sama sekali karena berada di dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Mata Allo. Selain itu di dalamnya terdapat konsesi PT Adimitra, perusahaan penyadapan getah pinus. Adapun setelah pemberian SK Hutan Adat di tahun 2018, Masyarakat Adat Marena bernegosiasi dengan PT Adi Mitra dan diperbolehkan untuk menggarap Hutan Adat dengan menanam kopi varietas lokal (kopi dalai) dan palawija di bawah tegakkan pohon.

Selain itu, Dema juga menegaskan bahwa UU CK didalamnya mengatur terkait pasca penetapan hutan adat. Dia menyoroti bahwa ketentuan diberikannya food estate di kawasan yang sudah dijadikan kawasan Perhutanan Sosial nyatanya tidak memberikan kepastian hukum bagi pemangku kepentingan Perhutanan Sosial, termasuk didalamnya Masyarakat Adat. Dalam UU CK perlu ada perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, salah satunya untuk memberi akses bagi mereka dalam memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK). 

Selain Masyarakat Adat Marena, dampak yang dirasakan melalui pemanfaatan Hutan Adat pun sangat dirasakan oleh Masyarakat Adat Puyangsure Aek Bigha, khususnya bagi kelompok perempuan adat. Melalui tuturan Anitasria, yang mewakili kelompok perempuan adat Puyangsure Aek Bigha, diketahui bahwa perempuan dan hutan tidak dapat dipisahkan sehingga penting bagi perempuan adat Puyangsure Aek Bigha untuk menjaga Hutan Adatnya. Mereka beranggapan bahwa semua yang berada di dalam Hutan Adat dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan masyarakat, khususnya untuk kebutuhan sehari-hari.

Hal ini dijelaskan bahwa di dalam areal Hutan Adat mereka, terdapat beberapa jenis tumbuhan yang biasa digunakan untuk pembuatan anyaman yakni bambu, batang uwih, serta resam yang bisa dibuat menjadi gelang, cincin, serta kerajinan lokal yang biasa disebut dengan kudu. Pemanfaatan hasil Hutan Adat juga tidak hanya digunakan untuk pembuatan anyaman saja, tanaman-tanaman liar kerap kali dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh Masyarakat Adat Puyangsure Aek Bigha. Salah satu contohnya yakni pemanfaatan tanaman akar kekait yang dapat dijadikan sebagai obat batuk dan tanaman pacing yang juga dapat dimanfaatkan sebagai obat penurun panas. Menyambung pemaparan Anitasria, Hadi Brata pun menambahkan bahwa Hutan Peramuan sangat penting bagi Masyarakat Adat Aek Bigha dan dengan ditetapkannya Hutan Adat maka semakin memperkuat posisi Hutan Peramunan tersebut.

Melalui persoalan-persoalan yang telah dihadapi, dapat dilihat bahwa pendekatan Masyarakat Adat yang tidak bersifat formalistik membuat perlindungan Hutan Adat lebih proaktif dan bersifat fleksibel. Mendiskusikan tantangan dan pengalaman dalam pengelolaan Hutan dat penting sebagai pembelajaran untuk membangun strategi percepatan Hutan Adat melalui inovasi dan kolaborasi para pihak. Perlu juga digarisbawahi bahwa upaya yang dilakukan tidak hanya terhenti ketika status Hutan Adat telah didapatkan. Masih sangat dibutuhkan kolaborasi multipihak dalam hal penguatan regulasi, anggaran, dan komitmen pemerintah pusat maupun daerah dalam pengelolaan Hutan Adat pasca penetapan hak guna memastikan terjaminnya keamanan ruang hidup Masyarakat Adat.

Penulis: Dinah Ridadiyanah

Editor: Supriadi

Kesejahteraan Lahir Batin: Sistem Pangan dan Dampaknya Bagi Kita

Pangan liar Masyarakat Adat Kasepuhan

Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman (UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan).

Kehidupan manusia tak akan pernah bisa lepas dari pangan, yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang bersifat primer. Berdasarkan wawancara dengan Said Abdullah (Ayip), Koordinator Nasional KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan), perkembangan sistem pangan dipengaruhi dan dibentuk dari perkembangan sistem kapitalisme dunia, dan hal ini bersifat resiprokal. Hal tersebut lah yang kemudian memunculkan adanya penguasaan pangan dunia yang dikategorikan dalam tiga periode. Periode awal atau disebut dengan periode kolonialisme terjadi sebelum tahun 1930. Pada periode ini, dengan membawa politik Gold, Glory, Gospel, negara-negara Eropa menjelajah dunia untuk mencari bahan pangan ke bumi bagian selatan. Bahan pangan yang didapat dikuasai dan dikelola penuh oleh negara, bertujuan untuk menghidupkan industri pengelolaan pangan yang mereka miliki. Cara ini dilakukan dengan memperluas industri produksi pangan di negara koloninya, dengan menjadikannya sebagai lumbung pangan. Peristiwa ini kemudian berkembang menjadi industrialisasi pertanian dan bertahan hingga sebelum perang dunia kedua meletus.

Setelah perang dunia pecah, dimulailah periode kedua dengan penguasaan pangan berpindah dari Eropa ke Amerika. Dalam periode ini, Amerika memiliki peran besar untuk membentuk industrialisasi pangan dunia dengan memanfaatkan negara-negara bekas jajahan bangsa Eropa. Salah satu yang dihasilkan dalam periode ini adalah dimulainya penyeragaman jenis pangan dengan membawa jargon “Ketahanan Pangan”. Negara bersama dengan perusahaan mulai menyeragamkan benih, cara pengolahan, dan alat yang digunakan untuk mengolah pangan. Industrialisasi pangan dunia ini kemudian berdampak pada petani yang tidak bisa mandiri untuk mengembangkan varietas yang dimilikinya dengan alasan produknya tidak akan laku di pasaran karena berbeda dengan varietas yang umum dipasarkan. Di konteks Indonesia, beras dijadikan komoditi utama sebagai bahan pangan pokok, mengantikan beberapa bahan pangan seperti jagung, sorgum, sagu, dan beberapa lainnya. Penyeragaman ini, perlahan tapi pasti, berpotensi menimbulkan degradasi sumber daya genetik dalam konteks benih. Dari yang awalnya terdapat berbagai macam benih untuk satu jenis bahan pangan, pada akhirnya hanya akan menyisakan beberapa macam benih saja.

Dari periode kedua ini, industrialisasi pangan semakin berkembang dan mendorong berbagai korporasi untuk secara penuh memonopoli sistem pangan. Era ini dikategorikan sebagai periode ketiga yang berlangsung mulai dari tahun 1980 hingga sekarang. Berbagai macam produk pangan, mulai dari benih, peralatan, hingga produk olahan, yang dikelola oleh korporasi atau perusahaan sudah merambah ke berbagai belahan dunia. Fenomena ini semakin menjadikan masyarakat “menikmati” keseragaman pangan yang dilakukan oleh perusahaan. Contoh nyata yang bisa dilihat adalah maraknya produk olahan gandum, mulai dari produk roti, biskuit, maupun olahan-olahan di restoran cepat saji, yang sudah merambah berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Fenomena ini perlahan bisa menjadi ancaman bagi ketahanan dan kedaulatan pangan lokal Indonesia. Beberapa varietas benih pangan lokal pun terancam punah karena tidak lagi ditanam akibat penyeragaman ini. Belum lagi serbuan produk pangan impor lainnya, dan beberapa produk dengan rekayasa genetika yang dinilai lebih menarik dan lebih unggul daripada produk pangan lokal. Padahal, jika dilihat lebih dalam, produk pangan lokal Indonesia jauh sangat beragam macamnya dan bisa saling menggantikan apabila pangan yang biasa kita olah/makan sedang terbatas ketersediaannya. Selain berdampak pada benih, penyeragaman ini juga berpotensi menghilangkan pengetahuan dan teknologi terkait jenis dan sistem pangan lokal. Hal ini diakibatkan karena monopoli perusahaan dalam menentukan produk pangan yang dikonsumsi masyarakat.

 

Pangan liar Masyarakat Adat Kasepuhan

Berangkat dari fenomena-fenomena di atas, istilah kedaulatan pangan muncul untuk mendorong sistem pangan agar bisa mandiri, dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati yang dimiliki masing-masing daerah agar tidak bergantung pada monopoli sistem pangan yang dilakukan korporasi. Kedaulatan pangan berfokus pada hak dan menjadikan petani sebagai subjek yang memiliki kuasa untuk menentukan produk pangan apa yang akan ia kembangkan. Tujuan dari kedaulatan pangan bukan untuk meningkatkan produksi pangan, akan tetapi untuk meningkatkan kualitas dan derajat hidup masyarakat, terutama petani dan masyarakat pedesaan. Dalam konteks Indonesia sendiri, menurut Ayip, kedaulatan pangan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Indonesia masih menganut paradigma ketahanan pangan. Produsen pangan masih mengikuti pasar untuk menentukan apa yang akan mereka produksi dan masih mengejar tingkat produksi pangan. Untuk menyukseskan kedaulatan pangan di Indonesia, dibutuhkan sinergi dari banyak pihak dan harus dikerjakan secara paralel. Dari sisi pemerintah, karena kedaulatan pangan sudah tercantum di Undang-undang, kebijakan dan program terkait pangan yang dikeluarkan harus sesuai dengan filsofi dasar dari kedaulatan pangan. Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah mendorong anak-anak muda, rural maupun urban, untuk turut mengawal kebijakan terkait kedaulatan pangan ini. Selain itu, dapat pula dengan membangun model dalam skala kecil, yaitu edukasi dan penguatan literasi terkait pangan di tingkat masyarakat konsumen, baik di desa maupun di kota. Upaya kedaulatan pangan ini dapat pula dimasukkan dalam program pembangunan desa untuk penguatan program pangan desa. Pun tingkat keluarga dapat berpartisipasi untuk menyukseskan kedaulatan pangan negara dengan mulai berani untuk menentukan apa yang akan mereka konsumsi dan tidak terbawa arus penyeragaman pangan.

Pembahasan mengenai sistem pangan ini merupakan bagian dari serial podcast Kesejahteraan Lahir Batin – Sistem Pangan Hari Ini dan Dampaknya Bagi Kita. Melihat pembangunan saat ini yang  hanya fokus pada ekonomi, dengan lebih memilih impor dan menciptakan pasar bebas yang tanpa disadari merugikan produsen pangan, seperti petani, nelayan, dan lainnya. Urusan pangan bukan hanya urusan dari mulut hingga perut. Akan tetapi, urusan pangan terkait pula dengan kehidupan anak-cucu untuk kesejahteraan lahir batin bangsa dan negara di masa depan.

Dengarkan informasi lengkapnya di sini.

Penulis: Ajeng Lestari Midi

Editor: Siti Marfu’ah

Ngobrol Bareng #AnakMudauntukTanah Air: Menoleh Inisiatif dan Aspirasi Anak Muda Indonesia

Sejak dahulu, dan sampai sekarang — Anak Muda terbukti secara nyata telah menunjukkan kontribusinya dengan mempelopori berbagai gerakan perubahan. 

 

Sejak dahulu, Anak Muda terbukti telah secara nyata menunjukkan kontribusinya dengan mempelopori berbagai gerakan perubahan. Banyak momen-momen bersejarah yang dibangun oleh semangat anak muda seperti Sumpah Pemuda, Reformasi, bahkan banyak momentum di masa depan yang akan sangat bergantung pada keberadaan anak muda saat ini, seperti Pilpres 2024 dan Visi Indonesia 2045, tepat pada 100 tahun Kemerdekaan Indonesia. 

Atas dasar tersebut RMI dan Econusa menyadari bahwa perlu adanya titik temu bagi komunitas dan organisasi untuk membahas persoalan Anak Muda, menyediakan platform bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan lebih jauh lagi yaitu menghubungkan Anak Muda dengan ruang hidup dan tanah airnya. Pada 3 Agustus 2021, RMI dan Econusa menginisiasi Diskusi Konsolidasi Anak Muda untuk Tanah Air, yang dihadiri 59 peserta dari 22 komunitas anak muda dan 15 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki fokus pada isu lingkungan, agraria, anak muda, pemberdayaan ekonomi dan kewirausahaan sosial serta aktif berkegiatan di wilayah Indonesia Barat, Indonesia Tengah, Indonesia Timur maupun level nasional.

Kegiatan ini dibuka dengan perkenalan antarkomunitas dan LSM, yang difasilitasi oleh Wahyu (RMI). Para peserta diminta mengakses link Menti.com untuk selanjutnya mereka dipersilakan menuliskan nama organisasi dan nama makhluk hidup yang menyimbolkan organisasinya masing-masing.

Selanjutnya  pada sesi Diskusi #AnakMudauntukTanahAir terdapat dua pertanyaan kunci untuk dibahas lebih lanjut dalam dua kelompok besar (Komunitas Anak Muda dan LSM) yaitu: (1) Apa aksi anak muda yang sedang dilakukan dan (2) Apa refleksi (tantangan, aspirasi, pengalaman, dll) untuk gerakan anak muda sekarang dan masa mendatang.

Aksi dan Inisiatif yang sudah dan tengah dilakukan

 

Dari pertanyaan kunci pertama yaitu “Apa aksi anak muda yang sedang dilakukan?”, kelompok LSM menyampaikan bahwa pendampingan Anak Muda telah dilakukan di seluruh Indonesia dengan berbagai kegiatan dan isu, seperti peningkatan kapasitas individu dan kelompok anak muda melalui pendidikan hukum rakyat untuk penguatan kampung, membangun kesadaran Anak Muda di kampus terkait isu-isu agraria dan pangan di pedesaan, juga menstimulasi pertukaran informasi pedesaan-perkotaan (rural-urban). Ada pula kegiatan berupa konsolidasi Anak Muda khususnya Serikat Tani. 

 

Di kelompok Komunitas Anak Muda yang diikuti oleh 34 orang terlihat bahwa kegiatan anak muda yang ada di rural maupun urban juga tidak kalah beragam. Mulai dari kampanye di ranah pendidikan, krisis iklim dan lingkungan hidup, sampah plastik di wilayah pesisir, kegiatan bertani dan berkebun kelompok Anak Muda, sampai membahas persoalan regenerasi anak muda di pedesaan. Aksi dan inisiatif yang dilakukan menekankan kreativitas, gaya kekinian, kolaboratif, mengikuti trend, dan optimalisasi penggunaan teknologi dan media sosial sangat mencirikan inisiatif khas ala anak muda jaman now. Kegiatan Anak Muda tersebut dilakukan dengan berbagai pendekatan berbeda-beda, mulai dari kegiatan berbasis riset, kampanye daring, gerakan turun ke jalan, pendidikan di luar kelas, hingga menginisiasi lokakarya. 

 

Terlihat pula andil besar anak muda dalam penguatan kampung melalui berbagai fokus kegiatan yang dipilih, diantaranya: peningkatan kapasitas individu maupun kelompok, literasi dan pendidikan, pengarsipan kearifan lokal dan kekayaan pangan komunitas. Sementara pada kegiatan berorientasi advokasi, utamanya terkait dengan isu perubahan iklim, sampah, dan hak hak masyarakat adat juga lokal. Meski belum sebanyak kegiatan lain, ada pula program Anak Muda yang menyasar pada perubahan kebijakan seperti menggalang dukungan atau petisi dan long march.

 

Refleksi Gerakan Anak Muda Indonesia di Masa Kini dan Masa Mendatang

 

Dalam diskusi terfokus bersama kawan-kawan LSM, teridentifikasi bahwa tantangan gerakan anak muda adalah: (1) Adanya perbedaan/disparitas sosial dan geografis maupun teknologi antara anak muda di kampung dan urban; (2) Sulitnya menarik minat dan mengemas suatu isu untuk Anak Muda; (3) Anak muda dalam berkegiatan juga harus fokus pada pemenuhan kehidupan (livelihood) mereka, ada juga yang harus sekolah di luar kampung sehingga mereka tidak dapat sepenuhnya fokus berkegiatan untuk membangun kampungnya dan menyebabkan kekosongan kampung; (4) Dengan adanya sumber daya di masing-masing organisasi/ komunitas, dirasa sulit untuk membuka ruang kolaborasi. Adapun menjawab tantangan-tantangan tersebut, beberapa hal yang sudah dan sedang direncanakan adalah internalisasi nilai-nilai perjuangan kaum muda: menginternalisasi semangat perjuangan Anak Muda ke dalam kehidupan sehari-hari, merancang kegiatan pemberdayaan generasi muda di kampung untuk menyediakan sumber penghasilan bagi mereka sekaligus menahan laju urbanisasi, dan mencari format kelompok belajar dengan latar belakang dan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda, 

 

Sementara itu, di kelompok Komunitas Anak Muda, setidaknya ada lima tantangan yang berhasil ditangkap dari fasilitasi diskusi di kelompok komunitas anak muda terkait refleksi (tantangan, aspirasi, pengalaman dll) mereka untuk gerakan anak muda. (1) Tantangan atas akses, dana dan materi; (2) Peralatan dan pengetahuan terbatas; (3) Mengarusutamakan isu-isu yang berat dan sulit dipahami harus diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari; (4) Meningkatkan kerelawanan anak muda, karena tak sedikit anak muda yang  mengharapkan imbalan, seperti uang, saat melakukan kegiatan; (5) Tidak dianggap dan ditindaklanjutinya aspirasi anak muda oleh korporasi atau pemerintah; dan (6) Kurangnya kesadaran masyarakat atas isu-isu yang ada di sekitarnya. 

 

Di satu sisi kurangnya ruang anak muda untuk berpartisipasi di masyarakat menjadi tantangan sekaligus peluang bagi mereka untuk menciptakan ruang ekspresinya masing-masing dengan membentuk komunitas anak muda–tidak hanya sebagai ruang kreasi dan pengembangan diri, namun ruang bagi anak muda berkontribusi bagi lingkungannya.  

 

Kolaborasi dan Tindak Lanjut

 

Sesi berikutnya dilanjutkan dengan pemaparan kerangka inisiatif #AnakMudauntukTanahAir yang menegaskan bahwasanya RMI dan EcoNusa hanya berperan sebagai inisiator awal, sehingga desain dan konsep inisiatif ini kedepannya bisa diolah secara bersama-sama.  

 

Setelah menyampaikan alur inisiatif yang dibayangkan mulai dari Konsultasi Anak Muda, pelaksanaan kegiatan Youth Summit dan kegiatan-kegiatan pasca-Youth Summit sampai ke putaran berikutnya dan terus berulang menuju Indonesia Emas (2045). RMI dan EcoNusa kembali mengajak semua peserta untuk berkolaborasi dan bersama-sama membayangkan kerangka #AnakMudauntukTanahAir sebagai inisiatif yang berkesinambungan.

 

Diskusi pun berlanjut dengan tanggapan dan ide-ide menarik yang dilontarkan para peserta: 

“Jika momennya adalah sumpah pemuda, menurutku perlu mendefinisikan ulang ‘bagaimana menjadi Anak Muda Indonesia dalam perspektif mereka sendiri akan ruang hidup’. Ini dijadikan satu definisi/piagam/plakat. Setelah itu hasil-hasilnya ada pertemuan tidak hanya dengan pemerintah dan media, namun juga industri—karena bagaimanapun yang membuat kotor dan implementor adalah industri.” (Sulis/WWF Indonesia)

 

Salah satu peserta dari kelompok Anak Muda juga turut menyampaikan pendapatnya terkait potensi keberlanjutan dari inisiatif ini:

“Anak muda saat ini, dengan berbagai privilege yang dimilikinya, harusnya bisa mengoptimalkan hal tersebut. Trend pergerakan Anak muda saat ini bermacam-macam… ada juga yang sporadis dan spontan, namun dengan idealisme yang dimiliki Anak muda silahkan berikan kebebasan kepada kami untuk berekspresi (setidaknya aspirasi kami ditampung saja dulu). Jangan pernah ragukan Anak muda, namun kami juga masih memerlukan dukungan dari NGO dan tetapkan ‘koridor-koridor’ apa saja yang tidak boleh dilewati oleh kami sebagai Anak Muda.” Novita/XR (Extinction Rebellion Indonesia)

 

Setelah menyampaikan kemungkinan tindak lanjut, tim inisiator membagikan formulir online berisi pertanyaan-pertanyaan masukan bagi kerangka dan konsep kegiatan inisiatif #AnakMudauntukTanahAir serta potensi kolaborasi dan rencana pertemuan berikutnya. Acara ditutup dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.  

 

15 LSM yang hadir dalam diskusi kali ini adalah LSM dengan fokus kerja di area terestrial, pesisir, maupun keduanya yaitu Perkumpulan HuMa, Walhi, Perkumpulan Qbar, AKAR Foundation, Terasmitra, Sulawesi Community Foundation (SCF), WWF Indonesia, Sajogyo Institute, Sokola Institute, Yayasan Merah Putih Sulawesi Tengah, Perhimpunan Filantropi Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), EcoNusa, dan RMI.

 

Adapun 22 Komunitas Anak Muda, yang berkegiatan di area pesisir dan terestrial juga berasal dari komunitas masyarakat adat dan non-adat yang aktif bergerak di wilayah rural dan urban, antara lain: Alumni School of Eco Diplomacy (SED), Relawan4Life, Earth Hour Jayapura, Golongan Hutan, Lawe Indonesia, Green Politician, Twelve’s Organic, Project Semesta, Teens Go Green (TGG), Global Youth Biodiversity Network (GYBN) Indonesia, Climate Rangers, Kompilasi Ujung Kulon, Extinction Rebellion, Narasea Indonesia, Lakoat.Kujawas, SimpaSio Institute, Kelompok Makekal Bersatu (KMB), Pemuda Kasepuhan Cibeas, Pemuda Tani Merdeka, Lumbung Ilmu Kasepuhan Cirompang, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), dan Kompak Pasir Eurih.

 

Penulis: Alfina dan Novia

Editor: Siti Marfu’ah

Changes in the Perception of Life of the Youth Generation of Kasepuhan Cibedug

The sun had just risen when a 14 years old young man stepped out of the house wearing a long sleeve shirt, trousers, and a cap that made him look the same as a child of his age. This assumption changed momentarily. He carried a hoe and kaneron (a bag made of sacks).

Arek ka sawah.”

Going to the rice fields, he said. Rice fields are the place he has visited most since the last two years. Adut is the name of the young name. Even though it is tiring, according to him, being in the rice fields is better than feeling bored at home.

When modernity and the lifestyle in the city have hit, rice fields are not an attractive place for young people of his age, who prefer to play gadgets.

For the Kasepuhan Cibedug Indigenous People, Lebak, Banten, rice fields are part of the forest, where they depend their lives on because most of their lives are spent in the fields. Five days a week, from morning to evening they are in leuweung garapan (arable forest, including rice fields, gardens and houses), and two days in the forest to collect firewood or lalapan(fresh vegetables to accompany meals).

Kasepuhan Cibedug is an indigenous people community who live in an area that functions as a national park, namely the Mount Halimun Salak National Park (TNGHS). Kasepuhan Cibedug is located in the core zone of TNGHS, which is an area of National Park that has natural conditions that is still pristine and protected, and is currently applying for Customary Forest. 

As a child, Adut lived in Lampung with his mother and stepfather. Adut received only 2 years of education, from grade 1 to 2 of elementary school. After that, he became a labour in an oil palm plantation, as a transporter of oil palm fruit. Her mother and stepfather also worked on the oil palm plantation as sprayers.

Two years ago, Adut returned to Kasepuhan Cibedug, his mother’s hometown. His stepfather admitted that while Adut was in Lampung he still went to school, but in reality, he was not. Instead, he was asked to work on an oil palm plantation. Adut has also forgotten what his real father is like. He does not have any memories with that person. Now, his stepfather left him, his mother and step sister.

In the last two years, Adut’s life was no longer in oil palm plantations, but in the fields owned by his mother and uncles. Sometimes he does macul (hoeing rice fields). Sometimes he does ngebabat (cleaning weeds in the rice fields) or just holding a kokoprok rope (bird repellent made from bamboo). Adut also often goes to the forest to collect firewood.

Adut admitted that he was afraid and ashamed of going to school again, even though his mother and uncle had asked him to. He still doesn’t want to continue his formal education. Currently, Adut forgets what he has learned during school. He can’t read and write. Adut may not know what is the purpose of going to school, and he also doesn’t know what the impact of not going to school.

“I feel sorry for the boy” said some people seeing Adut. “How dare the parents,” said some of the others. “That’s great,” said some of the farmers whose children couldn’t farm.

What is there to be sorry for? Adut is one of the many children in Indonesia who experience the same thing, who drop out of school and go straight to work. Those who can’t read and write. Those who follow their parents to do farming. Those who do not know what their goals are. 

What makes it great? Adut may be a special person and will lead agriculture in Kasepuhan Cibedug in the future, because when a child his age is busy playing or going to the city, he chooses to farm and collect firewood in the forest following his local wisdom. When a child his age has no knowledge of farming local varieties of rice (pare gede), he grows it instead.

Change in Perception of Life

Reduced interest in agriculture and local wisdom as an indigenous community, started from a change in perceptions about the life of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People. For example, many young people decide to look for work in the city or village nearby. When they returned to Kasepuhan Cibedug, they brought a new life — a different life.

It is still fresh in the memory, when a group of young people told a story about how motorbikes first entered their territory. At that time, the one who brought a motorbike was one of the residents who had lived outside the Kasepuhan Cibedug area for a long time. The group of young people told how they held and paid close attention to this means of transportation. When the motorbike set off, they chased it. The early motorbikes which enter Kasepuhan Cibedug occurred in the early 2000s.

Currently, the younger generation in Kasepuhan Cibedug are flocking to the city. Most of them work in garbage stalls. The young women become household assistants, or help out at trash stalls. There are also many motorbikes in Kasepuhan Cibedug now.

Apart from the large number of young people who went to the city and nearby village, the invasion of information technology in Kasepuhan Cibedug also affected their lives. Although this is not the first time that the internet network has entered their area, it is the most massive.

An example that affects the lives of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People is the decreasing number of children who play traditional games outside the home. Currently there are not as many children playing traditional games as seven months ago, before the internet existed. Nowadays children prefer to play on their gadgets late into the night. It is feared that this will reduce interest and sense of responsibility in preserving the customs, traditions and culture of Kasepuhan Cibedug.

Lack of Interest in Agriculture

The important role of young farmers is one of the success factors of sustainable agriculture. In essence, sustainable agriculture is an agricultural system that is carried out through optimal management of potential resources, such as human resources, natural resources, local wisdom, institutions and technology, to keep an effort going and not deteriorating to improve the welfare of society as a whole.

According to data from the People’s Coalition for Sovereignty Research (KRKP), 70% of young people living in rural areas admit that they are not interested in becoming farmers (KRKP, 2015). This is a dilemma, considering that currently 60.8% of farmers are over 45 years old (LIPI, 2017).

From observations, modernity and changes in the perception of life that occur have had a positive impact on the Kasepuhan Cibedug Indigenous People, when viewed from an economic aspect. However, if we trace it deeper, people do not realize that these changes can threaten them. What if no one is farming anymore? What if the local wisdom is no longer practiced? Will the young generation of Kasepuhan Cibedug lose their identity as indigenous peoples?

Children go,

There is no successor,

Local wisdom is not lived on,

Identities are lost,

Life will be hard to live on

Finally, the changes that occur in the dimensions of the life of the Kasepuhan Cibedug Indigenous Peoples are indeed unavoidable. Changes that take place can have positive and negative impacts on the Kasepuhan Cibedug Indigenous People itself. Adaptation to change is necessary in order to bring optimal benefits, but the preservation of their customs also needs to be maintained.

Although Adut doesn’t know what his goals are, but until now he is still consistent in farming. According to him, going to the fields is a habit to get rid of boredom. In the fields he does maculngebabat or just hold the kokoprok rope. According to him, working in the fields is fun and not boring. Hopefully there are other Adut who enjoy working for a long time in the fields, not just having a picnic in the fields for an hour and then returning to playing gadgets.

Author: Siti Marfu’ah

Translator: Alfina Khairunnisa

Perubahan Persepsi Kehidupan Generasi Muda Adat Kasepuhan Cibedug

Matahari belum lama beranjak dari peraduannya ketika pemuda berusia 14 tahun melangkahkan kaki keluar rumah menggunakan baju lengan panjang, celana panjang, dan topi yang membuat ia terlihat sama dengan anak seumurannya. Anggapan tersebut sesaat berubah. Ia  membawa pacul dan kaneron (tas yang terbuat dari karung).

Arek ka sawah.”

Ingin ke sawah, katanya. Sawah adalah tempat yang paling sering ia kunjungi sejak dua tahun terakhir. Adut nama pemuda itu. Walaupun melelahkan, menurutnya, di sawah lebih baik daripada merasakan bosan di rumah.

Ketika modernitas dan gaya hidup di kota sudah menyergap, sawah bukanlah tempat yang menarik bagi anak muda seusianya, yang lebih memilih di rumah main gawai.

Bagi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug, Lebak, Banten, sawah bagian dari hutan, tempat menggantungkan hidup karena sebagian besar kehidupan mereka dihabiskan di sawah. Lima hari dalam seminggu, dari pagi hingga petang mereka di leuweung garapan (hutan garapan, termasuk sawah, kebun, dan rumah), dan dua harinya di hutan untuk mengambil kayu bakar atau lalapan.

Kasepuhan Cibedug adalah komunitas masyarakat adat yang berada di wilayah yang berfungsi sebagai taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Kasepuhan ini berada di zona inti TNGHS dan saat ini sedang mengajukan Hutan Adat. 

Adut sedang memacul di sawah

Saat kecil Adut tinggal di Lampung bersama ibu dan ayah tirinya. Adut mengenyam bangku pendidikan hanya 2 tahun, yaitu dari kelas 1 hingga 2 SD. Setelah itu ia menjadi buruh di perkebunan sawit, sebagai pengangkut buah kelapa sawit. Ibu dan ayah tirinya juga bekerja di perkebunan sawit sebagai penyemprot.

Dua tahun yang lalu, Adut pulang ke Kasepuhan Cibedug, kampung halaman ibunya. Ayah tirinya mengaku kalau Adut selama di Lampung tetap bersekolah, tetapi kenyataannya tidak. Dia diminta bekerja di perkebunan sawit. Adut pun telah lupa seperti apa ayah kandungnya.  Ia tidak memiliki kenangan apa-apa dengan orang tersebut. Sekarang ayah tirinya pergi meninggalkan ia, ibu dan adik tirinya.

Sejak dua tahun lalu kehidupan Adut bukan lagi di perkebunan sawit, melainkan di sawah milik ibu dan paman-pamannya. Terkadang ia macul (pacul sawah). Terkadang ia ngebabat (membersihkan rumput liar di sawah) atau hanya sekedar memegang tali kokoprok (pengusir burung yang terbuat dari bambu). Adut juga seringkali ke hutan mengambil kayu bakar.

Adut mengakui ia takut dan malu sekolah lagi, meskipun sudah diminta oleh ibu dan pamannya. Ia tetap tidak ingin melanjutkan pendidikan formalnya. Saat ini Adut lupa apa saja yang telah ia pelajari semasa sekolah. Ia tidak bisa baca-tulis. Adut mungkin tidak tahu untuk apa bersekolah, dan ia juga tidak tahu apa dampaknya tidak sekolah.

“Kasihan,” kata sebagian orang melihat Adut. “Tega sekali orangtuanya,” kata sebagian yang lain. “Hebat,” kata sebagian petani yang anaknya tidak bisa bertani.

Apa yang perlu dikasihani? Adut adalah salah satu dari sekian banyak anak di Indonesia yang mengalami hal serupa, yang putus sekolah dan langsung bekerja. Yang tidak bisa baca-tulis. Yang ikut orangtua bertani. Yang tidak tahu apa cita-citanya. 

Apa yang membuatnya hebat? Adut mungkin orang yang istimewa dan akan memimpin pertanian di Kasepuhan Cibedug kelak, karena di saat anak seusianya sibuk main atau pergi ke kota, ia memilih bertani dan mengambil kayu bakar di hutan sesuai dengan kearifan lokalnya. Ketika anak seusianya tidak memiliki pengetahuan terkait bertani padi varietas lokal (pare gede), ia malah menanamnya.

Perubahan Persepsi Kehidupan

Berkurangnya minat pada pertanian, dan kearifan lokal sebagai masyarakat adat, berawal dari perubahan persepsi tentang kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug. Misalnya banyaknya anak muda yang memutuskan untuk cari pekerjaan ke kota atau kampung sebelah. Ketika mereka pulang ke Kasepuhan Cibedug, mereka membawa kehidupan baru—kehidupan yang berbeda.

Masih segar di ingatan, ketika kelompok anak muda bercerita bagaimana sepeda motor pertama kali masuk ke wilayah mereka. Saat itu yang membawa sepeda motor adalah salah satu warga yang telah lama tinggal di luar wilayah Kasepuhan Cibedug. Kelompok anak muda itu bercerita bagaimana mereka memegang dan memperhatikan secara seksama alat transportasi tersebut. Saat sepeda motor tersebut pergi mereka mengejarnya. Peristiwa masuknya sepeda motor di Kasepuhan Cibedug terjadi di awal tahun 2000an.

Saat ini generasi muda di Kasepuhan Cibedug berbondong-bondong pergi ke kota. Sebagian besar mereka kerja di lapak sampah. Pemudinya menjadi asisten rumah tangga, atau membantu di lapak sampah. Sepeda motor pun sudah banyak di Kasepuhan Cibedug.

Selain banyaknya anak muda yang pergi ke kota atau kampung sebelah, adanya serbuan teknologi informasi di Kasepuhan Cibedug juga mempengaruhi kehidupan mereka. Walaupun ini bukan kali pertama jaringan internet masuk ke wilayah mereka, tetapi ini yang paling masif.

Contoh yang mempengaruhi kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug adalah berkurangnya anak-anak yang bermain permainan tradisional di luar rumah. Saat ini anak-anak yang bermain permainan tradisional tidak sebanyak tujuh bulan lalu, sebelum internet ada. Saat ini anak-anak lebih senang bermain gawai hingga larut malam. Hal ini dikhawatirkan akan mengurangi minat dan rasa tanggung jawabnya dalam melestarikan adat istiadat, tradisi dan budaya Kasepuhan Cibedug.

Kurangnya Minat di Pertanian

Pentingnya peran petani muda merupakan salah satu faktor keberhasilan pertanian berkelanjutan. Pada hakikatnya pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian yang dilakukan melalui pengelolaan secara optimal potensi sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, kearifan lokal, kelembagaan dan teknologi, untuk menjaga agar suatu upaya terus berlangsung dan tidak mengalami kemerosotan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Menurut data Riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan (KRKP), 70% anak muda yang tinggal di pedesaan mengaku tidak berminat menjadi petani (KRKP, 2015). Hal ini menjadi sebuah dilema, mengingat saat ini 60,8% petani sudah berusia di atas 45 tahun (LIPI, 2017).

Sejauh pengamatan, modernitas dan perubahan persepsi kehidupan yang terjadi membawa dampak positif bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug, apabila ditinjau dari aspek ekonomi. Namun jika ditelusuri lebih dalam, masyarakat tidak menyadari bahwa perubahan-perubahan tersebut dapat mengancam mereka. Bagaimana jika tidak ada yang bertani lagi? Bagaimana jika kearifan lokalnya sudah tidak dipraktekan lagi? Apakah generasi muda Kasepuhan Cibedug akan kehilangan identitas mereka sebagai masyarkat adat?

Anak pergi,

Tidak adalagi penerus kami,

Kearifan lokal tidak dijalani,

Hilangnya identitas diri,

Hidup sulit hingga mati.

Akhirnya, perubahan-perubahan yang terjadi dalam dimensi kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug memang merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Perubahan yang berlangsung dapat membawa pengaruh positif dan negatif bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug itu sendiri. Adaptasi terhadap perubahan itu memang diperlukan agar dapat membawa manfaat yang optimal, namun kelestarian adat istiadat mereka juga tetap perlu terjaga.

Walaupun Adut tidak tahu apa cita-citanya. Tetapi hingga saat ini ia masih konsisten untuk bertani. Menurutnya pergi ke sawah adalah kebiasaan untuk menghilangkan rasa bosan. Di sawah ia biasa macul, ngebabat atau hanya sekedar memegang tali kokoprok. Menurutnya, bukankah bekerja di sawah itu menyenangkan dan tidak membosankan. Semoga ada Adut-Adut lain yang kerasaan kerja berlama-lama di sawah, bukan hanya piknik ke sawah sejam lalu kembali lagi main gadget.

Penulis: Siti Marfu’ah