Sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi Masyarakat Adat Kasepuhan dan juga Baduy. Hari itu tanggal 22 Februari 2023, Masyarakat Kasepuhan Cibarani tengah disibukkan dengan kegiatan pertanian. Banyak masyarakat yang sedari pagi pergi ke sawah atau ladang untuk mengumpulkan hasil panen pare gede (padi lokal), yang nantinya akan disimpan untuk kebutuhan pangan harian maupun ritual adat di kemudian hari.
Di tengah kesibukan tersebut, ada sebagian masyarakat yang tidak ikut mengambil hasil panen. Mereka adalah beberapa kokolot (generasi adat senior) dan Generasi Muda Adat yang mengikuti pertemuan forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani, peserta pertemuan terdiri dari 15 perempuan dan 50 laki-laki dari empat komunitas adat Kasepuhan dan Masyarakat Adat Baduy. Pertemuan ini merupakan kali ke-4 forum KAWAL diadakan yang bertujuan membicarakan perihal Desa Adat dan pandangan Generasi Muda Adat terhadapnya.
Selain pengembalian wilayah adat melalui skema Perhutanan Sosial, Desa Adat merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh sebagai upaya pengakuan Masyarakat Adat sesuai dengan yang dimandatkan konstitusi. Wacana tentang Desa Adat sendiri bukan hal baru di Indonesia. Sudah ada beberapa Desa Adat yang terbentuk seperti Desa Adat di Bali, Minangkabau, Ambon, dan Papua. Namun wacana Desa Adat di Kabupaten Lebak, Banten baru dilegitimasi melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Banten No.2 Tahun 2022 Tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Depan Jabatan Kepala Desa Adat.
Dalam konteks Lebak, khususnya di wilayah adat Baduy dan di sebagian wilayah Kasepuhan, wacana peralihan desa menjadi Desa Adat ini merupakan hal penting karena adanya perbedaan sistem pemerintahan yang tidak diakomodir dalam nomenklatur desa. Adapun peran Generasi Muda Adat menjadi hal penting karena tongkat estafet perjuangan dalam pengukuhan hak-hak Masyarakat Adat akan diberikan pada mereka.
Model pemerintahan desa di masa Orde Baru dan Reformasi
Diskusi forum KAWAL diawali dengan perbandingan definisi desa dan desa adat pada masa Orde Baru dan Reformasi. Pada masa Orde Baru, ditetapkan UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang menyebutkan bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pada masa itu, pemerintahan desa berada langsung di bawah kecamatan dan penerapan model pemerintahan desa di seluruh wilayah Indonesia disamakan dengan model pemerintahan desa di Pulau Jawa. Hal ini bertentangan dengan sistem kehidupan Masyarakat Adat yang sejak dulu memiliki perbedaan nilai dan aturan tentang sistem kesatuan wilayah adat. Dengan adanya perbedaan tersebut, Masyarakat Adat terpaksa harus mengikuti aturan dan syarat sesuai undang-undang yang berlaku.
Kemudian pada masa Reformasi dikeluarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Adat. Disebutkan bahwa “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sejak ditetapkannya UU ini, pemerintahan desa kemudian sudah tidak lagi diposisikan sebagai pemerintahan terendah di bawah kecamatan.
Wacana peralihan desa menjadi desa adat dan pandangan Generasi Muda Adat terhadapnya
Selama lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, pengakuan terhadap hak-hak Masyarakat Adat masih sulit untuk didapatkan. Dikeluarkannya konstitusi dan aturan-aturan lain yang memperkuat pengukuhan hak-hak Masyarakat Adat, seperti UU Pokok Agraria dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.35, juga masih belum cukup untuk menyelesaikan persoalan.
Dalam konteks Banten sendiri, perbincangan terkait Desa Adat di wilayah Lebak semakin marak terdengar setelah dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Banten No. 2 Tahun 2022. Kemudian muncul pertanyaan, apa yang membuat pembicaraan tentang Desa Adat menjadi satu hal yang penting?
Dalam skema Desa Adat, terdapat ruang pengakuan dan penghormatan atas hak-hak Masyarakat Adat. Hak asal-usul Masyarakat Adat menjadi lebih diakui melalui pemberian wewenang tambahan kepada Masyarakat Adat untuk menyelenggarakan pemerintahan di level desa. Hal itu menjadi poin yang dirasa dapat menjadi “jawaban” atas persoalan. Namun hal itu belum tentu terjadi. Untuk itu Generasi Muda Adat perlu diperdalam pemahamannya terkait wacana ini, sehingga mereka dapat berpartisipasi secara bermakna dalam proses-proses peralihan desa ke Desa Adat.
Salah satu upaya peningkatan pemahaman Generasi Muda Adat tersebut yaitu dengan melakukan simulasi. Peserta dibagi ke dalam empat kelompok yang kemudian masing-masingnya diberikan peran dan situasi yang berbeda: masyarakat desa (non-adat), pemerintah desa, Masyarakat Adat, dan DPRD. Tiap kelompok lalu diinstruksikan untuk membayangkan kemungkinan peristiwa apa saja yang akan terjadi dalam upaya peralihan desa ke Desa Adat di dunia nyata.
Setelah selesai simulasi, ada beberapa poin yang direfleksikan bersama yakni kemungkinan terjadinya perang saudara antara Masyarakat Adat dan masyarakat non-adat (yang berada di desa yang sama, maupun masyarakat desa yang wilayahnya saling berdekatan) terkait perbedaan persepsi dan kecenderungan dukungan atas wacana tersebut.
Masyarakat Adat diproyeksikan akan lebih cenderung mendukung pengusungan Desa Adat, sedangkan masyarakat non-adat beranggapan perlu adanya upaya untuk menilik ulang dampak-dampak yang mungkin mengikutinya. Salah satu dampak yang dikhawatirkan tersebut misalnya bahwa setelah pengukuhan Desa Adat hak-hak mereka sebagai masyarakat non-adat akan dikesampingkan. Dalam situasi ini posisi pemerintah desa dimungkinkan untuk mendapatkan tekanan dari berbagai sisi—baik dari Masyarakat Adat maupun non-adat.
Melalui simulasi dan paparan poin diskusi tersebut di atas, akhirnya memantik Generasi Muda Adat untuk menyuarakan pandangannya terhadap Desa Adat. Refleksi dan dualisme pandangan pun tidak bisa dihindarkan. Posisi pertama menganggap peralihan status desa ke Desa Adat merupakan hal yang harus dijadikan prioritas. Kang Nadi dan Kang Raisan (peserta asal Baduy) berpendapat bahwa negara yang selama ini menyebutkan adat sebagai hal penting, tidak memberikan bukti atau aksi nyata atas perkataannya tersebut. Jalannya diskusi kemudian berlabuh pada pandangan bahwa persoalan atas pengakuan hak-hak Masyarakat Adat dapat diselesaikan salah satunya melalui pengajuan Desa Adat.
Ada pula Generasi Muda Adat yang tidak menyetujui peralihan ini. Iqbal (peserta asal Kasepuhan Pasir Eurih) menyampaikan pendapatnya tentang ketidaksetujuan tersebut yang muncul atas anggapan bahwa rangkap jabatan mungkin bisa terjadi, yakni kepala desa merangkap sebagai abah/olot (tetua adat). Kekhawatiran berikutnya adalah lahirnya “raja-raja kecil” di kampung dengan abah/olot yang menurunkannya jabatannya sebagai kepala Desa Adat kepada keturunannya. Menurutnya meskipun musyawarah terkait Desa Adat dapat dilakukan, namun karena ada Perda Provinsi Banten No.2 Tahun 2022—yang menyebutkan bahwa pengisian jabatan kepala Desa Adat dilaksanakan sesuai hukum adat (melalui musyawarah)–dikhawatirkan masyarakat tidak dapat berpartisipasi aktif dalam forum tersebut.
Pentingnya Kolaborasi Multipihak di Level Kampung
Pengajuan Desa Adat oleh masyarakat desa secara tidak langsung membuat Generasi Muda Adat perlu mengambil posisi. Generasi Muda Adat yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang terpinggirkan sebenanrnya memiliki pemikiran dan pendapat untuk kemajuan kampungnya. Salah satunya terkait peralihan status desa menjadi Desa Adat ini. Untuk menyikapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sehubungan dengan peralihan ini, perlu adanya kolaborasi dari berbagai pihak termasuk Generasi Muda Adat dan kokolot (tetua adat).
Kolaborasi ini menjadi bentuk harmonisasi antara Generasi Muda Adat dan kokolot untuk mensinergikan tujuan yang berkaitan dengan Desa Adat. Namun di sisi lain, Generasi Muda Adat perlu lebih mendorong diri untuk lebih memahami adat mereka, agar lebih dapat memahami persoalan yang terjadi di tempat tinggal mereka secara mendalam. Karena dengan menguatnya akar pengetahuan lokalnya, Generasi Muda Adat akan mampu menyikapi persoalan yang terjadi dengan konteks lokalitas mereka.
Untuk itu perlu adanya ruang-ruang bagi Generasi Muda Adat untuk berpartisipasi aktif dalam menyuarakan pandangan dan pendapatnya mengenai peralihan desa menjadi Desa Adat ini. Karena sudah saatnya anggapan Generasi Muda Adat tidak berpengalaman dan berpengetahuan digantikan dengan Generasi Muda Adat yang lebih berdaya. Dengan adanya forum ini sebetulnya cukup membuktikan bagaimana Generasi Muda Adat dapat berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan, dalam menentukan arah kedepannya. Tercatat hingga bulan Februari 2023, sudah ada 14 desa di wilayah Lebak, yang mengusungkan perubahan status desa ke ke desa adat.
Daftar Pustaka
RMI. (2022). Catatan Rapat KAWAL Cibarani. Bogor: unpublished.
INSISTPress. (2017). Wacana: Jurnal Transformasi Sosial. Dinamika Hak Adat dan Desa Adat di Lebak dalam Pelaksanaan Undang Undang Desa.
Peraturan Daerah Provinsi Banten, Nomor. 02 Tahun 2022 Tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat
Undang-undang Nomor. 06 Tahun 2014 Tentang Desa
Undang-undang Nomor. 05 Tahun 1979 Tentang Pemerintah Desa
Penulis: Dinah Ridadiyanah
Editor: Supriadi