Bencana Longsor dan Banjir besar yang terjadi di Jabodetabek dan Banten, dan Jawa Barat menjadi peringatan untuk kita semua – abainya manusia terhadap lingkungan demi memuaskan keinginan atas egonya dalam menguasai dan mengesktrasi sumber daya alam, serta penguasaan besar-besaran atas lingkungan bisa berdampak begitu besar. Bencana ini tidak hanya mengorbankan banyak jiwa, tetapi juga menyebabkan debat panjang antara satu pihak ke pihak lainnya yang saling menyalahkan satu sama lain.
Foto: RMI
Sampah yang menumpuk dan menyumbat banyak saluran aliran air menjadi tersangka utama dari hadirnya banjir kemarin di sekitaran Jabodetabek dan Banten, meskipun banyak aspek terabaikan yang lebih krusial untuk ditunjuk sebagai faktor lain yang mengakibatkan banjir, seperti; pengelolaan limbah yang tidak efektif, TPA yang masih menjadi primadona, AMDAL yang dipertanyakan keabsahannya, ketidakseimbangan rasio antara pembangunan infrastruktur dengan ruang terbuka, dan pengacuhan terhadap perubahan iklim yang meski lamban, tapi sedang terjadi dengan pasti.
Slogan membuang sampah pada tempatnya masih saja menjadi pedoman usum yang kemudian melanggengkan manusia untuk membuang sampah di tempat sampah yang kemudian hanya akan teronggok sunyi bagaikan bom waktu di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Padahal, kalau mau sedikit mengorek seperti apa kondisi TPA di banyak tempat di Indonesia, kondisinya sungguh sangat memprihatinkan.
Rasanya masih sangat lekat dalam ingatan mengenai bencana longsor di TPA Leuwigajah, Bandung pada 21 Februari 2005 saat 157 jiwa melayang dan dua kampung terpaksa dihapus dari peta karena lenyap ditelan sampah. Depok yang terendam banjir hampir seatap rumah di awal Januari tahun ini pun disebabkan oleh longsoran TPA Cipayung Depok yang digiring oleh hujan ke kali pesanggrahan hingga membuat aliran kali pesanggrahan tersumbat dan menenggelamkan rumah warga. Jika mau diurutkan, masih banyak sekali bencana yang dibawa oleh TPA.
Faktor lain soal pembangunan infrastruktur yang begitu masif beberapa tahun belakangan, hingga menimbulkan kepincangan keseimbangan dengan ruang terbuka di banyak area rasanya juga menarik untuk dicermati.
Bahwa infrastruktur berdampak besar untuk menunjang kehidupan dan penghidupan manusia dalam menjalankan kesehariannya, itu sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri, namun pembangunan infrastruktur yang dilangsungkan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekologi maka tentunya akan menjadi senjata yang justru membungkam ruang hidup manusia akibat bencana yang ditimbulkan setelahnya.
Belum lagi jika kita menyoal permasalahan di mana bumi kita telah dieksploitasi habis-habisan demi terpuaskannya nafsu hedonisme manusia. Longsor besar-besaran juga terjadi di 17 titik di Kabupaten Bogor Barat pada awal Januari ini, hingga menyebabkan sebanyak 1,527 jiwa terpaksa tinggal dan menyambung hidup di area pengungsian. Perusahaan tambang besar telah lama menggali perut bumi di area ini untuk mengambil logam-logam alam yang terkandung di dalamnya. Tidak hanya itu, penambang-penambang liar pun juga sudah sejak lama bergerilya di sini, bersikutan dengan penambang raksasa di sana. Bisa dibayangkan, betapa kopongnya perut bumi di area tersebut. Jadi setelah kerakusan kita dalam mengambil isi perut bumi, apakah masih pantas menganggap semua bencana ini azab semata?
Terlalu banyak akar mengular yang harus diurai untuk mengentaskan permasalahan bencana banjir ini, dan bukan dalam waktu sehari dua hari, seminggu dua minggu, bahkan setahun dua tahun. Tidak guna pula saling mencaci dan mencari salah siapa.
Bertepatan dengan hari Lingkungan Hidup Indonesia yang jatuh di setiap tanggal 10 Januari setiap tahunnya, mari kita semua mengulur tangan saja dahulu untuk mengangkat mereka yang sudah terlanjur terjerembab dalam bencana, kemudian bersama-sama kita hentikan aksi yang selalu menyakiti bumi kita ini, sehingga bersama-sama pula kita dapat mencapai harmoni yang seimbang antara manusia dan alam.
Hubungan antara manusia dan lingkungan tidak bisa dihindarkan, namun perlu juga dipahami, bahwa derajat manusia tidaklah lebih tinggi dari lingkungan disekitarnya, yang kemudian, seolah-olah memperbolehkan manusia memperkosa lingkungan demi keberlangsungan kepuasan manusia yang kemudian justru merampas ruang hidup. Hukum di Indonesia melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak manusia pada aspek lingkungan, pendidikan, pangan, kesehatan, dan keselamatan. Namun di sisi lain, pelanggaran hak-hak atas lingkungan masih terjadi hingga saat ini, menciptakan ancaman yang besar bagi peradaban manusia.
Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa “lingkungan yang baik dan sehat adalah hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;” tetapi ironisnya, kerusakan lingkungan yang telah terjadi di Indonesia, meskipun mungkin tampak “alamiah”, sebenarnya adalah kerusakan sistematis, yang berarti bahwa kerusakan ini dapat dicegah. Ambil contoh tanah longsor; kurangnya pohon menyebabkan tanah menjadi lebih lemah karena air yang berlebihan disimpan di akar pohon, deforestasi adalah salah satu penyebab terus berkurangnya jumlah tutupan pohon. Contoh lain adalah banjir; proyek infrastruktur dapat menghambat saluran pembuangan air juga menyebabkan penurunan lahan (3-18 cm per tahun jika kita berbicara tentang Jakarta). Ini hanya beberapa contoh bencana “alam”. Bayangkan berapa banyak bencana alam lainnya yang tidak terekspos di media, yang sesungguhnya diciptakan oleh manusianya sendiri.
Ambil contoh perjuangan sembilan perempuan petani di Kendeng pada tahun 2016, di mana mereka menolak keras pembangunan PT Semen Indonesia di wilayah hidup mereka, terutama karena keprihatinan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh operasi pembangunan pabrik semen tersebut. Lokasi tersebut diketahui memiliki mata air dan merupakan lumbung pangan bagi masyarakat sekitar yang berladang, bertani, dan memiliki sumber penghidupan dari sumber daya alam di sana. Akibat dari penggalian pabrik semen tersebut membuat banyak daerah di sekitarnya kekeringan. Perampasan hak atas tanah ini sering terjadi atas nama pembangunan. Emil Salim, ahli Ekonom senior Indonesia dan mantan Politikus, menyatakan bahwa “politisi ditahan sebagai sandera oleh pemilik bisnis besar”. Pada diskusi yang berlangsung di Jakarta pada 3 Desember 2019, ia menceritakan sebuah fakta bahwa investor menggunakan politisi ini sebagai “tangan” mereka untuk merebut tanah dan sumber daya alam rakyat.
Perjuangan perempuan Kendeng mempertahankan kelestarian lingkungan di wilayahnya menunjukkan betapa bergantungnya manusia kepada lingkungan. Permasalahan lingkungan di Kendeng ini sebenarnya adalah permasalahan yang dapat dicegah karena bukan merupakan masalah lingkungan yang terjadi secara alamiah. Melindungi hak atas lingkungan dan ruang hidup berarti melindungi hak asasi manusia untuk hidup. Melanggar ha katas lingkungan dan ruang hidup berarti melanggar hak asasi manusia untuk hidup. Sangat penting untuk mendengar langsung dari mereka yang mengalami pelanggaran HAM ini, karena ketika perempuan diberi ruang untuk berpartisipasi, mereka akan dapat memutuskan hal-hal yang dapat mempengaruhi mereka dalam memastikan lingkungan yang layak untuk ditinggali; bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk masyarakat lebih luas.
Alm. Nia Ramdhaniaty dianugerahi penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai salah satu Tokoh Perhutanan Sosial (HutSos) 2019. Sejak tahun 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menganugerahkan penghargaan bagi para tokoh HutSos yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dalam berbagai kategori. Tahun 2019 ini, Imam Hanafi mewakili almarhumah menerima penghargaan tersebut yang diserahkan langsung oleh Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, dan Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam gelaran Festival PESONA yang diselenggarakan oleh KLHK.
Nia, panggilan akrabnya, adalah sosok yang memiliki perhatian besar terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan gender dan nasib masyarakat marjinal, khususnya perempuan non-elit. Perhatian besar tersebut dijawantahkan lewat pengalamannya yang panjang berinteraksi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat marjinal pedesaan sejak pertama kali bergabung dengan RMI pada 2002.
Sadar akan kondisi masyarakat marjinal yang tinggal di dan sekitar hutan serta jauh dari pemenuhan hak-haknya, Nia melakukan sejumlah upaya demi terciptanya pemenuhan hak-hak mereka. Bersama Koalisi Hutan Adat dan masyarakat Kasepuhan Karang, Nia berperan dalam upaya mendorong pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Karang sejak 2013 hingga akhirnya mendapat pengakuan pada 30 Desember 2016. Saat itu, hampir semua pihak meragukan bahwa wilayah hutan konservasi di Pulau Jawa dapat memperoleh pengakuan hutan adat sehingga status kepemilikannya dikembalikan pada masyarakat adat.
Berbagai strategi dilakukan dalam kurun waktu 2013-2016, diantaranya melakukan riset tentang Masyarakat Adat dan Hutan Adat Kasepuhan Karang, pemetaan partisipatif, pengorganisasian masyarakat secara intensif termasuk penguatan kelompok perempuan melalui Sekolah Lapang Perempuan yang dilakukan secara berseri.
Bersamaan dengan hal tersebut, bersama tim di RMI, SABAKI dan jaringan organisasi sipil lainnya, Nia memimpin upaya pengesahan Perda Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kasepuhan No 8/2015 serta mendinamisasi proses tersebut dengan organisasi-organisasi mitra RMI dan Pemda Kabupaten Lebak.
Pengusulan pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Karang pertama kali dilakukan pada bulan Oktober 2015 di Jakarta dan diterima langsung oleh Dirjen PSKL saat itu, yaitu Bapak Dr. Hadi Daryanto, sebelum Perda Kasepuhan lahir pada November 2015. Walaupun Hutan Adat Kasepuhan Karang sudah dikunjungi oleh Dirjen PSKL dan tim dari KLHK menindaklanjuti pengusulan tersebut, namun, pengakuan dalam bentuk SK tak kunjung didapat. Karenanya, sepanjang tahun, Nia terus memimpin proses advokasi dalam bentuk audiensi terus dilakukan kepada KLHK, bersama masyarakat adat Kasepuhan Karang. Pengusulan pengakuan hutan adat pun diulang pada bulan Oktober 2016, hingga akhirnya diakui pada Desember 2016.
Dalam rentang waktu 3 bulan tersebut, Nia terus terlibat dalam upaya advokasi, misalnya memandu konferensi pers terkait proses pengakuan hutan adat yang belum juga ada kejelasan untuk memfasilitasi 4 komunitas adat yang telah mengusulkan penetapan hutan adat mereka, yaitu Kasepuhan Karang, Marga Serampas, Ammatoa Kajang dan Wana Posangke pada 5 Desember 2016. Hasilnya, Hutan Adat Kasepuhan Karang menjadi salah satu hutan adat pertama yang diakui oleh Negara, dan menjadi representasi satu-satunya dari Hutan Adat yang berada di Pulau Jawa dengan fungsi konservasi.
Pasca pengakuan tersebut, Nia melanjutkan riset lebih spesifik untuk melihat dampak dari pengakuan hutan adat bagi komunitas adat Kasepuhan Karang, khususnya bagi pihak-pihak marjinal yaitu perempuan (non-elit) yang umumnya tidak memiliki lahan sendiri. Riset ini merupakan penelitian dalam proyek tesis Magisternya, yang dia selesaikan pada tahun 2018. Di samping itu, melalui riset yang dilakukan RMI bersama organisasi lain yang tergabung dalam Koalisi Hutan Adat yaitu HuMA, Yayasan Merah Putih, Qbar, Lembaga Bela Banoa Talino, Bantaya dan AMAN Sulawesi Selatan, Nia memimpin riset tersebut untuk mempelajari proses yang dilalui oleh 7 komunitas adat dalam tahap pra dan paska pengakuan hutan adat pada 2017-2018. Salah satu bagian riset ini juga melihat peran dan manfaat yang diterima oleh pihak-pihak marjinal dalam komunitas adat dalam perjuangan mendapatkan pengakuan atas hutan adatnya, yaitu perempuan dan generasi muda. Salah satu rekomendasi dari riset ini adalah penyediaan peta indikatif hutan adat yang disampaikan pada 27 Desember 2018.
Pada 21 September 2019, keluarga besar RMI kehilangan saudara, kakak, guru, sekaligus sahabat yang kami sayangi, Alm. Nia Ramdhaniaty. Namun, tidak sedikitpun hasil kerja keras dan dedikasinya kemudian bisa termakan oleh waktu, pun tanpa keberadaan fisiknya di sini. Nia Ramdhaniaty (Alm) terpilih menjadi salah satu Tokoh Penggerak Perhutanan Sosial Level Pendamping Tapak tahun 2019.
“Ini kali kedua dilakukan penilaian untuk toko-tokoh dan akan terus dilakukan, karena dengan ketokohan dengan role play, kita langsung menyaksikan, mengalami dan mengambil mencontoh dari apa itu praktek hutan sosial, yang bisa di dalami lebih jauh makna dan keterlibatan kesehariannya”, Hal tersebut diuangkapkan oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam arahannya usai memberikan piagam kepada para tokoh Hutan Sosial.
Pemilihan tokoh penggerak ini digagas oleh masyarakat, yang kemudian diperkuat melalui kegiatan verifikasi lapangan. Tim Juri menyepakati untuk Penerima Apresiasi Tokoh Hutan Sosial 2019 diberikan kepada 9 (sembilan) Tokoh Hutan Sosial, dan 4 (empat) Tokoh Penggerak (level kebijakan), 4 (empat) Tokoh Penggerak Level Pendamping Tapak dan 3 (tiga) Tokoh Penggerak Level Microfinance.
Sebuah gagasan dari Pelapor Khusus PBB membawa sebuah skema kerjasama antara RMI dan Terre Des Homme Jerman untuk menyelenggarakan pertemuan konsultasi yang melibatkan generasi muda dan anak-anak dari 11 Negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, sebagai upaya dalam Memajukan Hak Anak Atas Lingkungan yang Sehat. RMI sendiri sudah sejak 2004 memiliki fokus khusus untuk melihat keterkaitan antara isu (hak) anak dengan (kesehatan) lingkungan—dan terus berkembang hingga melihat bahwa isu-isu hilangnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria sebagai bagian yang membawa dampak pada tumbuh kembang generasi muda. RMI dan Terre des Hommes Germany sendiri telah bermitra sejak tahun 2004 tersebut.
Konsultasi ini adalah momen di mana generasi muda bisa menyuarakan aspirasinya mangenai apa yang mereka butuhkan agar data tumbuh di lingkungan yang sehat, yang menjadi faktor penting dalam tumbuh-kembang generasi muda, baik fisik maupun psikologis. Konsultasi tidak dilakukan terhadap orang-orang dewasa, melainkan kepada generasi muda. Event konsultasi ini bertujuan untuk menangkap aspirasi, pendapat, pandangan anak-anak muda usia 8-24 tahun tentang situasi lingkungan yang mereka hadapi.
Di sini, para generasi muda duduk bersama para ahli yang merupakan penggiat isu hak Anak, akademisi, penggiat lingkungan, dan paralegal dari Inggris, Australia, Malaysia, Jepang, Philippine dan tentunya Indonesia. Upaya konsultasi ini merupakan bagian dari konsultasi dunia untuk mendapatkan informasi dari seluruh region, hingga akhirnya nanti dapat disampaikan dalam Sidang Umum PBB pada tahun 2021 di New York, Amerika Serikat. Upaya ini dilakukan untuk mendorong PBB mengeluarkan rekomendasi yang mengikat negara-negara anggotanya untuk melindungi anak-anak dan memenuhi hak mereka untuk dapat tumbuh kembang dalam kondisi lingkungan yang sehat.
Para anggota Relawan 4 Life RMI, Nafisa dan Niza berperan aktif di dalam forum ini. Nafisa berbagi tentang betapa ia sangat tersentuh dengan keanekaragaman peserta dari berbagai negara, “Rangkaian acaranya seru dan semua orang yang terlibat baik dan ramah, tetapi di sisi lain saya juga merasa sedih ketika lebih mengetahui/berdiskusi mengenai permasalahan yg sedang dialami oleh anak muda terkait kerusakan lingkungan”, ujarnya dengan sungguh-sungguh. Nafisa juga menyampaikan harapannya setelah mengikuti kegiatan ini, bahwa di masa mendatang, anak muda akan lebih paham terhadap isu lingkungan, dan komunitas nasional maupun internasional akan dapat melakukan aksi nyata yang dapat memberikan dampak besar terhadap hak anak atas lingkungan yang sehat.
Sementara itu, seorang pemudi dari masyarakat adat Karen di Thailand menyatakan situasi komunitasnya yang memprihatinkan akibat aktivitas pertambangan yang telah berdampak secara kesehatan kepada anak-anak, misalnya kelainan lahir hingga gagal janin. “Orang dewasa selalu berkata bahwa generasi muda adalah masa depan, tapi mereka tidak membiarkan kita tumbuh dalam lingkungan yang sehat,” ujarnya.
Pertemuan konsultasi ini diadakan di Sentul, Bogor pada 22-23 Oktober 2019, di mana satu hari sebelumnya, pada 21 Oktober 2019, semua peserta yang didominasi oleh anak-anak dan remaja berkumpul untuk mendapatkan briefing dan pemantapan untuk mengikuti acara konsultasi tersebut.
Pada 24 Oktober 2019, hasil rekomendasi dan temuan di konsultasi tersebut dikemukakan di depan pemerintah Indonesia dalam sebuah diskusi panel bertajuk Mempromosikan Hak Anak Atas Lingkungan Sehat. Acara diskusi ini bertempat dan diselenggarakan bersama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan dihadiri pula oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang duduk juga di kursi panelis bersama KLHK, WALHI, dan RMI. RMI dan Terre Des Hommes juga menggandeng UNICEF untuk turut berperan aktif sebagai moderator dalam acara diskusi panel tersebut.
Dalam presentasinya, Mardha Tillah selaku Direktur Eksekutif RMI mengangkat isu hak anak dari hal paling sederhana yang menjadi bagian penting dalam kehidupan anak-anak yaitu bermain. Tilla, panggilannya, menyatakan bahwa anak berhak untuk dapat bermain di tempat yang aman dari zat-zat kimia yang membahayakan mereka, juga marabahaya yang mengancam mereka secara jiwa. Dia merujuk pada kasus-kasus kematian anak saat bermain di lokasi dekat bekas lubang tambang yang tidak direhabilitasi dengan baik di Kalimantan, misalnya. Namun lebih dari itu, Tilla menggarisbawahi tentang situasi-situasi masyarakat, termasuk masyarakat adat, yang kehilangan tanah atau kehilangan akses akan tanah karena adanya pembangunan skala besar, “yang jelas membuat anak-anak tidak dapat bermain dengan aman, atau bahkan untuk dapat bermain di wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah milik komunitas mereka”.
Sari Ramadhanti, salah satu anggota R4L yang hadir dalam diskusi panel tersebut juga mengemukakan pentingnya forum semacam ini, karena ini bisa menjadi media untuk menyuarakan aspirasi mereka sebagai generasi muda dalam memperjuangkan haknya atas lingkungan yang sehat. Dhanti berharap acara ini bisa dilanjutkan di level nasional, karena tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan yang tidak sehat merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Dhanti berharap harus ada kebijakan yang tegas dari pemerintah untuk menjaga lingkungan yang sehat, dan bisa melibatkan pihak akademisi dan mahasiswi/a untuk berperan aktif dalam menyelenggarakan acara semacam ini.
Sementara koordinator Relawan 4 Life RMI, Nadyati Farzin yang juga duduk di kursi panelis sebagai perwakilan generasi muda yang mengikuti acara tersebut menutup dengan memberi pesan kepada kita semua “if many little people in many little places, do many little efforts, then we can change the world for our future.” Sebuah pesan sederhana bermakna kuat yang menegaskan bahwa sebuah perubahan besar bisa terwujud dari sebuah langkah kecil.
Pentingnya generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan untuk memahami dan menyelami isu social dan lingkungan, serta bagaimana gerakan kerelawanan dalam mendukung kedua hal tersebut dirasa perlu bagi RMI untuk mencetak calon pemimpin sensitive gender yang bisa menciptakan perubahan yang berkeadilan sosial. Karena itu, sejak 2016 RMI rutin mengadakan kegiatan Short Course atau Kursus Singkat seputar isu social dan lingkungan.
Hingga saat ini, Short Course RMI sudah menelurkan 40 alumni dari dua tahun angkatan. Pada tahun ini, Short Course RMI kembali diadakan pada 27-29 September 2019, di Bogor, dengan tema besar “Gerakan Kerelawanan Lingkungan untuk Perubahan Sosial.” Short course kali ini diikuti oleh mahasiswa dari berbagai universitas, mulai dari Universitas IPB, Universitas Pakuan, Universitas Indonesia, dan tidak menutup juga untuk mereka yang tidak duduk di bangku pendidikan tinggi formal. Selama 3 hari berkegiatan bersama; 20 peserta short course ini mempelajari isu-isu lingkungan sosial dan lingkungan, serta keterhubungan antar berbagai isu dan konteks yang melatarbelakanginya, serta bagaimana peran integral pemudi/a untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada saat ini.
Apa yang Kita Pelajari?
Materi short course ini disusun secara sistematis sehingga memudahkan peserta untuk menemukan benang merah yang mengikat tiap materi yang disampaikan sehingga menjadi satu pemahaman utuh. Pada hari pertama—setelah diawali dengan sesi perkenalan dengan metode Appreciative Inquiry—secara berkelompok, peserta diajak mengidentifikasi “Isu-isu Lingkungan Populer” melalui potongan-potongan gambar dari surat kabar yang telah disediakan lalu mempresentasikan pemikirannya.
Setelah memahami bahwa satu permasalahan lingkungan ternyata tidak benar-benar berdiri sendiri, peserta lalu mendapatkan materi yang tidak kalah menarik yaitu “Pengenalan Konsep Jender.” Materi sesi ini banyak diisi dengan tugas dan diskusi kelompok, misalnya merinci gambaran laki-laki dan perempuan ideal. Dalam rangka menguatkan pemahaman bahwa konsep jender sangat erat kaitannya dengan konstruksi sosial dan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat, short course hari pertama ditutup dengan memaknai sebuah klip pendek menggugah tentang peran jender di tengah masyarakat, yang dipublikasikan oleh United Nation berjudul Impossible Dream.
Hari kedua short course, peserta diajak menguji bias-bias implisit yang tertanam dalam benak masing-masing. “Apa yang terlintas dalam pikiran kalian ketika mendengar kata: perempuan, laki-laki, gay, lesbi, anak-anak, Orang Papua, pemerintah, LSM, keturunan Cina?” merupakan pertanyaan utama di sesi awal ini. Setelah merinci dan mereview tiap stereotif yang peserta miliki, pemateri rupanya menghubungkannya dengan materi “Kepemimpinan.” Dipaparkan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin, diperlukan kualitas diri (nilai, sikap dan keterampilan) calon pemimpin yang sensitif terhadap berbagai bias-biasa yang ada di masyarakat karena itu memengaruhi keputusan yang akan diambil. Secara berturut-turut materi yang kemudian disampaikan membahas “Ekologi Politis”, “Kemiskinan Struktural dan Kebijakan Pembangunan”, dan “Gerakan Kerelawanan untuk Perubahan Sosial.”
Peserta diajak untuk mengurai benang-benang semerawut yang melingkupi kompleksnya pengelolaan sumber daya alam (PSDA) di Indonesia. Masalah PSDA saat ini tidak dapat dipisahkan dari konteks kesejarahannya (masa kolonial) yang kerap menjadi akar timbulnya konflik antara masyarakat dengan negara. Kebijakan PSDA yang diskriminatif terhadap masyarakat marjinal memicu lahirnya sistem yang melanggengkan semangat kolonialisme terhadap warga negara. Di titik ini peserta lalu menyadari bahwa masyarakat miskin, sebagai salah satu masalah yang ditimbulkan dari kompleksnya PSDA di Indonesia, bukan semata-mata hadir karena anggapan bahwa mereka malas atau bodoh; namun karena adanya sistem/tata pemerintahan yang memangkas kesempatan masyarakat marjinal untuk berkembang. Pembangunan manusia (human development) adalah salah satu area pembangunan yang dapat didorong untuk perlahan-lahan mengikis permasalahan tersebut. Dalam hal ini pemuda pun dapat ikut ambil bagian dengan cara menginisiasi atau tergabung dalam kegiatan kerelawanan.
Sedangkan pada hari ketiga kegiatan short course Angkatan 3, dijelaskan materi “Etika Lingkungan.” Di sini pemateri menyebutkan bahwa pada hakikatnya setiap mahkluk hidup, tidak hanya manusia, memiliki hak untuk hidup dan kondisinya perlu dipertimbangkan ketika mengambil suatu keputusan. Berbagai paradigma yang dipresentasikan menyadarkan peserta bahwa selama ini kita menganut paradigma anthropocentrism—manusia adalah pusat kehidupan, logika manusia adalah hal yang paling utama.
Metode Penyampaian yang Inovatif
Materi-materi yang disampaikan selama short course dapat terserap optimal oleh peserta karena adanya metode penyampaian materi yang sangat inovatif. Diskusi kelompok, permainan, tugas individu, dan sesi team building merupakan beberapa metode yang kerap peserta dapatkan selama 3 hari berkegiatan bersama. Kombinasi metode penyampaian materi antara ceramah/presentasi pemateri dengan aktivitas individu maupun kelompok menjadi salah satu kekuatan sekaligus keunikan short course dibandingkan kegiatan lain yang serupa. Partisipasi aktif peserta juga terfasilitasi melalui sesi tanya jawab maupun presentasi kelompok.
Pemapar dan fasilitator benar-benar memahami cara mengemas materi yang terkesan berat dengan metode penyampaian yang sederhana, salah satunya permainan “Minta dong!” dalam materi “Kemiskinan dan Kebijakan Struktural.” Awalnya peserta mengira bahwa salah satu materi yang akan disampaikan di hari kedua ini akan membahas teori-teori kemiskinan juga hukum/kebijakan yang relevan dengannya. Namun pemateri meminta komitmen seluruh peserta untuk bermain “Minta dong!” dari awal sampai akhir. Jadi tidak ada peserta yang diperbolehkan berhenti di tengah-tengah permainan ini. Setiap peserta masing-masing mendapat 2 biji jagung, 2 biji kacang hijau, 2 biji kopi, dan 2 biji kacang kedelai. Setiap satu biji kopi bernilai 20 poin, jagung 10 poin, kacang kedelai 5 poin, dan kacang hijau 2 poin. Peserta diminta untuk melakukan barter biji-bijian tersebut dengan peserta lainnya dengan menyebutkan kata “Minta dong!”. Setiap berakhirnya ronde barter, poin dari tiap-tiap biji dihitung dan dijumlahkan. Hingga ronde barter kelima atau ronde terakhir, apabila jumlah poin biji-bijian peserta kurang dari 80 maka peserta tersebut mendapat hukuman makan malam dengan nasi putih dan garam saja.
Permainan ini diluar dugaan peserta karena berhasil mendekatkan konteks kemiskinan kepada peserta. Dalam masyarakat ada orang-orang yang dianggap ‘kalah’ dan kesempatannya untuk berkembang lebih minim dibanding mereka yang memiliki sumber daya kapital lebih banyak. Orang-orang yang dianggap ‘kalah’ tersebut dicap sebagai orang miskin dengan berbagai kriteria/standar nasional maupun internasional yang telah ditetapkan. Tidak pernah diperhatikan kondisi masyarakat yang memang terbiasa hidup subsisten. Menilik kembali kondisi masyarakat banyak diantara mereka yang cukup hidup dengan bercocok tanam dan mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari dengan mengelola SDA. Intervensi pihak luar melalui program dan kebijakan yang ditujukan untuk ‘menolong’ orang-orang ini pun kadang tidak dilandasi dengan kajian dan perencanaan yang tepat. Dalam permainan “Minta dong!” misalnya ditunjukkan bahwa bantuan pemerintah kadang tidak tepat saran karena diberikan kepada orang-orang yang lebih mampu.
Refleksi dari permainana ini antara lain perubahan sistem, cara pandang melihat orang-orang yang dicap miskin, serta penyesuaian kriteria ‘orang miskin’ memang perlu dilakukan. Tapi hal terbut bukan satu-satunya cara. Melihat kerentanan program atau kebijakan yang disusun oleh pemerintah lebih berorientasi pada output, maka kontribusi Civil Society Organization menjadi vital karena mereka memiliki potensi dalam merancang program pemberdayaan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan berorientasi pada perubahan perilaku (behavioural change) masyarakat.
Akhirnya, rangkaian kegiatan short course ditutup dengan penyampaian testimoni dari peserta kegiatan. Ini juga merupakan salah satu bagian yang paling mengesankan karena tiap peserta berkesempatan mengutarakan rencana mereka ke depan setelah mengikuti kegiatan short course. Ada peserta yang ingin menjelaskan materi yang didapatkan selama short course kepada teman-temannya, mengembangkan projek organisasi kampusnya berdasarkan materi dan metode pelatihan yang didapat, maupun akan secara mandiri mendalami kembali materi-materi yang telah diperoleh. Melihat antusiasme peserta setelah mengikuti short course, diharapkan kebermanfaatan kegiatan ini dapat meluas dan lebih banyak pemuda yang tergerak untuk melakukan perubahan di lingkungannya dengan cara mereka masing-masing.
Penulis: Supriadi
Editor: Dinda Tungga Dewi
Silakan klik link berikut untuk melihat tanggapan peserta mengenai kegiatan Kursus Singkat ini.
Pada Kamis, 4 September 2019, RMI berpartisipasi dalam Asia-Pacific Climate Week (APCW) yang diselenggrakan pada 2-6 September 2019 di Bangkok. Melalui presentasi yang berjudul “Indonesia’s Customary Forests: Indigenous People’s Fundamental Role to Build Climate Resilient and a Long Struggle over Cultural Identity”, RMI menyampaikan bahwa traditional ecological knowledge (pengetahuan ekologis tradisional) atau kearifan lokal masyarakat adat sebenarnya menjadi kunci bagi perlindungan lahan, hutan, sungai, serta sumber daya alam lainnya. Masyarakat adat berkontribusi dalam pelestarian hutan dan lahan-lahan yang paling dilindungi serta menahan lepasnya emisi karbon ke atmosfer. Penetapan hutan adat selain menyumbang capaian target NDC (Nationally Determined Contribution) nasional juga berarti memberikan akses bagi masyarakat adat di Indonesia untuk secara legal mengelola hutannya secara berkelanjutan dan mengakui keberadaan masyarakat adat tersebut beserta seluruh identitas kulturalnya yang lekat dengan alam.
Dalam kesempatan ini disampaikan juga bahwa penetapan hutan adat bukanlah satu-satunya tujuan akhir, sebab masyarakat adat harus mampu mengelola hutan adatnya secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil riset pra dan paska penetapan hutan adat yang dilakukan oleh RMI atas dukungan FAO, diketahui bahwa kelompok perempuan dan pemuda adat masih minim keterlibatannya dalam pengelolaan hutan adat tersebut. Selain kurangnya kesempatan dan minimnya ruang partisipasi yang diberikan, kapasitas perempuan dan generasi muda adat untuk mengelola hutan adatnya ini pun masih terbatas. Atas dasar itulah RMI memfasilitasi berbagai pelatihan yang partisipatif dan inklusif–melibatkan perempuan dan pemuda–bagi masyarakat adat supaya meningkat kapasitasnya dalam hal manajemen komunitas maupun hutan adatnya. Secara spesifik RMI juga membuka peluang bagi pemuda untuk membangun konektivitas dengan sesama pemuda adat maupun pemuda desa dan kota. Jejaring antarpemuda ini dapat terbentuk salah satunya karena adanya kerja sama RMI dengan OROL (Our River Our Live)–kampanye biodiversitas sungai dan kesehatan lingkungan se-Asia Tenggara.
Selain diskusi panel serta dialog tematik; APCW juga menyelenggarakan kegiatan Knowledge Corner, Action Hub, dan Side Event yang memberikan kesempatan bagi para stakeholder untuk menyampaikan aksi/inisiatif iklim yang dilakukan di negaranya masing-masing. Secara umum keseluruhan kegiatan APCW ini membahas transisi energi, transisi industri, solusi berbasis alam, aksi lokal dan perkotaan, serta resiliensi dan adaptasi sebagai sektor-sektor utama penerapan inovasi berbasis iklim.
APCW dapat menjadi wadah untuk mengembangkan aksi iklim multi-stakeholder yang sesuai dengan semangat Dialog Talanoa pada tahun 2018 lalu. Dialog tersebut menggagas kerja sama dan diskusi yang bersifat partisipatif, inklusif, dan transparan. Oleh karena itu APCW menyediakan ruang bagi para stakeholder (perwakilan pemerintah, sektor privat/swasta, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan institusi internasional) untuk berkumpul dan bersama-sama merumuskan rekomendasi demi pencapaian target netralitas iklim di tahun 2050.
Acara ini diorganisir oleh UN ESCAP (United Nations Economic and Social Commission for Asia Pacific) bersama organisasi internasional lainnya seperti UNCC (United Nations Climate Change), IGES (Institute for Global Environmental Strategies).