Green Camp: Media Memperkuat Generasi Muda Pengusung Perubahan Sosial dan Lingkungan

Ada yang berbeda dengan suasana di Kampung Ciwaluh, Kecamatan Cigombong, Jawa Barat siang itu, Jumat 19 Juli 2019. Riuh rendah tertawa renyah dari puluhan remaja dari berbagai kota dan desa dari 10 kabupaten/kota secara mengalir mengisi kesyahduan kampung yang terletak di wilayah paling Selatan Kabupaten Bogor, dimana salah satu hulu Sungai Cisadane berada. Sambil berkenalan satu sama lain, mereka membicarakan hal-hal yang mereka lihat selama berjalan kaki menuju lokasi acara. Sawah, ladang, pepohonan, bergantian dengan sungai, setelah sebelumnya juga terlihat pemandangan tambang pasir di beberapa titik, serta wilayah yang sedang dibangun menjadi salah satu wilayah hiburan terbesar di Asia Tenggara.

Memasuki wilayah Kampung Ciwaluh, satu per satu remaja berusia 16-25 tahun itu berjalan di pematang sawah dan memenuhi lapangan rumput yang dihiasi tanaman liar khas hutan. Satu demi satu tiba di lokasi lapangan ini hingga berjumlah 67 orang membentuk formasi melingkar. Mereka antusias mengikuti acara Green Camp yang diadakan oleh Relawan 4 Life dan RMI.

Selama tiga hari, anak-anak muda ini berkumpul, berbagi pengalaman dan belajar dari masyarakat Kampung Ciwaluh dan Cipeucang dan narasumber dari berbagai institusi, termasuk dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan dari tetua kampung. Mengusung tema “Reduce, Reuse, Refuse”, Green Camp kali ini mengajak peserta untuk memahami situasi agraria dan lingkungan dari wilayah hulu, untuk mulai memahami governansi ruang yang ada di Indonesia, sambil juga belajar pengetahuan dan ketrampilan yang lebih praktis terkait isu sampah yang menjadi momok baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Mereka juga mengembangkan keterampilan mengolah sampah melalui metode pembuatan ecobrick dan cara mengubah sampah menjadi media tanam.

Selain itu, anak-anak muda ini diajak untuk lebih tajam mengenal dan belajar menganalisa situasi lingkungan dan sosial melalui metode keliling kampung dan berbincang dengan masyarakat setempat guna mendapat informasi melalui metode observasi yang mendalam. Mereka membentuk kepercayaan dirinya untuk berbicara di depan umum untuk mempertanggungjawabkan temuan mereka, serta memperkaya khasanahnya soal kehidupan masyarakat hutan dan menyentuhkan diri dengan isu seputar kehidupan masyarakat hutan yang sehari-sehari bersinggungan dengan ekosistem hutan.

Tema “Reduce, Reuse, Refuse” dipilih, selain karena sampah merupakan isu universal yang dihadapi hampir seluruh wilayah di Indonesia, juga karena adanya kebutuhan masyarakat Kampung Ciwaluh dan Cipeucang yang sedang mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat yang dikelola pemuda setempat, dimana pengelolaan sampah menjadi salah satu komponen di dalamnya. Program ekowisata saat ini menjadi salah satu pintu masuk masyarakat Ciwaluh-Cipeucang untuk mendapatkan akses legal dalam skema Kemitraan Konservasi ke wilayah-wilayah wisata dan garapan mereka yang kini berada di bawah kelola TNGGP.

Green Camp ini adalah Green Camp ke-6 yang digelar oleh RMI sejak 2011. Namun, sejak 2015, kegiatan ini telah dikelola oleh platform relawan dan fasilitator lingkungan muda bernama Relawan for Life (R4L) sebagai upaya pemberdayaan generasi muda dalam isu lingkungan dan agraria. Fasilitator kegiatan ini adalah anak-anak muda yang pernah menjadi peserta Green Camp pada tahun-tahun sebelumnya. Upaya regenerasi fasilitator terus dilakukan melalui kegiatan Green Camp ini.

Sejak pelaksanaannya pertama kali, Green Camp diadakan untuk menyediakan ruang bagi generasi muda perkotaan dan perdesaan, termasuk bagi anak muda dari komunitas adat untuk saling belajar, mendulang pengetahuan dari situasi ekosistem dan agraria di wilayah dimana Green Camp diadakan. Terbilang, 5 lokasi telah menjadi tempat dimana Green Camp ini diadakan, yaitu di wilayah hutan produksi di Kabupaten Bogor dan di wilayah kampung yang berada di lanskap yang juga memiliki fungsi konservasi yaitu Taman Nasional Gede Pangrango (di Ciwaluh, Kabupaten Bogor, Jawa Barat), Taman Nasional Halimun Salak (di wilayah adat Kasepuhan Karang, Desa Jagaraksa, Kabupaten Lebak, Banten) serta Taman Nasional Bukit Dua Belas (di wilayah adat Orang Rimba, Kabupaten Merangin, Jambi).

RMI menyadari bahwa generasi muda memiliki kemampuan untuk mengalirkan energinya dalam mengembangkan pengetahuan hingga dapat diubah menjadi aksi nyata untuk mengusung perubahan. Sayangnya, seringkali mereka tidak tersentuh oleh berbagai gerakan dan informasi yang memampukan mereka untuk dapat menjadi bagian dari warga negara, melalui pengetahuan yang mengekspos mereka pada situasi nyata di masyarakat, yang juga terkait dengan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alamnya. Ketiadaan medium belajar ini terlihat lebih nyata di wilayah perdesaan. 

Terkait hal tersebut, Green Camp diadakan untuk mengasah kepedulian dan sensitivitas anak-anak muda ini terkait isu lingkungan dan sosial yang menjadi komponen penting dalam kehidupan bernegara. Pertemuan antara anak-anak muda perdesaan dan perkotaan ini juga diadakan untuk membangun solidaritas di antara mereka. Selanjutnya, pengetahuan, ketrampilan dan solidaritas yang terbangun diarahkan untuk menjadikan mereka sebagai generasi yang memiliki kepedulian lingkungan dan sosial.

Green Camp telah menjadi sebuah ruang yang berhasil dibawakan dengan cara yang dekat dengan alam, menyatu dengan situasi nyata yang dihadapi masyarakat, untuk mentransfer ilmu dan melatih ketrampilan. Tanpa meja, kursi, dan tanpa kekakuan orang dewasa yang biasanya sudah mahfum dengan birokrasi rumit dan rutinitas menjemukan. Tercatat lebih dari 400 orang telah mengikuti Green Camp. Beberapa orang yang pernah mengikuti Green Camp pada tahun-tahun sebelumnya menyatakan pembelajaran dalam event ini sangat mengena dan membekas.

Fithar, salah satu peserta Green Camp 2019 dari komunitas Groupertri yang sudah dua kali bergabung mengatakan bahwa ia mendapatkan banyak hal, lebih dari pengetahuan dan keterampilan sejak ikut Green Camp pertama kali di tahun 2017, karena itu ia menantikan Green Camp berikutnya dan merasa senang bisa ikut kembali. “Dari Green Camp saya jadi tahu banyak isu soal sosial dan lingkungan, dan menambah banyak teman baru juga”, ujarnya dengan sorot mata yang bersemangat dan penuh energi.

Fadlu, salah satu peserta Green Camp dari komunitas Teens Go Green yang kini sedang berkuliah di salah satu universitas di Depok menyampaikan antusiasmenya untuk mengikuti kegiatan ini pertama kalinya. Yang awalnya ia terdorong untuk mengetahui lebih dalam tentang hubungan antara kehidupan kota dan kehidupan desa, ternyata di Green Camp ini

Fadlu justru mendapatkan lebih jauh dari yang ia bayangkan. “Di Green Camp ini saya jadi lebih tahu tentang dampak sampah terhadap lingkungan, dan jadi tau mengenai alternative pengolahan sampah yang berkelanjutan. Selain itu, saya ingin sekali mengenal situasi masyarakat di pedesaan Jawa Barat, dan membandingkan dengan situasi saya yang besar di wilayah pedesaan di Pagar Alam, Sumatera Selatan”.
 

Green camp kali ini diikuti oleh komunitas pemuda dari berbagai kalangan pemudi dan pemuda yang selama ini aktif berjejaring dengan RMI, mulai dari Jaringan River Watch Group, Jaringan Suara Muda Nusantara, Teens Go Green, Dispora, pemuda dari Desa Cibarani, Desa Wates Jaya, Kabupaten Lebak, Desa Sindanglaya, Kebupaten Bogor, dan masyarakat umum dari DKI Jakarta, Depok, dan Bekasi.

 

Penulis: Dinda Tungga Dewi

Editor : Mardha Tillah
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Perempuan dan Sumber Daya Alam

Pada 21 April setiap tahunnya, Indonesia memperingati Hari Kartini. Hari besar ini dirayakan bersamaan dengan hari kelahiran seorang pahlawan nasional perempuan bernama R.A. Kartini dari Rembang, Jawa Tengah. Ia dikenal sebagai sosok yang aktif menyuarakan emansipasi kaum perempuan di masa di mana perempuan mengalami represi atas hak, terutama hak untuk mengeyam pendidikan. Kartini kemudian ingin perempuan memiliki kebebasan menuntut ilmu dengan belajar, dan langkah untuk mencapai keinginannya adalah melalui pendidikan. Dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara dan setelah menikah, dia mendirikan lagi sekolah di Rembang. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya.

Keinginan untuk membuat sekolah yang bisa menampung murid perempuan atau siswi yang lebih banyak dan memperluas jumlah murid yang berasal dari golongan bawah menjadi ambisi yang ingin ia wujudkan. Sekolah yang dibangun tanpa memungut bayaran kepada siswanya itupun berhasil dibangun, dana apa yang Kartini inisiasikan kemudian diikuti oleh perempuan lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di daerah merea masing-masing, seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon. Tekad kuat Kartini tidak serta merta terjadi tanpa keberanian yang dinilai melebihi perempuan-perempuan lain pada zamannya. Demi mewujudkan ambisinya tersebut, Kartini pernah bertukar surat dengan pemerintah Hindia Belanda.

Perjuangan perempuan seperti Kartini saat ini masih bisa kita jumpai di Indonesia. Ketika perempuan yang “dikonstruksi” bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan pangan keluarga, tetapi di saat yang sama, ruang hidup mereka terampas, maka seketika itu pula daya juang perempuan akan terlihat. Salah satunya adalah perjuangan perempuan adat yang berada di Kasepuhan Banten Kidul. Menurut riset Tutur Perempuan Adat yang dilakukan oleh RMI pada tahun 2017 mengatakan bahwa ditengah ketidakadilan penguasaan ruang yang terjadi saat ini perempuanlah yang lebih sering ke sawah, karena laki-laki di desa harus pergi ke lubang tambang atau jadi pekerja berat seperti kuli bangungan, kuli kayu dan lain-lain. Perjuangan perempuan adat kasepuhan ini juga didorong oleh meningkatnya kebutuhan hidup, sehingga tidak hanya ke sawah yang mereka lakukan tetapi juga ikut bantu yang laki-laki di lubang tambang, menjadi buruh tani di sawah orang lain, dan pekerjaan sampingan yang lain.

Perempuan adat kasepuhan juga tangguh karena mereka dapat mengerjakan banyak hal, bahkan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki di tempat lain. Selain berperan di ranah domestik, perempuan adat juga menjalankan peran yang cukup signifikan dalam pertanian dan tata kelola tanah, seperti mencangkul, membabat atau bahkan memanggul hasil pare ke penggilingan.

Hal itu membuat perempuan adat memiliki pengetahuan lebih tentang berbagai macam hal, seperti jenis padi, obat-obatan tradisional, dan pemilihan bibit yang tepat. Perempuan adat lebih mengetahui bagaimana cara penentuan waktu dalam bercocok tanam di huma maupun di sawah. Penanaman itu mengacu pada konsep Guru Mangsa yang berarti berguru pada alam semesta untuk mengetahui kapan boleh melakukan kegiatan pertanian atau dan kapan waktu yang tidak tepat.

Selain perempuan Kasepuhan Banten Kidul, perempuan Nagari Alam Pauh Duo, Solok Selatan, Sumatera Barat juga  berjuang untuk ikut memenuhi kebutuhan sehari-hari (pangan dan air) dan dalam upaya menghasilkan nilai ekonomi. Dalam skema pengelolaan sumber daya alam, perempuan Nagari Alam Pauh Duo juga memiliki peranan penting dalam usaha tani dan pengelolaan produksi hasil hutan non kayu dan bahkan perempuan menjadi mayoritas sebagai petani, baik buruh tani maupun bertani di ladang milik sendiri. Perempuan Nagari Alam Pauh Duo berperan dalam usaha penyiapan lahan untuk siap tanam, penebaran bibit tanaman, mengontrol pemberian pupuk, air dan penghilangan hama hingga pada proses pemasaran di pasar tradisional maupun menjualnya kepada kerabat terdekat. Selain itu, dalam usaha produksi hasil hutan non kayu, perempuan banyak terlibat dalam budidaya tanaman rempah-rempah seperti kayu manis, gambir yang menjadi komoditi khas dari Nagari Alam Pauh Duo, atau buah jeruk. (Women Research Insitute, 2016)

Dua penjabaran diatas sejalan dengan yang disampaikan Surono dan Wirotoahwa perempuan memiliki posisi penting dalam pertanian. Perempuanlah yang bertugas memelihara dan menyimpan benih. Di banyak negara berkembang di dunia, kebanyakan petani adalah perempuan. Negara-negara ini adalah produsen makanan pokok seperti jagung, beras, gandum dan lainnya. Di Asia Tenggara, perempuan melakukan 90% proses produksi bahan pangan pokok, dan lebih besar lagi pada bahan pangan tambahan  seperti buah-buahan dan sayur-sayuran. Di Asia dan Afrika, petani perempuan bekerja 13 jam lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Tidak hanya petani perempuan yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan ditengah ketidakadilan penguasaan ruang, perempuan nelayan di Kalimantan Barat juga mengalami hal yang serupa. Perempuan nelayan memiliki peranan yang sangat penting dalam rumah tangga nelayan, baik sebagai nelayan, maupun istri nelayan. Menurut data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) tahun 2014, ada 48% dari pendapatan keluarga nelayan merupakan hasil dari perempuan nelayan. Sedikitnya 56 juta orang terlibat dalam aktivitas perikanan.  Aktivitas ini mulai dari penangkapan, pengolahan, sa (Surono Indro, 2006)mpai dengan pemasaran hasil tangkapan. Dari jumlah itu, 70 persen atau sekitar 39 juta orang adalah perempuan nelayan. (KIARA, 2014).

Masih banyak kelompok-kelompok perempuan lain yang berjuang memenuhi kebutuhan hidup melalui sumber daya alamnya ditengah ketidakadilan penguasaan ruang yang terjadi. Meskipun begitu, perempuanlah yang paling mengenal sumber daya alam sekitar mereka. Melalui pengetahuan dan pengalamannya, perempuan patut diperhitungkan untuk mengendalikan proses pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Sumber:

Nuhamidah, N. F. (2017). Tutur Perempuan Adat: Kisah Perjuangan Hidup Perempuan Kasepuhan di Kabupaten Lebak Dari Masa ke Masa. Bogor: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment.

KIARA. (2014, Mei 28). Nasib Perempuan Nelayan. Dipetik April 20, 2019, dari www.kiara.or.id: https://www.kiara.or.id/nasib-perempuan-nelayan/

Surono Indro, dan Wiroto. (2006). Kedaulatan Pangan; Perjuangan Rakyat Dalam Mewujudkan Hak Pangan. Bogor: KRKP.

Women Research Insitute. (2016, Januari). Pengelolaan Sumber Daya Alam & Dampaknya Pada Kehidupan Perempuan di Solok Selatan. Dipetik April 20, 2019, dari www.wri.or.id: https://www.wri.or.id/attachments/article/688/Factsheet_Dampak%20Konsesi%20Hutan%20terhadap%20Perempuan%20di%20Solok%20Selatan.pdf

 

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor : Dinda Tungga Dewi

 

Field Visit Kasepuhan Karang: Exchange Learning on the Struggle of Indigenous Peoples in Obtaining and Managing Customary Forest

LEBAK- Sixteen participants consisting of activists; indigenous young leaders; observers of Indigenous Peoples issues, natural resource management, and environmental justice from 15 countries together with local communities, learn and exchange knowledge as a form of support to the management of customary forests by Kasepuhan Karang in Jagaraksa Village, Lebak Regency, Banten on September 21-23 2018. Kasepuhan Karang Customary Forest was …

Field Visit Kasepuhan Karang: Pertukaran Pembelajaran mengenai Perjuangan Masyarakat Adat Memperoleh dan Mengelola Hutan Adat

LEBAK- Enam belas peserta yang terdiri dari aktivis; pemimpin muda adat; pemerhati isu masyarakat adat, pengelolaan sumber daya alam, dan keadilan lingkungan dari 15 negara bersama-sama dengan masyarakat lokal, belajar dan saling bertukar pengetahuan mendukung pengelolaan hutan adat oleh Kasepuhan Karang di Desa Jagaraksa, Kabupaten Lebak, Banten pada tanggal 21-23 September 2018. Hutan adat Kasepuhan Karang dipilih sebagai lokasi kunjungan …

BANDUNG DECLARATION 2018 – UNITED FOR LAND RIGHTS, PEACE AND JUSTICE

Adopted by the ILC 2018 Assembly of Members 1. We, Members of the International Land Coalition (ILC), on the 27th of September 2018, gathered in Bandung, Indonesia, for our Assembly of Members, following the Global Land Forum (GLF) under the kind hosting of the Government of the Republic of Indonesia and the Global Land Forum National Organizing Committee. We represent …