Masyarakat Baduy dan Tantangannya: Seba Bukan Hanya Sekadar Perayaan Rutin Tahunan.

Seba adalah proses ritual Masyarakat Adat Baduy untuk menyampaikan amanat puun (Ketua Adat) kepada pemerintah Kabupaten dan Provinsi sesuai dengan filosofi mereka “Ngasuh Ratu Ngayak Menak” yang artinya mengasuh dan membimbing pemimpin sebagai bagian dari tugas Baduy. Masyarakat Baduy juga membawa hasil bumi sebagai oleh-oleh/buah tangan pada saat Seba. Ritual ini telah dilakukan oleh Masyarakat Adat Baduy selama ratusan tahun, karena dengan ritual ini Masyarakat Adat Baduy, atau yang menyebut diri mereka dengan Urang Kanekes, membuktikan bahwa mereka patuh dan menghormati hukum negara, sesuai dengan prinsip hidup mereka yaitu nyanghulu ka hukum nyanghunjar ka nagara. Selain itu, Seba juga sebagai momen untuk menunjukan eksistensi sekaligus silaturahmi dengan pemerintah setempat. 

Ritual Seba Baduy 2024 dilaksanakan pada Jum’at, 17 Mei 2024 di Pendopo Pemerintah Kabupaten Lebak. Beberapa hari sebelum ritual, Masyarakat Adat Baduy akan mengumpulkan hasil bumi yang telah mereka panen dalam setahun terakhir, kemudian dikumpulkan di halaman rumah Jaro (Kepala Desa) di Baduy Luar. Pada hari pelaksanaannya waktu pagi hari rombongan Masyarakat Adat Baduy Dalam berjalan kaki menuju kantor Pemda Lebak. Di siang harinya masyarakat berbondong-bondong membawa hasil bumi yang sudah terkumpul ke truk yang sudah disiapkan. Lalu dilanjutkan dengan rombongan Masyarakat Adat Baduy Luar yang menggunakan transportasi (elf/mobil) menuju ke pemerintah setempat. Menurut Jaro ada 1.500an Masyarakat Baduy yang ikut dalam rombongan Seba tahun ini. 

Ada hal yang berbeda Seba tahun 2024 dengan Seba tahun-tahun sebelumnya. Tahun-tahun sebelumnya Masyarakat Adat Baduy akan berdialog dengan pemda Lebak untuk menyampaikan laporan kondisi warga, hasil panen, dan keamanan wilayah. Seba tahun ini, Masyarakat Adat Baduy hanya babacakan (makan bersama) dengan Pemda Lebak. 

Pada Sabtu, 18 Mei 2024, rombongan Masyarakat Adat Baduy melanjutkan perjalanan ke Pemprov Banten. Saat berdialog dengan Pemprov Banten, mengutip dari laman Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), Pejabat Gubernur Banten, Al Muktabar, menitipkan anak-anak di Baduy jangan sampai terkena stunting. Apabila memerlukan dukungan, Pemprov Banten siap hadir.

Hak Masyarakat Adat Baduy Yang Belum Terpenuhi 

Masyarakat Adat Baduy adalah kelompok minoritas yang memiliki berbagai tantangan dalam kehidupan bernegara. Meskipun Seba dilakukan tiap tahun, dan setiap tahun juga Masyarakat Adat Baduy juga bertemu dengan pemerintah setempat yang membuat kebijakan dan mempengaruhi kehidupan mereka, semua ini bukan berarti hak mereka telah dipenuhi. 

Ada dua hak  Masyarakat Adat Baduy yang belum dipenuhi, salah satunya adalah hak-hak administrasi kependudukan, dan hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 pasal 58 ayat (2) huruf H yang mengatur perihal data dan dokumen kependudukan yang terdiri dari data perseorangan dan salah satunya adalah “agama/kepercayaan”. 

Ketika awal tahun 2019 pemerintah mengeluarkan KTP-el baru bagi penganut kepercayaan. Di kolom agama KTP-el tersebut penganut kepercayaan akan ditulis ‘Kepercayaan’. Padahal, Masyarakat Adat Baduy adalah kelompok minoritas yang memiliki agama sendiri yaitu Sunda Wiwitan. Pengakuan agama Sunda Wiwitan ini tidak hanya memenuhi hak dasar Masyarakat Baduy sebagai warga negara namun juga mendorong inklusivitas sosial bagi mereka.

Terlebih, tidak semua warga Baduy sepakat dengan isian format kolom agama ‘Kepercayaan’ tersebut. Muncul pendapat yang tegas dari berbagai kalangan Masyarakat Baduy supaya tetap agama Sunda Wiwitan yang dicantumkan dalam KTP-el karena agama tersebut sudah diwariskan turun temurun (“Kolom Agama KTP Warga Baduy Diisi Penganut Kepercayaan”, 2019). Dapat diduga bahwa munculnya keberatan tersebut adalah karena pada hakikatnya Sunda Wiwitan bukan sekedar aspek kepercayaan yang berdiri sendiri. Sunda Wiwitan bagi warga Baduy adalah identitas kultural (cultural identity) yang seiring pengakuannya juga berarti mengukuhkan hak-hak kultural (cultural rights) Masyarakat Adat Baduy itu sendiri (Dinamika Pemenuhan Hak Administrasi Kependudukan Baduy dan Preferensi Dicantumkannya ‘Sunda Wiwitan’ Dalam Kolom Agama Ktp Elektronik (Ktp-El), 2019).  

Hak yang belum dipenuhi lainnya adalah lahan untuk ngahuma (berladang) warga Baduy. Seiring pertumbuhan populasi warga Baduy dan pembatasan wilayah adat sejak 2001, lahan yang dikelola oleh warga Baduy semakin menyempit. Karena konon jumlah penduduk Baduy saat ini ini diperkirakan mencapai ± 26.000 jiwa, tetapi Baduy masih mendiami wilayah ulayat seluas 5.101,8 Ha. Wilayah tersebut terbagi ke dalam beberapa bagian berdasarkan pikukuh yaitu hutan lindung atau yang mereka sebut sebagai leuweung tutupan (secara literal berarti hutan tutupan) seluas 3.000 Ha dan sisanya adalah pemukiman dan areal pertanian. 

Seperti kita ketahui, Masyarakat Adat Baduy sendiri terbagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar, dan mereka memiliki tata penguasaan lahan yang berbeda. Pada kelompok Baduy Dalam, penguasaan lahan (khususnya lahan garapan) dikendalikan oleh pemimpin adat dan didistribusikan kepada keluarga-keluarga dalam kelompok. Begitu pula untuk lahan pemukiman, penambahan bangunan di Baduy Dalam harus melalui persetujuan pemimpin adat. Sedangkan, pada kelompok Baduy Luar, penguasaan lahan (termasuk lahan pemukiman) telah berada di tangan keluarga dan konsep pewarisan telah dikenal dan dipraktikkan (RMI, 2018). 

Dapat dibayangkan bagaimana dengan sistem pewarisan ini setiap waktunya kepemilikan lahan tiap kepala keluarga kelompok Baduy Luar akan semakin kecil karena populasi yang terus bertambah. Sementara itu, menurut adat, masyarakat Baduy Dalam hanya boleh mengelola lahan di wilayah Baduy Dalam. 

Titipan Pemerintah dan Hak Masyarakat Adat Baduy

Pemerintah Provinsi Banten saat Seba Baduy menitipkan ke warga Baduy agar tidak ada lagi anak yang mengalami stunting di kelompoknya, mengingat banyaknya penderita stunting di wilayahnya. 

Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya yang berada di bawah standar.  Menurut data Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, tahun 2023 terjadi penurunan angka jumlah stunting, yang sebelumnya 4.618 orang menjadi 3.682 orang yang menderita stunting. Sedangkan berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2023, angka stunting nasional mencapai 21,6%, sedangkan angka stunting Kabupaten Lebak berdasarkan data (SSGI) sebesar 26,2%. Tidak ada angka pasti berapa yang menderita stunting di Baduy, baik Baduy dalam maupun Baduy Luar. Sulitnya akses untuk ke seluruh kampung menjadi salah satu tantangannya. 

Meskipun begitu, stunting di Baduy juga memiliki beberapa faktor penyebab. Seperti kurangnya akses lahan yang bisa dikelola, pembangunan pariwisata yang masif, dan akses pasar yang sangat dekat, serta tidak diiringi dengan peningkatan pengetahuan tentang konsumsi makanan beragam untuk memenuhi gizi seimbang. Sehingga menyebabkan warga Baduy lebih sering mengkonsumsi makanan dari luar, yang melalui ultra proses, lebih banyak mengandung gula dan bahan sintetis. 

Selain itu, masih banyak anggota masyarakat Baduy belum memiliki KTP-el sehingga tidak mendapatkan pelayanan/bantuan dasar dari pemerintah. Kemudian, permasalahan laju pertumbuhan penduduk, perkawinan usia dini dan serta perkawinan saudara, dalam masyarakat Baduy juga harus diatasi untuk menjawab tantangan. 

Pendampingan intensif di lapangan melalui pendidikan alternatif yang memperkuat kearifan dan pengetahuan lokal dapat dilakukan untuk ini. Pengetahuan yang telah ada dalam masyarakat Baduy sendiri, termasuk pengetahuan lokal mereka terkait kontrol populasi, disandingkan dengan berbagai fenomena yang mereka temui dalam interaksi mereka dengan pihak-pihak di luar masyarakat Baduy. 

Sehingga Seba bukan hanya jadi rutinitas tiap tahun untuk bersilaturahmi dengan pemerintah, tetapi menjadi moment untuk menunjukan eksistensi Masyarakat Adat Baduy sesungguhnya secara keseluruhan.

Penulis: Siti Marfu’ah

Mendorong Peran Perempuan Melalui Pelatihan Koperasi: Menuju Kedaulatan Ekonomi Lokal

Gambar 1. Para Peserta Pelatihan sedang Mengerjakan Tugas Kelompok

Partisipasi aktif perempuan dalam pengembangan ekonomi lokal telah menjadi fokus utama Program Estungkara-Inklusi yang melibatkan tiga Kasepuhan di Lebak, Banten. Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Pasir Eurih, dan Kasepuhan Cibarani menjadi peserta yang ikut dalam Program Pelatihan Koperasi yang bertujuan untuk memperkuat peran perempuan dalam ranah peningkatan ekonomi. Kegiatan pelatihan  dan studi banding ini dilaksanakan pada tanggal 07-08 Mei 2024 di Jakarta dan studi banding ke Koperasi Lentera Benteng Jaya di Kota Tangerang. Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW) Jakarta melalui program Estungkara-Inklusi didukung oleh Kemitraan-Partnership.

Peserta pelatihan terdiri dari perwakilan kelompok sebanyak 12 orang, dengan masing-masing kelompok mengirimkan 4 orang perwakilan. Peserta yang hadir terdiri dari 4 orang dari kelompok Lodong Cibarani (2 Perempuan, 2 pemuda), 3 Orang dari Sancang-Cirompang (2 Orang perempuan, 1 laki-laki), dan 5 orang dari Canoli (4 orang perempuan, 1 laki-laki). Tujuan utama dari kegiatan pelatihan dan studi banding ini adalah memberikan pendidikan dasar perkoperasian kepada kelompok ekonomi perempuan di Kasepuhan yang sedang menjalankan usaha kelompok mereka. Melalui serangkaian kegiatan yang mencakup pembelajaran tentang filosofi, konsep, dan kelembagaan koperasi, peserta juga memiliki kesempatan untuk terlibat dalam dialog serta mengunjungi langsung salah satu koperasi yang telah berjalan di Koperasi Lentera Benteng Jaya, Kota Tangerang. 

Gambar 2. Ibu Tri Endang Sulistiyowati dari PPSW Jakarta sedang memberikan pemaparan materi

Di hari pertama peserta diberikan peningkatan kapasitas oleh Ibu Tri Endang Sulistiyowati dari PPSW Jakarta yang selama ini aktif melakukan pendampingan di beberapa koperasi di Jakarta. Ibu Tri mulai membuka sesi materi dengan menyampaikan filosofi koperasi yang di dalamnya tentang urgensi berkelompok dan kenapa harus koperasi. Peserta diajak memahami apa pentingnya berkelompok. Dalam materi ini, Ibu Tri menjelaskan beberapa prinsip dalam membangun koperasi, yaitu, (1) bentuknya harus kolektif, (2) menjadikan alat demokratisasi ekonomi, artinya tidak ada penguasaan yang berlebihan oleh salah satu orang atau pihak, dan (3) harus menekankan pada swadaya kemandirian keberlanjutan. Sejalan dengan itu, pemilihan koperasi sebagai model pengelolaan yang relevan di masyarakat Kasepuhan tidaklah kebetulan. Koperasi, dengan nilai-nilai gotong royong dan kekeluargaan yang kuat, dianggap sebagai pilihan yang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya yang ada di lingkungan tersebut. Melalui pendekatan ini, diharapkan para peserta dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana menerapkan konsep-konsep koperasi dalam mengembangkan usaha kelompok mereka secara efektif dan berkelanjutan.

Gambar 3. Para Peserta sedang mengerjakan tugas kelompok di sesi materi penguatan manajemen kelompok

Masih di hari pertama pelatihan, materi berikutnya yaitu materi ke-2 dengan pembahasan penguatan manajemen kelompok yang tetap disampaikan oleh Ibu Tri. Isi materinya berupa tanggung jawab anggota dan pengurus kelompok. Ibu Tri merinci tentang bagaimana proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara bersama, hingga menyusun peraturan kelompok. Di materi ini, peserta diajak belajar apa bagaimana tanggung jawab anggota dan pengurus kelompok melalui identifikasi dan pembagian tugas-tugas antara pengurus dan anggota kelompok mulai dari tugas ketua, sekretaris, bendahara dan tanggung jawab anggota. Di bagian akhir materi ini, peserta diberikan pemahaman bagaimana prinsip dalam proses pengambilan keputusan di kelompok hingga memahami aturan-aturan yang dibuat secara bersama dalam kelompok yang mengatur tentang anggota, pengurus, tugas-tugas dan sumber pendanaan/iuran. 

Sementara, penyampaian materi untuk hari ke-2 masih disampaikan oleh Ibu Tri. Materi pertama yang disampaikan oleh Ibu Tri adalah Penguatan Kepemimpinan. Dalam materi ini, Ibu Tri memaparkan tentang apa itu pemimpin, siapa itu, dan memahami gaya kepemimpinan serta memahami tipe orang yang dipimpin. Di sesi ini peserta diajak belajar memahami secara teori apa itu pemimpin. Belajar membedakan apa itu pemimpin dan Kepemimpinan. Beberapa poin pentingnya antara lain pemimpin adalah orang yang memimpin kelompok dua orang atau lebih, sedangkan kepimpinan adalah proses mempengaruhi antar orang dengan menggunakan komunikasi yang terarah untuk mencapai tujuan. Pemimpin fokus kepada orangnya, sedangkan kepemimpinan adalah fokus terhadap proses mempengaruhi antar orang atau pribadi dengan komunikasi yang terarah untuk mencapai tujuan. Di materi ini, peserta diajari bagaimana mengenali gaya kepemimpinan yang menurutnya dengan memulai mengenali tipe-tipe anggota di antaranya ada 4 tipe anggota yaitu 1) Tidak mau dan tidak mampu, 2) Mau tapi tidak mampu, 3) Tidak mau tapi mampu, dan 4) mau dan mampu. Keempat tipe ini akan berlaku dan ada di setiap kelompok. Maka ini akan menentukan bagaimana seharusnya pemimpin dalam memimpin suatu kelompok. Selanjutnya peserta diajak memahami gaya kepemimpinan yang menurutnya ada empat gaya kepemimpinan di antaranya 1) Memerintah, 2) Mengajak, 3) Melibatkan dan 4) Melimpahkan atau mendelegasikan. Gaya ini akan disesuaikan penerapannya pada anggota sesuai tipenya masing-masing.

Gambar 4. Para Peserta sedang mengunjungi (studi banding) di Koperasi Lentera Benteng Jaya, salah satu koperasi binaan PPSW di Kampung Cina Benteng, Kota Tangerang

Materi terakhir yang disampaikan dalam pelatihan dan studi banding ini adalah penjabaran tentang perkoperasian yang lebih terinci. Materi ini tetap disampaikan oleh Ibu Tri dan pada sesi materi ini para peserta diajak lebih dalam mengenal koperasi mulai dari sejarah, prinsip, dan nilai-nilai serta aturan main dalam koperasi. Setelah penyampaian materi ini, para peserta lalu diajak untuk studi banding dengan mengunjungi Koperasi Lentera Benteng Jaya, salah satu koperasi binaan PPSW yang terletak di Tangerang. Koperasi ini beranggotakan perempuan komunitas Cina Benteng. Beberapa prestasi yang telah ditorehkan koperasi ini mulai dari tingkat kelurahan hingga provinsi. Dalam sambutannya, Ibu Tyas Widya Anggraini, selaku ketua koperasi menceritakan sekelumit tentang masa lalunya yang buruk hingga perubahan dalam dirinya sejak terlibat di pendirian koperasi yang didampingi oleh PPSW.  Dahulunya, Ibu Tyas sering menghabiskan waktunya dengan kebiasaan berjudi hingga membuat kondisi ekonominya semakin tercekik dan terperosok. Namun, sejak hadirnya PPSW yang melakukan pengorganisasian di komunitas Cina Benteng, membuat perubahan signifikan dalam hidupnya. Ibu Tyas kemudian dipercaya untuk memimpin koperasi yang awalnya berjumlah 25 anggota kini sudah beranggotakan 800 orang yang bergabung.

Gambar 5. Ibu Tyas Widya Anggraini selaku ketua Koperasi Lentera Benteng Jaya sedang memberikan pemaparan tentang koperasi yang dia pimpin

Inisiatif semacam ini bukan hanya sekadar langkah menuju kesetaraan dalam perekonomian, tetapi juga merupakan investasi dalam kedaulatan ekonomi lokal. Dengan memberikan kesempatan dan dukungan yang lebih besar bagi perempuan untuk berperan aktif dalam pengembangan ekonomi, diharapkan akan terjadi transformasi positif yang dapat memberikan dampak jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat terutama bagi masyarakat adat di wilayah kasepuhan.

Gambar 6. Sesi foto bersama peserta Pelatihan Koperasi

Melalui kegiatan pelatihan dan studi banding ini, RMI menggandeng PPSW yang dijembatani oleh Kemitraan melalui program Estungkara untuk berkolaborasi dalam proses pengorganisasian perempuan dalam konteks pemberdayaan ekonomi melalui konsep koperasi. Hal ini dirasa cukup relevan dengan apa yang dilakukan RMI di komunitas terutama di masyarakat kasepuhan dalam mendorong kemandirian ekonomi terutama bagi kelompok perempuan. Kolaborasi dengan PPSW ini dilakukan sejak 2023 lalu melalui penyelenggaraan pelatihan ekonomi di kasepuhan yang menghadirkan PPSW dan komunitas dampingannya sebagai narasumber kegiatan. Kedepannya, kolaborasi dan kerjasama ini akan terus berlanjut dalam peningkatan kapasitas untuk memperkuat pemberdayaan ekonomi di masyarakat kasepuhan.

Penulis: Fauzan Adima

Editor: Renal Rinoza

Langkah Kolaboratif Pendokumentasian dan Pelestarian Keragaman Pangan Lokal Nusantara

Bincang-bincang Seputar Permasalahan Pangan Lokal, Tantangannya dan Kenapa Harus Didokumentasikan

Pada pekan keempat bulan Maret 2024, bertempat di sebuah restoran yang menyajikan pangan lokal khas NTT di bilangan Kemang, Jakarta Selatan diselenggarakan acara kegiatan peluncuran situs web Nusantarafoodbiodiversity.org.

Ide pembuatan situs web pendokumentasian pangan lokal ini diinisiasi oleh teman-teman KRKP, KEHATI, CIFOR-ICRAF, EKO NTT, dan Ahmad Arif, seorang wartawan Harian Kompas yang banyak menulis tentang isu pangan lokal di Nusantara. Inisiatif pendokumentasian keragaman pangan lokal ini muncul karena adanya keresahan bersama diantara sesama pegiat yang memang sudah lama berkecimpung di isu-isu pangan lokal dan  disamping itu mereka juga melihat adanya potensi yang luar biasa dari masa depan pangan lokal Indonesia.  

Gambar 1. Salah satu hasil pengidentifikasian tanaman di kebun dan hutan di kegiatan Pelatihan Pangan Lokal

Kegiatan peluncuran dashboard pangan lokal ini diawali dengan rangkaian sesi diskusi yang dipandu oleh Widya Hasian Situmeang dari KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan). Pada sesi diskusi ini menghadirkan empat orang pembicara, diantaranya adalah Said Abdullah dari KRKP, Mulia Nurhasan dari CIFOR-ICRAF, Imroatul Mukhlishoh dari KEHATI, dan Ahmad Arif dari Harian Kompas. Sesi diskusi ini juga mengundang perwakilan dari Pemerintah yaitu Rina Syawal, Direktur Penganekaragaman dan Konsumsi Pangan dari Badan Pangan Nasional (BAPANAS) sebagai penanggap diskusi. Sedangkan RMI sendiri hadir sebagai undangan dari kegiatan peluncuran situs web Nusantarafoodbiodiversity.org ini.

Kegiatan diskusi ini mengambil tema “Mulai dari lokal untuk berdaulat pangan”. Harapannya dari tema diskusi tersebut dapat menjadi langkah awal untuk setidaknya bisa menjawab kompleksitas tantangan krisis pangan dengan mengkampanyekan konsumsi pangan lokal. Pada hematnya, konsumsi pangan lokal cenderung lebih tahan terhadap guncangan iklim, dapat mengurangi emisi karbon, dan menjadi relevan mengingat Indonesia begitu kaya dengan sumber pangan yang beranekaragam baik dari segi jenis maupun keberlimpahannya. Dengan begitu, maka, pemanfaatan pangan lokal berbasis sumberdaya setempat sudah barang tentu berimplikasi pada tercapainya kedaulatan pangan di masing-masing komunitas masyarakat di Indonesia.

Gambar 2. Ahmad Arif (kiri) sedang memaparkan permasalahan pangan lokal di Tanah Air. Foto oleh: Tim dokumentasi KRKP.

Pembicara pertama yang berbagi pandangan dan pengalamannya adalah Ahmad Arif. Arif memulai dengan menceritakan kondisi yang ironis dari permasalahan keberagaman pangan lokal. Di satu sisi, cerita tentang keberagaman pangan yang luar biasa melimpah banyak dia temui di seantero wilayah Indonesia. Kedudukan pangan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal pedesaan selalu identik dan menjadi bagian yang paling penting dalam ritual-ritual karena memang begitulah pola hidup mereka yang notabene dibentuk oleh ketersediaan layanan alam termasuk sumber pangan yang mereka produksi dan konsumsi. Namun, di sisi yang lain, rupanya telah terjadi pergeseran pola konsumsi yang sangat tajam di masyarakat kampung dan ketidaktahuan terhadap pemanfaatan konsumsi pangan lokal.

Tentunya pergeseran dan ketidaktahuan ini membawa pada konsekuensi mulai pudarnya bahkan sampai hilangnya pengetahuan tentang cerita asal usul produksi dan konsumsi pangan lokal. Dalam kasus ini, Arif mencontohkan seperti yang terjadi di Flores, NTT. Di sana, cerita mengenai keberagaman pangan telah menjadi cerita masa lalu terutama bagi anak-anak muda saat ini. Banyak dari anak-anak muda di Flores tidak mau lagi mengkonsumsi jagung bosse sebagai sumber karbohidrat. Eksistensi jagung bosse telah digantikan dengan masifnya konsumsi nasi putih yang notabene berasal dari beras.

Sialnya, beras yang beredar di pasaran sebagian besar didatangkan dari luar pulau dan tentu saja masyarakat membeli beras itu di warung sembako. Parahnya lagi, tingkat ketergantungan terhadap beras yang sangat tinggi membuat masyarakat Flores seakan-akan mengalami ketiadaan pilihan-pilihan konsumsi pangan lain. Ditambah belakangan ini, harga beras mencapai rekor tertinggi dan risiko gagal panen padi di Pulau Flores akibat dampak El Nino semakin menyulitkan masyarakat memperoleh pasokan beras di sana. Akibatnya, situasi tersebut memunculkan permasalahan krisis pangan yang tidak boleh dianggap remeh.

Terkait permasalahan krisis iklim yang disinggung Arif ini, Imroatul Mukhlishoh, Asisten Program Agroekosistem Pertanian KEHATI, menandaskan bahwa varietas tanaman pangan lokal justru lebih tangguh terhadap dampak guncangan iklim. Selain tangguh, mulai dari proses produksi, rantai distribusi hingga konsumsinya pangan lokal lebih rendah emisi karbon. Potensi rendah emisi karbon inilah yang terbukti relevan untuk menjawab tantangan krisis perubahan iklim dewasa ini. Melihat dari potensi luar biasa pangan lokal dalam kompleksitas permasalahan krisis iklim ini, Mukhlishoh menekankan tentang pentingnya mendorong pemanfaatan dan pelestarian pangan lokal secara berkelanjutan.

Dalam hal ini, Arif menambahkan bahwa masyarakat Indonesia di masing-masing daerah memiliki kemampuan beradaptasi dengan budaya dan lingkungan spesifik. Di situlah letak pengetahuan dan teknologi mereka yang sebenarnya. Leluhur orang Indonesia sebenarnya sudah mewariskan segenap pengetahuannya kepada generasi penerus dalam mengolah sumber pangan. Pengalaman Arif berkeliling Indonesia membuktikan bahwa di masyarakat adat dan komunitas lokal adalah bagaimana cara mereka mulai dari mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan makanan telah menjadi pengetahuan yang paling berharga apalagi dihadapkan pada krisis perubahan iklim.

Selain kemampuannya yang tahan terhadap krisis perubahan iklim, pangan lokal dengan kekayaan biodiversitasnya mengandung keragaman komposisi gizi yang masing-masing memiliki keunikannya tersendiri. Mulia Nurhasan, Peneliti Pangan dan Gizi dari CIFOR-ICRAF, menjelaskan kepada para peserta diskusi bahwa permasalahan gizi di berbagai wilayah Indonesia itu bermacam-macam dan sangat lokal sehingga dibutuhkan penanganan yang juga lokal dan spesifik. Oleh karena itu, kekhasan pangan lokal di masing-masing tempat sebenarnya sudah mampu menangani permasalahan dan kebutuhan gizi masyarakat setempat.

Dalam pengamatan Nurhasan, selama ini permasalahan gizi seringkali hanya ditangani dengan pendekatan medis (medicalize approach) padahal itu bukanlah cara penanganan yang berkelanjutan. Baik pemerintah maupun masyarakat masih melihat permasalahan gizi mirip seperti penyakit yang segera dicarikan obatnya dan berharap dengan begitu masalah gizinya akan selesai. Misalnya dalam kasus tekes (stunting) yang melulu ditangani dengan pendekatan medis. Dalam kasus ini, Nurhasan mengajak agar kedepannya kita tidak bisa ketergantungan kepada solusi-solusi yang medicalize approach semata melainkan sudah seharusnya kita memberi karpet merah untuk solusi-solusi yang berkelanjutan—yang sumbernya berasal dari kekayaan pangan lokal Indonesia. Namun, tantangannya kini varietas pangan lokal kita sendiri sudah banyak yang hilang dan banyak pula dari kita semua sudah tidak mengkonsumsinya.

Berangkat dari keresahan atas permasalahan eksistensi pangan lokal tersebut, prakarsa pendokumentasian melalui sebuah dashboard di situs web menjadi langkah untuk menjaga dan melestarikan jenis-jenis dan pengetahuan tentang pangan lokal agar tidak punah. Harapannya dengan hadirnya dashboard ini, data yang terinput nantinya bisa dipakai menjadi basis argumentasi untuk mengadvokasi kebijakan. Dengan dua kata kunci: biodiversity dan locality diharapkan data di dashboard situs web ini akan menjadi pangkalan data (database) yang lengkap dan beragam untuk penyusunan kebijakan pangan yang lebih presisi dan sesuai dengan konteks lokalitasnya, tegas Said Abdullah dari KRKP dengan mantab.

Abdullah juga mengingatkan bahwa masalah intervensi kebijakan pangan lokal menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi kita semua dan bagaimana kebijakan dapat memperkuat itu dan tugas teman-teman di NGO memberi masukan dan bekerja secara kolaboratif dengan pemerintah. Apa yang Abdullah serukan, disambut oleh Rina Syawal, Direktur Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, BAPANAS (Badan Pangan Nasional), dengan menekankan bahwa berbagai inisiatif dari masyarakat yang muncul diharapkan dapat berkolaborasi dengan Pemerintah dalam merealisasikan mandat UU Pangan yang terkait dengan penganekaragaman pangan berbasis potensi pangan lokal.

Disamping itu, Arif menambahkan, dengan hadirnya dashboard ini dapat memetakan keberagaman pangan lokal di Indonesia dan mencatat mana saja yang masih eksis atau sudah lenyap. Dalam proses input data di dashboard ini, dikerjakan dengan pendekatan citizen science dan crowdsourcing yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam mendokumentasikan keanekaragaman pangan lokal di sekitar mereka dan cerita-cerita tentang pangan lokal bahkan yang keberadaannya sudah hilang sekalipun. Namun demikian, semangatnya adalah mengajak kita semua untuk berkontribusi bersama sehingga situs web ini bisa menjadi alat bersama yang bisa dipakai oleh siapa saja dan membangun kembali kebanggaan terhadap keberagaman pangan lokal yang ada di sekitar kita dan menjadi bagian budaya kita kembali, sergah Arif.

RMI dan Kerja-kerja Advokasi Pangan lokal

Mengingat betapa pentingnya eksistensi pangan lokal di kalangan masyarakat adat dan komunitas lokal di pedesaan, sebagai organisasi yang berfokus pada advokasi masyarakat adat di sekitar hutan, sejauh ini RMI sudah berkecimpung di dalam kerja-kerja menjaga dan melestarikan pangan lokal. Memang harus diakui bahwa saat ini telah terjadi pergeseran pola konsumsi yang masif di kalangan masyarakat adat. Ahmad Arif menyampaikan bukti-bukti yang menujukkan telah terjadinya pergeseran itu. Misalnya apa yang terjadi di masyarakat Baduy di Banten atau di Sumba, NTT.

Namun demikian, dalam amatan Arif ternyata masih ada peluang untuk bisa dimunculkan kembali. Senada dengan apa yang Arif katakan barusan, berdasarkan pengalaman RMI belakangan ini, kegairahan untuk melakukan kerja-kerja pendokumentasian pangan lokal juga semarak dilakukan oleh komunitas-komunitas mitra RMI. Misalnya kerja-kerja pendokumentasian dan penghidupan kembali marwah pangan lokal yang dilakukan oleh teman-teman Lakoat.Kujawas di Mollo, NTT; SimpaSio Institute di Larantuka, Flores; dan masyarakat kasepuhan di Lebak – Banten. Bahkan tidak hanya berhenti dalam menghidupkan pangan lokal tetapi juga meluas ke kegiatan pencarian berbagai jenis tumbuhan dari hutan adat yang bisa diolah menjadi jamu dan obat-obatan.

Kerja-kerja advokasi yang dilakukan oleh RMI yang berkolaborasi dengan Komunitas Pemuda Adat Cirompang (Kisancang) misalnya di Festival Pare Ketan yang diselenggarakan di bulan Oktober 2023 di Kasepuhan Cirompang – Lebak, di mana masyarakat kasepuhan Cirompang terutama kaum perempuan menjadi garda terdepan dalam menampilkan hasil olahan pangan lokal menjadi hidangan dan aneka panganan kue. Dampak positif dari festival tersebut adalah munculnya kesadaran dan rasa percaya diri terhadap pangan lokal mereka sendiri.

Disamping itu, keterlibatan RMI dalam advokasi pangan lokal secara serius dilakukan di Kasepuhan Cibedug melalui proyek penelitian Sistem Pangan Lokal yang bekerjasama dengan FAO di tahun 2019. Dalam proyek penelitian ini, RMI berfokus pada pendeskripsian aspek-aspek keberlanjutan dan resiliensi dari sistem pangan masyarakat Kasepuhan Cibedug dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim, masuknya input-input pertanian modern dan pengaruhnya terhadap sistem pangan tradisional, penurunan regenerasi petani, dan perubahan besar sejak wilayah kasepuhan masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) di tahun 1992.

Dari hasil temuan penelitian ini didapat bahwa sistem pangan masyarakat Kasepuhan Cibedug ternyata masih menunjukkan adanya tanda-tanda resiliensi, terutama kemampuannya dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim. Hal ini dibuktikan ketika terjadinya kekeringan di tahun 2019, di mana dampaknya tidak mempengaruhi ketersediaan pangan mereka lantaran disebabkan oleh masih kuatnya basis kemandirian pangan mereka dan masih minimnya ketergantungan pada pasokan pangan dari luar.

Pasokan pangan mereka diperoleh sebesar 50-60 persen dari hasil produksi pangan di lahan pertanian, 20 persen dari hutan, dan sisanya sekitar 20-30 persen dari pasar. Belum lagi dengan kebiasaan masyarakat Cibedug yang menyimpan padi di leuit (lumbung), pengumpulan pangan liar dari hutan, dan praktik mengawetkan pangan secara alami juga turut berkontribusi besar dalam menjaga ketahanan pangan dari terpaan guncangan iklim sehingga menjaga ketersediaan pangan mereka.

Namun demikian, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Cibedug adalah masuknya input-input pertanian modern seperti pupuk kimia, pestisida, dan mesin traktor yang didatangkan dari luar. Input-input pertanian modern ini berdampak pada penurunan kualitas kesuburan tanah. Penurunan kualitas kesuburan tanah ini mulai dikeluhkan oleh para petani. Untungnya, belakangan ini masyarakat Cibedug mulai memahami bahwa keputusan mereka menggunakan pupuk kimia dan mesin traktor mungkin merupakan keputusan yang keliru dan berakibat pada kualitas kesuburan tanah dalam jangka panjang.

Atas permasalahan tersebut, masyarakat Cibedug mulai gencar menghidupkan kembali penggunaan pupuk organik. Terlepas dari permasalahan tersebut, mereka masih mempunyai keinginan yang kuat dalam melestarikan adat dan tradisinya termasuk mempertahankan sistem pertanian tradisional mereka. Bagaimanapun, sistem pertanan tradisional ini sangat mendukung bagi keberlanjutan sistem pangan mereka.

Gambar 3. Seorang Petani di Kasepuhan Cibedug menangkap ikan dan organisme air tawar lainnya di sawah. Foto oleh: Dokumentasi Riset Sistem Pangan RMI di Cibedug.

Persoalan lain yang tak kalah gentingnya adalah masa depan regenerasi petani di Cibedug yang dirasa cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, banyak generasi muda di Cibedug enggan bertani dan lebih memilih bekerja di luar kampungnya. Selain itu, pengetahuan generasi muda terhadap tradisi dan kearifan lokal semakin menurun. Untuk mengatasi problem regenerasi petani ini, para tetua adat memandang perlu untuk melakukan penyegaran kembali pembelajaran adat dan tradisi bagi generasi muda. Meskipun demikian, tumpuan pendidikan dalam bertani di masing-masing keluarga di Kasepuhan Cibedug masih tetap dijalankan.

Di penelitian ini ditemukan bahwa anak-anak di Cibedug “sejak kecil dibawa ke sawah dan kebun lalu mengamati aktivitas pertanian orang tuanya. Kegiatan yang biasa mereka lakukan bersama keluarga antara lain memancing di sawah, memanen, menanam padi, memasang perangkap, dan terkadang berburu babi hutan. Anak-anak Kasepuhan Cibedug juga mempelajari kearifan lokal lokal melalui sosialisasi dengan teman sebaya: bertukar cerita dan pengalaman, bermain di sawah, memancing di sungai, memetik buah-buahan liar, dan lain sebagainya.”1

Dari kondisi faktual tersebut, krisis regenerasi petani di Cibedug ternyata sudah mereka antisipasi dengan melakukan mitigasi melalui penguatan kembali pembelajaran tradisi dan adat serta pendidikan dalam bertani di keluarga masing-masing. Dalam hal permasalahan dengan pihak TNGHS, dengan dukungan RMI kini status wilayah dan hutan adat masyarakat Kasepuhan Cibedug sudah diakui keberadaannya.

Tentunya, pengakuan dari negara ini berkonsekuensi terhadap masa depan keberlanjutan sistem pangan lokal masyarakat Cibedug karena mengingat sebagian besar lahan pertanian, kebun, dan aktivitas meramban pangan liar di hutan terdapat di kawasan TNGHS. Atas pengakuan ini, membuat masyarakat Cibedug bisa lebih bebas mengakses dan mengelola sistem pangan sesuai dengan kearifan dan pengetahuan lokal mereka sendiri.

Selain itu, dalam hal pengetahuan tentang sistem pangan lokal di masyarakat kasepuhan bertolak dari pengalaman RMI sejauh ini. Faktanya, di lapangan ditemukan bahwa masyarakat kasepuhan lainnya masih menjalankan praktik dari sistem pengetahuan pangan mereka. Salah satu praktik yang hingga kini masih dijalankan adalah tradisi ngalasan, yaitu, berupa aktivitas meramban pangan liar di dalam hutan sebagai aktivitas rutin masyarakat kasepuhan dalam pemenuhan kebutuhan gizi harian mereka.

Tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun, biasanya dilakukan jelang petang hari setelah mereka selesai beraktivitas bertani di sawah atau kebun. Apa yang mereka dapat selama ngalasan, itulah yang akan mereka bawa untuk dimasak sebagai menu makan malam atau sore hari. Beberapa jenis pangan liar yang didapat peramban selama melakukan aktivitas ngalasan biasanya berbagai jenis jamur, sayur-sayuran, lalap-lalapan, sarang lebah hutan, tanaman obat untuk jamu-jamuan dan minuman herbal, buah-buahan yang tumbuh di hutan seperti durian, umbut rotan (kambium di dalam rotan yang masih muda biasanya untuk disayur), dan tanaman di dalam hutan lainnya yang layak dikonsumsi.

Sementara itu, pangan lokal lainnya juga dapat mereka olah menjadi produk yang bisa dipasarkan untuk meningkatkan taraf penghidupan masyarakat sebagai pendapatan keluarga atau kelompok seperti singkong, pisang, durian, dukuh, langsat, gula aren, kulang-kaleng, dan buah manggis yang tumbuh di sekitar kebun dan di dalam hutan yang dikelola masyarakat kasepuhan.

Gambar 4. Hasil meramban pangan liar yang dikenal dengan tradisi ngalasan di masyarakat kasepuhan di
Lebak – Banten. Foto oleh: Fauzan Adima (Staf Pengorganisasian Masyarakat RMI).

Melihat dari pengalaman RMI inilah, menurut Ahmad Arif sebenarnya masyarakat kasepuhan bisa berpeluang untuk berkolaborasi dalam mendukung pendokumentasian pangan lokal di pangkalan data Nusantarafoodbiodiversity.org. Bahkan Said Abdullah menyambut RMI dan teman-teman lainnya untuk sama-sama membesarkan situs web ini dengan memfasilitasi masyarakat kasepuhan dan komunitas adat Baduy di wilayah kerja RMI terutama bagi generasi mudanya sebagai kontributor. Dengan demikian, hadirnya pangkalan data pangan lokal ini dapat menjadi alat advokasi bersama bagi para pihak yang sama-sama memiliki perhatian dan kepedulian terhadap keberlanjutan khazanah keanekaragaman pangan lokal di Nusantara.

1 RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment. “Food System Profile of Kasepuhan Cibedug
Indigenous Peoples in Cibeber, Lebak, Indonesia and Elements of Sustainability and Climate Resilience”
dalam Profiling Indigenous Food Systems And Their Contribution To Debates On Sustainibility And Climate Resilience. Unpublished

Penulis: Renal Rinoza (Staf Knowledge Management, RMI)

Demokrasi dalam Kacamata Masyarakat Adat

Perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 telah menjadi tonggak sejarah yang menandai perjuangan tokoh bangsa dalam mewujudkan nilai-nilai demokrasi dalam tatanan negara Indonesia. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” menunjukan posisi Indonesia sebagai negara demokrasi. Kedaulatan rakyat ini memperlihatkan bahwa rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi yang diimplementasikan salah satunya melalui mekanisme pemilihan umum di Indonesia. Prinsip utama yang dipegang erat dalam proses demokrasi tersebut antara lain persamaan hak, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (Redaksi Ilmiah, 2024) 

Keberagaman budaya di Indonesia mempengaruhi cara masyarakat dari berbagai daerah dalam mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi, terutama dalam proses pengambilan keputusan dan partisipasi politik. Pada konteks Masyarakat Adat, terdapat nilai-nilai yang telah diturunkan dari generasi ke generasi yang akhirnya mempengaruhi aspek sosial, budaya, dan politik mereka. Negara pun perlu untuk mengakui secara politik dan hukum bagi masyarakat adat dalam menjalankan hak-hak tradisionalnya (Zazili, 2012).

Demokrasi deliberatif menjadi pola yang lebih dikenal dalam konteks masyarakat adat, di mana proses pengambilan keputusan didasarkan pada diskursus publik dan musyawarah. Proses yang dilakukan melibatkan berbagai macam pihak terpilih dengan mengedepankan kepentingan kolektif (Lubbi, 2021). Musyawarah untuk mufakat dan aklamasi akhirnya lebih sering digunakan dibandingkan menggunakan mekanisme voting. Meskipun secara mekanisme demokrasi pada umumnya berbeda, namun nilai-nilai partisipasi dan proses musyawarah yang didasarkan pada kepentingan bersama menunjukan bahwa nilai-nilai demokrasi tetap mengakar pada masyarakat adat.

Pengakuan politik dan hukum bagi Masyarakat Adat oleh negara, salah satunya diberikan kepada masyarakat adat di Papua Pegunungan. Negara melalui  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47-81/PHPU.A-VII/200 memberikan pengakuan atas sistem pemilu noken yang didasarkan nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Mekanisme yang dilakukan yaitu dengan cara musyawarah mufakat atau berdasarkan keputusan kepala suku dalam memilih calon tertentu. Hal ini merupakan bentuk kedaulatan rakyat menurut masyarakat di Papua Pegunungan yang dilakukan dengan sistem kesepakatan warga atau aklamasi (Lubbi, 2021). 

Pengakuan terhadap sistem pemilu noken di Papua Pegunungan oleh Mahkamah Konstitusi adalah upaya untuk mencegah timbulnya konflik diantara kelompok-kelompok masyarakat setempat yang dapat mengancam harmoni di masyarakat. Meskipun mendapat kritik bahwa setiap orang seharusnya memiliki hak dipilih dan memilih secara langsung, pengakuan ini mencerminkan upaya negara untuk memahami dan menghormati nilai-nilai kultural yang hidup di masyarakat.

Di tingkat pemerintah daerah, Bali memiliki peraturan sendiri mengenai mekanisme Desa Adat yang tertuang dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Melalui peraturan ini masyarakat memiliki kekuasaan dalam membentuk serta menetapkan peraturan berlandaskan hukum adat yaitu lainya disebut dengan Awig-Awig serta Pararem yang pembentukanya dilakukan dengan cara musyawarah mufakat atau di Bali sering disebut dengan Paruman (Winjaya dan Windia, 2023). Hal ini memungkinkan nilai-nilai demokrasi untuk diintegrasikan dengan kearifan lokal dan tradisi adat sehingga dapat mewujudkan  sistem demokrasi dengan tetap berpijak pada keunggulan kebudayaan daerah (Suacana, 2015).

Pada tingkat komunitas lokal, proses pengambilan keputusan juga seringkali dilakukan berdasarkan keputusan bersama melalui musyawarah mufakat. Salah satunya  dilakukan oleh suku Uma Hun di Desa Doka Nikisi’e, Nusa Tenggara Timur, yang tetap mempertahankan nilai-nilai adat dalam berkehidupan bernegara. Mane Maksain (tetua adat) memiliki kewenangan dalam memimpin musyawarah bersama ketika ada permasalahan yang terjadi (Seran dan Widihastuti, 2022). Mekanisme Restorative Justice dilakukan dalam proses peradilan yang mengundang pihak-pihak berwenang untuk menentukan tindakan yang diberikan dengan mengutamakan keadilan bersama. Mekanisme ini juga banyak dilakukan di masyarakat adat yang lain sesuai dengan kebutuhan dan kearifan lokal yang dipegang oleh masyarakat bersangkutan.

Namun, tantangan masih muncul dalam proses demokrasi lokal. Misalnya, dalam pemilihan Bendesa Adat (pemimpin tertinggi di desa adat) di Bali, partisipasi seluruh masyarakat desa belum terjamin, dan masih terdapat ketidaksetaraan gender dalam pengambilan keputusan (Suacana, 2015). Di sisi lain, di beberapa wilayah seperti Desa Doka Nikisi’e, peran perempuan dalam pengambilan keputusan masih terbatas, bahkan dalam konteks masyarakat matrilineal sekalipun (Seran dan Widihastuti, 2022). 

Kritik juga muncul terhadap beberapa aspek demokrasi lokal, seperti noken di Papua Pegunungan, yang dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (Ramadhan, 2022). Namun tidak bisa dipungkiri bahwa nilai-nilai yang masyarakat adat pegang diwariskan secara tidak tertulis. Maka dari itu pengakuan terhadap masyarakat yang memiliki struktur dan hukum yang berbeda perlu dilakukan. Hal ini menegaskan bahwa kebutuhan masyarakat bukan hanya konstitusi tertulis. Konstitusi harus bisa mengakomodasi unsur-unsur hukum tertulis dan tidak tertulis sehingga dapat mewujudkan demokrasi yang inklusif dan berkeadilan di Indonesia. (Zazili, 2012).

Referensi:

Lubbi, Muhammad Malikul. (2021). Analisis Sistem Pemilihan Umum Noken di Provinsi Papua dalam Prinsip Demokrasi dan Sistem Hukum Nasional. Jurnal Dharmasisya.  Vol 1, No.2. 

Ramadhan, Muhammad Nur. (2022). Pengakuan dan Implementasi Hak Pilih Masyarakat Adat dalam Pemilihan Umum di Indonesia. Jurnal Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau. Vol 4, No.2. 

Redaksi Ilmiah. (2024). Dimana Titik Temu Antara Konsep Musyawarah Dan Konsep Demokrasi. Diakses 23 03, 2024, dari ilmiah.id:

https://ilmiah.id/dimana-titik-temu-antara-konsep-musyawarah-dan-konsep-demokrasi/

Suacana, I Wayan Gede. (2015). Nilai-Nilai dan Parameter Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Bali. Jurnal Kajian Bali. Vol 5, No.1.

Seran, JK; & Widihastuti, S. (2012). Studi tentang Pengambilan Keputusan Adat dalam Musyawarah Suku Uma Hun. Jurnal Kajian Mahasiswa PPKn. Vol 11, No 2. 

Wijaya, IPS; & Windia, IW. (2023). Implementasi Sistem Musyawarah Mufakat dalam Pemilihan Bendesa Adat di Desa Adat Pecatu.  Jurnal Kertha Semaya. Vol 11, No.4.

Zazili, Ahmad. (2012). Pengakuan Negara Terhadap Hak-Hak Politik (Right to Vote) Masyarakat Adat dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum. Jurnal Konstitusi. Vol. 9, No. 1. 

Penulis: Hanifah Nur Hidayah

Editor: Siti Marfu’ah

Konsolidasi 2024 Masyarakat Kasepuhan Bongkok Untuk Perjuangan Hak Pengakuan Hutan Adat

Kasepuhan Bongkok adalah komunitas masyarakat adat Banten Kidul yang sedang memperjuangkan hak pengakuan hutan adat mereka kepada negara. Secara administratif, kasepuhan ini berada di Desa Sukaresmi, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak – Provinsi Banten. Berbeda dengan rekan mereka di kasepuhan lain yang sudah mendapatkan hak pengakuan hutan adat, Kasepuhan Bongkok sedang bergulat di internal mereka sendiri untuk mengatasi kesalahpahaman di masyarakatnya terkait legal standing1 hutan adat, kemudian didesak dengan situasi yang menghimpit lantaran rencana Taman Nasional Gunung Halimun Salak (selanjutnya ditulis TNGHS) yang akan menerapkan kebijakan rehabilitasi lahan atau penghutanan kembali (reforestasi) dan dalam hal ini yang menjadi sumber konflik adalah lahan garapan masyarakat yang berada di kawasan hutan, dan atas keterdesakan tersebut akhirnya membuat pihak kasepuhan berencana untuk melakukan konsolidasi internal. Konsolidasi ini sebagai tahap awal untuk menghasilkan resolusi yang nantinya menjadi titik berangkat dalam memperjuangkan hak pengakuan hutan adat masyarakat Kasepuhan Bongkok. Ide konsolidasi internal ini muncul di sela-sela acara Seren Tahun yang jatuh di hari Sabtu, 9 Desember 2023.

Pentas Angklung memeriahkan acara Seren Taun Kasepuhan Bongkok

Setelah beramah tamah dengan Aki (pimpinan kasepuhan) dan baris olot (tetua adat yang menjabat sebagai jajaran kasepuhan) kami berkesempatan berbincang-bincang bersama Pak Suarta, Pak Jaro Desa Sukaresmi, dan dua orang baris olot di kediaman Pak Jaro. Dalam perbincangan tersebut menggelinding sebuah resolusi awal tentang langkah-langkah yang akan diperjuangkan masyarakat Bongkok untuk mendapatkan Hak Pengakuan atas hutan adat mereka dari negara. Dari perbincangan yang hangat ini ditekankan pentingnya mengambil langkah yang diperlukan dan mendesak seperti penguatan internal di masyarakat melalui musyawarah untuk menyamakan persepsi dan pemahaman terkait duduk perkara hutan adat. Menurut Pak Suarta, selaku Juru Bicara (Jubir) masyarakat Kasepuhan Bongkok menyatakan bahwa hutan adat yang ada di Bongkok bukanlah milik kasepuhan tetapi milik masyarakat yang pengaturannya sudah dibagi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka dahulu. Selama ini muncul anggapan bahwa jika hutan adat mereka sudah mendapatkan SK Pengakuan maka otomatis akan menjadi milik kasepuhan. Inilah anggapan yang keliru sehingga perlu diluruskan. Melalui forum musyawarah warga yang akan digelar nanti segala kekeliruan dan kesalahpengertian itu akan diluruskan, terang Pak Suarta

Bersilaturahmi dan berbincang-berbincang bersama Pak Jaro Desa Sukaresmi dan beberapa Baris Olot Kasepuhan Bongkok

Konsolidasi warga ini penting artinya mengingat hutan adat yang dimiliki masyarakat kasepuhan perlu memiliki legal standing sebagai ketetapan hukum untuk melindungi wilayah tenurial masyarakat adat secara formal oleh negara. Hal yang paling mengkhawatirkan dan menakutkan bagi masyarakat ialah bisa saja sewaktu-waktu pihak taman nasional mengambilnya dan membatasi bahkan melarang masyarakat memasuki dan memanfaatkan hasil hutan. Kekhawatiran itu menurut Pak Suarta sangat beralasan, karena sebelumnya pihak taman nasional sering mengadakan patroli hutan dan memanggil masyarakat yang menebang pohon di dalam kawasan hutan. Namun, sejak isu hutan adat muncul ke permukaan dan mendapat perhatian dari berbagai pihak, yang menggema keras di tahun 2018, sejak itu pula pengawasan ketat dari Taman Nasional berkurang dan mereda hingga kini. Meskipun demikian, beredar kabar tentang revisi lahan di TNGHS. Kabar tersebut membuat masyarakat kembali khawatir dan was-was. Celakanya, revisi tersebut memasukkan sawah dan kebun masyarakat masuk ke dalam zona rehabilitasi.

Pak Suarta mengistilahkannya dengan sebutan dihutankan kembali lahan-lahan yang digarap masyarakat di dalam kawasan taman nasional. Kebijakan penghutanan kembali (reforestasi) oleh TNGHS ini menjadi ancaman serius bagi sumber penghidupan masyarakat yang sangat bergantung dari hutan. Di dalam kawasan hutan, masyarakat tidak hanya mengambil hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu melainkan juga beberapa sawah dan kebun mereka berada di dalam kawasan hutan. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa pengaturan kehutanan masyarakat adat kasepuhan hutan dibagi menjadi tiga zona peruntukan, yaitu: hutan tutupan, hutan titipan, dan hutan sampalan atau garapan. Di zona tutupan, hutan berfungsi sebagai zona lindung seperti menjaga sumber mata air dan keanekaragaman hayati; di zona titipan, hutan berfungsi sebagai zona penyangga untuk menjaga ekosistem hutan yang tidak boleh dirusak. Sementara zona garapan, hutan berfungsi sebagai zona pemanfaatan untuk dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup masyarakat. Di hutan garapan ini terdapat sawah dan kebun.

Pak Suarta (di tengah berbaju putih) sedang menguraikan persoalan hutan adat Kasepuhan Bongkok

Disamping itu, terdapat pula hutan cawisan—yang fungsinya sebagai hutan cadangan. Peruntukan hutan cawisan ini dipergunakan untuk kepentingan umum masyarakat seperti tanah wakaf dan pemakaman. Pembagian kawasan hutan ini sesuai dengan peruntukan dan kebutuhan incu pitu (keturunan) masyarakat adat kasepuhan yang diwariskan dari leluhur mereka. Untuk menguatkan aturan yang sudah berlaku turun-temurun ini, terutama pada pemanfaatan di kawasan hutan titipan, di masyarakat Bongkok tergambar dalam sebuah ungkapan peribahasa yaitu “bisik potong jodog reuntas tihang” yang dapat diartikan apabila ada kerusakan atau perbaikan yang dibutuhkan pada sebuah rumah apakah itu bagian tiang, atap, dinding, dlsb maka si pemilik rumah diperbolehkan untuk mengambil kayu di hutan. Dengan syarat si pemilik rumah hanya diperbolehkan mengambil seperlunya saja sesuai dengan kebutuhannya dan dia juga dilarang untuk memperjual-belikan berdasarkan aturan adat yang berlaku di kasepuhan. Menurut Pak Suarta, aturan adat tersebut bertujuan untuk mendistribusikan hasil kekayaan dari hutan secara sepadan dan bijaksana kepada seluruh masyarakat Bongkok—sebagai pemegang hak atas hutan adat mereka.

Di lain pihak, kita ketahui pihak taman nasional juga meminjam istilah masyarakat adat dalam pembagian kawasan hutan. Masalahnya di sini ialah pengertian pembagian zonasi tersebut dalam penerapannya berbeda dengan apa yang diberlakukan oleh masyarakat adat kasepuhan. Pihak TNGHS menafsirkannya sebagai kawasan konservasi yang tidak boleh dimasuki oleh masyarakat. Hal inilah yang dikeluhkan oleh masyarakat Bongkok. Bahkan untuk memasuki dan mengakses hutan garapan pun masyarakat sempat dilarang. Alhasil, antara petugas Balai Taman Nasional dan Polisi Hutan malah bermain kucing-kucingan dengan masyarakat. Sering dijumpai masyarakat menebang pohon-pohon yang dikategorikan masuk ke dalam daftar pohon lindung. Bahkan taman nasional melarang masyarakat menebang pohon jengjeng (sengon) padahal masyarakat sendiri yang menanamnya. Namun demikian, seperti yang sudah disinggung di atas, sejak gembar-gembor SK Penetapan Hutan Adat tingkat intensitas penindakan yang dilakukan oleh taman nasional kepada masyarakat tidak seketat sebelum berita ini santer terdengar. Pada momen tersebut, Pak Suarta mengisahkannya, “memang (di tahun) 2018 sudah mulai dengar-dengar (wacana SK Penetapan Hutan Adat di Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Sindanglaya). Tapi setelah Cirompang dan Sindanglaya mendapatkan SK Penetapan Hutan Adat, ya kayaknya taman nasional agak ngerem. Agak kendor gitu. Bolehlah (pohon) jengjeng mah. Bolehlah (memanfaatkan hasil hutan) di garapan masyarakat.” Sementara itu, pada kasus yang lain, taman nasional menggandeng masyarakat desa hutan dalam program Kemitraan Konservasi yang berbasis pemberdayaan masyarakat dan peningkatan ekonomi. Namun rupanya, program tersebut tidak terdengar di masyarakat Bongkok. Justru sebaliknya, yang sampai ke telinga mereka malah wacana kebijakan rehabilitasi hutan. Sontak, kabar tersebut membuat masyarakat menjadi khawatir karena sumber penghidupan mereka sangat bergantung dari hutan yang akan direhabilitasi tersebut.

Persoalan lain yang tak kalah gentingnya yang juga menyangkut hutan adat mereka adalah lampiran Perda Bupati Lebak Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan yang tidak memasukkan Kasepuhan Bongkok di dalam lampiran. Hal inilah yang menyisakan sebuah pertanyaan bagi masyarakat Bongkok. Nyatanya, menurut Pak Suarta eksistensi masyarakat adat kasepuhan Bongkok sudah ada sejak lama. Sama halnya dengan kasepuhan-kasepuhan lain yang masuk ke dalam lampiran Perda. Apabila ditilik dari syarat-syarat masyarakat adat kasepuhan, Bongkok sudah memenuhi syarat tersebut. Pertama, eksistensinya sudah ada sejak dahulu. Eksistensi ini dikisahkan melalui cerita asal-muasal Kasepuhan Bongkok yang bersumber dari sebuah siloka2 leluhur mereka dahulu kala. Salah satu baris olot menyebut siloka tersebut, toponimi Bongkok berasal dari istilah “bongkarkeun ngodokkeun kemana ngodokna ya ka atas ka pusat”. Secara ilustratif siloka ini dapat digambarkan bahwa apabila kita ingin mengambil ikan di balik batu sungai maka kita akan menyodokkan tangan kita bahkan ketika kita menggunakan jala, kita tetap akan menyodokkan dengan tangan ke sela-sela batu tersebut. Tentunya posisi badan kita membungkuk dan di situlah asal-muasal nama Bongkok. Riwayat lainnya mengisahkan penamaan Bongkok dinisbatkan sebagai perlambang orang tua yang dituakan yang posisi tubuhnya membungkuk karena semakin tua. Perlambang ini sesuai dengan arti siloka yang dimaksud baris olot tersebut dimana seseorang yang sedang mencari ikan hingga pencariannya sampai ke bagian hulu sungai. Wilayah hulu sungai ditafsirkan sebagai pusat atau awal mula. Kedua, pengakuan dari masyarakat adat kasepuhan lain. Ini dibuktikan Kasepuhan Bongkok berjejaring dengan masyarakat adat Banten Kidul lainnya yang tergabung di Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI). Bahkan sebelum terbentuk organisasi SABAKI, Kasepuhan Bongkok sudah sering ikut-serta di acara-acara perkumpulan kasepuhan lainnya. Selain itu, hubungan kekerabatan dengan Kasepuhan Cipta Gelar (kini berganti nama dengan nama Kasepuhan Gelar Alam) terjalin sangat erat. Hubungan tersebut ditandai ketika Kasepuhan Cipta Gelar akan melangsungkan hajat (seperti perayaan Seren Taun) maka mereka akan berziarah ke Kasepuhan Bongkok. Pun jika adanya suksesi kepemimpinan adat di Kasepuhan Bongkok maka pemimpin adat Kasepuhan Gelar Alam yang akan menunjuk seseorang untuk menjadi pimpinan adat Kasepuhan Bongkok. Sekilas posisinya terlihat membingungkan. Di amatan awam kita seharusnya Kasepuhan Bongkok lah yang menunjuk seorang pemimpin adat di Cipta Gelar bukan sebaliknya karena di saat Kasepuhan Cipta Gelar akan melangsung hajat mereka berziarah ke Bongkok. Prosesi ziarah yang dilakukan ini sebagai bentuk penghormatan kepada yang lebih dituakan. Bagi Pak Suarta, tentunya aturan adat ini membingungkan kita semua namun kembali lagi bahwa segala sesuatu yang menjadi ranah urusan karuhun3 tak bisa ditawar-tawar.

Ditambahkan juga, batas-batas wilayah hutan adat Kasepuhan Bongkok telah diakui oleh kasepuhan lainnya. Bahkan luasannya berada di luar wilayah Desa Sukaresmi. Diperkirakan luas wilayah hutan adat Kasepuhan Bongkok sekitar 1200 hektar—luasnya hampir sama dengan luas wilayah hutan adat Kasepuhan Cibedug dengan potensi alam dan pertaniannya yang luar biasa.4 Batas wilayah hutan adat Bongkok ini bahkan dipakai oleh Perum Perhutani sebagai batas blok.5 Merujuk Blok Bongkok, batas-batas hutan adat Bongkok membentang dari wahangan6 Ciparasi yang secara administrasi masuk ke wilayah Desa Ciparasi, dari batas Desa Hariang ke Leuwi Kantor, dari Cikawa ke Cirengit, dari Jagaraksa sampai wilayah Cepak Maghrib, dari wahangan Citujah dan Cikiruh yang berbatasan dengan Kasepuhan Sindanglaya, dari sungai-sungai kecil lalu menanjak ke perbukitan di Pasir Pinang hingga sampai di sebuah situ yang bernama Situ Cileusang, dan batas hutan adat Bongkok sampai ke kawasan yang dinamakan Gunung Henyot. Dinamakan gunung henyot karena sudah memasuki zona hutan rimba yang lebat dan basah sehingga ketika kaki kita menginjaknya maka akan terasa kenyal dan berpegas. Hal ini lantaran tanahnya sudah ditutupi oleh tumpukan dedaunan dan ranting-ranting pohon yang kian menebal dalam jangka waktu yang lama. Dengan syarat-syarat yang tergambar di atas, tentunya sudah tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengakui eksistensi masyarakat adat Kasepuhan Bongkok.

Oleh karena itu, dengan prasyarat-prasyarat yang sudah terpenuhi tersebut dan identifikasi permasalahan yang sudah ditemukan akar masalahnya akan menjadi modal bagi masyarakat Bongkok untuk berjuang mendapatkan hak mereka atas hutan adat. Langkah-langkah strategis dan taktis semakin mendesak untuk segera dilakukan. Semuanya ini bergantung pada kesiapan masyarakat Bongkok untuk memperjuangkan hak mereka. Tahun 2024 menjadi tahun krusial bagi masyarakat Bongkok untuk melakukan konsolidasi internal dan penyusunan syarat-syarat legal standing SK Pengakuan Hutan Adat. Konsolidasi internal ditempuh dengan cara: 1) membangun komunikasi dengan kampung-kampung lain ataupun rendangan-rendangan7 di wilayah Kasepuhan Bongkok tentang perjuangan SK Pengakuan Hutan Adat dan sikap bersama masyarakat terhadap ancaman dari taman nasional yang akan merehabilitasi lahan untuk dihutankan kembali; 2) mengadakan musyawarah warga dan didukung oleh aparat pemerintahan desa baik Kepala Desa dan jajarannya, BPD hingga Ketua RT. Agenda pertama musyawarah setidaknya memastikan informasi dapat tersampaikan dengan jelas kepada masyarakat mengenai hutan adat dan proses perjuangannya untuk mendapatkan legal standing. Pasalnya, selama ini telah terjadi kesalahpahaman yang beredar di masyarakat mengenai hutan adat seakan-akan jika sudah mendapat SK Pengakuan, otomatis hutan adat milik lembaga adat. Sebenarnya tidak demikian halnya seperti selama ini yang sudah terlanjur dipahami masyarakat.

Aneka panganan di acara Seren Taun Kasepuhan Bongkok. Masyarakat Bongkok menyebutnya ameungan

Dengan demikian, musyawarah yang rencananya akan dilangsungkan di awal tahun 2024 akan menuntaskan kesalahpahaman tersebut. Disamping itu, di forum musyawarah yang akan digelar nanti rencananya akan membahas potensi ancaman dan risiko-risiko apa saja yang akan didapat jika pihak taman nasional benar-benar menerapkan kebijakan zona rehabilitasi kawasan hutan. Ini artinya akan menutup akses masyarakat terhadap hutan. Menutup akses masyarakat terhadap hutan sama artinya menutup mata pencaharian masyarakat yang notabene 80% lebih menggantungkan hidupnya dari hutan. Di kawasan hutanlah lahan garapan masyarakat berada baik dalam bentuk sawah maupun kebun. Potensi ancaman lainnya adalah keberadaan satu kampung yang lokasinya berada di zona enclave taman nasional. Muncul sinyalemen bahwa kampung tersebut akan direlokasi jika pihak taman nasional akan merehabilitasi lahan di sana. Tentunya relokasi kampung tersebut memantik reaksi keras dari masyarakat. Bagi masyarakat Bongkok, kampung yang lokasinya berada di dalam hutan tersebut telah eksis dan memiliki sejarah yang panjang—jauh sebelum masuknya Perum Perhutani apalagi TNGHS yang kawasannya baru diperluas di tahun 2003; dan 3) setelah terbangunnya komunikasi dan musyawarah yang menghasilkan resolusi bersama maka tahap selanjutnya melakukan penyusunan syarat-syarat untuk mendapatkan legal standing. Dalam proses penyusunan legal standing ini masyarakat Bongkok dapat meminta dukungan kepada masyarakat kasepuhan lain maupun organisasi masyarakat sipil. Salah satu tahap dari penyusunan legal standing itu adalah mengerjakan pemetaan partisipatif. Pemetaan ini menjadi bagian elementer dan titik tolak dari basis argumen yang akan dipertarungkan kepada para pihak dan menjadi landasan formal penguasaan tenurial hutan adat masyarakat. Proses pemetaan partisipatif ini akan melibatkan masyarakat Bongkok, wilayah tetangga kasepuhan, aparat desa dan organisasi masyarakat sipil yang sama-sama membantu kelancaran proses tersebut.

Demikianlah bincang-bincang kami bersama Pak Suarta, Pak Jaro dan baris olot di sela-sela kegiatan Seren Taun Kasepuhan Bongkok. Bincang-bincang ini setidaknya dapat menjadi bahan untuk disampaikan di musyawarah warga dan menggalang dukungan kepada pihak lain agar perjuangan masyarakat Bongkok mendapatkan legal standing semakin mengeras dan terealisasi. Tentunya tahun 2024 bagi masyarakat Bongkok dijadikan sebagai tahun konsolidasi perjuangan mereka atas hutan adat. Adapun langkah-langkah yang akan mereka tempuh dengan cara penguatan internal, penyusunan legal standing, dan penggalangan dukungan kepada para pihak. Perjuangan untuk mendapat legal standing ini bukanlah perkara yang mudah tetapi dengan strategi yang terencana dan kesiapan penuh dari masyarakat maka perjuangan itu setidaknya sudah bisa melewati fase genting dan tahun 2024 adalah tahun yang paling menentukan bagi masyarakat Bongkok bagi perjuangan selanjutnya sampai mereka benar-benar mendapatkan Hak Pengakuan Hutan Adat dari Negara. Maka, tahun 2024 bisa dikatakan sebagai tahun konsolidasi yang tujuannya untuk benar-benar menghasilkan resolusi yang konkret bagi perjuangan masyarakat Bongkok. Bersamaan dengan itu, situasi di Kasepuhan Jamrut juga menghadapi permasalahan yang sama dengan saudara mereka di Bongkok. Bagi kedua kasepuhan ini, tahun 2024 adalah tahun tersibuk dalam mempersiapkan legal standing hak pengakuan hutan adat mereka. Sementara, dukungan dari pihak lain sangat diperlukan agar nafas perjuangan mereka tetap panjang. Tabik.

Penulis

Renal Rinoza (Divisi Knowledge Management)


  1. Legal Standing adalah Putusan Hukum dari Negara yang memberikan pengakuan terhadap kedudukan hukum yang diajukan oleh Pemohon (dalam hal ini subyeknya adalah Masyarakat Adat) untuk mendapatkan hak-hak konstitusional mereka sebagai Warga Negara dan status Hak Penguasaan dan Pengelolaan Hutan Adat. ↩︎
  2. Siloka adalah semacam tamsil atau perlambang yang diungkapkan secara tersirat dalam bentuk bahasa simbolik dan metaforis tentang sejarah, ajaran-ajaran, nasihat-nasihat, peringatan, pengetahuan, dan kejadian di masa depan. ↩︎
  3. Karuhun adalah leluhur masyarakat adat kasepuhan. ↩︎
  4. Lokasi Kasepuhan Cibedug secara administratif berada di Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber – Kabupaten Lebak. ↩︎
  5. Sebelum berpindah tangan ke Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), penguasaan lahan di wilayah hutan adat Bongkok dipegang oleh Perum Perhutani. ↩︎
  6. Wahangan adalah aliran sungai kecil di bagian hulu sungai. ↩︎
  7. Rendangan adalah unit kampung di bawah kasepuhan. Misalnya sebuah kasepuhan memiliki unit kampung di luar wilayah pusat kasepuhan berada dan wilayah rendangan tetap terhubung secara kultural dan spiritual dengan kasepuhan utama. ↩︎

Acara Puncak dan Penutupan Festival Pare Ketan 2023

Hari kedua adalah puncak acara kegiatan Festival Pare Ketan yang pembukaannya dimulai dengan ritual menumbuk lesung oleh ibu-ibu kasepuhan, menyindenkan jaipongan, tarian rengkong dan alunan gendang pencak dan angklung, iring-iringan rombongan masing-masing dari tiga kasepuhan di Cirompang, dan tarian salah seorang ibu-ibu yang menggendong padi di bakul dan penampilan kesenian tradisional kasepuhan. Acara puncak Festival ini juga diisi dengan perlombaan tumpeng dari masing-masing RT, lomba saung pameran dari bazar produk pangan lokal dan cinderamata, lomba fashion show anak remaja, lomba cerdas cermat, dan lomba azan. Acara pembukaan di hari kedua ini berlangsung sangat meriah dan bangku yang disediakan panitia terisi penuh bahkan sampai meluber keluar. Banyak warga lainnya menyaksikan dari atas tempat acara.

Gb 1. Kemeriahan Pembukaan Acara Puncak Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Di hari kedua penyelenggaraan Festival Pare Ketan ini dimulai dengan acara sarasehan yang dipandu oleh Fauzan Adima dari RMI. Sarasehan berisi pemaparan dari masing-masing perwakilan OPD Pemda Lebak (Bapak Diki Darmawan selaku Staf Dinas PMD Kabupaten Lebak), Bapak Camat Cirompang, perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (mas Sani dari Kemitraan dan Abdul Waris dari RMI) dan perwakilan masyarakat Cirompang yang diwakili oleh Kang Mursid untuk berbagi cerita dan pengalaman tentang perjalanan Hutan Adat Cirompang. Penanggap dari sesi sarasehan ini adalah Kang Heri Yogaswara dari BRIN. Sesi siang harinya diisi ceramah dari Bapak Sukanta dari SABAKI (Kesatuan Adat Banten Kidul), Bapak Wakil Bupati Kabupaten Lebak, Kepala Kesbangpol Kabupaten Lebak, dan Tokoh Masyarakat dari Kasepuhan Pasir Eurih. Pada sesi sarasehan juga secara simbolis diserahkan hasil rekomendasi Forum KAWAL yang diwakili oleh Damidi, anak muda Baduy kepada pihak Pemerintah Kabupaten Lebak. Butir-butir hasil rekomendasi tersebut kemudian dibacakan oleh Damidi dan dilangsungkannya prosesi penyerahan hasil rekomendasi Forum KAWAL kepada Pemerintah Kabupaten Lebak.

Gb 2. Warga Kasepuhan Cirompang Antusias Menonton Hari Puncak Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Dalam kata sambutan pembukaan sesi sarasehan ini Fauzan memperkenalkan kios-kios pameran dari produk pangan lokal dan cinderamata sebagai promosi kekayaan pangan bagaimana sumber kehidupan masyarakat Kasepuhan Cirompang ditampilkan, terus yang kedua ada diskusi peningkatan kapasitas Forum KAWAL, dalam Forum KAWAL ini RMI selaku pendamping mencoba membangun konsolidasi antar generasi muda kasepuhan untuk sama-sama saling berproses dan saling memberikan inspirasi bagi bagaimana mewujudkan soal kedaulatan pangan dan rangkaian perjuangan masyarakat kasepuhan yang telah didahului oleh para leluhur masyarakat kasepuhan.

Sarasehan ini menjadi bagian penting bagaimana mempertemukan masyarakat, pemuda, perempuan, tokoh masyarakat dengan Pemerintah Daerah, dengan para mitra yang di kesempatan ini sudah hadir untuk masa depan pangan di kasepuhan menjadi bagian penting prioritas pembangunan baik di desa maupun di nasional.  

Gb 3. Para Baris Olot dan Tamu Undangan Duduk Mengitari Panggung di Hari Puncak Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Dalam sambutannya mas Sani, perwakilan dari Kemitraan, mengajak hadirin untuk kilas balik ke tahun 2015 ketika Festival Pare Gede diselenggarakan. Pada saat itu banyak jenis varietas padi lokal ditampilkan. Kasepuhan khususnya di Cirompang sejak 2015 sudah mulai verietas padi yang selama ini tidak dilirik secara nasional menjadi bahan rujukan apalagi saat ini katanya negara ini mengalami krisis pangan dan sebaliknya khususnya di Cirompang dan kasepuhan lain di Lebak urusan ini tidak menjadi kendala. Kemudian mas Sani berharap kepada baris olot (tetua adat) bagaimana perempuan, anak-anak, kaum disabiitas mendapat tempat di kasepuhan apalagi 20 tahun kedepan adik-adik yang masih muda nantinya akan menggantikan posisi baris olot dan itu yang mungkin menjadi perhatian kita bersama terkait apa sih yang dimaksud dengan inklusi sosial. Yang ketiga, Kemitraan yang bekerjasama dengan RMI yang sudah lama di kasepuhan khususnya di Kasepuhan Cirompang, Cibarani, Cibedug, dsb., berharap banyak kepada masyarakat Cirompang agar hutan adat menjadi penopang kehidupan masyarakat kasepuhan. Ini menjadi penting untuk pemangku kepentingan dan kebijakan karena banyak hal baik dari pengeolaan hutan adat yang dilakukan oleh masyarakat kasepuhan yang perlu didengar di level nasional. Dan juga terkait fungsi leuit (lumbung) yang menjadi fondasi penting bagi kedaulatan pangan masyarakat adat kasepuhan. Dan oleh karena itulah ini penting menjadi perhatian Kemitraan bahwa berbicara soal pangan penting artinya bagi kasepuhan dan ini yang Kemitraan sampaikan ke tempat-tempat lain di Indonesia. Eksistensi leuit penting untuk mempertahankan kedaulatan pangan dan menjadi penangkal dari serangan krisis pangan.

Gb 4. Tarian Rengkong di Acara Pembukaan Hari Puncak Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Sambutan kedua disampaikan Bapak Camat Sobang. Ia mengapresiasi pameran-pameran di kios-kios pangan lokal dan cenderamata serta lomba tumpeng dengan panganan lokal. Pak Camat mencontohkan dengan memakan makanan lokal para tetua dan orangtua di kasepuhan kondisinya sehat  karena memakan makanan yang lokal dan tidak terkontaminasi oleh bahan-bahan yang lain cukup sayur oge, uyah, bawang, sereh, salam. Cukup enak, sergah Bapak Camat. Dalam kata sambutannya Pak Camat juga membandingkan generasi muda sekarang yang terpapar dengan makanan instan. Oleh karena itulah, pangan lokal harus dipertahankan oleh generasi mendatang.

Selanjutnya, pada bagian sesi sarasehan ini pemandu acara meminta Kang Mursid membagi pengalamannya bersama masyarakat Kasepuhan Cirompang lainnya dalam memperjuangkan pengakuan Hak Hutan Adat, pemaparan singkat dari perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang diwakili oleh Abdul Waris dari RMI, pemaparan dari perwakilan OPD Pemda Kabupaten Lebak yang diwakili oleh Bapak Diki Darmawan, dan tanggapan atas pemaparan yang akan ditanggapi oleh Kang Heri Yogaswara, Peneliti Senior BRIN yang sudah malang-melintang dalam studi masyarakat kasepuhan dan juga terlibat dalam proses penyusunan naskah akademik Raperda Kasepuhan Adat Banten Kidul.

Di pemaparannya ini Kang Mursid selaku anggota Kisancang berbagi kisah perjuangan masyarakat kasepuhan Cirompang dalam mendapatkan pengakuan hak hutan adat di tahun 2019 dan tantangannya kedepan pasca pengakuan. Ada pertanyaan sejak kapan masyarakat Cirompang memperjuangkan hutan adat? Sebenarnya perjuangan untuk mendapat pengakuan hak hutan adat bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh masyarakat Cirompang. Dulu ketika tahun 2008, masyarakat Cirompang sudah mulai melakukan diskusi-diskusi skala kecil hingga skala besar ke seluruh incu pitu Kasepuhan Cirompang dan sejak itulah perwakilan dari masyarakat Cirompang mengirim surat ke RMI agar membantu memfasilitasi perjuangan masyarakat Kasepuhan Cirompang.

Gb 5. Kang Mursid Berbagi Pengalamannya Bersama Masyarakat Cirompang dalam Memperjuangkan Pengakuan Hak Hutan Adat. Foto: Erik Suhana

Dengan mengajak RMI untuk terlibat bagi kang Mursid hal tersebut didasarkan pada kondisi di masyarakat Cirompang yang masih mengalami kesulitan berkomunikasi dengan pihak luar terutama dengan Pemda dan Pemerintah Provinsi apalagi dengan Pemerintah Pusat. Oleh karena itulah, kami meminjam tangan dan mulut NGO untuk membantu perjuangan kami, aku kang Mursid. Jadi di tahun 2008 masyarakat Cirompang sudah mulai berdiskusi tentang ketahanan pangan, memetakan dulu pangan apa saja yang sudah tidak ada, mana saja yang masih ada dan apakah masih ada kawung (pohon aren) karena kecamatan Sobang terkenal dengan wilayah penghasil gula aren, kemudian masyarakat diajarkan penguatan kapasitas. Di tahun 2009, kang Mursid mengikuti pelatihan pemetaan partisipatif. Kang Mursid mengaku tugas yang ia emban adalah sebagai suku-sambung (perantara) antara lembaga adat kasepuhan dengan pihak luar (NGO, Pemerintah, dll) dalam memperjuangkan pengakuan Hak Hutan Adat. Dari pengalaman itulah kang Mursid terkejut bahwa Pemda Lebak ternyata baru mengetahui jika di Cirompang telah eksis berdiri sebuah kasepuhan. Pikir kang Mursid, bagaimana yang di Jakarta, di tingkat kabupaten saja tidak tahu tentang keberadaan masyarakat adat kasepuhan di Cirompang.

Dengan demikian, upaya yang intens terus dilakukan oleh masyarakat Cirompang agar segera mendapat Perda Pengakuan Masyarakat Kasepuhan. Diantaranya masyarakat menyusun sejarah keberadaan kasepuhan Cirompang, menetapkan kelembagaan adat secara formal dan tertulis, mencatat warga kasepuhan, memetakan wilayah adat kasepuhan, dan merapikan peta wilayah adat yang dibantu oleh rekan-rekan JKPP melalui kegiatan pemetaan partisipatif. Sebagai tambahan, masyarakat Cirompang juga melengkapi syarat administrasi berikutnya seperti mencatat pranata adat dan aturan adat kasepuhan. Dalam hal ini masyarakat mulai mencatat pranata adat tentang tata cara dan aturan dalam menanam padi, dan aturan mengenai hutan titipan, dsb. Ternyata persyaratan tentang pranata adat ini saja belum cukup. Akhirnya dengan kerja keras dan dukungan dari teman-teman aktivis lokal dan tokoh-tokoh dari wilayah kasepuhan Banten Kidul terbitlah SK Bupati Lebak tentang Kasepuhan Adat Banten Kidul termasuk pengakuan Kasepuhan Cirompang di dalamnya.

Masyarakat kasepuhan pada awalnya belum mengetahui jika hutan mereka dulu dikuasai oleh Perhutani kemudian di tahun 1992 telah dialihfungsikan menjadi Taman Nasional. Dan melalui perjuangan panjang kasepuhan-kasepuhan di Banten Kidul yang mengajukan gugatan (judicial review) UU Kehutanan tahun 1999. Kemudian terbitlah putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa hutan yang berada di wilayah adat bukan lagi menjadi hutan negara melainkan hutan hak komunal masyarakat adat. Dengan putusan MK ini, menjadi berita gembira untuk masyarakat kasepuhan namun perjuangan tersebut belum selesai sampai di situ. Harus ada lagi syarat yang dipenuhi yaitu produk peraturan hukum daerah berupa Perda atau Pergub. Dari situ mulailah masyarakat kasepuhan memperjuangkan Perda Kasepuhan.

Kang Mursid membagi pengalamannya di tahun 2013 ketika ia mengikuti workshop pengakuan masyarakat adat di Indonesia  yang diselenggarakan di Malinau Kalimantan Utara. Kebetulan saat itu Malinau sudah memiliki Perda pengakuan adat. Singkat cerita masyarakat adat kasepuhan mendapat kabar nanti di tahun 2016 akan dibuatkan Perda SK Kasepuhan oleh Pemda Lebak. Kemudian kabar ini disambut dan didukung NGO seperti RMI dan HuMa dan tidak sampai di tahun 2016, tepatnya di akhir tahun 2015 Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan terbit. Kang Mursid merasa sangat lega, akhirnya janjinya bisa terpenuhi. Namun sekali masih terdapat batu sandungan. Itu saja belum cukup karena harus ada SK dari Presiden, yang didelegasikan melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam SK Penetapan tersebut disyaratkan harus ada peta tata batas, harus ada persetujuan tata batas dengan kasepuhan lainnya yang berbatasan langsung seperti Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Sukamaju, Kasepuhan Citorek dan persetujuan kasepuhan lainnya.

Singkat cerita tim Kasepuhan Cirompang berangkat mengambil titik koordinat batas wilayah adat kasepuhan dan kemudian tim KLHK datang ke Cirompang untuk melakukan verifikasi teknis (vertek). Di momen reriungan kasepuhan adat Banten Kidul ke-10 di Citorek, Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa Kasepuhan Cirompang adalah satu dari delapan kasepuhan lain di Banten Kidul yang memperoleh SK Penetapan Hutan Adat. Kasepuhan Cirompang menerima SK Penetapan Hutan Adat seluas kurang lebih 322 hektar. Pasca penetapan Hutan Adat ini maka berbagai usaha terus dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan Cirompang mulai dari kegiatan patroli hutan, penanaman pohon incuk, dan penanaman pohon alpukat dan manggis. Di akhir berbagi pengalamannya di sarasehan ini Kang Mursid menceritakan lika-liku perjuangan mendapatkan pengakuan hak Hutan Adat yang sejatinya ditujukan bagi kesejahteraan lahir-batin masyarakat Kasepuhan Cirompang dan generasi mendatang.

Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh Bapak Diki Darmawan, selaku staf Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Lebak. Menurutnya, hanya di wilayah Banten saja terdapat leuit sebagai simbol ketahanan pangan. Untuk itu ia mengaja kepada mantri tani desa yang hadir di acara Festival ini untuk tidak segan berdiskusi dan belajar dengan bapak-bapak kasepuhan. Pemerintah Kabupaten menitipkan para mantri tani desa menjadi rekan diskusi dan bukan sebaliknya mengajari bapak-bapak di kasepuhan dalam bertani. Secara keilmuan moal mahi mengalahkan bapak-bapak. Nah, keilmuan kan dinamis mungkin ada kelilmuan yang tidak dimiliki bapak-bapak tapi ada dimiliki para mantri tani desa makanya keberadaan para mantri tani desa jadi batur pakumaha. Bukan untuk menggurui bapak-bapak tapi mereka menjadi teman diskusi, tekannya. Misalnya dalam penghadapi musim halodoh (kemarau) ini sekiranya para mantri tani desa bisa memberikan masukan jenis tanaman apa yang mesti ditanam di saat musim kemarau. Pak Diki juga menyinggung pendirian BumDes yang tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat desa khususnya warga kasepuhan di Cirompang. Pak Diki menunjukkan bahwa Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) sudah mengadakan advokasi dengan menggandeng kampus STAN (Politeknik Keuangan Negara STAN) dan beberapa perguruan tinggi lainnya untuk meningkatkan peran BumDes sebagai sumber pendapatan desa dan untuk ketahanan pangan desa.

Pemaparan terakhir disampaikan oleh perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang diwakili Abdul Waris dari RMI. Dalam pemaparannya Waris menyitir dari penjelasan kang Mursid tentang proses perjuangan nan panjang untuk mendapat pengakuan SK Hutan Adat.  Dalam hal ini, RMI cukup lama memfasilitasi masyarakat kasepuhan di Kabupaten Lebak. Fasilitasi itu apa? Fasilitasi untuk melakukan advokasi-advokasi salah satunya terkait pengakuan adat masyarakat kasepuhan yang ada di kabupaten Lebak. Fasilitasi ini kita lakukan dalam rangka kita berpihak. Kepada siapa kita berpihak? Kepada golongan lemah. Nah, kalau konteks hutan adat kalau kita tanya kepada penerima pengakuan tersebut biasanya yang selalu muncul adalah jawabannya kiwari mah kami ntos nyaman dan aman. Artina euweuh gangguan kitu. Alhamdulillah kiwari mah ntos euweuh gangguan. Kita ambil contoh di Kasepuhan Karang, setelah pengakuan ada hal yang mengejutkan bagi RMI yaitu mulai banyak anak-anak yang sebelumnya putus sekolah menjadi lebih banyak yang bersekolah dan bahkan sampai ada yang kuliah. Dari apa? Dari hasil pertanian. Karena apa? Karena buah yang mereka tanam di kebunnya dan ada hak seluruhnya dari si pemilik kebun tersebut sehingga tidak ada rasa takut dan rasa khawatir lagi menjual hasil bumi mereka. Artinya jeung ngabiayaan hirup jeuang ngabiayaan sakolah anak, sudah dapat terpenuhi, tekan Waris.

Sampai saat ini di Kabupaten Lebak sudah ada 8 kasepuhan yang memperoleh pengakuan dari negara. Diantaranya Kasepuhan Cirompang, Pasir Eurih, Karang, Cibarani, Citorek, Cibedug, Cisitu dan Cisungsang. Nah apakah sampai di sini perjuangan kita? Tentu tidak! karena ini bukan tujuan akhir. Ini baru gerbang. Tujuan akhir seharusnya bagaimana setelah memperoleh hutan adat, masyarakat di seluruh kasepuhan memiliki rasa nyaman dan aman lebih yaitu apa? Sejahtera lahir dan batin, pungkas Waris kepada para hadirin. Inilah yang menjadi tantangan dan pertanyaan bagi kita semua untuk bagaimana kita mendapatkannya. Untuk RMI lakukan saat ini adalah mencoba lakukan konsolidasi yaitu ngerembug bersama teman-teman pemuda karena teman-teman pemuda adalah generasi yang bakal jadi olot di lemburnya (kampungnya) masing-masing. Melalui pemudalah RMI mencoba fasilitasi dan belajar bareng-bareng bagaimana memperoleh keamanan dan kenyamanan yang lebih baik lagi dari hari ini.

Permasalahan yang kedua adalah, menyangkut persoalan hutan adat. RMI menjadikan persoalan sebagai catatan yang cukup penting karena seperti yang diceritakan kang Mursid barusan ada proses yang cukup panjang. Hal lainnya yang ketiga adalah soal bagaimana keberagaman pangan. Jadi ketika RMI belajar kasepuhan memang pertama yang kami pelajari adalah varietas padi lokal. Namun, ada juga makanan-makanan yang lain yang dimakan oleh masyarakat di Cirompang. Artinya di kasepuhan ini sudah ada keberagaman pangan. Kalau kita lihat di kios (stand) pameran pangan lokal dijual labu, pisang, ubi, dsb. Yang juga memiliki kandungan yang sama dengan padi. Sumber karbohidrat iya, sumber nutrisi iya, dan juga bahkan menjadi obat. Nah, hal-hal seperti itulah yang seharusnya terus dijaga sampai generasi-generasi berikutnya. Generasi yang melanjutkan tradisi dan nilai-nilai yang ada di kasepuhan.

Untuk yang terakhir soal guncangan perubahan iklim dan ketahanan pangan. Betul seperti yang disampaikan Pak Camat bahwa kita tidak hanya bergantung pada beras karena beras ini suatu saat bisa jadi punya tantangannya sendiri. Kalau kita lihat musim kemarau ini sawah sudah mengalami kekeringan dan itu artinya sulit untuk bisa ditanami padi. Lantas, karena kita punya ubi, labu itu masih menjadi sumber pangan kita. Di situlah pentingnya untuk selalu diingat dan diupayakan bahwa paling tidak di kebun kita ada sumber pangan cadangan. Di pemaparan terakhir yang Waris sampaikan. Ia mengajak para hadirin untuk mencermati 3 hal yang harus diupayakan untuk diamankan yang menjadi sumber penghidupan di saat kemarau yang durasi cukup panjang ini. Yaitu, pertama, air; kedua, pangan; dan ketiga adalah energi. Energi itu apa? Waris memberi contoh kecil yaitu api yang kita nyalakan untuk memasak adalah energi itu sendiri. Dengan demikian, ketiga elemen ini menjadi penting untuk diupayakan dan dijaga bersama-sama.

Gb 6. Para Juri (Ummi dari RMI dan Tracy dari Kemitraan) Melakukan Penilaian Lomba Tumpeng. Foto: Erik Suhana

Setelah ketiga perwakilan memberi pemaparannya, kini tiba waktunya bagi Kang Herry Yogaswara yang diminta pemandu acara untuk memberikan tanggapannya atas pemaparan dari ketiga perwakilan elemen yang hadir di Festival Pare Ketan. Kang Herry menceritakan pengalaman pertamanya bersama masyarakat kasepuhan yang dimulai di tahun 1987 di Kasepuhan Cipta Rasa yang saat ini menjadi Kasepuhan Cipta Gelar. Pertama-tama kang Herry memberi tanggapan atas pemaparan dari pengalaman kang Mursid dalam memperjuangkan pengakuan hutan adat. Kang Herry mengaku pernah ambil bagian di penyusunan Raperda Kasepuhan baik yang berada di Kabupaten Lebak maupun Kabupaten Sukabumi.

Gb 7. Kang Herry Yogaswara Memberikan Tanggapan Atas Pemaparan dari Perwakilan Kasepuhan, CSO, dan Pemerintah. Foto: Erik Suhana

Dulu ada tim yang membuat Perda Kasepuhan di Kabupaten Sukabumi dan Kasepuhan di Kabupaten Lebak. Dua-duanya ditahap pertama gagal. Jangan lupa itu kegagalannya! Kenapa gagal? Karena pada saat itu wilayah Kabupaten Sukabumi masuk di wilayah Banten tetapi incu putu Cipta Rasa sudah mendiami wilayah itu sebelum berdirinya Kabupaten Sukabumi maupun Kabupaten Lebak. Di dalam peta ada wilayah Lebak jadi tidak bisa Perda kabupaten itu ada di kabupaten lain. Jeung deui aya Perda Sukabumi. Sukabumi masuk Jawa Barat. Aya Lebak provinsi mana? Banten. Moal meunang. Nah yang Lebak juga gagal karena juga ada penolakan di DPRD. Kan Perda kudu kesepakatan Bupati jeung DPRD, sambungnya.

Di tahun 2015 masyarakat kasepuhan berhasil mendapatkan Perda Kasepuhan dari Bupati Lebak. Kalau kita membicarakan masyarakat adat di seluruh dunia maka ada 2 hal prinsip nya harus dipenuhi. Pertama, Pengakuan sendiri tentang keberadaan kasepuhan adat dengan catatan harus ada pihak lain yang mengakui. Siapa saja pihak luar tersebut? Di Indonesia pihak luar yaitu Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah. Di pemaparan kang Mursid di atas sudah menyinggung vertek, verifikasi teknis. Hal tersebut dilakukan agar batas-batas kasepuhan menjadi jelas. Kang Herry berbagi pengalamannya pernah tergabung sebagai tim verifikasi teknis hutan adat di 5 kasepuhan diantaranya Kasepuhan Cibarani, Cibedug, Cisungsang dan Kasepuhan Cisitu. Dari pengalaman tersebut, ternyata ditemukan di lapangan pengajuan hutan adat dari 2000 ha menjadi 2500 ha. Kenapa luasan hutan adatnya bertambah? Menurut kang Herry hal tersebut disebabkan oleh adanya pengakuan dari pihak lain dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pengakuan hutan adat dari negara harus ada produk hukum dar daerahnya mulai dari Perda, SK Bupati ataupun Perbup. Namun untuk pengakuan hutan adat, mengacu pada Pasal 67 UU No. 41 tentang Kehutanan Tahun 1999 dikatakan bahwa produk hukum yang diakui adalah Perda. Jika belum ada Perda-nya maka akan dijadikan statusnya Pencadangan Hutan Adat. Begitu prosedurnya. Berdasarkan pengalaman kang Herry sebagai tim verifikasi teknis hutan adat, pada hematnya didasarkan pada dua hal. Pertama, harus ada subyeknya yakni manusia yang mendiami daerah sekitar hutan adat. Dan kedua, harus Ada Obyeknya yakni keberadaan hutannya sendiri. Proses selanjutnya memang mesti bersabar karena pemohon hutan adat harus memetakan batas-batas hutan adatnya dan dilakukan dengan pemetaan partisipatif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di masyarakat kasepuhan.

Gb 8. Damidi Mewakili Teman-Teman Forum KAWAL Menyerahkan Hasil Rekomendasi Kepada Perwakilan Pemkab. Lebak. Foto: Erik Suhana

Acara sarasehan ditutup dengan pembacaan hasil rekomendasi Forum KAWAL yang diwakili oleh Damidi, pemuda adat Baduy kepada aparatur Pemerintah Kabupaten Lebak dan hadirin di Festival Pare Ketan. Damidi kemudian dengan mantab membacakan butir-butir rekomendasi tersebut. Pembacaan butir-butir rekomendasi ditutup dengan penyerahan hasil rekomendasi Forum KAWAL dan foto bersama antara Damini dengan Bapak Diki Darmawan selaku perwakilan Pemda Lebak. Acara sarasehan kemudian ditutup oleh pemandu acara, Fauzan Adima. Dalam kata penutupnya Fauzan menandaskan bahwa apa-apa saja yang sudah disampaikan di sarasehan ini kiranya dapat menjadi bagian penting untuk kita semua dan mengingatkan kembali bahwa ketahanan pangan ini menjadi catatan penting yang pada prakteknya sudah menajdi tradisi masyarakat adat yang perlu dilanjutkan oleh generasi muda kasepuhan.

Ditulis oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)