Upaya Mengenali Diri dan Kaitannya dengan Kepemimpinan Pribadi

Lebih mengenal dan memahami diri merupakan suatu tantangan bagi individu yang berkegiatan dengan lembaga maupun komunitas yang bergerak dalam kerja-kerja sosial. Tanpa disadari, upaya untuk lebih mengenali diri tidak jarang tertinggal atau bahkan tersingkirkan di tengah-tengah kerja sosial yang dinamis. Sedangkan proses mengenali diri, di sisi lain, dapat membantu mengatasi kelemahan serta memetakan potensi diri yang kita miliki–untuk kemudian dioptimalkan dalam kerja-kerja bersama di komunitas. 

Penguatan kapasitas, baik secara individual maupun organisasional, menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh ketiga komunitas yang tergabung dalam inisiatif Kampung Katong (Simpasio Institute, Kolektif Videoge, dan Lakoat.Kujawas) karena berkaitan dengan kebutuhan regenerasi dan pendalaman cakupan kerja di dalam internal komunitas mereka sendiri. Selama inisiatif Kampung Katong ini berjalan hingga tahun 2023, kegiatan Pelatihan Kepemimpinan akan dilaksanakan sebanyak tiga kali. Pelatihan akan disampaikan dengan materi-materi pendukung yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas kepemimpinan dalam beberapa tingkatan yakni; level pribadi pada Pelatihan Kepemimpinan 1, level penggerak organisasi Pada Pelatihan Kepemimpinan 2, dan level sistemik pada Pelatihan Kepemimpinan 3.

Kali ini kegiatan Pelatihan kepemimpinan 1 diselenggarakan di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dilaksanakan selama lima hari, Pelatihan Kepemimpinan 1 yang telah ditujukan untuk meningkatkan pemahaman akan diri pribadi secara lebih mendalam dan memahami posisi pribadi dalam gerakan sosial dan meningkatkan semangat kerja kolektif untuk kemajuan komunitas yang selama ini telah menjadi nafas utama dalam aktivitas rutin ketiganya.

Perkenalan dan Refleksi terhadap Kerja di Komunitas

Kegiatan pelatihan dimulai pada tanggal 22 Mei 2022, di mana ketiga komunitas pada akhirnya bertemu kembali setelah sebelumnya melakukan kegiatan Residensi selama satu minggu di Mollo (lokasi Lakoat.Kujawas) pada bulan Maret 2022 lalu. Meskipun  ketiga komunitas yang tergabung dalam inisiatif Kampung Katong berasal dari wilayah yang berbeda-beda, tidak menghalangi pembelajaran yang didapatkan selama prosesnya. Beberapa sesi dalam pelatihan justru disusun untuk mempelajari keberagaman latar belakang sosial-budaya dan saling mengapresiasi kerja-kerja komunitas–termasuk pembelajaran yang diperoleh sejauh ini.

Beragam kisah, budaya, dan pengalaman dituangkan oleh setiap peserta pelatihan melalui metode perkenalan di hari pertama. Penggunaan metode “Kita pung box” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Kotak Kepunyaan Saya” menjadi media perkenalan peserta yang sangat menarik. Dimulai dengan memberikan hiasan menggunakan spidol, krayon, potongan koran dan majalah bekas, hingga menggunakan bunga serta dedaunan yang ada di sekitar Biara Susteran PRR Weri yang menjadi lokasi dilaksanakannya pelatihan. 

Setelah memperindah box yang sudah disediakan, semua peserta mempresentasikan hasil karya mereka seraya memperkenalkan diri dengan cara yang unik dan kreatif. Marto salah seorang peserta pelatihan dari komunitas Teater SiapaKita Labuan Bajo (salah satu jejaring Kolektif Videoge) menceritakan bahwa proses pengenalan dirinya relevan dengan unfolding theory (salah satu metode pembawaan alur cerita dalam teater/drama). Dia berkata bahwa pada saat membuka satu lapisan dalam diri, pasti tidak akan langsung terbuka karena akan ada lapisan-lapisan lain setelahnya. Selain memperkenalkan diri kepada peserta lain, adapun peserta pelatihan yang membagi kisah hidup yang dialami hingga ia bisa bertahan sampai hari ini. 

Refleksi yang dilakukan selama proses pembuatan “Kita pung box” menjadi pembelajaran tersendiri, selain dapat dijadikan proses pengenalan diri bagi peserta pelatihan. Aden dari Kolektif Videoge memaparkan bahwa pembelajaran yang diterima melalui penggunaan metode “Kita pung box” dapat memunculkan pemikiran, informasi, dan perasaan yang mungkin selama ini hanya dipendam dalam diri sendiri. Mengenali kelebihan diri dan mempersiapkan masa depan. Hal itu pula yang nantinya akan sangat berdampak pada kerja-kerja di komunitas: dengan lebih memahami diri sendiri dan makin munculnya keterbukaan di antara anggota komunitas pastinya akan memudahkan apa yang sedang diusahakan.

Proses Pengenalan Diri dan Kepemimpinan Pribadi (Stereotip dan Bias Implisit)

Dalam menjalani proses pengenalan diri, perlu adanya alat bantu yang digunakan untuk mendalami diri dan merefleksikan segala hal yang telah maupun telah dilalui. Salah satu alat bantu yang digunakan di sini yaitu mengenal kepribadian melalui tes Myers-Briggs Type Indicator (MBTI). 

Untuk mengikuti tes MBTI ini, setiap peserta diminta untuk memberikan nilai pada pernyataan yang telah disediakan sebelumnya. Melalui pernyataan tersebut akan menghasilkan beberapa indikator tipe kepribadian yang diantaranya berisi Ekstrovert/Introvert, Intuitive/Sensing, Feeling/Thinking, dan Perceiving/Judging.

Walaupun hasil dari tes MBTI belum tentu akurat, tes MBTI ini dapat menjadi salah satu jalan pembuka untuk mengidentifikasi potensi dan mengenal diri lebih dalam. Menanggapi hasil tesnya,  Retha dari SimpaSio Institut berpendapat bahwa banyak tips yang perlu dipahami terlebih dahulu dan jangan langsung diterima begitu saja. Dari penjelasan MBTI, ada penjelasan mengenai kelebihan dan kekurangan diri serta bagaimana memperbaikinya. Namun menurutnya kepribadian tidak akan berhenti di satu titik. Pembelajaran yang telah dilalui selama ini dapat mempengaruhi kepribadian kita kedepannya. 

Lain halnya dengan pendapat yang dipaparkan oleh Ari dari Lakoat.Kujawas. Ia memberikan tanggapan bahwa setelah melihat tips yang diberikan melalui modul, masing-masing individu semakin sadar dan mengetahui potensi serta batasan-batasan yang mungkin ada dalam diri. Melalui tes kepribadian yang telah dilakukan, hasilnya cukup merepresentasikan kepribadian dan apa yang dirasakan setiap anggota komunitas.

Selanjutnya, upaya untuk lebih memahami dan melihat potensi diri di dalam komunitas terkonfirmasi melalui diskusi yang dilakukan bersama dengan anggota komunitas masing-masing. Banyak pembicaraan menarik yang disampaikan oleh tiap-tiap komunitas. Di dalam kelompok, mereka saling bergantian memberikan masukan berdasarkan contoh sehari-hari serta mengkonfirmasi penjelasan dan tips yang dituliskan di dalam modul MBTI. 

Untuk dapat memimpin sesuatu, kita perlu menjadi pemimpin untuk diri kita sendiri. Oleh karenanya selain mengenali diri sendiri, seorang pemimpin hendaknya mampu memahami realita sosial dan tantangan-tantangan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu tantangan tersebut mewujud ke dalam stereotip dan bias implisit yang terbentuk sedari dulu di tengah-tengah masyarakat. Dalam pelatihan kali ini, disinggung pula bagaimana stereotip dan bias implisit telah disematkan kepada seseorang sejak masih berada di usia dini, hingga berkembang ketika dewasa. Melalui teori interseksionalitas, diskriminasi beserta keistimewaan pada ras tertentu, jenis kelamin, agama, gender, usia, etnis, atau karakteristik lainnya. 

Selama kegiatan berlangsung, semua peserta saling memberikan pendapat terkait stereotip yang terjadi disekitar mereka maupun yang mereka rasakan sendiri. Ari dari Lakoat.Kujawas mengungkapkan bahwa ia sempat beranggapan bahwa semua idol yang berasal dari Korea Selatan pasti melakukan operasi plastik. Namun operasi plastik yang marak dilakukan oleh idol-idol Korea kebanyakan datang dari wilayah luar yang pada akhirnya mempengaruhi standar kecantikan di negara tersebut. Ditambah lagi dengan pemasukan Korea Selatan yang lebih banyak datang dari bidang hiburan yang menambah penggunaan jasa operasi plastik. Melalui diskusi yang telah dilakukan mengenai stereotip dan bias implisit, seluruh peserta akan mengonfirmasikan beberapa hal secara langsung dengan turun ke lapangan dan melakukan observasi sosial.

Sementara Eda dari SimpaSio Institut menceritakan tentang stereotip yang diperlihatkan kepada masyarakat di Indonesia timur. Pelabelan tersebut dapat dilihat melalui film-film yang sempat beredar. Banyak film-film tentang masyarakat Indonesia timur yang hanya menggambarkan potret-potret kemiskinannya saja. Eda melanjutkan bahwa sistem pendidikan yang terlalu Jawa sentris pada akhirnya berdampak pada masyarakat di timur yang kurang memahami konteks kesejarahan yang ada di tempat masing-masing. Akibat dari pelabelan atau stereotyping yang terjadi akan berpengaruh pada cara membangun relasi dengan komunitas lain.

Melihat dan Mempelajari Keadaan Sekitar dengan Observasi Sosial

Setelah mengikuti materi tentang kepemimpinan pribadi yang berkaitan dengan stereotip dan bias implisit, seluruh peserta melanjutkan kegiatan dengan mengikuti observasi sosial yang tersebar di lima titik. Secara berkelompok, ada peserta yang melakukan observasi sosial di Pelabuhan Larantuka, Pelabuhan Tradisional (masyarakat Melayu pesisir), menyambangi kelompok tenun Waibalun (Lamaholot), mengobservasi keadaan Pasar Inpres, dan mengunjungi komunitas transpuan yang ada di Lebao. 

Semua peserta pelatihan yang mengikuti observasi sosial saling bertukar pembelajaran tentang apa yang berbeda dari tempat asal mereka dan bekerja sama untuk mendapatkan informasi yang nantinya akan dipresentasikan kepada peserta lainnya. 

 Dokumentasi oleh Toni (Lakoat.Kujawas)

Citra dari Kolektif Videoge, yang merupakan anggota kelompok yang melakukan observasi di Pasar Inpres Larantuka, bercerita tentang apa yang ia lihat dan pelajari selama melakukan observasi. Ia bercerita bahwa pasar tersebut identik dengan payung berwarna-warni dan di dalamnya tersimpan beberapa hal yang cukup menarik. Adapun perbedaan antara pasar yang ada di tempat asalnya (Labuan Bajo) dengan Pasar Inpres yang ada di Larantuka yaitu komoditas yang diperjualbelikan di Pasar Inpres terasa lebih beragam: mulai dari batang kecombrang yang ditanam oleh orang-orang Adonara, kerajinan tangan dari daun lontar, hingga kue-kue pasar yang menambah kemeriahan suasana Pasar Inpres. Selain itu, kebanyakan penjual yang ada di Pasar Inpres Larantuka adalah perempuan. Walaupun ada laki-laki yang ikut berjualan, jumlahnya tidak lebih banyak dari jumlah perempuan menggelar lapak di sepanjang Pasar Inpres.

Dokumentasi oleh Marto (Kolektif Videoge)

Selain mencari tahu apa-apa saja yang sekiranya berbeda dengan tempat asal, ada pula pembelajaran baru yang didapat oleh peserta setelah melakukan observasi. Salah satu kelompok observasi yang berkunjung ke Lebao, tempat Komunitas Ikwal (Ikatan Waria Larantuka) transpuan berada, diajak untuk mendiskusikan stereotip yang disematkan kepada transgender. Mereka berbincang tentang banyak hal mulai dari sejarah terbentuknya Komunitas Ikwal, perubahan tren pilihan pekerjaan kelompok transpuan di Larantuka, stigma dan stereotip masyarakat mengenai transpuan itu sendiri, hingga bagaimana pada akhirnya sebutan “oncu” atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti “anak bungsu” digunakan oleh komunitas transpuan di Larantuka. 

Refleksi Kemiskinan Struktural dan Kerja Sama Kelompok

Pembelajaran tidak hanya berhenti di kegiatan observasi sosial. Setelah melakukan observasi sosial, semua peserta pelatihan diajak untuk memahami suatu kondisi sosial yang terjadi di tengah-tengah mereka dengan menggunakan metode permainan “Minta Dong” untuk lebih memahami mengenai persoalan kemiskinan struktural. Sebelum memulai permainan, fasilitator meminta persetujuan dari seluruh peserta yang ingin mengikuti permainan. Setelah mengukuhkan komitmen, mereka yang setuju ikut bermain tidak boleh keluar dari permainan dan diharuskan menerima konsekuensi apabila kalah dalam permainan. Namun untuk peserta yang tidak ingin bermain maka akan menjadi observer selama permainan berlangsung.

Sesi pertama pun dimulai, seluruh peserta diminta untuk mengambil 8 dari 4 jenis biji-bijian berbeda, yang telah disiapkan dan melakukan barter dengan peserta lain sambil menyebutkan kata “Minta dong!”. Namun selama ronde awal dimulai, seluruh peserta yang tengah melakukan barter belum diberitahu bahwa biji-bijian tersebut memiliki nilai yang berbeda antara satu dan lainnya. Permainan ini terbagi kedalam beberapa ronde untuk melakukan barter. Setiap berakhirnya ronde barter, poin dari tiap-tiap biji dihitung dan dijumlahkan. Barulah kemudian dilihat siapa yang mendapatkan poin paling rendah pada ronde tersebut. 

Setelah melalui ronde ketiga, barulah fasilitator menyampaikan bahwa setiap biji-bijian memiliki nilainya masing-masing. Setelah mengetahui bahwa ada perbedaan nilai, peserta yang mengikuti permainan mulai mencari cara untuk mendapatkan nilai tertinggi agar tidak kalah dalam permainan dan mendapatkan sanksi. Setelah permainan memasuki ronde terakhir, ada sedikit perubahan dalam cara bermain para peserta. Mereka yang sebelumnya saling berlomba untuk mendapatkan nilai tertinggi, mulai membagi rata nilai biji-bijian kepada seluruh peserta.

Diskusi dan refleksi kemudian dilakukan seselesainya permainan ini. Terkait dengan cara pandang melihat orang-orang yang dilabeli “kalah dalam permainan” serta kerja sama untuk membantu sesama peserta yang memiliki nilai paling rendah untuk menghindari kesenjangan. Adanya kecenderungan dari peserta dengan nilai yang tinggi untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan jumlah biji-bijiannya, meminta dari peserta lain yang kekurangan biji-bijian, juga menghindar ketika diminta barter. Salah satu refleksi utama dari permainan ini adalah bagaimana orang-orang yang kalah dalam permainan ini (si miskin) bukan karena tidak mau berusaha, melainkan karena adanya orang-orang yang “menang” (si kaya) yang terus menjalankan sistem sosial-ekonomi yang melanggengkan kondisi ini.

Penguatan Komitmen Peserta untuk Kerja-Kerja Bersama di Komunitas

Rangkaian kegiatan Pelatihan Kepemimpinan 1 diakhiri dengan melakukan penguatan komitmen dari seluruh peserta yang dilakukan di Pantai Asam Satu. Sebelum berangkat ke pantai, seluruh peserta diminta untuk menuliskan harapan dan komitmen berkaitan dengan komunitas mereka masing-masing. Setelah sampai di pantai, peserta yang mendapatkan giliran untuk membacakan harapan dan komitmen dikelilingi oleh peserta lain dengan memegang pundak atau kepala peserta sembari membacakan tulisan yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah selesai membacakan komitmen serta harapan, peserta diminta untuk berlari ke arah pantai dan melompat ke dalam air sebagai simbol penguatan komitmen yang sebelumnya sudah mereka buat.

Setelah Pelatihan Kepemimpinan 1 selesai diselenggarakan, diharapkan seluruh peserta yang juga tergabung ke dalam inisiatif Kampung Katong ini mendapatkan pembelajaran terkait pengenalan diri dan kepemimpinan pribadi yang nantinya akan sangat dibutuhkan untuk menjaga semangat kerja kolektif yang tengah diusahakan oleh ketiga komunitas. Sampai bertemu di Pelatihan Kepemimpinan selanjutnya!

Penulis: Dinah Ridadiyanah

Editor: Supriadi

Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui kopi

Pohon kopi merupakan salah satu tanaman yang paling sering ditemui di dalam kebun masyarakat Lebak, Banten, tak terkecuali di komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani. Terlepas dari berapa banyak kapasitas yang dimiliki, setiap unit keluarga hampir dipastikan memiliki tanaman kopi di kebunnya. Lebih luas lagi, keberadaan tanaman kopi terhampar di ekosistem Gunung Halimun-Salak. Kopi juga telah lama dimanfaatkan masyarakat Kasepuhan, baik untuk pemenuhan kebutuhan sendiri maupun sebagai produk komoditas yang dijual ke pasar-pasar lokal.

Hasil survey sosial-ekonomi (RMI tahun 2018) menunjukan bahwa komuditas kopi bukan termasuk dalam komoditas produktif yang utama. Dengan kata lain, kopi belum tergolong sebagai komoditas yang dikelola secara optimal, terlepas dari tujuannya kopi untuk pemenuhan sendiri atau dijual ke pasar. Petani kopi di komunitas ini seolah berada di kutub yang lain, ketika melihat fakta dalam skala yang lebih luas bahwa Indonesia tergolong dalam ketiga terbesar dunia sebagai produsen kopi.

Atas dasar itu, RMI dengan dukungan Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territory (ICCA’s) melaksanakan Pelatihan Proses Panen dan Pasca Panen Kopi di Kasepuhan Cibarani, Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Lebak, Banten, pada 31 April-2 Mei 2022. Pelatihan ini diikuti oleh empat orang perempuan dan 16 orang laki-laki.

Dari cangkir kopi belajar merasa dan menghargai kopi

Dilihat dari kesejarahannya, dari dulu hingga sekarang wujud biji kopi yang kita kenal begitu adanya. Lalu, perlahan dihantar pada dua jenis yang umum dijumpai di Indonesia, robusta dan arabika. Cara sederhana membedakan kedua jenis itu adalah dengan cara membaui aroma dan menyeruputnya. Robusta cenderung pahit, sementara arabika agak keasam-asaman. Agar dapat lebih mudah mengenali perbedaannya, Aswin Mahu, narasumber pelatihan kopi, menyeduh beberapa cangkir kopi untuk dicicipi para peserta.

Sedari awal memang disiapkan beberapa jenis biji kopi dari berbagai daerah seperti Gayo Aceh, NTT, Mandailing, Solok dan juga Ciwaluh.  Tak lupa juga ada kopi Cibarani yang menjadi sampel untuk belajar mengenali dari cita rasa dan aroma. Di sini, semua peserta diminta untuk mengadili dan berkomentar menurut pengalaman masing-masing pasca membaui dan menyesap sesendok kopi. Kerangkanya jelas untuk mencari tahu pada cangkir yang mana melaui indra perasa, hatinya terpikat.

Setelah menyesap kopi, peserta diminta berbagi cerita pengalaman tentang proses mengolah kopi. Ang Sunarya salah satu peserta bercerita, secara umum pengolahan kopi di Cibarani masih dengan cara tradisional. Ketika musim panen misalnya, untuk mengetahui sudah bisa dipanen atau belum, dengan cara disesap buah berinya. Menurutnya kalau sudah agak lunak dan agak manis berarti kopi sudah bisa dipanen. Lalu, petani memetik secara keseluruhan satu turus dahan kopi, alhasil buah biji kopi yang sudah matang dan masih mentah semuanya terpanen. Kondisi ini juga didasarkan pada batang kopi yang menjulang tinggi, sehingga jika yang dipetik yang merah saja, membuat petani berpikir dua kali untuk memetik sisa buah lainnya.

Narasumber mulai menjelaskan tentang proses panen kopi yang baik dan benar. Misalnya terkait masa panen kopi yang durasinya bisa sampai tiga bulan dan dilakukan pemetikan selama tiga kali. Hal ini dimaksudkan untuk belajar menghargai kopi pada level petani, sebelum kopi tersebut dihargai oleh pembeli/pasar.

Lebih lanjut, ia mengajukan pertanyaan paling dasar, kenapa harga kopi bisa berbeda-beda. Meskipun banyak faktor yang bisa mendongkrak harga kopi, sebut saja ketinggian dan varietas. Salah satu penentunya dilihat dari proses pengolahan pasca panen, dalam hal ini semestinya yang pertama mendapat perhatian adalah manusianya.

Kopi berkualitas dihasilkan dari Manusia berkualitas

Tak terelakan lagi jika sumber daya manusia yang berkualitas menjadi penentu utama atas produk-produk yang dihasilkan. Untuk itu, kerangka pelatihan ini bertujuan dalam pengembangan manusia. Kopi sebagai medium untuk menghantar pada pemahaman-pemahaman mendasar yang berhubungan dengan peningkatan kualitas dan kuantias hasil yang diproduksinya. Lebih jauh, harapnya dari sini masyarakat terpantik memiliki jiwa usaha melalui hasil hutan, meningkatkan pendapatan yang berujung pada kesejahteraan suatu komunitas. Mengingat modal komunitas sangat kuat dengan dukungan manufaktur seperti akses pada mesin-mesin pendukung dalam pengolahan kopi.

Kritiknya selalu berkutat pada keterbatasan manusianya dalam memanfaatkan alat-alat yang ada. Pelatihan model ini secara tidak langsung berkontribusi pada peningkatan kapasitas manusia yang mengurus bagian hulunya. Karenanya, prinsip dasar berhasil baiknya suatu komoditas tidak dapat dipisahkan dengan cara manusianya dalam memperlakukan dan atau mengolahnya.

Dalam konteks pengelolaan Hutan Adat dan Arean Konservasi Kelola Masyarakat, selain tanaman kopi dapat dimanfaatkan buahnya, sekaligus berfungsi baik sebagai resapan air. Selain tanaman kopi mensyaratkan adanya pohon penaung (diversity) di sekitarnya. Lebih jauh lagi, komunitas kasepuhan yang diberi kepercayaan dalam mengelola wilayahnya dapat menunjukkan cara kerja nyata dalam menjaga keseimbangan antara konservasi dan produksi. Terlebih ada dorongan dikelola secara kelompok dengan sistem kerja yang disepakati bersama.

Penulis: Abdul Waris

Editor: Siti Marfu’ah

Sekolah Kaki Gunung (SKG) Bekal Generasi Muda dalam Merespon Persoalan Sosial, Lingkungan, dan Agraria

Keterhubungan masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan dengan pengelolaan kekayaan alam dan pembangunan yang tidak menggambarkan keadilan, menjadi faktor ketimpangan serta krisis sosial-ekologis yang terjadi di tengah-tengah kita. Bagaimana pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam hanya dikelola oleh segelintir orang saja, hingga dinamika kebijakan yang berdampak pada krisis lingkungan yang pada akhirnya berpengaruh pada ruang hidup dan kesejahteraan masyarakat.  Masyarakat yang tinggal di …

Kembali Belajar Pemetaan Sosial-Spasial, Upaya Lebih Mengenal Ruang Hidup dan Penghidupan

Berangkat dari kesadaran bahwa perjuangan mendapatkan hak dan pengakuan bukanlah tujuan akhir, maka dibutuhkan proses-proses pengorganisasian yang dapat mendukung langkah-langkah selanjutnya. Pengakuan Hutan Adat merupakan ‘penghantar’ menuju perjuangan yang lebih besar, salah satu tujuannya menciptakan prinsip pemerataan akses, berkeadilan serta mencapai kesejahteraan lahir-batin. 

Dalam konteks pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani, SK Hutan Adat yang diterima pada awal tahun 2021, belum menyentuh pada prinsip-prinsip berkeadilan di internal masyarakat adat Kasepuhan Cibarani. Pasalnya, belum ada perubahan struktur yang berarti dalam penguasaan dan pengelolaan, dengan kata lain masih melanjutkan warisan tata kelola semasa masih dikuasai Perum Perhutani. Sehingga belum lah jelas ‘kemana arah’ Hutan Adat Kasepuhan Cibarani. Lebih lanjut belum layak dinilai sejauh mana Hak Hutan Adat berkontribusi pada perbaikan penghidupan dan kehidupan anggota komunitas. Terlebih kepada golongan lemah yang tidak dan/atau terbatas dalam menjangkau akses atas sumber-sumber penghidupan berbasis tanah dan hutan. 

Di lain sisi, kelembagaan Adat membutuhan baseline data yang dapat menjadi acuan dasar dalam perencanaan, pengelolaan, pengambilan keputusan dan kebijakan pada tingkat komunitas. Yang selanjutnya dapat terealisasi di internal komunitas dalam melakukan upaya-upaya pembenahan ke arah yang lebih baik.

Ruang belajar Lintas Generasi 

Sebagai upaya meningkatkan kapasitas komunitas, terutama kelompok perempuan dan pemuda, dalam sepekan diadakan Pelatihan Pemetaan Sosial-spasial Wilayah Adat. Kerangkanya adalah sebagai tahap lanjutan dari proses pengaturan dan pengelolaan serta keadilan di internal masyarakat Cibarani. Pada kesempatan ini, mengundang juga peserta muda dari beberapa Kasepuhan seperti Kasepuhan Pasir Eurih, Cirompang dan Cibeas.  Harapannya dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam proses pengelolaan Hutan Adat. Mengingat Kasepuhan Pasir Eurih dan Kasepuhan Cirompang Hutan Adatnya juga telah ditetapkan. 

Pelatihan berlangsung selama 5 hari, yaitu pada 25-29 Januari 2022, bertempat di Imah Gede Kasepuhan Cibarani. Peserta yang terlibat dalam pelatihan ini sebanyak 20 orang yang terdiri dari 9 perempuan, 5 pemuda, 3 Perangkat Desa dan 3 baris kolot. Pelibatan para tetua dipandang lebih memberi warna dalam berbagi pengalaman. 

Materi-materi yang disampaikan pada kegiatan ini berkaitan dengan sejarah pengakuan Hutan Adat, makna Hutan Adat bagi komunitas, ancaman serta kerentanan yang menyertainya. Materi tersebut sebagai pengantar untuk diskusi-diskusi ke depannya mengenai pentingnya melakukan pemetaan sosial-spasial.

Imam Mas’ud (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif/JKPP) sebagai narasumber membuka diskusi dengan membagikan kertas meta plan kepada para peserta untuk menuliskan “Apa makna Hutan Adat dan/atau Wilayah Adat”?.  Sebagian besar peserta menuliskan bagi mereka Hutan Adat adalah sumber kehidupan dan penghidupan. Alasan itu juga yang disampaikan kenapa penting menjaga dan memelihara kampung, tempat di mana mereka dillahirkan dan dibesarkan. Lebih jauh bagaimana mengenali dan mengelola potensi-potensi yang ada, karena masyarakat lah yang lebih tahu tentang kondisi ruang hidupnya sendiri. Didukung dengan pengalaman dan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun. Untuk itu, wilayah adat dikelola oleh masyarakat suatu keniscayaan. Masyarakat tidak bisa menitipkan nasibnya kepada orang lain, melainkan masyarakat sendiri yang mampu merencanakan serta mengelola Hutan Adatnya berbasis pada pengetahuan dan pengalaman sendiri.

Di waktu yang sama, peserta juga belajar mengenai strategi mata pencaharian (livelihood), mengenal kampung/adat, analisis kelembagaan Adat/Desa dan pengenalan Gender dan PSDA. Untuk pengenalan Gender dan PSDA lebih fokus pada alokasi waktu kerja dan ruang jelajah laki-laki dan perempuan, utamanya dalam kerangka subsitensi yang bersumber dari alam.  

Pada saat yang sama, kami juga melakukan pemetaan spasial wilayah adat dengan menggunakan drone. Hasil tangkapan drone kembali didiskusikan bersama masyarakat kasepuhan untuk mengidentifikasi pembagian ruang menurut pengetahuan lokal. Langkah ini guna mempertegas ruang berikut asal-usul penamaan dan kesejarahannya. Khusus untuk lahan garapan dalam rencana tindak lanjut akan dilakukan pemetaan persil secara partisipatif dan rencana pemanfaatannya. Selain itu akan dilakukan juga identifikasi pangan liar berbasis gender dan keanekaragaman hayatinya.

Kolaborasi Antar Generasi Muda Kasepuhan

Belajar dari beberapa komunitas di Kabupaten Lebak yang sudah ditetapkan Hutan Adatnya, masih minim adanya pelibatan kelompok perempuan dan pemuda dalam perencanaan, pengelolaan dan pengambilan keputusan di level komunitas. Di konteks Cibarani, kecenderungan para pemuda lebih memilih mencari nafkah di kota ketimbang mengelola lahan di tanah tumpah darah. Hal ini menunjukan bahwa kepastian hak bukan semata sebagai penjamin terutama bagi kelompok perempuan dan generasi muda dapat memanfaatkan potensi dari sumber-sumber kekayaan alam lingkungannya.

Pasca pelatihan ini, harapannya generasi muda lebih peka untuk melibatkan diri dalam proses-proses pengelolaan Hutan Adat. Berbekal asupan pengetahuan pemetaan sosial-spasial tentunya lebih bisa mengukur sejauh mana agenda perencanaan dapat berkontribusi pada gerakan kaum muda dan kedaulatan atas ruang adatnya. Pun satu hal yang pasti generasi muda adalah tonggak pelanjut atas identitas komunitas.

Penulis: Abdul Waris

Editor: Siti Marfu’ah

Kampung Katong dan Semangat Dekolonisasi Tiga Komunitas Di Nusa Tenggara Timur

Seiring dengan menguatnya tantangan sosial dan lingkungan yang muncul beberapa dekade terakhir di Indonesia, makin menguat pula pertumbuhan gerakan sosial berbasis masyarakat yang hadir untuk merespons tantangan-tantangan tersebut. Dengan mengedepankan semangat dekolonisasi, baik disadari maupun tidak, gerakan-gerakan ini utamanya hadir dengan tujuan mereposisi pengetahuan lokal sebagai pusat dari identitas generasi muda dan komunitasnya—sebagai reaksi atas konteks dan permasalahan yang dihadapi di wilayahnya masing-masing.

Gerakan sosial itu sendiri umumnya aktif bergerak dalam skala kecil (level komunitas) yang diantaranya bertujuan untuk mereproduksi pengetahuan kritis dan kontekstual, berbasis sukarela dan dipimpin oleh anak muda setempat, serta memanfaatkan media kreatif untuk menarik partisipasi lebih luas dari anggota masyarakat di sekitarnya. Namun agenda untuk memperluas dampak gerakan sosial tersebut, dalam praktiknya, seringkali terbentur oleh keterbatasan sumber daya dan kemampuan manajerial yang mereka miliki.

Inisiatif Kampung Katong

Penguatan gerakan secara sosial-organisasional oleh karenanya menjadi penting mengingat tren global yang memobilisasi sumber daya langsung ke dalam komunitas berpotensi mengancam keguyuban di dalam komunitas itu sendiri. Merefleksikan hal tersebut di atas, di samping pengalaman melakukan kerja kolaborasi bersama komunitas adat dalam inisiatif Being and Becoming Indigenous di tahun 2020-2021 lalu; RMI bersama dengan Lakoat Kujawas, SimpaSio Institute, dan Kolektif Videoge bekerja sama dalam satu konsorsium untuk mengimplementasikan inisiatif Kampung Katong.

Nama Kampung Katong,  secara harfiah berarti Kampung Kami, berasal dari dialek Nusa Tenggara Timur yaitu “kami pung manekat, papada, kampong tangayang berarti semangat kerja bersama untuk membangun kampung. Dengan dekolonisasi sebagai semangat utama, inisiatif ini berupaya mendukung gagasan berbasis komunitas yang berfokus pada orang muda guna memperkuat identitas dan mengelola potensi lokal mereka secara kolektif. Kampung Katong dalam pelaksanaannya juga berusaha memperkokoh kapasitas kepemimpinan orang muda yang akan berimplikasi positif pada kegiatan-kegiatan lokal yang bersifat komunal, dengan mengedepankan partisipasi bermakna dari para pemegang hak (rightsholder) yaitu Masyarakat Adat Mollo; Suku Bugis, Bima, dan Bajo; serta etnis Melayu-Larantuka sehingga mereka dapat mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.

RMI berkolaborasi dengan tiga komunitas lokal di Nusa Tenggara Timur yaitu Kolektif Videoge di Labuan Bajo, Lakoat.Kujawas di Mollo, dan Simpasio Institute di Larantuka; inisiatif ini diproyeksikan sebagai studi kasus bagaimana revitalisasi tradisi, perlindungan ekologi, serta pengelolaan sumber daya yang menopang penghidupan berkelanjutan sejatinya dapat berjalan beriringan.  Selain itu hadirnya ruang belajar bersama dan solidaritas antarkomunitas difasilitasi melalui rangkaian kegiatan seperti residensi lintas pembelajaran serta pengarsipan dan pendokumentasian tradisi lokal.

Kick-off Meeting untuk saling mengenal dan meningkatkan kapasitas kolaborator

Pada 19-24 November 2021, inisiatif Kampung Katong mengadakan pertemuan pertama kalinya secara luring di Bogor, Jawa Barat. Ini adalah kegiatan paling pertama yang menandakan dimulainya inisiatif Kampung Katong, sekaligus peluang untuk mensosialisasikan informasi dan menetapkan kesepakatan bersama yang berlaku selama berlangsungnya inisiatif. Pertemuan awal ini juga menjadi sarana untuk mendiskusikan strategi-strategi yang berkontribusi terhadap pencapaian tujuan inisiatif seperti mendorong partisipasi bermakna perempuan dan anak muda dalam inisiatif lokal dan memetakan potensi lokal.

Perwakilan Kolektif Videoge sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Dengan dua perwakilan dari masing-masing komunitas, pertemuan ini dimulai dengan pekenalan dan saling berbagi pengalaman kerja-kerja di komunitas Kolektif Videoge aktif melakukan kegiatan komunitas di Labuan Bajo dengan telusur (riset) yang dilakukan oleh komunitas, kemudian dilanjutkan dengan rekam (proses produksi) melalui pencatatan dan penciptaan karya, kemudian penyaluran karya. Empat program utamanya adalah Sapa Tetangga Hari Ini, kegiatan berkala untuk mencermati apa yang terjadi di lingkungan sekitar; Buka Layar, penyaluran karya yang dibuat oleh pemuda untuk membaca respon masyarakat dengan film; Pesiar: Satu Hari Untuk Pulau yaitu kegiatan pelesir untuk merespon pemahaman masyarakat sekitar terkait dengan pengetahuan lokal; dan yang terakhir adalah Maigezine wadah untuk menyalurkan karya-karya yang dibuat oleh komunitas.

Kemudian Simpasio Institute yang merupakan lembaga arsip yang embrionya sudah ada sejak tahun 1986 dan telah menjadi lembaga untuk umum pada tahun 2016. Lembaga ini memiliki tujuan untuk mengarsipkan pengetahuan lokal Melayu-Larantuka di wilayah Flores Timur. Beberapa kegiatan Simpasio diantaranya program perpustakaan (taman baca) berupa lapak baca dengan mekanisme plesiran dari kampung ke kampung; dongeng lokal menggunakan dua bahasa; pesta anak untuk merayakan hari anak nasional, untuk memperkenalkan permainan-permainan tradisional; lingkar belajar, mengenai sejarah Larantuka; Muko Sorghum Kitchen, yang menjadi sumber pemasukan bagi komunitas; dan jejak musik di Larantuka sebagai upaya kaum muda untuk mempelajari genre musik Keroncong Melayu Larantuka.

Perwakilan Simpasio Institute sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Sedangkan untuk Lakoat.Kujawas, dijelaskan bahwa nama komunitasnya merupakan nama yang identik dengan anak-anak, karena kebanyakan anak-anak yang sering memanjat pohon Lakoat dan Kujawas. Program utama Lakoat.Kujawas diantaranya adalah Skol Tamolok yaitu sekolah budaya yang dilakukan secara online dan juga offline untuk membahas keterkaitan Masyarakat Adat  dengan alam; Mnahat Fe’u atau kelas menulis kreatif yang dibuat untuk membimbing anak tingkat SMP/sederajat dan SMA/sederajat untuk menggali dongen-dongen yang biasa diceritakan, kemudian cerita tersebut dibukukan; serta kelas menenun yang dibuat untuk anak muda yang memiliki ketertarikan belajar menenun kepada orang tua Mollo secara langsung.

Perwakilan Lakoat.Kujawas sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Enam hari pelaksanaan kegiatan kick off meeting ini pada dasarnya diarahkan sebagai satu proses dua arah. Tidak hanya berupaya mengenalkan organisasi anggota konsorsium dengan inisiatif Kampung Katong beserta persoalan teknis-administrasinya, Kick off meeting ini juga menjadi media RMI dan tiga anggota konsorsium lainnya untuk saling memetakan kondisi saat ini dan asesmen kebutuhan peningkatan kapasitas ke depan. Berkaca dari proses diskusi dan asesmen awal ketika merancang inisiatif Kampung Katong, perencanaan strategis program dan manajemen keuangan merupakan dua hal yang menurut anggota konsorsium paling mereka butuhkan. Oleh karena itu, masing-masing dua sesi perencanaan strategis program dan manajemen keuangan yang menyeimbangkan antara pengetahuan konseptual dan praktik juga dilaksanakan pada saat kick off meeting berlangsung. Bersama dengan diskusi terkait kampanye sosial media, sesi-sesi yang diberikan diharapkan dapat meningkatkan keterampilan komunitas selain juga tentunya berkontribusi pada peningkatan efektivitas dan transparansi pelaksanaan inisiatif Kampung Katong.

Inisiatif Kampung Katong merupakan serangkaian program jangka panjang yang diimplementasikan sejak November 2021 hingga Desember 2023 dengan dukungan dari Voice Global. Fokus mendorong pengembangan inisiatif lokal dan praktik-praktik baik dekolonisasi di akar rumput; serangkaian kegiatan seperti reproduksi pengetahuan lokal, pengarsipan dan pendokumentasian, residensi saling-belajar, serta pelatihan kepemimpinan akan diorganisasi oleh RMI bersama Lakoat Kujawas, SimpaSio, dan Videoge dengan menyasar anak muda dan perempuan di komunitasnya masing-masing.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Supriadi

Kesejahteraan Lahir Batin: Sistem Pangan dan Dampaknya Bagi Kita

Pangan liar Masyarakat Adat Kasepuhan

Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman (UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan).

Kehidupan manusia tak akan pernah bisa lepas dari pangan, yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang bersifat primer. Berdasarkan wawancara dengan Said Abdullah (Ayip), Koordinator Nasional KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan), perkembangan sistem pangan dipengaruhi dan dibentuk dari perkembangan sistem kapitalisme dunia, dan hal ini bersifat resiprokal. Hal tersebut lah yang kemudian memunculkan adanya penguasaan pangan dunia yang dikategorikan dalam tiga periode. Periode awal atau disebut dengan periode kolonialisme terjadi sebelum tahun 1930. Pada periode ini, dengan membawa politik Gold, Glory, Gospel, negara-negara Eropa menjelajah dunia untuk mencari bahan pangan ke bumi bagian selatan. Bahan pangan yang didapat dikuasai dan dikelola penuh oleh negara, bertujuan untuk menghidupkan industri pengelolaan pangan yang mereka miliki. Cara ini dilakukan dengan memperluas industri produksi pangan di negara koloninya, dengan menjadikannya sebagai lumbung pangan. Peristiwa ini kemudian berkembang menjadi industrialisasi pertanian dan bertahan hingga sebelum perang dunia kedua meletus.

Setelah perang dunia pecah, dimulailah periode kedua dengan penguasaan pangan berpindah dari Eropa ke Amerika. Dalam periode ini, Amerika memiliki peran besar untuk membentuk industrialisasi pangan dunia dengan memanfaatkan negara-negara bekas jajahan bangsa Eropa. Salah satu yang dihasilkan dalam periode ini adalah dimulainya penyeragaman jenis pangan dengan membawa jargon “Ketahanan Pangan”. Negara bersama dengan perusahaan mulai menyeragamkan benih, cara pengolahan, dan alat yang digunakan untuk mengolah pangan. Industrialisasi pangan dunia ini kemudian berdampak pada petani yang tidak bisa mandiri untuk mengembangkan varietas yang dimilikinya dengan alasan produknya tidak akan laku di pasaran karena berbeda dengan varietas yang umum dipasarkan. Di konteks Indonesia, beras dijadikan komoditi utama sebagai bahan pangan pokok, mengantikan beberapa bahan pangan seperti jagung, sorgum, sagu, dan beberapa lainnya. Penyeragaman ini, perlahan tapi pasti, berpotensi menimbulkan degradasi sumber daya genetik dalam konteks benih. Dari yang awalnya terdapat berbagai macam benih untuk satu jenis bahan pangan, pada akhirnya hanya akan menyisakan beberapa macam benih saja.

Dari periode kedua ini, industrialisasi pangan semakin berkembang dan mendorong berbagai korporasi untuk secara penuh memonopoli sistem pangan. Era ini dikategorikan sebagai periode ketiga yang berlangsung mulai dari tahun 1980 hingga sekarang. Berbagai macam produk pangan, mulai dari benih, peralatan, hingga produk olahan, yang dikelola oleh korporasi atau perusahaan sudah merambah ke berbagai belahan dunia. Fenomena ini semakin menjadikan masyarakat “menikmati” keseragaman pangan yang dilakukan oleh perusahaan. Contoh nyata yang bisa dilihat adalah maraknya produk olahan gandum, mulai dari produk roti, biskuit, maupun olahan-olahan di restoran cepat saji, yang sudah merambah berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Fenomena ini perlahan bisa menjadi ancaman bagi ketahanan dan kedaulatan pangan lokal Indonesia. Beberapa varietas benih pangan lokal pun terancam punah karena tidak lagi ditanam akibat penyeragaman ini. Belum lagi serbuan produk pangan impor lainnya, dan beberapa produk dengan rekayasa genetika yang dinilai lebih menarik dan lebih unggul daripada produk pangan lokal. Padahal, jika dilihat lebih dalam, produk pangan lokal Indonesia jauh sangat beragam macamnya dan bisa saling menggantikan apabila pangan yang biasa kita olah/makan sedang terbatas ketersediaannya. Selain berdampak pada benih, penyeragaman ini juga berpotensi menghilangkan pengetahuan dan teknologi terkait jenis dan sistem pangan lokal. Hal ini diakibatkan karena monopoli perusahaan dalam menentukan produk pangan yang dikonsumsi masyarakat.

 

Pangan liar Masyarakat Adat Kasepuhan

Berangkat dari fenomena-fenomena di atas, istilah kedaulatan pangan muncul untuk mendorong sistem pangan agar bisa mandiri, dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati yang dimiliki masing-masing daerah agar tidak bergantung pada monopoli sistem pangan yang dilakukan korporasi. Kedaulatan pangan berfokus pada hak dan menjadikan petani sebagai subjek yang memiliki kuasa untuk menentukan produk pangan apa yang akan ia kembangkan. Tujuan dari kedaulatan pangan bukan untuk meningkatkan produksi pangan, akan tetapi untuk meningkatkan kualitas dan derajat hidup masyarakat, terutama petani dan masyarakat pedesaan. Dalam konteks Indonesia sendiri, menurut Ayip, kedaulatan pangan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Indonesia masih menganut paradigma ketahanan pangan. Produsen pangan masih mengikuti pasar untuk menentukan apa yang akan mereka produksi dan masih mengejar tingkat produksi pangan. Untuk menyukseskan kedaulatan pangan di Indonesia, dibutuhkan sinergi dari banyak pihak dan harus dikerjakan secara paralel. Dari sisi pemerintah, karena kedaulatan pangan sudah tercantum di Undang-undang, kebijakan dan program terkait pangan yang dikeluarkan harus sesuai dengan filsofi dasar dari kedaulatan pangan. Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah mendorong anak-anak muda, rural maupun urban, untuk turut mengawal kebijakan terkait kedaulatan pangan ini. Selain itu, dapat pula dengan membangun model dalam skala kecil, yaitu edukasi dan penguatan literasi terkait pangan di tingkat masyarakat konsumen, baik di desa maupun di kota. Upaya kedaulatan pangan ini dapat pula dimasukkan dalam program pembangunan desa untuk penguatan program pangan desa. Pun tingkat keluarga dapat berpartisipasi untuk menyukseskan kedaulatan pangan negara dengan mulai berani untuk menentukan apa yang akan mereka konsumsi dan tidak terbawa arus penyeragaman pangan.

Pembahasan mengenai sistem pangan ini merupakan bagian dari serial podcast Kesejahteraan Lahir Batin – Sistem Pangan Hari Ini dan Dampaknya Bagi Kita. Melihat pembangunan saat ini yang  hanya fokus pada ekonomi, dengan lebih memilih impor dan menciptakan pasar bebas yang tanpa disadari merugikan produsen pangan, seperti petani, nelayan, dan lainnya. Urusan pangan bukan hanya urusan dari mulut hingga perut. Akan tetapi, urusan pangan terkait pula dengan kehidupan anak-cucu untuk kesejahteraan lahir batin bangsa dan negara di masa depan.

Dengarkan informasi lengkapnya di sini.

Penulis: Ajeng Lestari Midi

Editor: Siti Marfu’ah