60% persen wilayah Kabupaten Katingan merupakan kawasan hutan, yang merupakan ekosistem yang sangat ideal bagi pertumbuhan berbagai jenis rotan. Kabupaten ini sudah lama dikenal sebagai salah satu penghasil rotan terbesar di Indonesia. Ladang rotan di Katingan mencakup area seluas lebih dari 325.000 hektar dan mampu menghasilkan 600-800 ton rotan basah per bulan, atau 7.000 – 9.000 ton rotan per bulan. Bahkan, 10 dari 13 kecamatan di Kabupaten Katingan merupakan penghasil rotan kualitas unggul.
Menurut laporan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, rotan merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang paling potensial dari 17 jenis yang tercatat di Kabupaten Katingan, dengan pendapatan rata-rata Rp 27.500.000,- per tahun dari 16 desa yang menjadi lokasi penelitian dengan pendapatan tertinggi mencapai Rp 71.320.000,- per tahun di desa dengan akses pasar terbaik. Laporan yang sama menyebutkan bahwa 49% rotan yang digunakan oleh masyarakat diperoleh dari rotan yang tumbuh secara alami di hutan, sedangkan sisanya berasal dari hasil budidaya masyarakat baik di dalam maupun di luar hutan.
Dalam model bisnis rotan mentah yang saat ini mendominasi di Katingan, masyarakat terlibat dalam rantai pasok dengan jejak karbon yang tinggi, terutama dalam hal pengangkutan bahan dan produk di berbagai tahap produksi. Potensi masalah lain dari model bisnis ini adalah eksploitasi rotan itu sendiri dalam jangka panjang. Karena produksi di tingkat masyarakat hanya sampai pada tahap pengambilan bahan mentah atau ekstraksi, maka rasa kepemilikan terhadap rotan sebagai sumber daya bersama menjadi rendah karena permintaan rotan berasal dari tempat lain; rotan terlepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Di sisi lain, budaya rotan memiliki aspek gender yang kuat. Di Katingan, secara tradisional, laki-laki lebih banyak berperan di ladang atau di hutan sebagai petani dan pengumpul rotan, sedangkan perempuan lebih banyak terlibat dalam proses pembersihan, karena dianggap lebih teliti dalam pengolahannya. Keduanya terlibat dalam penyiapan bahan rotan (perendaman dan pengasapan).
Pada tahap menganyam rotan menjadi produk di tingkat masyarakat, keterlibatan perempuan lebih banyak, terutama yang sudah tua. Para penenun biasanya menghabiskan waktu dari pagi hingga sore dalam waktu 2-3 hari untuk menghasilkan satu produk tergantung pada ukuran dan kerumitannya. Produk kemudian dijual langsung di lingkungan sekitar atau melalui pameran lokal yang diadakan oleh pemerintah. Karena pasar untuk produk anyaman rotan tidak dapat diakses secara teratur, menganyam tidak menguntungkan seperti mengumpulkan dan mengolah rotan mentah, sehingga perdagangan rotan mentah dan tradisi menenun di Katingan berkurang meskipun melimpahnya rotan dan larangan ekspornya.
Dalam situasi ini, diasumsikan bahwa proses pengambilan keputusan didominasi oleh petani dan produsen laki-laki; dengan demikian, peran perempuan semakin berkurang, dan arena mereka semakin menyempit dalam budaya rotan lokal. Dalam konteks yang lebih luas, alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit tengah marak terjadi di Kabupaten Katingan. Fenomena ini diikuti dengan pengalihan mata pencaharian masyarakat ke sektor kelapa sawit. Selain kelapa sawit, pertambangan emas juga menjadi industri nonformal dan ilegal lainnya yang marak di Katingan.
Inisiatif Pemberdayaan Komunitas melalui Integrated Rattan Supply Chain (IRSC)
Merefleksikan hal tersebut, RMI yang memiliki pengalaman kerja di isu gender dalam pengelolaan kekayaan dan pemberdayaan komunitas– bekerjasama dengan PT. Harmoni Usaha Indonesia (HUI), yang telah menjadi pelopor dalam industri anyaman dan telah bekerja sama dengan lebih dari 7.500 penganyam rumahan di Jawa Tengah, dalam pemberdayaan komunitas melalui Integrasi Rantai Pasok Rotan.
Pemberdayaan komunitas ini akan menjangkau masyarakat Katingan di empat kecamatan yaitu Kecamatan Pulau Malan, Tasik Payawan, Tewang Sangalang Garing, dan Katingan Hilir, dengan hasil yang diharapkan akan ada 500 pengrajin rumahan, di mana 80% nya adalah Perempuan, akan terorganisir dan berbadan hukum, sehingga memiliki perlindungan sosial-lingkungan, memiliki kapasitas dalam produksi yang responsif dan berkelanjutan, serta secara aktif berproduksi untuk dan memperoleh manfaat dari IRSC.
Pada skema bisnis HUI, pengrajin rotan rumahan akan diintegrasikan sebagai mata rantai ketiga dari rantai pasokan rotan, di mana tahap satunya ada di petani rotan, dalam hal ini adalah Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK), tahap dua adalah proses pengolahan bahan baku, yang dilakukan di Hampangen, dan tahap ketiga adalah pengrajin rotan, bagian ini yang akan dikerjakan dalam inisiatif IRSC, dan yang terakhir adalah tahap empat, yaitu finishing dan ekspor.
Dengan demikian, tahap tiga ini membutuhkan konsentrasi modal sosial yang tinggi, sehingga diperlukan perlindungan. Inisiatif ini akan berkontribusi pada pembangunan organisasi dan integrasi perlindungan yang menyasar pengrajin tenun rumahan yang terintegrasi dan mengedepankan nilai-nilai keadilan dan keberlanjutan bagi masyarakat dan kekayaan alam. Lebih jauh lagi, RMI sebagai organisasi yang memiliki misi “Memperkuat identitas, kepemimpinan, dan solidaritas perempuan rural untuk perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kekayaan alam dan budaya”, berharap inisiatif ini akan meningkatkan posisi tawar masyarakat di tengah industri rotan di Katingan.
Untuk memperkuat kerja-kerja di lapangan, RMI juga bekerjasama dengan Tropical Land and Forest Conservation (TFLC), organisasi lokal yang selama ini bekerja di Kalimantan Tengah, sebagai penanggung jawab atas semua aspek teknis dan terkait lapangan dari inisiatif ini.
Kick-off Meeting
Pada September 2024, inisiatif Pemberdayaan Komunitas melalui IRSC mengadakan pertemuan pertama kalinya secara luring di Katingan dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ini adalah kegiatan paling pertama yang menandakan dimulainya inisiatif Pemberdayaan Komunitas melalui IRSC, sekaligus peluang untuk mensosialisasikan informasi dan menetapkan kesepakatan bersama yang berlaku selama berlangsungnya inisiatif. Pertemuan awal ini juga menjadi sarana untuk melihat tahap satu dan tahap dua dalam industri rotan terpadu yang sudah berjalan di Katingan dan Hampangen, mendiskusikan strategi-strategi yang berkontribusi terhadap pencapaian tujuan inisiatif seperti mendorong partisipasi bermakna perempuan dan anak muda dalam inisiatif lokal dan memetakan potensi resiko apa saja yang akan dihadapi selama inisiatif ini berjalan.
Inisiatif Pemberdayaan Komunitas melalui IRSC merupakan rangkaian kerja jangka panjang, yang berdasarkan Kick-off Meeting, akan diimplementasikan sejak Agustus 2024 – April 2026 dengan dukungan dari United Nations Environmental Programme (UNEP) melalui skema Tropical Landscapes Grant Fund (TLGF). Fokus pemberdayaan komunitas dengan metode live-in; penguatan identitas komunitas, khususnya Perempuan; serangkaian pelatihan kepemimpinan dan pelatihan kesehatan pada pekerja perempuan; dan sertifikasi Forest Stewardship Council – Chain of Custody (FSC-CoC), yaitu sertifikasi yang memastikan bahwa bahan atau produk berbasis hutan berasal dari sumber yang bertanggung jawab secara lingkungan, sosial, dan ekonomi, akan diorganisasi oleh RMI bersama HUI dan TFLC.
Penulis: Siti Marfu’ah
Sumber:
Sumardjani L. 2011. Studi Rotan di Katingan Kalimantan Tengah. Yayasan Rotan Indonesia.
Berdasarkan informasi dari Indonesiarich dan TribunNews
Jemi, R., & Patimaleh, I. B. Report on the Study of Forest Management in the Katingan Landscape in the Managed Area of Unit XVII Production Forest Management Unit, Central Kalimantan Province. KPHP Katingan Hulu, 2020