Pertemuan Kampung: Ngaji SK Penetapan Hutan Adat Wewengkon Kasepuhan Cibedug

Dokumentasi oleh: Asti (WGII) 

Udara terasa sangat dingin di luar ruangan, suhu udara mencapai 19

°°

C yang terasa seperti 15

°°C. Untuk menggambarkan betapa dinginnya, warga kampung saja mengaku tidak berani mandi sore. Sebuah gurauan yang ditopang kebenaran. Belakangan ini cuaca khususnya di Lebak-Banten memang curah hujan sedang tinggi-tingginya. Hampir pasti setiap sore hari diguyur hujan, beruntungnya pada sabtu malam (04/03/2023) cuaca sedang bersahabat, sehingga dapat melaksanakan acara Syukuran dan Sosialisasi Penetapan SK Hutan Adat Kasepuhan Cibedug. Bertempat di luar ruangan, persisnya di alun-alun rumah kasepuhan. Peserta yang hadir kurang lebih 150 orang anggota masyarakat Kasepuhan Cibedug dengan antusias yang tinggi dalam mengikuti setiap rangkainya. Selain dari Kampung Cibedug, kegiatan ini dihadiri juga oleh perwakilan masyarakat dari kampung Lebak Kalahang, Cihara, Cinakem dan Cibledug. 

Sepekan sebelumnya, rabu (22/02/2023) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaksanakan penyerahan Surat Keputusan Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) secara factual dan virtual. Kegiatan faktualnya di laksanakan di Kalimantan Timur yang dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia. Sementara kegiatan secara virtual dilaksanakan di beberapa Provinsi termasuk Provinsi Banten. Kegiatan Penyerahan SK ini secara resmi telah dilakukan di Pendopo Gubernur Banten, KP3B Curug, Kota Serang. Dari Kasepuhan Cibedug hadir 10 perwakilan, 8 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Pada waktu yang sama, selain Kasepuhan Cibedug yang menerima penyerahan SK, ada Kasepuhan Cisungsang dan Kasepuhan Cisitu yang juga menerima SK Hutan Adat.  Penyerahan SK ini menjadi titik awal bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug untuk mengelola wilayah adat mereka sendiri sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku di komunitas. 

Rangkaian kegiatan syukuran dan sosialisasi diawali dengan acara pembukaan, lalu pembacaan isi SK Hutan Adat dan Penyerahan Salinan SK Hutan Adat kepada perwakilan tiap-tiap kampung. Substansi dari pertemuan ini dagingnya adalah wejangan-wejangan yang disampaikan sesepuh adat. Olot Asbaji selaku Tetua Kasepuhan menyampaikan amanat untuk seluruh warga masyarakat Wewengkon Kasepuhan Cibedug. Setelah diterimanya SK tanah adat ini menjadi tanggung jawab bersama dalam hal keamanan, ketertiban dan pemanfaatannya. Dalam istilah Sunda yang paling seringkali disampaikan adalah ungkapan berikut “Ulah pacarok kokod, paluhur-luhur tangtung, pagirang-girang tampian” yang berarti teratur dalam melakukan pemanfaatan, tidak saling merugikan satu sama lain sesama incu putu kasepuhan begitu juga dengan orang lain. 

Amanat berikutnya disampaikan Aki Nurja selaku Tetua Adat Wewengkon Kasepuhan Cibedug yang berpesan bahwa Hutan Adat ini merupakan amanah yang perlu dijaga, harapannya lebih aman dari pada ketika dikelola TNGHS. Harus sesuai dengan ketentuan aturan-aturan adat yang berlaku, seperti jika hendak menebang pohon di garapannya wajib izin dulu ke tetangga garapan lainnya. Hal ini merupakan upaya agar tidak terjadi selisih paham yang berujung konflik.  

Pak Sarmin selaku Tokoh Masyarakat juga menguatkan bahwa Hutan Adat yang telah diterima oleh masyarakat Wewengkon Kasepuhan Cibedug sudah seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mencukupi kehidupan masyarakat adat. Pesannya leuweung yg sudah dibuka, sudah saatnya dimanfaatkan dengan baik. Jenis tanamannya perlu diberagamkan, kayu yang sudah ada tidak masalah, dan perlu ditambah dengan jenis-jenis pohon buah. Karena jika menanam pohon buah, masyarakat dapat memanfaatkan buahnya untuk konsumsi dan komoditi yang dapat menyasar pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Amanat tak kalah pentingnya, jangan mengganggu kayu alam yang telah berusia ratusan tahun, karena itu merupakan sumber kesuburan air sebagai penopang keberlanjutan kehidupan orang banyak, bukan saja masyarakat Wewengkon Cibedug. 

Simpulannya beliau menekankan bahwa SK Hutan Adat merupakan hasil perjuangan bersama selama 22 tahun lamanya. Sejak tahun 2000 masyarakat telah berjuang, sudah sepatutnya juga masyarakat secara kolektif tetap kompak dalam melestarikan Hutan Adat yang telah diterima ini.  

Dari 2.173 hektar luasan yang diusulkan oleh masyarakat, Kementerian LHK melalui SK Hutan Adat menetapkan seluas 1.268 hektar dengan fungsi konservasi dan produksi. Mengacu pada Tujuan SK Hutan Adat ditetapkan oleh pemerintah agar menjamin ruang hidup masyarakat, melestarikan ekosistem, menjamin kearifan lokal (cara atau tradisi yang dilakukan turun temurun), dan menjamin kesejahteraan masyarakat yang ada di Wewengkon Cibedug. Penyerahan SK ini menjadi sejarah baru yang menandai bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab bersama dalam pengelolaan wilayahnya dengan mandiri dan berdaualat untuk tujuan kesejahteraan lahir batin bagi incu-putu Wewengkon Kasepuhan Cibedug.  

Dokumentasi oleh: Asti (WGII) 

Usai pembacaan SK Hutan Adat, kegiatan ditutup dengan acara simbolik Penyerahan Salinan SK Hutan Adat kepada perwakilan masing-masing kampung; Kasepuhan Cibedug, Lebak Kalahang, Cinakem, Ciara, dan Cibeledug. Pertemuan kampung ini diakhiri dengan do’a dan makan bersama sebagai wujud syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas diserahkannya SK Huatan Adat kepada masyarakat Wewengkon Kasepuhan Cibedug. 

*** 

Penulis : Murti Aria 

Editor : Abdul Waris 

Menuju Generasi Muda Adat Berdaya melalui Forum KAWAL di Kabupaten Lebak, Banten

Generasi muda adat Kasepuhan dianggap “tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan.” Anggapan dan tereksklusinya mereka dalam pengambilan keputusan dan kebijakan di tingkat lokal disebabkan oleh gerontokrasi yang merajalela dan tidak terorganisirnya generasi muda adat untuk terlibat aktif dalam dialog kebijakan untuk menyuarakan kepentingan mereka. Alhasil, mereka minim akses dan kontrol terhadap pengolahan leuweung garapan/hutan garapan di Hutan Adat Kasepuhan. generasi muda adat baru bisa mendapatkan akses dan kontrol tersebut ketika sudah menikah. Dengan kata lain, mereka harus keluar dari status generasi muda dalam konteks sosial, politik dan budaya di Kasepuhan untuk dapat mengelola hutan adat. Dengan begitu, mau tidak mau mereka harus menggantungkan hidup mereka pada orang dewasa di sekitar. Padahal, seharusnya generasi muda dilihat sebagai subyek, aktor dan warga negara yang kepentingannya diakomodir oleh dialog kebijakan di berbagai tingkatan dan mendapatkan dukungan untuk terlibat dalam pertanian. (White, 2019) Agar generasi muda adat Kasepuhan berdaya. 

Generasi muda adat khususnya di Kasepuhan, sebetulnya mampu untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, kebijakan, dan pengelolaan hutan adat di Kasepuhan, serta mengadvokasikan kepentingan diri dengan syarat mereka bergabung dalam organisasi generasi muda adat lokal sambil mengembangkan kapasitas dan Hutan Adatnya sudah diakui negara. Hal ini mampu dibuktikan dengan meningkatnya partisipasi generasi muda adat Kasepuhan Pasir Eurih setelah berdirinya Komunitas Pemuda Adat (KOMPAK) di Kasepuhan Pasir Eurih. 

KOMPAK Pasir Eurih yang berdiri sejak 2018 membuat generasi muda adat berpartisipasi di Kasepuhan Pasir Eurih. Sejak 2019, secara singkat, mereka berperan dalam pengelolaan hutan adat, pelestarian ritual adat dan terlibat pembangunan di desa. Dulunya, di hutan garapan, mayoritas berisi kayu jeng-jeng yang panen setiap 5 tahun sekali. Pada tahun 2019 KOMPAK menginisiasi penanaman jahe, kopi, dan cengkeh yang hasil panennya lebih cepat menuju model pertanaman tumpang sari yang mempertimbangkan aspek perekonomian agar masyarakat tidak bergantung pada pendapatan lima tahun sekali karena buah dan kopi dapat dipanen lebih cepat. Selain itu, KOMPAK berperan besar dalam upacara seren taun dalam proses perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan dalam upacara seren taun dan peringatan hari besar islam di Kasepuhan Pasir Eurih. Terakhir, KOMPAK mampu mengadvokasi diri untuk mendapatkan dana bantuan pengembangan kelompok dari pemerintah desa setempat. Capaian ini dapat dikatakan berdampak pada generasi muda adat KOMPAK karena membuat generasi muda memiliki daya tawar lebih dan merubah pola interaksi di tingkat lokal yang tadinya antara lembaga adat dengan individu generasi muda adat, menjadi lembaga adat dengan KOMPAK.  Menariknya, capaian tersebut mungkin terjadi setelah Hutan Adat mereka diakui negara di tahun 2019.  

Hal inilah salah satu yang hendak diadaptasi, dieskalasi dan, diarahkan pada advokasi wilayah adat di Lebak. RMI berkolaborasi dengan generasi muda dari berbagai Kasepuhan melalui, inisiasi Forum Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL). Forum terdiri dari RMI; generasi muda adat Kasepuhan yang terdiri dari generasi muda adat yang sudah memiliki legitimasi Hutan Adat maupun belum dan generasi muda adat yang sudah tergabung dalam organisasi generasi muda di wilayah masing-masing maupun belum; dan generasi muda adat Baduy.  Harapannya, generasi muda adat di Kabupaten Lebak dapat saling berbagi pengetahuan, mengembangkan kapasitas, bersolidaritas, berkonsolidasi dalam memperjuangkan wilayah adat di Lebak dan melanjutkan kerjasama kolaborasi antara RMI dan masyarakat adat di Kabupaten Lebak, Banten. Demi masa depan generasi muda adat yang lebih baik. 

Dibentuk di seperempat akhir tahun 2022, forum KAWAL sudah dilaksanakan sebanyak tiga kali. Pertemuan pertama dilaksanakan di Cirompang pada tanggal 25-26 Oktober 2022 diikuti oleh perwakilan generasi muda dari empat Kasepuhan dan Baduy dengan total peserta 24 orang. Selanjutnya, pertemuan kedua dilaksanakan di Cibedug pada tanggal 26-27 November 2022. Dihadiri oleh perwakilan generasi muda dari lima Kasepuhan dan Baduy dengan total peserta 37 orang. Terakhir, Pertemuan ketiga dilaksanakan di Kampung Cangkueum dekat wilayah adat Baduy pada tanggal 24-26 Desember 2022.  Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan generasi muda dari tujuh Kasepuhan dan Baduy dengan total peserta 55 orang. Sampai hari ini, anggota forum sudah mencapai total 72 partisipan generasi muda adat dari delapan Kasepuhan dan Baduy telah mengikuti pertemuan KAWAL dan 40 di antaranya bergabung dalam grup whatsapp

Sejauh ini, forum ini sudah mampu memberikan akses generasi muda adat Kasepuhan pada peningkatan kapasitas; dan penguatan serta pertukaran pengetahuan mengenai  nilai-nilai adat di masing-masing Kasepuhan. Dalam konteks pentingnya hutan adat bagi generasi muda adat Kasepuhan dapat ditangkap bersama melalui pendapat  Mulyana, salah seorang generasi muda adat asal Kasepuhan Bongkok, yang menyatakan bahwa:

Sebenarnya kami butuh bantuan dari RMI untuk “mengadatkan” (mendampingi serangkaian proses pengajuan hutan adat mengacu kepada mekanisme yang diatur oleh peraturan perundang-undangan) hutan kami karena kami punya berbagai tujuan supaya pemuda adat berkembang. Kami tidak mau terus bergantung pada pemerintah. Kita bukannya ga paham, tapi karena kami belum ada komunitas pemuda (organisasi generasi muda tingkat Kasepuhan). Jadi mundur-maju. Supaya ga diudag-udag (dikejar-kejar).
(Catatan Rapat Cibedug RMI, 2022)

Pernyataan Mulyana tersebut menyiratkan bahwa hutan adat dan komunitas/organisasi generasi muda merupakan dua hal yang sangat penting. Keduanya adalah proses yang harus dilalui menuju rasa aman, tenang dan bebas dalam mengelola hutan. Secara umum, pernyataan tersebut menggambarkan bahwa perjuangan akses dan kontrol terhadap sumber daya hutan relevan bagi generasi muda adat di Kasepuhan. 

Dari rangkaian tiga pertemuan Forum KAWAL, peningkatan kapasitas peserta forum menjadi fokusnya. Dalam konteks ini, menurut pernyataan Jarsih, partisipan Forum KAWAL dari Kasepuhan Cibarani yang mampu menggambarkan peningkatan kesadaran akan pentingnya pengetahuan mengenai sistem adat; membangun rasa percaya diri sebagai generasi muda adat di tingkat lokal; dan memantik kesadaran gender di tingkat lokal: 

Sistem adat tadinya ga tau banget. Ga tau mendetail. Sekarang jadi mendalami, udah ada saran untuk menggali informasi tentang adat. Kalau di kampung kita mendalaminya cuman ngedenger doang ada kegiatan adat tapi ga memperhatikan. Tadinya merasa diajak kumpul aja malu, tapi sedikit demi sedikit ada kemauan, bisa becanda, (sebelumnya) kalau ga ditanya ga ngomong. Selalu ada cerita yang bisa diomongin. Kita jadi pengen cerita. Jadi tempat aman untuk bercerita. ….. Biasanya kalau ada kegiatan di Cibarani yang ga melibatkan perempuan, biasanya ga mau tau, biasa aja. Misal kegiatan gotong royong. Kalau sekarang ada kegiatan yang ga melibatkan perempuan, kita justru pengen tau alasannya kenapa perempuan ga dilibatkan.
(Cerita Perubahan Jarsih RMI, 2022)

Sebagai penutup, tercetusnya Forum KAWAL merupakan langkah percepatan strategis yang mampu menjangkau banyak generasi muda adat untuk mendorong proses advokasi berkelanjutan yang solid, berkelanjutan dan mandiri;  dan meningkatkan partisipasi generasi muda adat di Kabupaten Lebak akan pengelolaan  kekayaan alam di sekitarnya. Hal ini membutuhkan peningkatan kapasitas; wadah organisasi generasi muda adat; dan advokasi hutan adat dalam rangka memberdayakan dan membuktikan bahwa generasi muda adat di Lebak bukan berarti “tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan” tetapi kekurangan dukungan, wadah dan pengakuan di tingkat lokal. 

Daftar Pustaka

RMI. (2022). Catatan Rapat KAWAL Cibedug . Bogor : unpublished.

RMI. (2022). Transkrip Wawancara Cerita Perubahan Jarsih Cibarani 2022. Bogor: unpublished.

White, B. (2019). Rural youth, today and Tomorrow. Papers of the Rural Development Report, 1-35.

Penulis: Rifky Putra Kurniawan

Editor: Supriadi

Agensi Perempuan Kasepuhan Cirompang dalam Menciptakan Ketahanan Pangan Keluarga

“Lelaki tua dengan iket khas Sunda di kepala terlihat tersenyum ramah menyambut kedatangan kami. Sosok ini adalah Olot A, beliau merupakan salah satu Ketua Adat di Kasepuhan Cirompang. Saat tiba di sana, kami langsung dipersilakan masuk dan duduk bercengkrama di area dapur. Nuansa dapur yang dominan dengan bahan kayu ditambah geliat asap dari tungku yang menyala menciptakan suasana hangat khas pedesaan. Di dekat tungku tersebut, terlihat Ambu O (istri Olot A) yang sedang sibuk ‘ngakeul’ nasi putih di dalam sebuah dulang. Beliau begitu terampil mengaduk nasi tersebut. Tangan kirinya memegang hihid (kipas) dan tangan kanannya mengaduk nasi menggunakan pangarih (centong yang terbuat dari kayu). Sembari berbincang dengan kami, Ambu O terlihat sibuk melanjutkan proses pembuatan nasi untuk dihidangkan kepada kami.”

Kegiatan yang dilakukan perempuan dalam masyarakat adat Kasepuhan Cirompang  masih sangat identik dengan kegiatan yang ada di ranah domestik. Seperti pada kutipan di atas yang menggambarkan suasana ketika pertama kali kami tiba di Kasepuhan Cirompang. Terlihat jelas bagaimana pembagian peran antara Ambu O dan Olot A yang merepresentasikan pembagian peran dalam keseharian keluarga ini. Ketika kami datang, Ambu O terlihat sangat sibuk menyiapkan kopi, nasi, dan sayur untuk dihidangkan. Sedangkan Olot A duduk dan berbincang dengan kami. Pembagian peran yang sekilas terlihat biasa saja ini justru menjadi suatu hal yang menarik untuk kami telusuri lebih lanjut. Dari kegiatan “ngakeul” yang sedang dilakukan Ambu O kala itu menciptakan rasa ingin tahu kami tentang bagaimana perempuan adat Kasepuhan Cirompang menjalankan perannya dalam keseharian, terutama dalam kaitannya dengan agensi mereka dalam menciptakan ketahanan pangan dalam keluarga. Sekilas tentang Kasepuhan Cirompang, letak Kasepuhan ini berada di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suasana bersih dan asri menjadi kesan pertama ketika kami menginjakkan kaki di Kasepuhan Cirompang pada 20 Oktober 2022 silam. Berjarak sekitar 79 km dari pusat kota Bogor, kami memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk tiba di Kasepuhan Cirompang. Sebuah desa yang didiami oleh masyarakat adat yang masih kental dan memegang teguh berbagai aturan adat di dalamnya. Saat ini, masyarakat yang tinggal di Desa Cirompang merupakan masyarakat adat yang terdiri dari keturunan/incu putu dari Kasepuhan Citorek dan Ciptagelar. Desa Cirompang dikelilingi oleh pegunungan yang masih sangat hijau. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Sukaresmi (Kecamatan Sobang) di bagian utara dan berbatasan dengan Desa Citorek (Kecamatan Cibeber) di bagian selatan. Sedangkan di sebelah timur berbatasan langsung dengan Desa Sukamaju (Kecamatan Sobang), serta berbatasan dengan Desa Sindanglaya (Kecamatan Sobang) di bagian baratnya. Luas Desa Cirompang yaitu 637,608 ha (Data RMI, 2017).

Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Cirompang yaitu berasal dari hasil pertanian (tatanen). Sehingga, aturan adat yang mengatur masyarakat Kasepuhan Cirompang kemudian juga berkaitan erat dengan kegiatan tetanen. Sebagai masyarakat adat yang dekat dengan kegiatan tetanen, salah satu hal yang membedakan masyarakat Cirompang dengan masyarakat lain yaitu berkaitan dengan cara pengelolaan bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Masyarakat adat masih memiliki pegangan dan tata cara adat tersendiri dalam proses produksi pangannya. Dalam upaya menciptakan ketahanan pangan, dahulu masyarakat adat Kasepuhan Cirompang menanam padi dengan varietas lokal (jenis pare gede) yang biasanya ditanam satu tahun sekali. Namun saat ini masyarakat menanam padi setahun dua hingga tiga kali (jenis pare leutik/pare handap). Padi yang ditanam tidak sepenuhnya dikonsumsi masyarakat sekaligus secara langsung. Namun biasanya mereka menyimpannya dalam leuit sehingga padi tersebut awet. Leuit merupakan lumbung yang digunakan untuk menyimpan padi (lihat gambar xx.xx). Adanya leuit merupakan bentuk dari sistem ketahanan pangan masyarakat Cirompang untuk menyimpan padi selama kurang lebih enam tahun. Keberadaan dan penggunaan leuit di desa ini sudah lama diwariskan secara turun menurun. Menariknya, dalam proses menciptakan ketahanan pangan keluarga di masyarakat Kasepuhan Cirompang, perempuan memiliki peran yang cukup dominan dibandingkan peran laki-laki. Perempuan terlibat mulai dari proses pengelolaan padi di sawah hingga mengolah beras menjadi nasi yang dapat disajikan untuk seluruh anggota keluarga. Sebelum menanam padi, perempuan melakukan kegiatan macul (menggemburkan tanah). Utamanya kegiatan ini dilakukan oleh laki-laki, tetapi perempuan seringkali “macul” untuk membantu laki-laki. Ketika tanah sudah siap ditanami padi, perempuan melakukan proses sebar/tebar (aktivitas menyebar benih padi) yang dilakukan selama satu hari. Selanjutnya, perempuan memindahkan benih padi dari tempat pabinihan ke sawah yang lebih luas. Proses ini dilakukan selama satu hari. Sama seperti macul, kegiatan ini dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Setelah padi dipindahkan ke sawah, perempuan melakukan proses tandur (kegiatan menanam padi di sawah) selama 1-7 hari. Ketika padi mulai tumbuh (belum berbuah), selama seminggu perempuan membersihkan rumput yang mengganggu pertumbuhan padi. Setelah lima belas hari, perempuan kembali melakukan kegiatan ngoyos untuk kedua kalinya.

Kegiatan selanjutnya adalah ngubaran yaitu selamatan dan pemupukan untuk mengobati hama penyakit. Ngubaran ini biasanya menggunakan panglai (tanaman rempah sejenis kunyit dan jahe)dari Kasepuhan (Ritual Adat Kasepuhan). Pelaksanaan ngubaran biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan selama empat puluh hari lamanya. Usai ngubaran, upacara dilanjutkan dengan kegiatan selamatan ketika padi berbunga, menabuh lisung, dan gegenek (Ritual Adat Kasepuhan). Upacara ini disebut dengan apag pare beukah. Ketika padi tumbuh dan akan dipanen,dilakukanupacara selamatan yang disebut dengan beberes (Ritual Adat Kasepuhan). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan selama empat puluh hari. Prosesi usai beberes disebut dengan mipit, yaitu kegiatan memanen padi yang dilakukan selama satu hari. Pelaksanaan mipit inimelibatkan peran perempuan dan laki-laki. Setelah padi dipanen kemudian padi dikeringkan dan diikat, hal ini disebut dengan mocong. Mocong biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan berperan membantu laki-laki. Kegiatan ini dilakukan selama setengah bulan. Setelah mocong dilakukan, proses selanjutnya adalah laki-laki ngunjal (memindahkan padi dari lantaian ke leuit), sedangkan perempuan berperan membantu proses menyalurkan padi yang akan dimasukkan ke leuit. Ngunjal ini berlangsung selama satu hari. Setelah ngunjal selesai, kegiatan selanjutnya adalah netepkeun, yaitu selametan padi selama berada di leuit (Ritual Adat Kasepuhan). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki. Selanjutnya, prosesi terakhir adalah seren tahun yaitu selametan atas hasil bumi (padi) yang didapat (biasanya setiap minggu atau senin) dan jatuh pada bulan haji/rowah. Kegiatan ini melibatkan peran laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaannya. (Data RMI, 2017).

Ketika peran laki-laki telah usai (dari proses pengelolaan sawah hingga puncak kegiatan penyimpanan padi ke dalam leuit), tetapi peran yang harus dijalani perempuan masih sangat panjang. Perempuan masih melanjutkan pengelolaan padi menjadi beras, dan mengolah beras menjadi nasi hingga dapat dimakan untuk seluruh anggota keluarga. Seperti yang terlihat pada gambar xx.xx di atas yang merupakan gambar kegiatan nutu padi dengan menggunakan lisung atau lesung. Nutu padi merupakan kegiatan menumbuk padi di dalam lisung. Kegiatan ini seutuhnya dilakukan oleh para perempuan (biasanya secara berkelompok). Nutu padi dilakukan oleh dua orang yang memegang halu (tongkat penumbuk padi) dan menumbuk padi dalam lisung secara bergantian.  Kemudian dua orang lainnya memisahkan padi dari huut (kulit padi) dengan menggunakan tampah. Kegiatan memisahkan padi dari kulitnya ini disebut dengan napi. Jika padi sudah terpisah dari huut-nya, jadilah beras yang kemudian dapat dikonsumsi rumah tangga.

Setelah memisahkan padi dari kulitnya, para perempuan Kasepuhan Cirompang juga memiliki cara khusus dalam proses pengelolaan beras menjadi nasi. Proses yang dilalui dalam pengelolaan nasi ini lebih panjang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari proses pembuatan nasi pada umumnya. Pertama proses tersebut dimulai dengan memasukkan beras ke dalam bakul kecil (disebut boboko) lalu beras dicuci hingga bersih. Kegiatan ini dinamakan dengan ngisikan/diisikan. Usai ngisikan dilakukan, beras tersebut dituang ke wadah berbentuk anyaman kerucut yang disebut asepan dan diletakkan di atas dandang (seeng). Proses ini dilakukan di atas dandang yang berada di atas tungku (hau) yang masih menggunakan bahan kayu bakar. Beras dalam asepan didiamkan hingga dandang terlihat mengeluarkan asap sampai timus (mengebul).

Kemudian setelah nasi dalam asepan terlihat setengah matang, nasi tersebut diangkat dan dipindahkan ke dalam dulang dan dituangi sedikit air kemudian diaduk dengan pangarih (centong yang terbuat dari kayu). Kemudian nasi yang setengah matang ini diaduk. Setelah dirasa air meresap dalam nasi, nasi tersebut kembali ditaruh ke dalam asepan dan ditutup menggunakan penutup (dikekeb). Setelah nasi matang, proses selanjutnya yaitu ngakeul, yaitu proses mengaduk nasi sebelum disajikan dan dilakukan di dalam dulang. Kegiatan ini dilakukan dengan tangan kiri memegang hihid (kipas) dan tangan kanan mengaduk nasi menggunakan pangarih (centong yang terbuat dari kayu) dan dilakukan secara bersamaan. Proses pembuatan nasipun selesai dan nasi tersebut dapat disajikan untuk seluruh anggota keluarga.

Selain proses pembuatan nasi, hal lain yang menarik perhatian kami yaitu ketika kami melewati pekarangan rumah dan galengan sawah di sekitar Kasepuhan Cirompang. Disana terlihat para perempuan yang menanam tanaman sayur untuk dimasak dan memenuhi kebutuhan sayur sehari-hari mereka. Kegiatan menanam sayur yang dilakukan para perempuan di Kasepuhan Cirompang ini bermula karena sulitnya akses kebutuhan sayur yang dibudidaya di Desa Cirompang. Para perempuan di Kasepuhan Cirompang membentuk kelompok perempuan adat yang bernama Sompang Kisancang. Salah satu kegiatan kelompok perempuan ini yaitu berupaya menciptakan ketahanan pangan keluarga dengan belajar menanam sayur di pekarangan rumah, di pinggiran kolam Saung Kisancang, serta di galangan sawah yang mereka miliki.

Berdasarkan penuturan Teh IW (ketua kelompok Sompang Kisancang), kegiatan yang dilakukan kelompok perempuan Sompang Kisancang sangatlah beragam. Mulai dari belajar menanam sayur bersama RMI sehingga sayur tersebut bisa memenuhi kebutuhan dan dijual keluar desa, membuat keripik dan kerupuk, membuat kue, hingga belajar membuat nugget dari bahan ikan nila dan ayam bersama Sobat Mengajar. Namun sayangnya, keterlibatan perempuan di Sompang Kisancang masih sangat rendah, jumlah maksimal perempuan yang aktif dalam kelompok perempuan ini hanyalah sepuluh orang. Kendala yang mempengaruhi kegiatan tersebut biasanya dikarenakan bertubrukan dengan jadwal musim tandur dan urusan domestik yang kemudian menjadi kendala berjalannya kegiatan kelompok perempuan tersebut. Namun meskipun begitu, para perempuan secara mandiri tetap berupaya menanam kebutuhan sayur di depan pekarangan rumah (dengan polibek/bekas karung beras) dan galengan sawah mereka.

Dari seluruh uraian peran yang diemban oleh perempuan Kasepuhan Cirompang, keterlibatan diri perempuan di banyak lini kesempatan yang ada membuat kita menyadari bahwa masih ada pembagian peran yang timpang. Hal ini membuktikan adanya pandangan patriarki yang masih terasa kental di Kasepuhan Cirompang. Timpangnya pelibatan perempuan terlihat dari pembagian tugas domestik dalam keseharian yang banyak dibebankan pada perempuan. Perempuan menanggung beban yang cukup dominan dalam pekerjaan rumah tangga dibandingkan laki-laki. Selain memasak, perempuan di Kasepuhan Cirompang juga memiliki tugas dalam penggarapan sawah, mencuci, membersihkan rumah, dan beragam tugas rumah tangga lainnya.

Banyaknya tugas yang harus dilakukan perempuan dalam keseharian ini juga secara tidak langsung kemudian mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam ruang publik. Seperti ketika terjadi rapat pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan adat, perempuan seringkali tidak diajak, atau bahkan ketika diajak dan perempuan hadir dalam pertemuan tetapi pendapatnya tidak didengarkan. Sehingga suara perempuan acapkali tidak terwakilkan dalam rapat pengambilan keputusan adat. Bahkan Teh IW menyatakan ketika ada beberapa perempuan yang ikut hadir dalam rapat adat dan mencoba memberi masukan, pendapat mereka tidak seutuhnya didengar ataupun dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan adat yang ada. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan adat dalam menegosiasikan perannya di ruang publik namun di sisi lain mereka juga harus hidup berdampingan dengan struktur adat yang telah terpatri. Meskipun perempuan di Kasepuhan Cirompang masih mengalami subordinasi dalam struktur adat dan kondisi ini sekilas terlihat fixed (tidak dapat dinegosiasikan), namun kami juga melihat dari sisi lain bahwa adanya semangat yang tinggi para perempuan Cirompang dalam mewujudkan posisi perempuan dalam masyarakat adat. Peran dominan pelibatan diri perempuan Kasepuhan Cirompang dalam menciptakan ketahanan pangan keluarga hingga terbentuknya kegiatan kelompok perempuan Sompang Kisancang menjadi bukti adanya agensi perempuan dalam menegosiasikan posisi mereka di Kasepuhan Cirompang. Selain memiliki tugas-tugas yang telah diidentikkan dengan tugas perempuan, namun perempuan Kasepuhan Cirompang tetap berupaya fleksibel membantu peran laki-laki di setiap kesempatan yang ada. Peran perempuan mulai dari pengelolaan tanah di sawah, pengelolaan tanaman padi, menumbuk padi hingga menjadi beras, mengelola beras dengan cara tradisional agar menjadi nasi, menanam sayur, hingga berinisiatif dan bergerak terlibat dalam kelompok perempuan Sompang Kisancang (menciptakan berbagai produk olahan rumah tangga) secara tidak langsung menjadi penanda bahwa negosiasi posisi perempuan di dalam Kasepuhan Cirompang sedang berlangsung. Fleksibilitas perempuan dalam membantu laki-laki menjalankan peran kesehariannya namun tetap menjalani kewajiban tugas perempuan sesuai aturan adat justru mendorong kreativitas perempuan Kasepuhan Cirompang dalam membentuk power perempuan itu sendiri. Sehingga peran yang diambil perempuan Kasepuhan Cirompang justru membawa mereka pada kondisi ‘berdaya’ dan tidak bergantung pada apapun. Tanpa peran aktif perempuan Kasepuhan Cirompang, ketahanan pangan di Kasepuhan Cirompang sulit untuk dapat terwujud.


Ditulis oleh: Murti Aria Saputri

Diedit oleh: Siti Marfu’ah

Cerita Perubahan : Perawatan Kepedulian Pemuda Terhadap Kampung Sendiri

Terhitung sudah berjalan tiga bulan, kegiatan yang berfokus untuk membersamai kemajuan penciptaan ruang-ruang inklusif lewat pemberdayaan perempuan, pemenuhan hak-hak disabilitas dan inklusi sosial serta penguatan masyarakat sipil di empat Masyarakat Adat Kasepuhan dan Masyarakat Adat Baduy yang berlokasi di Kabupaten Lebak, Banten. Di awali dengan kegiatan penyusunan baseline data program.

Sejak disosialisasikan, kegiatan ini berkomitmen untuk melibatkan kelompok pemuda dan perempuan dalam proses pengambilan data. Dengan keterlibatannya, kelompok pemuda dan perempuan memperlihatkan kemauan keras untuk belajar  dan  kapabilitas mereka sebagai kelompok yang partisipasinya minim di kampung untuk tujuan pendataan. Hal ini tampak dari kerja sama antar enumerator kader lokal yang bergerak dengan dua cara yaitu berkelompok dan individu dalam suatu jangkauan kampung. Mereka berkoordinasi, membagi peran dan tanggung jawab dalam proses pendataan.

Selain itu, dari proses pendataan ini, enumerator kader lokal mampu melihat permasalahan yang muncul secara tersirat dari pertanyaan yang mereka tanyakan ke masyarakat yang ada  di kampung mereka. Beberapa diantaranya bercerita mengenai pendapatan yang lebih sedikit daripada pengeluaran setiap bulannya, banyaknya yang belum mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun, sampai layanan administrasi kependudukan yang belum dimiliki oleh masyarakat.

Cerita menarik, salah satunya datang dari Kasepuhan Cibedug. Enumerator kader lokal disana terdiri dari dua orang yaitu Ega Juanda dan Ahmad Setiadi. Selama proses tiga bulan pendataan baseline data ini, mereka selalu terlibat dalam proses pelatihan pendataan yang diberikan terhitung tiga kali oleh RMI. Setelah itu, keduanya juga sering menanyakan kepada RMI mengenai permasalahan yang dihadapi saat pendataan, menanyakan teknis secara mendalam dan menyatakan alasan macetnya pendataan yaitu musim panen di Cibedug yang membuat orang-orang di Kasepuhan Cibedug sibuk dan menghambat proses pendataan. Alhasil, Ega Juanda mampu mengumpulkan paling banyak data dengan 82 data dan Ahmad Setiadi mengumpulkan 55 data tertinggi ketiga dibandingkan seluruh enumerator.

Dari proses selama tiga bulan tersebut, kedua enumerator dari Cibedug menunjukkan rasa ingin belajar, mau mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahan. Menurut RMI, disinilah sisi inklusivitasnya, karena sebelumnya aktivitas pemuda di Kasepuhan Cibedug minim. Dengan terlibatnya kedua enumerator kader lokal disana, membuat mereka terlibat aktif dalam kegiatan di Kasepuhan Cibedug dan mampu melihat permasalahan yang muncul selama proses pendataan.

Hal positif lain yang bisa dilihat adalah praktik baik yang diperlihatkan oleh pemuda yang terlibat dalam pengumpulan data, ini memberikan dampak ke pemuda yang lain menjadi semangat untuk meningkatkan kapasitas dan mengembangkan diri. Karena memang pemuda dan perempuan bisa dikategorikan kedalam kelompok marjinal, di mana kesempatan untuk belajar dan partisipasi mereka masih sangat minim, baik dalam level desa maupun komunitas.

Berkerjasama dengan Kemitraan Partnership melalui program ESTUNGKARA “Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi” RMI melakukan kegiatan yang sudah dijelaskan di atas.  

Penulis : Rifky Putra K  dan Slamet Widodo

Editor: Siti Marfu’ah

Kolaborasi Multi-aktor dalam Upaya Menciptakan Ruang Inklusif Masyarakat Adat

Pemajuan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, pemenuhan hak-hak disabilitas serta penguatan masyarakat sipil menjadi aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam usaha untuk menciptakan ruang publik yang inklusif. Masyarakat adat yang memiliki ciri khas tertentu terkait keadatannya tidak menjadi halangan bagi terciptanya ruang publik inklusif. RMI percaya keduanya dapat berakulturasi secara bertahap. Dengan hal tersebut, RMI yakini dapat menyumbang pada visi besar pembangunan di lingkungan Masyarakat Adat yang mengedepankan kesejahteraan lahir batin.

Keberlanjutan gerakan kolaborasi antara RMI dan komunitas mitra sangatlah penting. Sehubungan dengan itu, dengan konteks dinamika sosial di komunitas mitra RMI yang dinamis perlu menyikapi tantangan-tantangan baru dari waktu ke waktu. Berangkat dari tersebut, untuk merespon tantangan baru dalam penciptaan ruang publik yang inklusif di komunitas mitra, RMI melakukan kerja sama dengan Kemitraan Partnership untuk menjalankan program ESTUNGKARA. 

ESTUNGKARA adalah kepanjangan dari “Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi”. Program ini ikut mendorong terwujudnya pemerintahan yang inklusif di Indonesia dan mendorong kesetaraan dan keadilan gender, inklusi sosial, peningkatan ekonomi dan pembangunan kapasitas organisasi masyarakat sipil. Dengan semangat yang senada, kolaborasi dalam program ESTUNGKARA menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan bagi seluruh pemangku kepentingan terkait.

Terhitung sejak tanggal 26 Juli 2022 sampai 3 Agustus 2022 RMI mulai bersafari ke lima komunitas sasaran program ESTUNGKARA yaitu Kasepuhan Cibedug, Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cirompang dan Baduy bermaksud untuk mensosialisasikan program ini. Selain itu, dalam kegiatan safari ini, RMI melakukan tahapan awal dengan melakukan riset di empat area yaitu terkait layanan dasar dan kesehatan, partispasi perempuan dan pemuda, penerimaan sosial dan situasi disabilitas, serta potensi ekonomi yang dapat dijadikan referensi tambahan bagi berjalannya program ESTUNGKARA.

Dalam proses pengumpulan data, RMI bekerja sama dengan kader pemuda kasepuhan sebagai enumeratornya. Hal ini dilakukan agar terjadi transfer pengetahuan dan pengalaman pengambilan data sekaligus meminimalisir kesalahan dalam menentukan sasaran calon penerima manfaat. Walaupun begitu, pengambil data tetap didampingi secara berkelanjutan untuk memastikan data terkumpul sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan observasi di lapangan, kader pemuda di kasepuhan terlihat antusias dalam mengikuti kegiatan sosialisasi. Walaupun begitu, untuk alasan teknis, pengambilan data di Baduy akan melibatkan aparat pemerintahan desa. Siasat ini dilakukan karena faktor teknis di Baduy yang lebih efektif menggunakan cara tersebut. Hal ini menekankan prinsip kolaborasi yang dibawa RMI sejak awal.

Selain berkolaborasi dengan kader pemuda lokal, RMI juga membuka komunikasi dengan tokoh pemuka adat, tokoh masyarakat dan pemerintah desa. Hal ini dilakukan untuk memastikan dukungan sosial terhadap program ini yang berdasarkan pada manfaat yang dapat dirasakan bagi seluruh pihak yang menjadi poin penting bagi tata kelola yang kolaboratif.

Dari sisi pemerintah desa, program ini dapat mengakselerasikan tujuan-tujuan pembangunan dan data yang akan dikumpulkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah desa untuk menyusun program kedepannya. Sedangkan dari tokoh masyarakat dan pemuka adat dapat merasakan secara tidak langsung dari kegiatan ini yang jika skalanya diperluas, harapannya, program ini dapat meresonansikan terciptanya kesejahteraan lahir batin bagi masyarakat adat yang inklusif dan tata kelola yang kolaboratif.

Masyarakat adat yang tadi sudah dipisahkan berdasarkan peran seperti tokoh adat, tokoh masyarakat, pemuda lokal dan penerima manfaat dalam program ini, tidak sekedar menjadi objek dari program ESTUNGKARA ini. Kami membuka peran seluas-luasnya bagi masyarakat adat untuk menentukan siapa sasaran penerima manfaat program dan mendampingi pengambilan data yang dilakukan oleh masyarakat adat. Hal ini dilakukan dengan harapan masyarakat adat dapat mengakselerasikan kemandirian pembangunan masyarakat adat dalam skala lokal yang inklusif untuk mencapai kesejahteraan lahir batin.

Penulis : Rifky A & Slamet Widodo

Editor: Siti Marfu’ah

Belajar bareng di Green Camp 2022

Foto bersama peserta Green Camp 2022 (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Generasi muda hari ini, dihadapkan dengan permasalahan sosial-lingkungan yang serius seperti krisis iklim, degradasi kualitas lingkungan hidup dan konflik tenurial yang berkepanjangan. Melihat hal itu, RMI merasa perlu untuk menciptakan wadah pembelajaran yang memantik kesadaran kritis generasi muda urban dan rural terhadap kelestarian alam. Dengan harapan generasi muda mampu melihat urgensi permasalahan sosial-lingkungan dan memecahkan masalah tersebut di masa mendatang. 

Untuk memantik kesadaran kritis akan permasalahan sosial-lingkungan bagi generasi muda, RMI mengadakan Green Camp 2022 sebagai wadah pembelajaran kritis. Green Camp merupakan program tahunan RMI yang sebelumnya sudah enam kali diselenggarakan sejak tahun 2011. Green Camp seri ketujuh ini diselenggarakan di Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya, Lebak, Banten selama empat hari dan tiga malam. RMI berkolaborasi dengan Relawan4life, KATA, Pemuda dari berbagai Kasepuhan dan tentunya Peserta Green Camp 2022. Green Camp adalah wadah pertukaran pengetahuan sosial-lingkungan antara generasi muda urban dan rural yang bertujuan untuk meningkatkan solidaritas, meningkatkan kesadaran keberagaman dan memantik kesadaran kritis generasi muda. Di sisi lain, bagi peserta Green Camp 2022 manfaat yang didapatkan adalah pengalaman mengenai kehidupan pedesaan khususnya di wilayah masyarakat adat Kasepuhan, pendalaman pengetahuan  mengenai isu sosial-lingkungan dan mengkontekstualisasikannya dalam pengalaman selama berada di lingkungan Kasepuhan serta dapat terhubung dengan generasi muda Kasepuhan. 

Foto pembukaan acara Green Camp 2022 bersama Abah Maman (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Hari pertama, kegiatan dibuka oleh Abah Maman, tokoh kepemudaan di Kasepuhan Pasir Eurih. Ia membuka acara sekaligus menyambut para peserta Green Camp 2022. Selib lanjut, ia menjelaskan mengenai gambaran umum masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih, wilayah adat dan aturan adat yang berlaku di sana. Secara khusus, Ia mengatakan aturan adat mengenai rukun tani atau rukun tujuh. Selanjutnya, Ia menjelaskan beberapa aturan lain seperti zonasi hutan adat di sana dan beberapa pamali atau larangan adat di sana kepada para peserta Green Camp 2022. 

Keesokan harinya, kegiatan dimulai dengan gelar wicara dengan generasi muda Kasepuhan yang menjadi narasumbernya. generasi muda Kasepuhan yang hadir berasal dari Kasepuhan Bayah, Kasepuhan Karang, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cibeas, Kasepuhan Cibarani dan Kasepuhan Cibeas. Dalam kesempatan itu, generasi muda dari berbagai Kasepuhan yang hadir menjelaskan aktivitas sehari-hari mereka dan mengenalkan komunitas pemuda yang ada di Kasepuhan masing-masing. Persamaan antara seluruh Kasepuhan adalah sama-sama berada di wilayah Sunda dan melaksanakan rukun tani termasuk seren taun. Sedikit berbeda, Sucia, generasi muda Kasepuhan Bayah mengatakan perbedaan dengan Kasepuhan lain. Sucia mengatakan bahwa Kasepuhan Bayah berada di wilayah pesisir. Oleh karenanya, disana tidak ada seren taun yang merupakan bagian dari rukun tani karena mata pencaharian di Bayah mayoritasnya adalah nelayan. Meskipun begitu, di Bayah juga terdapat ritual yaitu sedekah laut. Selain itu, mereka juga menjelaskan aktivitas dan pemberdayaan generasi muda di Kasepuhan masing-masing dan yang tak kalah penting, mereka juga menjelaskan bagaimana transfer pengetahuan adat antara baris olot dan generasi muda Kasepuhan. Rata-rata generasi muda Kasepuhan aktif berkegiatan dalam acara peringatan hari besar dan peringatan hari besar Islam. selain itu, kegiatan generasi muda Kasepuhan juga mengembangkan potensi ekonomi seperti pengolahan kopi dengan merek Kobaki di Karang dan penanaman pohon buah di Cirompang. Sedangkan di Cibarani, aktivitas yang sedang dijalankan adalah pemetaan sosial-spasial mengenai potensi lokal Kasepuhan. Tak kalah penting, transfer pengetahuan adat di masing-masing Kasepuhan memiliki caranya masing-masing. Misalnya di Bayah, Cibedug, Cibarani dan Karang lewat pengajaran di keluarga, lewat kurikulum sekolah adat di Cirompang dan Pasir Eurih. Dari sesi ini peserta Green Camp 2022 mendapatkan banyak pemahaman mengenai relasi sosial dalam transfer pengetahuan adat antara kokolot dan generasi muda termasuk pengajaran di tingkat keluarga, relasi ekologis melalui ritual rukun tani dan sedekah laut. serta zonasi hutan adat dan relasi spiritual melalui aturan adat dan zonasi hutan adat titipan (wilayah hutan yang yang dititipkan leluhur).

Foto peserta SPORA Batch V Green Camp 2022 (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Setelahnya, peserta dipersilahkan untuk membagi kelompok untuk mobilisasi menuju wilayah Kasepuhan yang sudah ditentukan yaitu huma, kebon, panai besi, sawah, saung penyadap aren dan eksplorasi tanaman obat sekitar. Peserta didampingi oleh para generasi muda Kasepuhan sehingga peserta punya kesempatan untuk bertanya ataupun berdiskusi mengenai setiap hal yang ditemui sepanjang perjalanan sekaligus memperdalam pemahamannya mengenai lingkungan sekitar dan mengkontekstualisasikan pengetahuan yang dimiliki masing-masing peserta. Selanjutnya, peserta berkumpul kembali di saung seni dan menceritakan pengalaman setiap kelompoknya melalui media gambar sederhana situasi yang ditemui. Dari situ, peserta Green Camp 2022 dapat mengidentifikasi aktivitas keseharian masyarakat Kasepuhan, mata pencaharian dominan yang ada di sana dan mendapatkan pemahaman spasial di wilayah Kasepuhan Pasir Eurih. Menurut cerita kelompok yang berkunjung ke huma, peserta merasakan gotong royong antara masyarakat yang sedang membuat saung di huma yang bertujuan untuk tempat beristirahat. Di sisi lain, kelompok yang mengunjungi komplek panai besi menceritakan mengenai proses panjang pembuatan golok dari pencarian bahan dasar, penempaan dan harga jualnya. Yang tak kalah menarik adalah kelompok yang mengitari wilayah untuk mencari tanaman obat. Ternyata, terdapat banyak sekali tanaman obat di sekitar wilayah Kasepuhan Pasir Eurih yang mampu diidentifikasikan oleh peserta Green Camp 2022 dengan bantuan Abah Uding sebagai petugas Ronda Leuweung dan Euis, generasi muda Kasepuhan Pasir Eurih yang ikut mendampingi kelompok. Salah satu yang diidentifikasi kelompok adalah buah pinang merah yang berkhasiat mengobati penyakit paru-paru dengan cara direbus lalu diminum airnya. 

Makan malam bersama (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Lelah beraktifitas seharian, kegiatan sore hari dilanjutkan dengan menyiapkan makan malam bersama dengan penduduk Kasepuhan Pasir Eurih. Peserta disebar di beberapa rumah untuk memasak. Sambil memasak, peserta bisa berinteraksi dengan pemilik rumah dan melihat proses memasak yang unik di sana seperti memasak menggunakan hawu, seeng dan aseupan dan memperdalam kehidupan sehari-hari yang telah diamati sebelumnya. 

Peserta Green Camp 2022 berfoto di depan pameran hasil observasi (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Hari ketiga, peserta diajak untuk melakukan dokumentasikan apapun yang dianggap menarik oleh peserta di wilayah Kasepuhan Pasir Eurih. Setelah menemukan sesuatu yang unik, peserta diinstruksikan untuk mencari info, menuliskan dan memfoto objek itu. Hasil pengumpulan dokumentasi kemudian dirangkai menjadi bentuk pameran sederhana. di Pameran karya peserta Green Camp dapat ditemui banyak hal seperti Beragam hal yang dianggap menarik oleh peserta, ada yang mengamati pohon jambu besar berumur ratusan tahun, leuit dan ada juga yang mengamati aktivitas masyarakat sekitar. Hadirnya peserta Green Camp 2022 urban ternyata menghadirkan perspektif baru karena mereka tertarik ketika melihat benda yang oleh generasi muda Kasepuhan dianggap biasa karena di kehidupan sehari-hari di urban sangat berbeda dengan apa yang ada di wilayah Kasepuhan Pasir Eurih. Tak lama setelah itu, peserta Green Camp 2022 membuat malam apresiasi seni bersama yang melibatkan seluruh entitas yang ada di situ dan boleh menampilkan kebolehannya. Berbagai penampilan cukup menarik dan menghibur seperti stand up comedy, pembacaan puisi berantai dan angklung buhun. Malam apresiasi seni ini sekaligus menjadi rangkaian acara terakhir Green Camp 2022 sebelum peserta pulang ke Bogor keesokan harinya.

Secara keseluruhan, keterlibatan dan interaksi seluruh pihak di Green Camp 2022 menyumbang besar pada ketercapaian tujuan kegiatan ini. Peserta bisa mengobservasi langsung kehidupan masyarakat adat, memperdalam dan menghubungkan pemahaman mengenai isu sosial-lingkungan dengan masyarakat adat dan menciptakan hubungan antara pemuda Kasepuhan dengan peserta Green Camp 2022. Ketiganya dapat dicapai melalui kegiatan-kegiatan yang difasilitasi oleh RMI. Selain itu, Green Camp 2022 juga mendapatkan respon positif dan pembelajaran kedepannya. Sesuai dengan pendapat Anggi, salah satu peserta Green Camp 2022, mengatakan “Seneng banget bisa ikut kegiatan green camp sama RMI, banyak banget kebudayaan yang enggak aku tahu (sebelumnya) misalnya angklung buhun. Terus, harapannya, untuk green camp selanjutnya semoga bisa meningkatkan kegiatan inovatif kayak gini” Peserta lain memberikan tanggapan yang cukup berbeda seperti Shafa yang berasal dari Kalimantan Barat mengatakan “(disini) Belajar banyak tentang bahasanya (Bahasa Sunda), bagaimana perekonomian disini dibangun, kita di rumah (penduduk Pasir Eurih) banyak ngobrol-ngobrol tentang bagaimana sih kehidupan masyarakat disini.” Di sisi lain, Juan, generasi muda Kasepuhan Pasir Eurih, berkata  “Banyak pengalaman, baik dari temen-temen dari luar, mahasiswa, peserta Spora, RMI dan juga masyarakat di sini. Banyak juga pengetahuan yang kami jadi tahu dan juga menambah persaudaraan dengan yang lain.

Kedepan, Harapannya, semangat Green Camp 2022 bisa menjadi pengalaman berharga sekaligus langkah awal kesadaran generasi muda akan keberagaman dan eksistensi masyarakat adat yang selama ini mengesamping dari wacana mainstream. Di sisi lain, keberadaan masyararakat adat, khususnya generasi muda masyarakat adat, diharapkan mampu memberikan pembelajaran bagi generasi muda perkotaan.

Penulis: Rifky Putra Kurniawan

Editor: Siti Marfu’ah