Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui kopi

Pohon kopi merupakan salah satu tanaman yang paling sering ditemui di dalam kebun masyarakat Lebak, Banten, tak terkecuali di komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani. Terlepas dari berapa banyak kapasitas yang dimiliki, setiap unit keluarga hampir dipastikan memiliki tanaman kopi di kebunnya. Lebih luas lagi, keberadaan tanaman kopi terhampar di ekosistem Gunung Halimun-Salak. Kopi juga telah lama dimanfaatkan masyarakat Kasepuhan, baik untuk pemenuhan kebutuhan sendiri maupun sebagai produk komoditas yang dijual ke pasar-pasar lokal.

Hasil survey sosial-ekonomi (RMI tahun 2018) menunjukan bahwa komuditas kopi bukan termasuk dalam komoditas produktif yang utama. Dengan kata lain, kopi belum tergolong sebagai komoditas yang dikelola secara optimal, terlepas dari tujuannya kopi untuk pemenuhan sendiri atau dijual ke pasar. Petani kopi di komunitas ini seolah berada di kutub yang lain, ketika melihat fakta dalam skala yang lebih luas bahwa Indonesia tergolong dalam ketiga terbesar dunia sebagai produsen kopi.

Atas dasar itu, RMI dengan dukungan Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territory (ICCA’s) melaksanakan Pelatihan Proses Panen dan Pasca Panen Kopi di Kasepuhan Cibarani, Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Lebak, Banten, pada 31 April-2 Mei 2022. Pelatihan ini diikuti oleh empat orang perempuan dan 16 orang laki-laki.

Dari cangkir kopi belajar merasa dan menghargai kopi

Dilihat dari kesejarahannya, dari dulu hingga sekarang wujud biji kopi yang kita kenal begitu adanya. Lalu, perlahan dihantar pada dua jenis yang umum dijumpai di Indonesia, robusta dan arabika. Cara sederhana membedakan kedua jenis itu adalah dengan cara membaui aroma dan menyeruputnya. Robusta cenderung pahit, sementara arabika agak keasam-asaman. Agar dapat lebih mudah mengenali perbedaannya, Aswin Mahu, narasumber pelatihan kopi, menyeduh beberapa cangkir kopi untuk dicicipi para peserta.

Sedari awal memang disiapkan beberapa jenis biji kopi dari berbagai daerah seperti Gayo Aceh, NTT, Mandailing, Solok dan juga Ciwaluh.  Tak lupa juga ada kopi Cibarani yang menjadi sampel untuk belajar mengenali dari cita rasa dan aroma. Di sini, semua peserta diminta untuk mengadili dan berkomentar menurut pengalaman masing-masing pasca membaui dan menyesap sesendok kopi. Kerangkanya jelas untuk mencari tahu pada cangkir yang mana melaui indra perasa, hatinya terpikat.

Setelah menyesap kopi, peserta diminta berbagi cerita pengalaman tentang proses mengolah kopi. Ang Sunarya salah satu peserta bercerita, secara umum pengolahan kopi di Cibarani masih dengan cara tradisional. Ketika musim panen misalnya, untuk mengetahui sudah bisa dipanen atau belum, dengan cara disesap buah berinya. Menurutnya kalau sudah agak lunak dan agak manis berarti kopi sudah bisa dipanen. Lalu, petani memetik secara keseluruhan satu turus dahan kopi, alhasil buah biji kopi yang sudah matang dan masih mentah semuanya terpanen. Kondisi ini juga didasarkan pada batang kopi yang menjulang tinggi, sehingga jika yang dipetik yang merah saja, membuat petani berpikir dua kali untuk memetik sisa buah lainnya.

Narasumber mulai menjelaskan tentang proses panen kopi yang baik dan benar. Misalnya terkait masa panen kopi yang durasinya bisa sampai tiga bulan dan dilakukan pemetikan selama tiga kali. Hal ini dimaksudkan untuk belajar menghargai kopi pada level petani, sebelum kopi tersebut dihargai oleh pembeli/pasar.

Lebih lanjut, ia mengajukan pertanyaan paling dasar, kenapa harga kopi bisa berbeda-beda. Meskipun banyak faktor yang bisa mendongkrak harga kopi, sebut saja ketinggian dan varietas. Salah satu penentunya dilihat dari proses pengolahan pasca panen, dalam hal ini semestinya yang pertama mendapat perhatian adalah manusianya.

Kopi berkualitas dihasilkan dari Manusia berkualitas

Tak terelakan lagi jika sumber daya manusia yang berkualitas menjadi penentu utama atas produk-produk yang dihasilkan. Untuk itu, kerangka pelatihan ini bertujuan dalam pengembangan manusia. Kopi sebagai medium untuk menghantar pada pemahaman-pemahaman mendasar yang berhubungan dengan peningkatan kualitas dan kuantias hasil yang diproduksinya. Lebih jauh, harapnya dari sini masyarakat terpantik memiliki jiwa usaha melalui hasil hutan, meningkatkan pendapatan yang berujung pada kesejahteraan suatu komunitas. Mengingat modal komunitas sangat kuat dengan dukungan manufaktur seperti akses pada mesin-mesin pendukung dalam pengolahan kopi.

Kritiknya selalu berkutat pada keterbatasan manusianya dalam memanfaatkan alat-alat yang ada. Pelatihan model ini secara tidak langsung berkontribusi pada peningkatan kapasitas manusia yang mengurus bagian hulunya. Karenanya, prinsip dasar berhasil baiknya suatu komoditas tidak dapat dipisahkan dengan cara manusianya dalam memperlakukan dan atau mengolahnya.

Dalam konteks pengelolaan Hutan Adat dan Arean Konservasi Kelola Masyarakat, selain tanaman kopi dapat dimanfaatkan buahnya, sekaligus berfungsi baik sebagai resapan air. Selain tanaman kopi mensyaratkan adanya pohon penaung (diversity) di sekitarnya. Lebih jauh lagi, komunitas kasepuhan yang diberi kepercayaan dalam mengelola wilayahnya dapat menunjukkan cara kerja nyata dalam menjaga keseimbangan antara konservasi dan produksi. Terlebih ada dorongan dikelola secara kelompok dengan sistem kerja yang disepakati bersama.

Penulis: Abdul Waris

Editor: Siti Marfu’ah

Rencana Aksi Ibu-ibu, Kelompok PKK dan Kader Posyandu Kasepuhan Cibarani dalam Perbaikan Gizi Keluarga

Tetet…tetet…tetettt Tetet…tetet…tetetttttt, sayuuuuurr, sayuuuuurrr”! Begitulah bunyi dan teriakan tukang sayur saling bersahut-sahutan di kampung.

Suara khas klakson motor yang disertai teriakan tukang sayur hampir setiap pagi mengisi nuansa perkampungan di Kasepuhan Cibarani, Kecamatan Cirinten di Kabupaten Lebak, Banten. Bermula dari suara klakson motor itu pula penyebutan masyarakat terhadap tukang sayur keliling dengan istilah tetetet.

Bagi tukang sayur, ada rute yang sudah biasa dilalui berikut titik-titik yang menjadi tempat mangkal mereka. Setelah tukang sayur berhenti dan memarkirkan motor, umumnya ibu-ibu datang berkerubung, membentuk formasi setengah lingkaran. Berdasarkan pengamatan, selain belanja bawang-bawangan, tomat dan cabe, sayur segar juga menjadi incaran. Jumlah dan variasi belanjaan tentu saja disesuaikan juga dengan kondisi keuangan masing-masing orang.

Menyaksikan peristiwa ini berulang terjadi pada ruang dan waktu yang berbeda, sama halnya berdiri di ruang ambiguitas. Pasalnya, akses pada lahan subur cukup terbuka dan apabila dimanfaatkan, lahan tersebut dapat digunakan untuk memproduksi sebagian bahan pangan yang biasanya mereka beli dari tetetet.

   

Berangkat dari kegelisahan ini pada tanggal 30 Juni 2021 pendamping kelompok dari RMI mencoba mengajak ibu-ibu masyarakat Kasepuhan Cibarani, Kelompok PKK serta Kader Posyandu untuk berdiskusi. Tujuannya adalah untuk menggali hal-hal yang bisa dilakukan bersama untuk menekan pengeluaran belanja resiko dapur (istilah lokal untuk sembako).

Bak gayung bersambut, dari masyarakat sendiri kemudian muncul gagasan mengenai perlunya mengelola kebun pekarangan secara kelompok. Selain untuk tujuan mengurangi pengeluaran belanja resiko dapur, kebun pekarangan juga akan difungsikan sebagai cadangan pangan dan pemenuhan gizi keluarga. Pemenuhan gizi keluarga ini penting mengingat adanya catatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak merilis data mengenai angka gizi buruk (stunting) dimana Kecamatan Cirinten menempati urutan teratas dengan balita gizi buruk dengan angka 11,0 persen.

Dari penjelasan Kader Posyandu Kasepuhan Cibarani, sejauh ini kegiatan kader yang umum dilakukan adalah melalui pelaksanaan Bulan Penimbangan Balita (BPB). Masih adanya kekurangan-kekurangan pada kegiatan fasilitasi peningkatan kapasitas para kader terkait langkah-langkah kongkrit menuju perbaikan gizi keluarga dan balita. Umumnya kegiatan pendukung hanya berupa bantuan-bantuan bagi ibu dan anak  seperti pemberian kacang-kacangan, telor dan susu. Namun, karena sifatnya sementara dan tidak rutin setiap hari, maka perlu solusi lain guna mengatasi permasalah seperti ini.

Narasi berbeda disampaikan Kelompok PKK, kelompok ini menyatakan pernah berkebun sekali dengan memanfaatkan bantuan dari Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten. Bantuan benih berupa bibit palawija diberikan berbarengan dengan bantuan-bantuan lainnya, seperti pelatihan budidaya jamur dan budidaya lele. Hasil dari berkebun menurut penjelasan ibu-ibu PKK cukup berlimpah, dari saking banyaknya dijual dengan harga murah. Sebagai contoh timun dijual Rp.500 /kg, sementara jika membeli di tetetet bisa mencapai harga 4-5 ribu/kg.

Kiranya tujuan berkebun bagi masyarakat Kasepuhan Cibarani perlu untuk lebih diperdalam, melebihi  motivasi ekonomi semata. Kebutuhan gizi keluarga perlu lebih diutamakan terlebih dahulu, misalnya dengan menanam tanaman-tanaman yang dapat dikonsumsi pada skala rumah tangga. Selanjutnya barulah bila ada kelebihan produksi, maka produk dapat dilempar ke pasar untuk memperoleh keuntungan ekonomi.

Untuk merumuskan hal ini, maka diperlukan langkah –langkah perencanaan bersama antara masyarakat dan pendamping kelompok. Hal-hal yang perlu disepakati adalah seperti tata kelola lahan, pengaturan jenis-jenis tanaman yang disesuaikan dengan kalender musim, dan lainnya. Diskusi awal yang dilakukan pada bulan Juni ini merupakan awalan yang baik untuk membenahi konsep kemandirian pangan di Kasepuhan Cibarani.

Penulis : Abdul Waris

Editor: Indra N.H

Indigenous Peoples Community of Cibarani and Their Potentials

Kasepuhan Cibarani Indigenous Peoples are indigenous peoples who live in the administrative area of ​​Cibarani Village, Cirinten District, Lebak, Banten. According to the current village head and customary head, Dulhani, the first pupuhu or ancestor of Kasepuhan was Ama Haji Dul Patah. They had lived in their wewengkon (customary territory) long before the Dutch colonial era.

The customary territory of Kasepuhan Cibarani covers almost the entire Cibarani Village which consists of 10 villages with an area of ​​approximately 1,200 hectares. Kasepuhan Cibarani Indigenous Peoples are descended from Parung Kujang, a pancer (center, parent group) in the Kasepuhan.

Generally, the Cibarani people are engaged in agriculture. Every day, they cultivate rice fields and gardens. This routine is carried out from morning to evening, except Friday and Tuesday due to taboos in Kasepuhan Cibarani. 

On November 5, 2018, the customary head of Kasepuhan Cibarani Indigenous Peoples, Abah Dulhani, directly submitted the Kasepuhan Cibarani Customary Forest application to the Minister of Environment and Forestry, Siti Nurbaya in Manggala Wanabakti, Jakarta. Part of the customary area proposed to become Customary Forest is a forest area that functions as Production Forest and is held by Perum Perhutani.

Furthermore, on July 31, 2019, the Kasepuhan Cibarani Customary Forest Verification and Validation Team carried out the verification and validation process of the subject and object of submitting Customary Forest simultaneously in three locations: (1) Kasepuhan Cibarani Multipurpose Center, (2) Border between Cibarani and Baduy in Sukawaris Village, and (3) Mount Liman Block in Pasir Sempur Village. 

Economic Potential and Natural Resources

Cultivating rice fields is a primary activity for the Kasepuhan Cibarani Indigenous Peoples. Kasepuhan Cibarani Indigenous Peoples usually grow rice and harvest it twice a year. The seed varieties that are used are various types of local seeds called pare gede. There are about 20 varieties recorded that are still stored in leuit (traditional barn). Generally, the community use cereh apel seeds which take 4-5 months to harvest. The rice harvest is not traded, but only for the community’s consumption and stored in the leuit (traditional barn). This activity is also a form of the food sovereignty system initiated by the Kasepuhan ancestors.

To get cash, the community trades plantation products such as palm sugar, chocolate, cloves, coffee, rindu, petai, jengkol and seasonal fruits. In addition, the community also works as daily and/or weekly farm laborers, timber transporters and seasonal harvest workers. The distribution of the livelihoods sources of Kasepuhan Cibarani Indigenous Peoples from the agricultural sector can be divided into daily, weekly, monthly and annually.

Income that is included in the daily source of livelihoods, among others, farm labour and the sale of palm sugar. Whereas income that is classified as a weekly source of livelihood, namely farm laborers and harvest laborers, bananas, picung, chocolate, palm sugar, and rubber. Monthly sources of livelihood consist of sales of rice, corn, cucumbers, bananas, as well as farm laborers and harvest laborers. On the other hand, the main source of annual livelihood comes from selling cloves, coffee, durian, rambutan and timber. Although the numbers are not large, some people also earn income from raising goats and chickens.

Kasepuhan Cibarani Indigenous Peoples have quite diverse sources of income. With the issuance of the Customary Forest Decree, their livelihoods will be more secure. Customary forests are the rights of indigenous peoples and a community management system combined with local wisdom will certainly provide two benefits at once: forest benefits and preservation.

 

Author: Siti Marfu’ah

Editor: Indra N. Hatasura

Translator: Alfina Khairunnisa

Padi Varietas Lokal, Sumber Keanekaragaman Hayati Yang Sangat Berharga

Mungkin sebagian dari kita mengetahui bahwa dulu ada padi unggulan nasional bernama IR 64. IR 64 hanyalah salah satu dari nama-nama padi yang diluncurkan pada tahun 1986 oleh Presiden Soeharto pada tahun 1986[1]. Padi IR, padi pemerintah, padi unggul. Begitu sering disebut oleh semua orang. Selain itu ada juga padi yang bernama pandang wangi[2]. Padi pandan wangi adalah jenis padi …

Menuju Ekonomi Mandiri, Kasepuhan Pasir Eurih Tentukan Produk Unggulan

Menggali potensi lokal menuju kemandirian desa saat ini tengah digalakkan oleh masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih. Para pemuda, perempuan, dan tokoh masyarakat berkumpul pada hari Rabu, 20 Maret 2019 di Desa Sindanglaya, Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat berdiskusi untuk memusyawarahkan produk unggulan yang bernilai ekonomi, yang bisa menjadi kendaraan mereka dalam mencapai kemandirian ekonomi. Dari 8 produk yg diunggulkan seperti padi, …

Koperasi Jayasana Desa Cibarani Ganti Pengurus

LEBAK-(22/03/2019) Masyarakat adalah poros penggerak kemajuan suatu desa. Kesadaran ini tengah terlihat pada masyarakat Kasepuhan Cibarani yang berdiam di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Lebak, Banten. Di sebuah hari yang cerah pada 22 Maret 2019, masyarakat Kasepuhan Cibarani berkumpul untuk membentuk koperasi dan membuat kesepakatan jumlah nominal simpanan wajib dan simpanan pokok yang harus dikeluarkan oleh anggota-nya. Selain itu, masyarakat  Cibarani …