Forum Perempuan Seri Kedua: Keadilan dan Hak-Hak Perempuan Dalam Pembangunan di Kampung

Banyak Perempuan Indonesia di pedesaan yang masih belum sepenuhnya mengetahui dan memahami hak-hak mereka sebagai perempuan. Hal ini dikarenakan, kurangnya akses pendidikan dan informasi, budaya dan nilai tradisional yang cenderung membatasi Perempuan, minimnya peran pemerintah, keterbatasan ekonomi, dan ketidaksetaraan dalam hukum dan kebijakan.

Alhasil, banyak Perempuan Indonesia di pedesaan rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi, mengalami ketidak setaraan ekonomi, tidak berpartisipasi dalam pengambilan Keputusan, hak-hak tidak dipenuhi, sulit keluar dari lingkar kemiskinan, hingga terjadi penurunan kualitas hidup keluarga.

Oleh karena itu, RMI yang bekerjasama dengan Kemitraan Partnership dalam program Estungkara, berupaya untuk melakukan peningkatan kesadaran terhadap hak-hak perempuan di Kasepuhan, melalui pertemuan ke-dua Forum Perempuan di Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya dan di Kasepuhan Cirompang, Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak.

Forum Perempuan Kasepuhan

Jika pertemuan Forum Perempuan Kasepuhan yang pertama, yang dilakukan pada bulan Juni lalu, lebih banyak menggali aspirasi perempuan tentang pembangunan desa, pada pertemuan ke-dua Forum Perempuan Kasepuhan, yang dilakukan pada sekitar akhir Agustus dan awal September 2024, para perempuan diajak untuk memahami tentang keadilan gender.

Dalam sesi kali ini RMI memaparkan materi mengenai Gender dengan maksud agar para perempuan di Desa Sindanglaya dan Desa Cirompang bisa memahami terlebih dahulu makna tentang Gender dan juga beberapa hal terkait hak- hak dasar Perempuan, terutama dalam Pembangunan desa.

Selama ini kondisi masyarakat di Komunitas Adat Kasepuhan masih sangat minim informasi terkait isu tentang keadilan gender dan mereka biasanya mengaggap isu ini cenderung tabu untuk dibahas secara luas, padahal sebenarnya isu tentang keadilan gender ini merupakan informasi dasar yang bisa menjadi modal utama kaum perempuan untuk bisa ikut berparpartisipasi aktif dalam proses pembangunan masyarakat dan desa. Keadilan gender cenderung dianggap tabu karena banyak factor, diantaranya adalah karena budaya patriarki yang selama ini mengakar kuat di Kasepuhan, minimnya sumber informasi yang bisa diakses dan juga rasa keingintahuan dari masyarakat sendiri yang belum memiliki kesadaran dan kemauan untuk memahami isu- isu semacam ini karena dianggap tidak terlalu berpengaruh dalam keseharian mereka. Selain informasi dan pemahaman yang sama terkait keadilan gender, forum dilanjutkan dengan membahas materi tentang Ketidakadilan Gender. Dalam forum ini peserta yang hadir juga diajak untuk sharing pengalaman atau bercerita tentang kondisi yang pernah dialami oleh masing- masing peserta.

Di forum ini para peserta mendapatkan pengalaman baru membahas mengenai topik gender dan juga memahami hal- hal apa saja terkait ketidakadilan gender yang sebenarnya terjadi sekitar lingkungan mereka. Dengan saling bertukar informasi seperti ini diharapkan kedepannya para perempuan lebih peduli dan peka dengan kondisi kesejahteraan kaum perempuan di lingkungannya.

Partisipasi Perempuan di Pembangunan Desa

Setelah materi-materi di sampaikan, para perempuan juga diajak untuk memahami tentang hak perempuan dalam pembangunan desa. Para perempuan yang hadir meyampaikan bahwa selama ini belum terlalu memahami hak- hak mereka dalam pembangunan desa mereka sendiri, karena tidak pernah merasa dilibatkan dalam kegiatan pertemuan musyawarah pengambilan keputusan ataupun penyusunan anggaran desa.

Kemudian para Perempuan diajak juga untuk memahami beberapa tahapan dalam proses musyawarah pembangunan desa. Tujuannya agar mereka juga memahami bahwa dalam penentuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), pemerintah desa juga memiliki tahapan- tahapan yang cukup sistematis dalam pengambilan keputusan bukan bisa secara otomatis memutuskan usulan mana yang akan dianggarkan dalam RPJMDes.

RMI berharap dengan adanya pembelajaran bersama kali ini perempuan menjadi lebih teredukasi dengan hak- hak mereka untuk nantinya berperan aktif terlibat dalam pembangunan desa.

Penulis: Siti Marfu’ah dan Ummi Nadrah

Melanjutkan Aksi: Memperdalam Peran Generasi Muda dalam Fasilitasi Pendidikan Kritis dan Kontekstual

Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program” menjadi salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan untuk dapat mendorong kaum muda berpikir kritis tentang kondisi lingkungan mereka dan peran yang dapat mereka ambil dalam komunitas. Pelatihan ini dilakukan dalam dua seri kegiatan dengan peserta yang berasal dari kaum muda adat Kasepuhan dan kaum muda lokal di sekitar kasepuhan. Sebelumnya, pelatihan pertama telah berlangsung pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung dan Pelatihan kedua berlangsung pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Berikut rangkaian dua seri kegiatan Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan yang sudah diselenggarakan:

Seri Pertama: Pelatihan pertama telah berlangsung pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung, dengan fokus pada pembekalan mengenai pendidikan kontekstual dan dasar-dasar fasilitasi. Sebagai tindak lanjut, peserta melaksanakan proyek mini sebagai implementasi dari pelatihan, dan juga sebagai ajang bagi para peserta untuk mencoba menjadi fasilitator di komunitas masing-masing. Misalnya, Mela dan Fikri menerapkan pelatihan ini kepada siswa kelas, sementara Siti Sopariah memainkan permainan “Tupai Pohon” dan “Angka Setan” di komunitas KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Pasir Eurih). Dalam permainan “Tupai Pohon dan Angka Setan”. Untuk permainan tupai pohon berjalan lancar, tetapi untuk permainan angka setan agak kesulitan, karena banyak para peserta yang kebingungan,” cerita Siti Sopariah ketika mencoba menjadi fasilitator dalam kegiatan komunitasnya. “Harus lebih sabar dalam memfasilitasi,” dilanjutkan Mela ketika ditanya kesulitan dalam memfasilitasi siswa kelas 1 SD. Sementara itu, Arsani memimpin permainan dalam kegiatan Paskibra, dan Hanifah menguji media pembelajaran baru dengan mahasiswa. Pada sesi ini menunjukkan bahwa RMI telah mendorong partisipasi bermakna melalui proyek dan aktivitas yang dilakukan.

Seri Kedua: Pelatihan kedua berlangsung pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Terdapat 20 peserta yang mengikuti pelatihan, yang terdiri dari enam perempuan dan 14 orang laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Jamrut, dan masyarakat lokal di sekitar Kasepuhan. 13 peserta diantaranya merupakan peserta yang telah mengikuti pelatihan dari seri pertama. 

Pelatihan kedua berfokus terhadap berbagai macam isu yang relevan dengan kondisi yang ada di kampung, beberapa di antaranya berkaitan dengan perubahan iklim, gender dan seksualitas, ketidakadilan gender, ekologi politik, serta kemiskinan struktural. Melalui pengenalan terhadap berbagai isu ini, diharapkan para peserta dapat melihat keterhubungan masalah yang ada dalam lingkungan mereka. Pada seri kali ini, alumni pelatihan seri pertama juga diberikan kesempatan untuk dapat memfasilitasi sesi ice breaking atau energizer, salah satunya dilakukan oleh Arsani yang memandu permainan “Pindah Rumah”. 

Pada hari pertama, dilakukan pengenalan lebih dekat antar-peserta melalui kartu “Kenalan Yuk!” yang dapat menjadi inspirasi bagi peserta untuk membuat alat pembelajaran serupa dengan pertanyaan yang lebih kontekstual. Kegiatan selanjutnya, para peserta melakukan tes kecerdasan majemuk untuk mengetahui kecerdasan yang dimiliki oleh peserta berdasarkan kategori linguistik, logika-matematika, spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Pengenalan kecerdasan ini diharapkan dapat membuat peserta mengenali potensi diri dan timnya. Setelah itu, para peserta mengidentifikasi permasalahan yang ada di kampungnya menggunakan metode matriks ranking, dengan menilai seberapa besar isu-isu tersebut berdampak pada lingkungan mereka. Beberapa masalah yang teridentifikasi antara lain sampah, perburuan satwa liar, peracunan ikan di sungai, dan pembukaan lahan. Sesi ini menjadi pemantik bagi peserta untuk melihat apakah setiap isu terjadi secara berkaitan atau tidak.

Pada hari kedua, peserta menerapkan metode People-First Impact Method (P-FIM) dengan wawancara tokoh masyarakat untuk mengumpulkan informasi berdasarkan tema yang telah ditentukan. Hasil wawancara ditampilkan dalam bentuk seni pertunjukan seperti drama, tablo, monolog, dan puisi yang menggambarkan berbagai isu yaitu hutan, kebudayaan, pendidikan, serta ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Salah satu peserta, Cecep Sanusi, mengungkapkan perasaannya setelah melakukan wawancara ke tokoh masyarakat. Dari metode ini kita dapat “menggali informasi dari berbagai sisi, sehingga banyak yang didapatkan, dan informasi yang dikumpulkan lebih komprehensif,” ujarnya. Berbeda dengan Cecep, Jamal yang berasal dari Kasepuhan Jamrut membandingkan kondisi yang ada di Kasepuhan Pasir Eurih dengan kampungnya, “Hasil wawancara berbeda dengan kondisi di Jamrut, terutama terkait pendidikan. Di Jamrut, sekolah [Madrasah] Aliyah tidak punya gedung sekolah, baru tahun 2024 dibuat gedung permanen.”  Hal ini menunjukan bahwa metode yang digunakan mendorong peserta untuk mengidentifikasi dan meningkatkan sensitivitas peserta terhadap isu yang ada di lingkungan atau komunitasnya.

Setelah mendapatkan gambaran tentang kondisi di lingkungan, hari ketiga difokuskan pada penyampaian isu-isu yang relevan melalui diskusi. Pertama, isu hutan dan perubahan iklim. Diskusi dimulai dengan mini drama yang menggambarkan dampak perubahan iklim di kampung, diikuti penjelasan tentang proses dan dampaknya pada kehidupan, terutama bagi Masyarakat Adat. Diskusi ini membantu peserta, khususnya kaum muda, memahami peran mereka dalam mengatasi perubahan iklim dengan perspektif berdasarkan pengetahuan lokal.

Isu kedua berkaitan dengan pengetahuan dasar tentang gender dan seks. Hal ini menjadi krusial karena berdampak pada adanya pembagian peran yang tidak seimbang dan terbatasnya kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, baik di ranah domestik maupun publik. Pada sesi ini para peserta diminta untuk menyebutkan sosok pasangan ideal sekaligus menuliskan deskripsi sosok ideal pada kertas yang telah disediakan. Melalui aktivitas ini, para peserta diajak untuk menyadari dan membedakan antara konsep seks sebagai kategori biologis dan gender sebagai konstruksi sosial yang erat dengan peran-peran tertentu.

Diskusi ini menjadi relevan ketika membahas peran-peran yang melekat pada perempuan dan laki-laki di masyarakat Kasepuhan. Peserta diajak berpikir kritis untuk menghubungkan seks dan gender dengan isu ketidakadilan gender yang marak terjadi di lingkungannya. Bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut meliputi beban ganda, kekerasan berbasis gender, subordinasi, marjinalisasi, stereotipe, dan diskriminasi. Dalam diskusi ini salah satu peserta mengungkapkan pendapatnya, “Sangat relevan di sekitar kita, pekerjaan lebih banyak ada di perempuan. Beberapa hal yang terjadi: pekerjaan domestik dilakukan oleh perempuan, sedangkan laki-laki berleha-leha padahal mengetahui pekerjaan perempuan yang belum selesai,” cerita Manil ketika mengidentifikasi kondisi yang terjadi di lingkungannya.

Hari terakhir, isu yang diangkat berkaitan dengan kemiskinan struktural dan ekologi politik. Materi ekologi politik disampaikan oleh Wahyubinatara Fernandez (Direktur RMI) dengan dipandu oleh Dinah dari RMI dan Irsyadudin dari perwakilan anak muda kasepuhan. Sesi berlangsung secara hybrid yang disajikan dalam bentuk talkshow. Peserta diajak untuk melihat kebijakan-kebijakan terkait hak atas tanah dari waktu ke waktu. Ini menegaskan bahwa krisis ekologi yang terjadi dipengaruhi oleh kepentingan politik, tidak hanya terjadi di tingkat negara, namun dapat juga terjadi di kampung. 

Selanjutnya, isu yang diangkat berkaitan dengan kemiskinan struktural. Peserta diajak bermain permainan yang mencerminkan kondisi saat ini, yakni adanya jurang yang sangat besar antara orang kaya dan orang miskin. Peserta didorong untuk memahami bahwa kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan faktor individu atau kultural, akan tetapi terjadi karena sistem yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan gerakan sosial untuk menciptakan keadilan, terutama bagi golongan miskin. 

Tentang Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program”

RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sebagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu Hak Asasi Manusia dan lingkungan, khususnya dalam memperkuat model pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat, berkomitmen untuk melakukan pembelajaran bersama masyarakat dengan menggunakan prinsip pendidikan kritis, kontekstual, dan secara partisipatif. Melalui penyampaian berbagai isu dalam pelatihan fasilitator pendidikan lingkungan, peserta diharapkan dapat melihat adanya keterhubungan antar-isu yang terjadi di lingkungan atau komunitasnya masing-masing, bahwa setiap isu tersebut memiliki benang merah yang menunjukkan adanya sebab akibat. 

Inisiatif yang dilakukan oleh RMI dalam mengembangkan pendidikan kontekstual ini juga didukung oleh program “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia dan Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan”. Pemahaman terhadap isu ini dituangkan dalam Rancangan Tindak Lanjut (RTL) sebagai bentuk implementasi Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan yang diselenggarakan dalam 2 Seri kegiatan. Beberapa di antaranya ada yang melanjutkan project sebelumnya dan ada yang mendorong project baru. Dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam memahami beragam isu, peserta dapat mendorong gerakan sosial yang kontekstual.

Penulis: Hanifah Nur Hidayah, Siti Marfu’ah, Ajeng Lestari Midi Setyoputri

Editor: Renal Rinoza

Tingkatkan Kemampuan Fasilitasi, Alumni Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan Terlibat dalam kegiatan Jelajah Kasepuhan Cirompang

Program Jelajah Kasepuhan Cirompang pada tanggal 25–29 Juli 2024 lalu di Kasepuhan Cirompang, Kecamatan Sobang, Lebak, Banten baru saja selesai dilaksanakan. 26 pemuda dari berbagai latar belakang organisasi mengikuti kegiatan tersebut, baik sebagai peserta maupun sebagai fasilitator. Dari jumlah tersebut, 10 (4 perempuan dan 6 laki-laki) merupakan alumni dari Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan RMI “Environmental Child’s Rights Training Program”

Sekitar satu bulan sebelumnya, selama 4 hari, para alumni memang sudah mendapatkan pembekalan untuk melakukan fasilitasi di komunitas. Pengetahuan dan keterampilan yang mereka dapatkan digunakan pada acara Jelajah Kasepuhan, misalnya dengan memfasilitasi perkenalan peserta, ice breaking dan energizer, serta permainan-permainan pemantik diskusi kelompok. Sepuluh fasilitator tersebut juga banyak memandu dan menginformasikan pengetahuan-pengetahuan lokal tentang Kasepuhan kepada para peserta.

Pengetahuan lokal yang disampaikan kepada para peserta banyak menimbulkan kekaguman akan budaya Kasepuhan. Pengetahuan lokal yang disampaikan mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari praktik pertanian, pengelolaan ruang, penggunaan tanaman obat, bahasa, seni, budaya, hingga sistem nafkah. 

“Seru sekali. Saya baru tahu tentang babay, sebuah benda yang terdiri dari bermacam-macam bagian tumbuhan hutan, yang sering dipakai sebagai penolak bala di Kasepuhan “ kata Jihan, salah seorang peserta dari Sumedang.

Metode fasilitasi yang digunakan oleh para fasilitator pada acara Jelajah Kasepuhan Cirompang ini juga menjadi salah satu keunggulan kegiatan. Aza, salah seorang peserta dari Jakarta, misalnya berpendapat bahwa metode yang digunakan para fasilitator asyik dan menyenangkan.

“Tidak terasa kita belajar karena menyenangkan, dan ini full pengetahuan banget kegiatannya.” cerita Aza saat berjalan pulang dari Hutan Adat Kasepuhan Cirompang.

Dalam kegiatan ini memang para alumni pelatihan menggunakan variasi-variasi metode. Hanifah memfasilitasi sesi energizer dan perkenalan lewat permainan “Tugu Pancoran” dan “Angka Setan”. Nina memfasilitasi lewat permainan “Pindah Rumah”, Rosi memancing diskusi tema lingkungan dan sosial lewat permainan “Injak Kertas”, dan Cecep sebagai fasilitator lokal berbagi pengetahuannya tentang Kasepuhan saat memandu para peserta berkeliling wilayah adat. Kesempatan ini memberikan ruang bagi alumni untuk bisa berkembang dan mengasah kemampuan fasilitasi mereka. 

“Pelatihan menjadi fasilitator bulan Juni lalu memberikan banyak sekali pengetahuan baru untukku, banyak metode-metode baru yang aku dapatkan. Aku juga sempat mencoba salah satu metode tersebut, kemarin pada acara Jelajah Kasepuhan di Cirompang, aku sempat mengajak teman-teman peserta disana untuk bermain game, seru, mereka antusias dan game-nya berjalan dengan menyenangkan sekali. Menjadi fasilitator pada salah satu sesi pelatihan merupakan pengalaman baru yang menyenangkan untukku.” kesan Nisa, salah satu alumni Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan, yang berkesempatan memfasilitasi peserta Jelajah Kasepuhan Cirompang.

Kombinasi teori dan praktik yang didapatkan selama kegiatan Jelajah Kasepuhan Cirompang, menjadi modal bagi alumni Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan untuk dapat menunjukan relevansi pengetahuan lokal dengan model pendidikan yang semestinya bersifat kritis dan kontekstual di Kasepuhan, sesuatu yang menjadi permasalahan selama ini.

Pendidikan kontekstual melihat pengetahuan lokal sebagai pondasi dalam menciptakan pendidikan yang relevan dan efektif sesuai dengan budaya yang berkembang pada komunitas. Mengintegrasikan pendidikan kontekstual dan pengetahuan lokal berarti mendorong komunitas untuk memahami dan menyelesaikan permasalah yang ada di lingkungannya sendiri dengan kesadaran kritis. 

Seperti yang terjadi secara umum di desa dan/atau secara lebih spesifik di daerah masyarakat adat, pendidikan jauh dari kata kritis-kontekstual. Pendidikan yang diajarkan oleh sekolah formal adalah “ilmu pergi” yang mendorong anak-anak muda pergi meninggalkan desa/wilayah adat, mencari pekerjaan di kota sebagai buruh. Pendidikan tidak mampu mengenali potensi yang ada di wilayah desa/adat, dan saat para pemuda selesai menyelesaikan sekolahnya, ilmu yang mereka dapatkan pun tidak dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah yang ada di desa mereka. 

Masalah hama dan kekeringan tidak dapat dipecahkan karena pelajar tidak belajar mencangkul di sekolah. Potensi pengobatan tidak dapat terlihat karena pelajar asing dengan rumput yang terlihat liar di hutan dan adat terkucilkan karena dipandang berseberangan dengan logika kapitalis.

Program Jelajah Kampung yang difasilitasi oleh para pemuda Kasepuhan adalah bagian dari “ilmu pulang”, dan model bagi kolaborasi pemecahan masalah antara anak muda yang tinggal di desa dan di kota. Di dalam diskusi-diskusi yang terjadi selama dan di sela-sela acara, banyak alternatif-alternatif pemecahan masalah yang baru dan membawa angin segar, bahwa anak muda tidak apatis dan bergerak dengan caranya masing-masing untuk melakukan perubahan sosial di lingkungan masing-masing.

Beraksi Bersama: Generasi Muda Mengambil Peran Fasilitasi Pendidikan Kritis dan Kontekstual.

Pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat sangat erat kaitannya dengan pendidikan kontekstual dalam banyak hal. Keduanya menekankan pentingnya keterlibatan aktif, relevansi dengan kehidupan nyata, dan penggunaan pengetahuan lokal. Dalam konteks pendidikan kontekstual, pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat dapat menjadi topik yang relevan untuk diajarkan, karena mencakup isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial yang penting bagi masyarakat. Selain itu, pendidikan kontekstual dapat membantu masyarakat memahami dan mengimplementasikan praktik-praktik pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat ke dalam pendidikan kontekstual, peserta tidak hanya mendapatkan pengetahuan teoritis, tetapi juga keterampilan praktis yang dapat mereka gunakan untuk berkontribusi pada pengelolaan kekayaan alam di komunitas mereka.

RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sebagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu Hak Asasi Manusia dan lingkungan, khususnya dalam memperkuat model pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat seringkali melakukan pembelajaran bersama masyarakat dengan menggunakan prinsip pendidikan kritis, kontekstual dan secara partisipatif. Namun, tidak banyak model pendidikan kontekstual di Indonesia dan untuk mengakselerasi model-model tersebut. Oleh karena itu, sejak tahun 2023 RMI menginisiasi pengembangan program untuk orang muda bersama dua NGO lainnya. Tema yang diangkat adalah “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia dan Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan”. Program ini dijalankan oleh RMI bersama Nexus3 Foundation di Indonesia, dan GITIB, Inc. di Filipina. Tujuan dari program ini adalah memperkuat peran anak muda untuk aktif berpartisipasi dalam mengembangkan program-program pendidikan kontekstual di komunitas masing-masing. 

Berangkat dari program tersebut, RMI mengadakan Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program” pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung. Pelatihan ini bertujuan untuk: 1) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anak muda sebagai fasilitator pendidikan lingkungan; 2) meningkatkan kepekaan anak muda terhadap isu pendidikan kritis-kontekstual di wilayah adat Kasepuhan dan sekitarnya; dan 3) meningkatkan intensitas gerakan sosial melalui partisipasi pemuda di wilayah adat Kasepuhan dan sekitarnya. Terdapat 18 peserta yang mengikuti pelatihan, yang terdiri dari enam orang perempuan dan 12 orang laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cibarani, dan masyarakat lokal sekitar kasepuhan. 

Peserta didorong untuk berpikir kritis tentang kondisi lingkungan mereka dan peran yang dapat mereka ambil dalam komunitas. Pelatihan ini merupakan salah satu upaya RMI dalam mendorong kaum muda untuk mengembangkan program pendidikan kontekstual sesuai dengan kondisi komunitas masing-masing. Pendidikan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada pendidikan formal, tetapi juga mencakup pendidikan informal dan non-formal yang dapat mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.

Pelatihan berlangsung selama empat hari dengan berbagai kegiatan, termasuk pengenalan isu, pembekalan, hingga identifikasi masalah pada komunitas. Pada hari pertama, peserta diminta mengenal diri sendiri melalui metode “Boks Gue Banget”. Mereka mencari informasi pribadi atau komunitas mereka melalui surat kabar yang sudah disediakan dan menempelkan informasi tersebut pada boks yang sudah dibagikan sebelumnya. Peserta kemudian diminta menceritakan hal-hal yang membuat mereka bangga. Teknik Appreciative Inquiry ini digunakan agar peserta lebih mudah menerima informasi ketika mereka diapresiasi. Sesi pengantar pelatihan juga diadakan pada hari yang sama. Pada sesi ini, peserta diberikan tiga pernyataan berbeda untuk diargumentasikan. Isu yang diangkat berkaitan dengan sistem pendidikan, lingkungan, dan kebudayaan, yang berhasil memantik diskusi kritis di antara peserta.

Hari kedua dimulai dengan kunjungan ke Museum Multatuli untuk meningkatkan rasa ingin tahu dan kepekaan peserta melalui peninggalan Multatuli dan sejarah Indonesia. Kegiatan dilanjutkan dengan penulisan permasalahan pendidikan di Indonesia. Beberapa masalah yang diidentifikasi antara lain pendidikan yang tidak kontekstual, perubahan kurikulum, pendidikan yang belum inklusif, fasilitas yang tidak merata, dan tenaga pendidik yang tidak kompeten. Hal ini sejalan dengan sistem pendidikan Indonesia yang bertujuan menciptakan pekerja daripada mendorong inovasi. Sentralisasi pendidikan dan homogenisasi model menyebabkan kesenjangan antar pelajar di berbagai wilayah, yang mendorong pemuda di kampung mencari kerja di kota dibandingkan mengembangkan potensi di tempat tinggal mereka. Peserta juga dibekali materi mengenai psikologi dan pembelajaran serta dasar-dasar fasilitasi sebagai landasan awal untuk menjadi fasilitator.

Pada hari kedua dan ketiga, peserta melakukan simulasi fasilitasi secara berkelompok. Setiap kelompok diberikan metode fasilitasi yang berbeda dan mengimplementasikannya kepada peserta lain. Hal ini dilakukan agar peserta dapat mencatat hal-hal yang perlu diperbaiki dalam cara memfasilitasi sebelum menerapkannya kepada masyarakat. Hari ketiga juga diisi dengan People First Impact Method (P-FIM), sebuah simulasi bagi peserta untuk berhadapan langsung dengan masyarakat. Hal ini menjadi refleksi bagi peserta untuk memahami masyarakat, terutama ketika dihadapkan dengan kondisi yang tidak terduga. Peserta diajarkan bahwa fasilitator harus mendapatkan kepercayaan masyarakat dengan menjadi percaya diri, dibekali kemampuan dan pengetahuan, peka, berempati, dan mampu mengelola forum. Sesi berikutnya, peserta diminta berkumpul dengan komunitasnya untuk memetakan isu pendidikan kontekstual dan aktor atau organisasi yang dapat dilibatkan.

Pada hari terakhir, peserta dikenalkan dengan empat prinsip hak anak dan Konvensi Hak Anak. Setiap kelompok mengidentifikasi pelanggaran terhadap empat prinsip hak anak yang terjadi di komunitas mereka. Diskusi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman peserta mengenai permasalahan anak di lingkungan mereka, bagaimana seharusnya anak dapat didengarkan, dipertimbangkan, dan bahkan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Hasil Konvensi Hak Anak juga mendukung peserta dalam memahami kaidah dalam perlindungan anak.

Selain pembekalan, terdapat sesi pemberian masukan terhadap strategic goals, focal theme, dan regional specific issue tdh-G yang berkaitan dengan: 1) pendidikan dan pemberdayaan; 2) membangun masyarakat yang demokratis; 3) suara pemuda tentang lingkungan; 4) keadilan gender dan; 5) anti-kekerasan. Peserta menyampaikan pemahaman dan kondisi yang terjadi di komunitas mengenai setiap isu yang dipaparkan. Salah satu bentuk pelanggaran yang terjadi di wilayah kasepuhan berupa adanya pembatasan pendidikan terhadap anak oleh orang tuanya. Hasil dari konsultasi tersebut nantinya disampaikan pada kegiatan National Children and Youth Partner Meeting (NCYPM) yang diselenggarakan di Semarang pada tanggal 04–08 Juli 2024.

Pelatihan ini merupakan rangkaian pertama dari tiga kegiatan yang akan dilaksanakan. Melalui pelatihan ini, RMI mencoba memunculkan kesadaran kritis bagi peserta untuk menciptakan pendidikan dan lingkungan yang mereka harapkan. Metode yang digunakan selama pelatihan menggunakan pendekatan pendekatan kritis, kontekstual, dan mendorong partisipatif bermakna pada peserta. Sehingga, outcome dari pelatihan ini diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan komitmen peserta untuk melakukan gerakan sosial di komunitas masing-masing. Dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam pendidikan lingkungan dan hak anak, peserta dapat berkontribusi secara signifikan dalam menciptakan masyarakat yang lebih sadar lingkungan dan peduli terhadap hak-hak anak.

Penulis: Hanifah Nur Hidayah dan Siti Marfu’ah

Aksi Anak dan Remaja untuk Hak Anak Atas Lingkungan di Indonesia

Krisis iklim yang terjadi saat ini menimbulkan dampak buruk yang dirasakan di berbagai belahan wilayah di dunia, pun di Indonesia, dan telah menjadi perhatian banyak pihak.  Deforestasi dan degradasi hutan, penggunaan bahan bakar fosil dan aktivitas manusia lainnya yang merusak lingkungan dinilai memperburuk terjadinya krisis iklim ini. Permasalahan ini akan memberikan dampak buruk, terutama bagi kelangsungan hidup anak-anak dan kaum muda, baik saat ini maupun di masa depan. 

Sebagai salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia turut berkomitmen untuk melindungi anak dari segala hal yang mempengaruhi kehidupan dan dan tumbuh kembangnya. Hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 28B ayat 2 yang menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan diri dari kekerasan dan diskriminasi.” Akan tetapi, dalam perkembangannya, pemerintah Indonesia dinilai lebih mengutamakan program-program ketahanan ekonomi daripada menyediakan perlindungan yang memadai bagi anak dan komunitasnya dari risiko-risiko dan ancaman yang sedang dan akan mereka hadapi seiring dengan krisis iklim yang semakin memburuk. Meskipun demikian, anak-anak serta kaum muda sudah mulai dan semakin peduli terhadap permasalahan lingkungan dan dampak dari perubahan iklim yang sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, akses pengetahuan mereka terkait isu ini masih terbatas.

Berangkat dari permasalahan di atas, RMI  bekerja sama dengan Nexus 3 Foundation di Indonesia dan Gitib, Inc. di Filipina menjalankan projek My Planet My Rights (MPMR) pada tahun 2021—sebuah kampanye global untuk meningkatkan kesadaran terhadap hak anak atas lingkungan yang aman, sehat, dan berkelanjutan. Kampanye yang dilakukan melalui projek ini berhasil untuk mendorong Komite di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mensahkan General Comment no 26 di tahun 2023, yang menekankan adanya kebutuhan mendesak untuk mengatasi dampak buruk degradasi lingkungan, dengan fokus khusus pada perubahan iklim, penikmatan hak-hak anak, dan memperjelas kewajiban negara untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Komite juga menjelaskan bagaimana hak-hak anak berdasarkan Konvensi Hak Anak berlaku untuk perlindungan lingkungan hidup, dan menegaskan bahwa anak-anak mempunyai hak atas lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan. 

Berdasarkan hasil yang didapatkan dalam projek sebelumnya, yakni MPMR, RMI kembali bekerja sama dengan Nexus3 Foundation dan Gitib, Inc. untuk menginisiasi projek dengan tema “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” (“Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)”). Projek ini akan dilaksanakan di dua negara, yakni Indonesia dan Filipina, dan berlangsung selama tiga tahun (Oktober 2023 hingga Desember 2026). Melalui projek ini, diharapkan bahwa anak-anak dan kaum muda bisa mendapatkan akses informasi tentang isu lingkungan untuk meningkatkan kesadaran mereka dan mendukung mereka aktif berpartisipasi dalam memberikan solusi terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi. Selain itu, orang dewasa dari berbagai kalangan diharapkan juga mendukung secara aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak dan kaum muda untuk menyuarakan pendapat mereka. Hal ketiga yang diharapkan dalam projek ini adalah diakuinya hak anak atas lingkungan yang sehat secara lebih luas dengan diintegrasikannya hak atas lingkungan yang sehat ke dalam program dan kebijakan pemerintah, baik di tingkat lokal, provinsi, nasional, maupun regional (ASEAN). Projek ini mendapat dukungan dari tdh-Germany dan BMZ (Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung) atau Kementerian Federal Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Pemerintah Jerman. 

Dalam implementasinya, RMI akan melaksanakan projek ini di tiga lokasi yang berbeda, yaitu Kabupaten Lebak (2024), Kabupaten Pandeglang (2025), serta Kabupaten Kuningan (2026). Selain berfokus pada isu lingkungan, RMI juga akan memperkuat peran kaum muda untuk aktif berpartisipasi dalam mengembangkan program-program pendidikan kontekstual di komunitasnya masing-masing. Dalam projek ini RMI akan mengadakan beberapa kegiatan, antara lain pelatihan fasilitator pendidikan lingkungan yang kemudian akan diimplementasikan di sekolah maupun di komunitas, seminar/peningkatan kapasitas untuk guru dan CSO, dan beberapa lokakarya serta aksi inisiatif, sebagai dukungan bagi kaum muda dalam mengembangkan dan mengimplementasikan program pendidikan kontekstual di wilayahnya.

-Ajeng Lestari

Langkah Kolaboratif Pendokumentasian dan Pelestarian Keragaman Pangan Lokal Nusantara

Bincang-bincang Seputar Permasalahan Pangan Lokal, Tantangannya dan Kenapa Harus Didokumentasikan

Pada pekan keempat bulan Maret 2024, bertempat di sebuah restoran yang menyajikan pangan lokal khas NTT di bilangan Kemang, Jakarta Selatan diselenggarakan acara kegiatan peluncuran situs web Nusantarafoodbiodiversity.org.

Ide pembuatan situs web pendokumentasian pangan lokal ini diinisiasi oleh teman-teman KRKP, KEHATI, CIFOR-ICRAF, EKO NTT, dan Ahmad Arif, seorang wartawan Harian Kompas yang banyak menulis tentang isu pangan lokal di Nusantara. Inisiatif pendokumentasian keragaman pangan lokal ini muncul karena adanya keresahan bersama diantara sesama pegiat yang memang sudah lama berkecimpung di isu-isu pangan lokal dan  disamping itu mereka juga melihat adanya potensi yang luar biasa dari masa depan pangan lokal Indonesia.  

Gambar 1. Salah satu hasil pengidentifikasian tanaman di kebun dan hutan di kegiatan Pelatihan Pangan Lokal

Kegiatan peluncuran dashboard pangan lokal ini diawali dengan rangkaian sesi diskusi yang dipandu oleh Widya Hasian Situmeang dari KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan). Pada sesi diskusi ini menghadirkan empat orang pembicara, diantaranya adalah Said Abdullah dari KRKP, Mulia Nurhasan dari CIFOR-ICRAF, Imroatul Mukhlishoh dari KEHATI, dan Ahmad Arif dari Harian Kompas. Sesi diskusi ini juga mengundang perwakilan dari Pemerintah yaitu Rina Syawal, Direktur Penganekaragaman dan Konsumsi Pangan dari Badan Pangan Nasional (BAPANAS) sebagai penanggap diskusi. Sedangkan RMI sendiri hadir sebagai undangan dari kegiatan peluncuran situs web Nusantarafoodbiodiversity.org ini.

Kegiatan diskusi ini mengambil tema “Mulai dari lokal untuk berdaulat pangan”. Harapannya dari tema diskusi tersebut dapat menjadi langkah awal untuk setidaknya bisa menjawab kompleksitas tantangan krisis pangan dengan mengkampanyekan konsumsi pangan lokal. Pada hematnya, konsumsi pangan lokal cenderung lebih tahan terhadap guncangan iklim, dapat mengurangi emisi karbon, dan menjadi relevan mengingat Indonesia begitu kaya dengan sumber pangan yang beranekaragam baik dari segi jenis maupun keberlimpahannya. Dengan begitu, maka, pemanfaatan pangan lokal berbasis sumberdaya setempat sudah barang tentu berimplikasi pada tercapainya kedaulatan pangan di masing-masing komunitas masyarakat di Indonesia.

Gambar 2. Ahmad Arif (kiri) sedang memaparkan permasalahan pangan lokal di Tanah Air. Foto oleh: Tim dokumentasi KRKP.

Pembicara pertama yang berbagi pandangan dan pengalamannya adalah Ahmad Arif. Arif memulai dengan menceritakan kondisi yang ironis dari permasalahan keberagaman pangan lokal. Di satu sisi, cerita tentang keberagaman pangan yang luar biasa melimpah banyak dia temui di seantero wilayah Indonesia. Kedudukan pangan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal pedesaan selalu identik dan menjadi bagian yang paling penting dalam ritual-ritual karena memang begitulah pola hidup mereka yang notabene dibentuk oleh ketersediaan layanan alam termasuk sumber pangan yang mereka produksi dan konsumsi. Namun, di sisi yang lain, rupanya telah terjadi pergeseran pola konsumsi yang sangat tajam di masyarakat kampung dan ketidaktahuan terhadap pemanfaatan konsumsi pangan lokal.

Tentunya pergeseran dan ketidaktahuan ini membawa pada konsekuensi mulai pudarnya bahkan sampai hilangnya pengetahuan tentang cerita asal usul produksi dan konsumsi pangan lokal. Dalam kasus ini, Arif mencontohkan seperti yang terjadi di Flores, NTT. Di sana, cerita mengenai keberagaman pangan telah menjadi cerita masa lalu terutama bagi anak-anak muda saat ini. Banyak dari anak-anak muda di Flores tidak mau lagi mengkonsumsi jagung bosse sebagai sumber karbohidrat. Eksistensi jagung bosse telah digantikan dengan masifnya konsumsi nasi putih yang notabene berasal dari beras.

Sialnya, beras yang beredar di pasaran sebagian besar didatangkan dari luar pulau dan tentu saja masyarakat membeli beras itu di warung sembako. Parahnya lagi, tingkat ketergantungan terhadap beras yang sangat tinggi membuat masyarakat Flores seakan-akan mengalami ketiadaan pilihan-pilihan konsumsi pangan lain. Ditambah belakangan ini, harga beras mencapai rekor tertinggi dan risiko gagal panen padi di Pulau Flores akibat dampak El Nino semakin menyulitkan masyarakat memperoleh pasokan beras di sana. Akibatnya, situasi tersebut memunculkan permasalahan krisis pangan yang tidak boleh dianggap remeh.

Terkait permasalahan krisis iklim yang disinggung Arif ini, Imroatul Mukhlishoh, Asisten Program Agroekosistem Pertanian KEHATI, menandaskan bahwa varietas tanaman pangan lokal justru lebih tangguh terhadap dampak guncangan iklim. Selain tangguh, mulai dari proses produksi, rantai distribusi hingga konsumsinya pangan lokal lebih rendah emisi karbon. Potensi rendah emisi karbon inilah yang terbukti relevan untuk menjawab tantangan krisis perubahan iklim dewasa ini. Melihat dari potensi luar biasa pangan lokal dalam kompleksitas permasalahan krisis iklim ini, Mukhlishoh menekankan tentang pentingnya mendorong pemanfaatan dan pelestarian pangan lokal secara berkelanjutan.

Dalam hal ini, Arif menambahkan bahwa masyarakat Indonesia di masing-masing daerah memiliki kemampuan beradaptasi dengan budaya dan lingkungan spesifik. Di situlah letak pengetahuan dan teknologi mereka yang sebenarnya. Leluhur orang Indonesia sebenarnya sudah mewariskan segenap pengetahuannya kepada generasi penerus dalam mengolah sumber pangan. Pengalaman Arif berkeliling Indonesia membuktikan bahwa di masyarakat adat dan komunitas lokal adalah bagaimana cara mereka mulai dari mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan makanan telah menjadi pengetahuan yang paling berharga apalagi dihadapkan pada krisis perubahan iklim.

Selain kemampuannya yang tahan terhadap krisis perubahan iklim, pangan lokal dengan kekayaan biodiversitasnya mengandung keragaman komposisi gizi yang masing-masing memiliki keunikannya tersendiri. Mulia Nurhasan, Peneliti Pangan dan Gizi dari CIFOR-ICRAF, menjelaskan kepada para peserta diskusi bahwa permasalahan gizi di berbagai wilayah Indonesia itu bermacam-macam dan sangat lokal sehingga dibutuhkan penanganan yang juga lokal dan spesifik. Oleh karena itu, kekhasan pangan lokal di masing-masing tempat sebenarnya sudah mampu menangani permasalahan dan kebutuhan gizi masyarakat setempat.

Dalam pengamatan Nurhasan, selama ini permasalahan gizi seringkali hanya ditangani dengan pendekatan medis (medicalize approach) padahal itu bukanlah cara penanganan yang berkelanjutan. Baik pemerintah maupun masyarakat masih melihat permasalahan gizi mirip seperti penyakit yang segera dicarikan obatnya dan berharap dengan begitu masalah gizinya akan selesai. Misalnya dalam kasus tekes (stunting) yang melulu ditangani dengan pendekatan medis. Dalam kasus ini, Nurhasan mengajak agar kedepannya kita tidak bisa ketergantungan kepada solusi-solusi yang medicalize approach semata melainkan sudah seharusnya kita memberi karpet merah untuk solusi-solusi yang berkelanjutan—yang sumbernya berasal dari kekayaan pangan lokal Indonesia. Namun, tantangannya kini varietas pangan lokal kita sendiri sudah banyak yang hilang dan banyak pula dari kita semua sudah tidak mengkonsumsinya.

Berangkat dari keresahan atas permasalahan eksistensi pangan lokal tersebut, prakarsa pendokumentasian melalui sebuah dashboard di situs web menjadi langkah untuk menjaga dan melestarikan jenis-jenis dan pengetahuan tentang pangan lokal agar tidak punah. Harapannya dengan hadirnya dashboard ini, data yang terinput nantinya bisa dipakai menjadi basis argumentasi untuk mengadvokasi kebijakan. Dengan dua kata kunci: biodiversity dan locality diharapkan data di dashboard situs web ini akan menjadi pangkalan data (database) yang lengkap dan beragam untuk penyusunan kebijakan pangan yang lebih presisi dan sesuai dengan konteks lokalitasnya, tegas Said Abdullah dari KRKP dengan mantab.

Abdullah juga mengingatkan bahwa masalah intervensi kebijakan pangan lokal menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi kita semua dan bagaimana kebijakan dapat memperkuat itu dan tugas teman-teman di NGO memberi masukan dan bekerja secara kolaboratif dengan pemerintah. Apa yang Abdullah serukan, disambut oleh Rina Syawal, Direktur Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, BAPANAS (Badan Pangan Nasional), dengan menekankan bahwa berbagai inisiatif dari masyarakat yang muncul diharapkan dapat berkolaborasi dengan Pemerintah dalam merealisasikan mandat UU Pangan yang terkait dengan penganekaragaman pangan berbasis potensi pangan lokal.

Disamping itu, Arif menambahkan, dengan hadirnya dashboard ini dapat memetakan keberagaman pangan lokal di Indonesia dan mencatat mana saja yang masih eksis atau sudah lenyap. Dalam proses input data di dashboard ini, dikerjakan dengan pendekatan citizen science dan crowdsourcing yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam mendokumentasikan keanekaragaman pangan lokal di sekitar mereka dan cerita-cerita tentang pangan lokal bahkan yang keberadaannya sudah hilang sekalipun. Namun demikian, semangatnya adalah mengajak kita semua untuk berkontribusi bersama sehingga situs web ini bisa menjadi alat bersama yang bisa dipakai oleh siapa saja dan membangun kembali kebanggaan terhadap keberagaman pangan lokal yang ada di sekitar kita dan menjadi bagian budaya kita kembali, sergah Arif.

RMI dan Kerja-kerja Advokasi Pangan lokal

Mengingat betapa pentingnya eksistensi pangan lokal di kalangan masyarakat adat dan komunitas lokal di pedesaan, sebagai organisasi yang berfokus pada advokasi masyarakat adat di sekitar hutan, sejauh ini RMI sudah berkecimpung di dalam kerja-kerja menjaga dan melestarikan pangan lokal. Memang harus diakui bahwa saat ini telah terjadi pergeseran pola konsumsi yang masif di kalangan masyarakat adat. Ahmad Arif menyampaikan bukti-bukti yang menujukkan telah terjadinya pergeseran itu. Misalnya apa yang terjadi di masyarakat Baduy di Banten atau di Sumba, NTT.

Namun demikian, dalam amatan Arif ternyata masih ada peluang untuk bisa dimunculkan kembali. Senada dengan apa yang Arif katakan barusan, berdasarkan pengalaman RMI belakangan ini, kegairahan untuk melakukan kerja-kerja pendokumentasian pangan lokal juga semarak dilakukan oleh komunitas-komunitas mitra RMI. Misalnya kerja-kerja pendokumentasian dan penghidupan kembali marwah pangan lokal yang dilakukan oleh teman-teman Lakoat.Kujawas di Mollo, NTT; SimpaSio Institute di Larantuka, Flores; dan masyarakat kasepuhan di Lebak – Banten. Bahkan tidak hanya berhenti dalam menghidupkan pangan lokal tetapi juga meluas ke kegiatan pencarian berbagai jenis tumbuhan dari hutan adat yang bisa diolah menjadi jamu dan obat-obatan.

Kerja-kerja advokasi yang dilakukan oleh RMI yang berkolaborasi dengan Komunitas Pemuda Adat Cirompang (Kisancang) misalnya di Festival Pare Ketan yang diselenggarakan di bulan Oktober 2023 di Kasepuhan Cirompang – Lebak, di mana masyarakat kasepuhan Cirompang terutama kaum perempuan menjadi garda terdepan dalam menampilkan hasil olahan pangan lokal menjadi hidangan dan aneka panganan kue. Dampak positif dari festival tersebut adalah munculnya kesadaran dan rasa percaya diri terhadap pangan lokal mereka sendiri.

Disamping itu, keterlibatan RMI dalam advokasi pangan lokal secara serius dilakukan di Kasepuhan Cibedug melalui proyek penelitian Sistem Pangan Lokal yang bekerjasama dengan FAO di tahun 2019. Dalam proyek penelitian ini, RMI berfokus pada pendeskripsian aspek-aspek keberlanjutan dan resiliensi dari sistem pangan masyarakat Kasepuhan Cibedug dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim, masuknya input-input pertanian modern dan pengaruhnya terhadap sistem pangan tradisional, penurunan regenerasi petani, dan perubahan besar sejak wilayah kasepuhan masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) di tahun 1992.

Dari hasil temuan penelitian ini didapat bahwa sistem pangan masyarakat Kasepuhan Cibedug ternyata masih menunjukkan adanya tanda-tanda resiliensi, terutama kemampuannya dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim. Hal ini dibuktikan ketika terjadinya kekeringan di tahun 2019, di mana dampaknya tidak mempengaruhi ketersediaan pangan mereka lantaran disebabkan oleh masih kuatnya basis kemandirian pangan mereka dan masih minimnya ketergantungan pada pasokan pangan dari luar.

Pasokan pangan mereka diperoleh sebesar 50-60 persen dari hasil produksi pangan di lahan pertanian, 20 persen dari hutan, dan sisanya sekitar 20-30 persen dari pasar. Belum lagi dengan kebiasaan masyarakat Cibedug yang menyimpan padi di leuit (lumbung), pengumpulan pangan liar dari hutan, dan praktik mengawetkan pangan secara alami juga turut berkontribusi besar dalam menjaga ketahanan pangan dari terpaan guncangan iklim sehingga menjaga ketersediaan pangan mereka.

Namun demikian, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Cibedug adalah masuknya input-input pertanian modern seperti pupuk kimia, pestisida, dan mesin traktor yang didatangkan dari luar. Input-input pertanian modern ini berdampak pada penurunan kualitas kesuburan tanah. Penurunan kualitas kesuburan tanah ini mulai dikeluhkan oleh para petani. Untungnya, belakangan ini masyarakat Cibedug mulai memahami bahwa keputusan mereka menggunakan pupuk kimia dan mesin traktor mungkin merupakan keputusan yang keliru dan berakibat pada kualitas kesuburan tanah dalam jangka panjang.

Atas permasalahan tersebut, masyarakat Cibedug mulai gencar menghidupkan kembali penggunaan pupuk organik. Terlepas dari permasalahan tersebut, mereka masih mempunyai keinginan yang kuat dalam melestarikan adat dan tradisinya termasuk mempertahankan sistem pertanian tradisional mereka. Bagaimanapun, sistem pertanan tradisional ini sangat mendukung bagi keberlanjutan sistem pangan mereka.

Gambar 3. Seorang Petani di Kasepuhan Cibedug menangkap ikan dan organisme air tawar lainnya di sawah. Foto oleh: Dokumentasi Riset Sistem Pangan RMI di Cibedug.

Persoalan lain yang tak kalah gentingnya adalah masa depan regenerasi petani di Cibedug yang dirasa cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, banyak generasi muda di Cibedug enggan bertani dan lebih memilih bekerja di luar kampungnya. Selain itu, pengetahuan generasi muda terhadap tradisi dan kearifan lokal semakin menurun. Untuk mengatasi problem regenerasi petani ini, para tetua adat memandang perlu untuk melakukan penyegaran kembali pembelajaran adat dan tradisi bagi generasi muda. Meskipun demikian, tumpuan pendidikan dalam bertani di masing-masing keluarga di Kasepuhan Cibedug masih tetap dijalankan.

Di penelitian ini ditemukan bahwa anak-anak di Cibedug “sejak kecil dibawa ke sawah dan kebun lalu mengamati aktivitas pertanian orang tuanya. Kegiatan yang biasa mereka lakukan bersama keluarga antara lain memancing di sawah, memanen, menanam padi, memasang perangkap, dan terkadang berburu babi hutan. Anak-anak Kasepuhan Cibedug juga mempelajari kearifan lokal lokal melalui sosialisasi dengan teman sebaya: bertukar cerita dan pengalaman, bermain di sawah, memancing di sungai, memetik buah-buahan liar, dan lain sebagainya.”1

Dari kondisi faktual tersebut, krisis regenerasi petani di Cibedug ternyata sudah mereka antisipasi dengan melakukan mitigasi melalui penguatan kembali pembelajaran tradisi dan adat serta pendidikan dalam bertani di keluarga masing-masing. Dalam hal permasalahan dengan pihak TNGHS, dengan dukungan RMI kini status wilayah dan hutan adat masyarakat Kasepuhan Cibedug sudah diakui keberadaannya.

Tentunya, pengakuan dari negara ini berkonsekuensi terhadap masa depan keberlanjutan sistem pangan lokal masyarakat Cibedug karena mengingat sebagian besar lahan pertanian, kebun, dan aktivitas meramban pangan liar di hutan terdapat di kawasan TNGHS. Atas pengakuan ini, membuat masyarakat Cibedug bisa lebih bebas mengakses dan mengelola sistem pangan sesuai dengan kearifan dan pengetahuan lokal mereka sendiri.

Selain itu, dalam hal pengetahuan tentang sistem pangan lokal di masyarakat kasepuhan bertolak dari pengalaman RMI sejauh ini. Faktanya, di lapangan ditemukan bahwa masyarakat kasepuhan lainnya masih menjalankan praktik dari sistem pengetahuan pangan mereka. Salah satu praktik yang hingga kini masih dijalankan adalah tradisi ngalasan, yaitu, berupa aktivitas meramban pangan liar di dalam hutan sebagai aktivitas rutin masyarakat kasepuhan dalam pemenuhan kebutuhan gizi harian mereka.

Tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun, biasanya dilakukan jelang petang hari setelah mereka selesai beraktivitas bertani di sawah atau kebun. Apa yang mereka dapat selama ngalasan, itulah yang akan mereka bawa untuk dimasak sebagai menu makan malam atau sore hari. Beberapa jenis pangan liar yang didapat peramban selama melakukan aktivitas ngalasan biasanya berbagai jenis jamur, sayur-sayuran, lalap-lalapan, sarang lebah hutan, tanaman obat untuk jamu-jamuan dan minuman herbal, buah-buahan yang tumbuh di hutan seperti durian, umbut rotan (kambium di dalam rotan yang masih muda biasanya untuk disayur), dan tanaman di dalam hutan lainnya yang layak dikonsumsi.

Sementara itu, pangan lokal lainnya juga dapat mereka olah menjadi produk yang bisa dipasarkan untuk meningkatkan taraf penghidupan masyarakat sebagai pendapatan keluarga atau kelompok seperti singkong, pisang, durian, dukuh, langsat, gula aren, kulang-kaleng, dan buah manggis yang tumbuh di sekitar kebun dan di dalam hutan yang dikelola masyarakat kasepuhan.

Gambar 4. Hasil meramban pangan liar yang dikenal dengan tradisi ngalasan di masyarakat kasepuhan di
Lebak – Banten. Foto oleh: Fauzan Adima (Staf Pengorganisasian Masyarakat RMI).

Melihat dari pengalaman RMI inilah, menurut Ahmad Arif sebenarnya masyarakat kasepuhan bisa berpeluang untuk berkolaborasi dalam mendukung pendokumentasian pangan lokal di pangkalan data Nusantarafoodbiodiversity.org. Bahkan Said Abdullah menyambut RMI dan teman-teman lainnya untuk sama-sama membesarkan situs web ini dengan memfasilitasi masyarakat kasepuhan dan komunitas adat Baduy di wilayah kerja RMI terutama bagi generasi mudanya sebagai kontributor. Dengan demikian, hadirnya pangkalan data pangan lokal ini dapat menjadi alat advokasi bersama bagi para pihak yang sama-sama memiliki perhatian dan kepedulian terhadap keberlanjutan khazanah keanekaragaman pangan lokal di Nusantara.

1 RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment. “Food System Profile of Kasepuhan Cibedug
Indigenous Peoples in Cibeber, Lebak, Indonesia and Elements of Sustainability and Climate Resilience”
dalam Profiling Indigenous Food Systems And Their Contribution To Debates On Sustainibility And Climate Resilience. Unpublished

Penulis: Renal Rinoza (Staf Knowledge Management, RMI)