Udara terasa sangat dingin di luar ruangan, suhu udara mencapai 19
°°
C yang terasa seperti 15
°°C. Untuk menggambarkan betapa dinginnya, warga kampung saja mengaku tidak berani mandi sore. Sebuah gurauan yang ditopang kebenaran. Belakangan ini cuaca khususnya di Lebak-Banten memang curah hujan sedang tinggi-tingginya. Hampir pasti setiap sore hari diguyur hujan, beruntungnya pada sabtu malam (04/03/2023) cuaca sedang bersahabat, sehingga dapat melaksanakan acara Syukuran dan Sosialisasi Penetapan SK Hutan Adat Kasepuhan Cibedug. Bertempat di luar ruangan, persisnya di alun-alun rumah kasepuhan. Peserta yang hadir kurang lebih 150 orang anggota masyarakat Kasepuhan Cibedug dengan antusias yang tinggi dalam mengikuti setiap rangkainya. Selain dari Kampung Cibedug, kegiatan ini dihadiri juga oleh perwakilan masyarakat dari kampung Lebak Kalahang, Cihara, Cinakem dan Cibledug.
Sepekan sebelumnya, rabu (22/02/2023) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaksanakan penyerahan Surat Keputusan Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) secara factual dan virtual. Kegiatan faktualnya di laksanakan di Kalimantan Timur yang dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia. Sementara kegiatan secara virtual dilaksanakan di beberapa Provinsi termasuk Provinsi Banten. Kegiatan Penyerahan SK ini secara resmi telah dilakukan di Pendopo Gubernur Banten, KP3B Curug, Kota Serang. Dari Kasepuhan Cibedug hadir 10 perwakilan, 8 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Pada waktu yang sama, selain Kasepuhan Cibedug yang menerima penyerahan SK, ada Kasepuhan Cisungsang dan Kasepuhan Cisitu yang juga menerima SK Hutan Adat. Penyerahan SK ini menjadi titik awal bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug untuk mengelola wilayah adat mereka sendiri sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku di komunitas.
Rangkaian kegiatan syukuran dan sosialisasi diawali dengan acara pembukaan, lalu pembacaan isi SK Hutan Adat dan Penyerahan Salinan SK Hutan Adat kepada perwakilan tiap-tiap kampung. Substansi dari pertemuan ini dagingnya adalah wejangan-wejangan yang disampaikan sesepuh adat. Olot Asbaji selaku Tetua Kasepuhan menyampaikan amanat untuk seluruh warga masyarakat Wewengkon Kasepuhan Cibedug. Setelah diterimanya SK tanah adat ini menjadi tanggung jawab bersama dalam hal keamanan, ketertiban dan pemanfaatannya. Dalam istilah Sunda yang paling seringkali disampaikan adalah ungkapan berikut “Ulah pacarok kokod, paluhur-luhur tangtung, pagirang-girang tampian” yang berarti teratur dalam melakukan pemanfaatan, tidak saling merugikan satu sama lain sesama incu putu kasepuhan begitu juga dengan orang lain.
Amanat berikutnya disampaikan Aki Nurja selaku Tetua Adat Wewengkon Kasepuhan Cibedug yang berpesan bahwa Hutan Adat ini merupakan amanah yang perlu dijaga, harapannya lebih aman dari pada ketika dikelola TNGHS. Harus sesuai dengan ketentuan aturan-aturan adat yang berlaku, seperti jika hendak menebang pohon di garapannya wajib izin dulu ke tetangga garapan lainnya. Hal ini merupakan upaya agar tidak terjadi selisih paham yang berujung konflik.
Pak Sarmin selaku Tokoh Masyarakat juga menguatkan bahwa Hutan Adat yang telah diterima oleh masyarakat Wewengkon Kasepuhan Cibedug sudah seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mencukupi kehidupan masyarakat adat. Pesannya leuweung yg sudah dibuka, sudah saatnya dimanfaatkan dengan baik. Jenis tanamannya perlu diberagamkan, kayu yang sudah ada tidak masalah, dan perlu ditambah dengan jenis-jenis pohon buah. Karena jika menanam pohon buah, masyarakat dapat memanfaatkan buahnya untuk konsumsi dan komoditi yang dapat menyasar pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Amanat tak kalah pentingnya, jangan mengganggu kayu alam yang telah berusia ratusan tahun, karena itu merupakan sumber kesuburan air sebagai penopang keberlanjutan kehidupan orang banyak, bukan saja masyarakat Wewengkon Cibedug.
Simpulannya beliau menekankan bahwa SK Hutan Adat merupakan hasil perjuangan bersama selama 22 tahun lamanya. Sejak tahun 2000 masyarakat telah berjuang, sudah sepatutnya juga masyarakat secara kolektif tetap kompak dalam melestarikan Hutan Adat yang telah diterima ini.
Dari 2.173 hektar luasan yang diusulkan oleh masyarakat, Kementerian LHK melalui SK Hutan Adat menetapkan seluas 1.268 hektar dengan fungsi konservasi dan produksi. Mengacu pada Tujuan SK Hutan Adat ditetapkan oleh pemerintah agar menjamin ruang hidup masyarakat, melestarikan ekosistem, menjamin kearifan lokal (cara atau tradisi yang dilakukan turun temurun), dan menjamin kesejahteraan masyarakat yang ada di Wewengkon Cibedug. Penyerahan SK ini menjadi sejarah baru yang menandai bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab bersama dalam pengelolaan wilayahnya dengan mandiri dan berdaualat untuk tujuan kesejahteraan lahir batin bagi incu-putu Wewengkon Kasepuhan Cibedug.
Dokumentasi oleh: Asti (WGII)
Usai pembacaan SK Hutan Adat, kegiatan ditutup dengan acara simbolik Penyerahan Salinan SK Hutan Adat kepada perwakilan masing-masing kampung; Kasepuhan Cibedug, Lebak Kalahang, Cinakem, Ciara, dan Cibeledug. Pertemuan kampung ini diakhiri dengan do’a dan makan bersama sebagai wujud syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas diserahkannya SK Huatan Adat kepada masyarakat Wewengkon Kasepuhan Cibedug.
Wacana perubahan status Desa menjadi Desa adat kian mengemuka di Kabupaten Lebak. Isu ini telah menjadi agenda Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak melalui sejumlah tahapan yang telah dilakukan beberapa bulan terakhir. Desa adat merupakan salah satu instrumen penting dalam kerangka penguatan dan pengakuan Masyarakat Adat di Kabupaten Lebak ditengah mandeknya RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di DPR RI. Pada tahun 2022 lalu, Pemerintah Provinsi Banten telah mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 2 Tahun 2022 tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat, Perda ini sekaligus menegaskan bahwa jalan menuju Desa Adat di Kabupaten Lebak kian terbuka lebar. Wacana Desa adat sendiri telah lama bergulir sebagaimana disampaikan Jaro Saija-Kepala Desa Kanekes pada acara Dialog Publik Desa Adat bahwa dirinya telah menyampaikan usulan perubahan status Desa menjadi Desa adat sejak 2018 lalu, namun prosesnya hingga saat ini belum juga selesai. Pada kesempatan tersebut pihaknya meminta kepada jajaran pemerintah Daerah Kabupaten Lebak yang disampaikan langsung di hadapan DPRD Kab. Lebak untuk segera dipercepat penetapannya.
Wacana Desa adat di Kabupaten Lebak telah menjadi perbincangan publik di masyarakat adat kasepuhan juga baduy, terlebih setelah adanya perda provinsi Nomor 2 Tahun 2022 tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat yang mengisyaratkan akan adanya perubahan signifikan pada nomenkaltur penyelenggaraan pemerintah desa yang mengajukan. Hingga saat ini berdasarkan informasi dari MPMK (Majelis Permusyawarahan Masayarakat Kasepuhan) telah ada 11 (Sebelas) Desa yang mengajukan dan telah dilakukan verifikasi langsung oleh tim Verifikasi penataan desa yang dibentuk oleh Bupati Lebak. Isu perubahan status desa menjadi desa adat diwarnai dengan sejumlah asumsi yang beragam yang selama ini berkembang di masyarakat adat. Berdasarkan temuan RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment dalam proses pendampingan di beberapa kasepuhan juga baduy, asumsi tersebut mulai dari persoalan demokrasi hingga partisipasi masyarakat dalam pembangunan lokal.
Berdasarkan situasi tersebut RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment bekerjasama dengan Kemitraan Pathnership membuka ruang untuk mempertemukan berbagai elemen masyarakat dengan pemangku kebijakan melalui acara Dialog Publik yang bertajuk “Peluang dan tantangan Desa Adat sebagai “Penguatan Pengakuan Masyarakat Adat di Kabupaten Lebak yang dilaksanakan selama 1 (satu) hari pada tanggal 14 Maret 2023 bertempat di Ruang Paripurna DPRD Kab. Lebak. Pada kegiatan tersebut RMI mengundang 18 Desa dan perwakilan Lembaga adat pengusul perubahan status Desa menjadi desa adat, beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten Lebak yang terdiri dari; Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Kesbangpol dan Majelis Permusyawarahan Masyarakat Kasepuhan (MPMK).
Pada dialog publik ini turut hadir narasumber dari Direktorat Pengembangan Sosial Budaya dan Lingkungan Desa dan Perdesaan-Kemendes dan MPMK sebagai inisiator wacana Desa adat di Kabupaten Lebak. Acara ini bertujuan untuk mendiskusikan substansi Desa adat di KabupatenLebak beserta peluang dan tantangan yang dihadapinya.
Dialog Desa adat menjadi peluang penting dalam rangka mewujudkan partisipasi masyarakat dalam mengawal kebijakan pemerintah. Momen ini dimanfaatkan oleh kelompok pemuda dan perempuan adat yang tergabung dalam forum KAWAL untuk berbicara secara langsung menyampaikan sejumlah poin masukan pada raperda Desa adat yang prosesnya kini sedang berjalan. Proses penyampaian tersebut dilakukan oleh 3 (tiga) orang perwakilan pemuda dan perempuan diantaranya Sdr. Iqbal-Kasepuhan Pasir Eurih, Sdr. Sarmani-Kasepuhan Cirompang dan Teh Imas-Kasepuhan Cibarani. Tiga orang ini merupakan perwakilan forum KAWAL yang diberikan amanat untuk menyampaikan rekomendasi berupa sejumlah masukan dalam rangka mendorong kebijakan yang inklusif pada Raperda Desa Adat di Kabupaten Lebak. Setelah dibacakan, selanjutnya rekomendasi tadi diserahkan secara resmi kepada DPRD Kabupaten Lebak yang diwakili oleh Wakil Ketua II Bpk. Junaidi Ibnu Jarta. Adapun isi poin-poin rekomendasi adalah sebagai berikut:
Musyawarah kampung menjadi syarat mutlak dalam proses pengusulan Desa Adat yang selanjutnya dibawa ke dalam forum musyawarah desa;
Adanya kajian komprehensif bagi desa-desa yang mengajukan perubahan status Desa Adat yang dilakukan secara partisipatif;
Memastikan terbukanya ruang demokrasi dan partisipasi secara bermakna (meaningfull participation) bagi pemuda dan perempuan di dalam proses-proses pembangunan dan pengambilan keputusan di tingkat desa;
Penguatan dan Perlindungan Lembaga Adat sesuai harkat dan martabatnya sebagai masyarakat adat berdasarkan hak asal-usul dan asas rekognisi, merdeka dan berdaulat atas tata kelola yang inklusif.
Sebelumnya, Forum Kawal sendiri pada tanggal 23-26 Februari 2023 berlokasi di Kasepuhan Cibarani melakukan konsolidasi melalui pertemuan dalam rangka merespon wacana desa adat di Kabupaten Lebakyang kini isunya semakin menguat. Dalam pertemuan tersebut dialukan berbagai diskusi dan pendalaman bagaimana peluang dan tantangan desa adat bagi kehidupan dan masa depan masyarakat adat di Lebak baik Kasepuhan dan juga Baduy. proses ini telah menghasilkan beberapa kesepakatan berupa poin-poin rekomendasi sebagai masukan dalam Raperda Desa adat di Kabupaten Lebak. Forum Kawal sendiri merupakan wadah kelompok pemuda dan perempuan yang terbentuk pada mediotahun 2022. Forum ini terdiri dari 8 Kasepuhan dan baduy sebagai bentuk solidaritas generasi masyarakat adat untuk saling belajar dan berupaya dalam memperkuat pengakuan masyarakat adat di Kabupaten Lebak.
Awan abu-abu mulai menyelimuti Hutan Adat, Desa Jagaraksa, Lebak, Banten. Dua orang laki-laki jalan kaki keluar dari hutan dan menghampiri kami di saung warung dekat jalan raya antar kecamatan Muncang dengan Sobang. Ada yang berteriak “itu dia orangnya”, orang yang pada tahun 2013 sempat ditangkap oleh Polisi Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) karena memanfaatkan ranting di kawasan konservasi.
Laki-laki yang berusia 45 tahun itu menghampiri kami yang sedang duduk di pinggir jalan tersebut, dengan membawa koneren (tas yang terbuat dari karung plastik), baju biru, dan menggunakan topi mengajukan tangan untuk salaman dengan kami. Kami bersalaman dengan menyebutkan nama masing-masing, Pak SL namanya.
Percakapan diawali dengan menanyakan kabar dan kesibukan sehari-hari. Saat ini Pak SL sibuk menanam kopi, merawat kebun, kerja di pembibitan kopi dan bersawah. Ia juga menceritakan bahwa saat ini kopi sedang berkembang pesat dan harganya lumayan, oleh sebab itu ia menanam kopi di kebunnya. Selain kopi, ia juga menanam duren, pete, jengkol, manggis, serta jengjeng.
Saat kami menanyakan tentang kejadian penangkapan oleh polisi hutan di tahun 2013, raut wajahnya berubah, ia diam lama, air mengambang di matanya, jari-jari di tangan kanannya memainkan tulang hidungnya seolah menahan air agar tidak jatuh dari matanya.
“(dulu ditangkap karena) arang, bikin arang dari ranting-ranting karet di dalam kawasan (Taman Nasional / TN), yang nyieun (bikin) Ibu HN.” katanya. Ibu HN merupakan salah satu warga/tetangga Pak SL.
Sambil memegang tulang hidungnya, ia bercerita bahwa saat itu dia baru pulang mengambil arang dari dalam hutan. Setelah keluar dari hutan, di pinggir jalan ada polisi hutan yang menegur Pak SL, “jangan taro di sini” kata polisi hutan. Kemudian arang tersebut diambil dan ia ditangkap oleh polisi hutan lalu dibawa ke kantor TNGHS Resort Cikawah. Meskipun tidak lama, tapi kejadian tersebut sangat membekas di dirinya. Ia menceritakan bahwa ada masyarakat lainnya juga yang ditangkap. “Kalau [membuat] arang mah diambil aja [arangnya]. [tapi] Kalau [memiliki] kebun diancam penjara 20 tahun dan uang 100 juta,” katanya dibarengi dengan air mata yang jatuh.
Selanjutnya di tahun 2014, Komnas HAM bersama beberapa organisasi masyarakat sipil melaksanakan Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Adat. Pak SL juga hadir dalam pertemuan tersebut, tetapi ia takut bercerita sehingga kejadian tersebut diceritakan oleh Kepala Desa Jagaraksa, “tetapi yang ada kan hanya ada kepala-kepalanya (pimpinan TNGHS saat Inkuiri Nasional, bukan polisi hutan)”, kata Pak SL.
Sebelum berubah fungsi jadi Taman Nasional (TN) pada tahun 2003, wilayah adat Kasepuhan Karang merupakan bagian dari Perhutani. Di mana menurut Pak SL tidak ada bedanya saat wilayah adat dikuasai oleh Perhutani dengan saat dikuasai TN. “Pas (zaman penguasaan oleh) Perhutani (masyarakat) disuruh pulang, sama kaya (pada zaman penguasaan oleh] TN,” jelas Pak SL. Pak SL menambahkan di kedua era tersebut masyarakat sama-sama diminta upeti.
“Boro-boro ngebunharita mah, masuk wae geh sieun, punya Taman Nasional. (Boro-boro berkebun waktu itu, masuk aja takut karena punya Taman Nasional). Dulu tetep ke kebun tapi bukan di kawasan TN, tapi di kawasan yang ada SPPTnya,” jawab Pak SL, saat ditanya bedanya dulu dan sekarang.
Pembicaraan pun kembali ke masa kini, tahun 2022. Setelah kejadian tersebut, Pak SL dan Ibu HN tidak membuat arang lagi, karena takut, dan terlebih lagi saat ini jarang ada yang membeli. Pak SL menceritakan bahwa setelah Hutan Adat Kasepuhan Karang diakui oleh Negara sebagai milik masyarakat Kasepuhan Karang, ia mengaku merasa bungah (sangat senang). Perasaan tersebut tercermin dari raut wajahnya yang berubah. “Setelah hutan adat [diakui], bisa pepelakan (menanam pepohonan) lagi juga. Ada peningkatan pendapatan. Tetangkalan (pohon) nambah, baru nanam lagi,” katanya dengan senyum lebar. Meskipun kejadian tersebut telah berlalu, namun perasaan trauma masih menghantui Pak SL, ia mengakui bahwa hingga saat ini kalau bertemu dengan pihak Taman Nasional ia masih merasa sangat was-was.
Sementara, Ibu HN sibuk mengelola sawahnya yang jaraknya jauh, sehingga pulang sudah hampir maghrib, padahal warga lain biasanya pulang ke rumah lepas tengah hari. Sehingga membuat ia sulit untuk ditemui.
“Lelaki tua dengan iket khas Sunda di kepala terlihat tersenyum ramah menyambut kedatangan kami. Sosok ini adalah Olot A, beliau merupakan salah satu Ketua Adat di Kasepuhan Cirompang. Saat tiba di sana, kami langsung dipersilakan masuk dan duduk bercengkrama di area dapur. Nuansa dapur yang dominan dengan bahan kayu ditambah geliat asap dari tungku yang menyala menciptakan suasana hangat khas pedesaan. Di dekat tungku tersebut, terlihat Ambu O (istri Olot A) yang sedang sibuk ‘ngakeul’ nasi putih di dalam sebuah dulang. Beliau begitu terampil mengaduk nasi tersebut. Tangan kirinya memegang hihid (kipas) dan tangan kanannya mengaduk nasi menggunakan pangarih (centong yang terbuat dari kayu). Sembari berbincang dengan kami, Ambu O terlihat sibuk melanjutkan proses pembuatan nasi untuk dihidangkan kepada kami.”
Kegiatan yang dilakukan perempuan dalam masyarakat adat Kasepuhan Cirompang masih sangat identik dengan kegiatan yang ada di ranah domestik. Seperti pada kutipan di atas yang menggambarkan suasana ketika pertama kali kami tiba di Kasepuhan Cirompang. Terlihat jelas bagaimana pembagian peran antara Ambu O dan Olot A yang merepresentasikan pembagian peran dalam keseharian keluarga ini. Ketika kami datang, Ambu O terlihat sangat sibuk menyiapkan kopi, nasi, dan sayur untuk dihidangkan. Sedangkan Olot A duduk dan berbincang dengan kami. Pembagian peran yang sekilas terlihat biasa saja ini justru menjadi suatu hal yang menarik untuk kami telusuri lebih lanjut. Dari kegiatan “ngakeul” yang sedang dilakukan Ambu O kala itu menciptakan rasa ingin tahu kami tentang bagaimana perempuan adat Kasepuhan Cirompang menjalankan perannya dalam keseharian, terutama dalam kaitannya dengan agensi mereka dalam menciptakan ketahanan pangan dalam keluarga. Sekilas tentang Kasepuhan Cirompang, letak Kasepuhan ini berada di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suasana bersih dan asri menjadi kesan pertama ketika kami menginjakkan kaki di Kasepuhan Cirompang pada 20 Oktober 2022 silam. Berjarak sekitar 79 km dari pusat kota Bogor, kami memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk tiba di Kasepuhan Cirompang. Sebuah desa yang didiami oleh masyarakat adat yang masih kental dan memegang teguh berbagai aturan adat di dalamnya. Saat ini, masyarakat yang tinggal di Desa Cirompang merupakan masyarakat adat yang terdiri dari keturunan/incu putu dari Kasepuhan Citorek dan Ciptagelar. Desa Cirompang dikelilingi oleh pegunungan yang masih sangat hijau. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Sukaresmi (Kecamatan Sobang) di bagian utara dan berbatasan dengan Desa Citorek (Kecamatan Cibeber) di bagian selatan. Sedangkan di sebelah timur berbatasan langsung dengan Desa Sukamaju (Kecamatan Sobang), serta berbatasan dengan Desa Sindanglaya (Kecamatan Sobang) di bagian baratnya. Luas Desa Cirompang yaitu 637,608 ha (Data RMI, 2017).
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Cirompang yaitu berasal dari hasil pertanian (tatanen). Sehingga, aturan adat yang mengatur masyarakat Kasepuhan Cirompang kemudian juga berkaitan erat dengan kegiatan tetanen. Sebagai masyarakat adat yang dekat dengan kegiatan tetanen, salah satu hal yang membedakan masyarakat Cirompang dengan masyarakat lain yaitu berkaitan dengan cara pengelolaan bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Masyarakat adat masih memiliki pegangan dan tata cara adat tersendiri dalam proses produksi pangannya. Dalam upaya menciptakan ketahanan pangan, dahulu masyarakat adat Kasepuhan Cirompang menanam padi dengan varietas lokal (jenis pare gede) yang biasanya ditanam satu tahun sekali. Namun saat ini masyarakat menanam padi setahun dua hingga tiga kali (jenis pare leutik/pare handap). Padi yang ditanam tidak sepenuhnya dikonsumsi masyarakat sekaligus secara langsung. Namun biasanya mereka menyimpannya dalam leuit sehingga padi tersebut awet. Leuit merupakan lumbung yang digunakan untuk menyimpan padi (lihat gambar xx.xx). Adanya leuit merupakan bentuk dari sistem ketahanan pangan masyarakat Cirompang untuk menyimpan padi selama kurang lebih enam tahun. Keberadaan dan penggunaan leuit di desa ini sudah lama diwariskan secara turun menurun. Menariknya, dalam proses menciptakan ketahanan pangan keluarga di masyarakat Kasepuhan Cirompang, perempuan memiliki peran yang cukup dominan dibandingkan peran laki-laki. Perempuan terlibat mulai dari proses pengelolaan padi di sawah hingga mengolah beras menjadi nasi yang dapat disajikan untuk seluruh anggota keluarga. Sebelum menanam padi, perempuan melakukan kegiatan macul (menggemburkan tanah). Utamanya kegiatan ini dilakukan oleh laki-laki, tetapi perempuan seringkali “macul” untuk membantu laki-laki. Ketika tanah sudah siap ditanami padi, perempuan melakukan proses sebar/tebar (aktivitas menyebar benih padi) yang dilakukan selama satu hari. Selanjutnya, perempuan memindahkan benih padi dari tempat pabinihan ke sawah yang lebih luas. Proses ini dilakukan selama satu hari. Sama seperti macul, kegiatan ini dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Setelah padi dipindahkan ke sawah, perempuan melakukan proses tandur (kegiatan menanam padi di sawah) selama 1-7 hari. Ketika padi mulai tumbuh (belum berbuah), selama seminggu perempuan membersihkan rumput yang mengganggu pertumbuhan padi. Setelah lima belas hari, perempuan kembali melakukan kegiatan ngoyos untuk kedua kalinya.
Kegiatan selanjutnya adalah ngubaran yaitu selamatan dan pemupukan untuk mengobati hama penyakit. Ngubaran ini biasanya menggunakan panglai (tanaman rempah sejenis kunyit dan jahe)dari Kasepuhan (Ritual Adat Kasepuhan). Pelaksanaan ngubaran biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan selama empat puluh hari lamanya. Usai ngubaran, upacara dilanjutkan dengan kegiatan selamatan ketika padi berbunga, menabuh lisung, dan gegenek (Ritual Adat Kasepuhan). Upacara ini disebut dengan apag pare beukah. Ketika padi tumbuh dan akan dipanen,dilakukanupacara selamatan yang disebut dengan beberes (Ritual Adat Kasepuhan). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan selama empat puluh hari. Prosesi usai beberes disebut dengan mipit, yaitu kegiatan memanen padi yang dilakukan selama satu hari. Pelaksanaan mipit inimelibatkan peran perempuan dan laki-laki. Setelah padi dipanen kemudian padi dikeringkan dan diikat, hal ini disebut dengan mocong. Mocong biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan berperan membantu laki-laki. Kegiatan ini dilakukan selama setengah bulan. Setelah mocong dilakukan, proses selanjutnya adalah laki-laki ngunjal (memindahkan padi dari lantaian ke leuit), sedangkan perempuan berperan membantu proses menyalurkan padi yang akan dimasukkan ke leuit.Ngunjal ini berlangsung selama satu hari. Setelah ngunjal selesai, kegiatan selanjutnya adalah netepkeun, yaitu selametan padi selama berada di leuit (Ritual Adat Kasepuhan). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki. Selanjutnya, prosesi terakhir adalah seren tahun yaitu selametan atas hasil bumi (padi) yang didapat (biasanya setiap minggu atau senin) dan jatuh pada bulan haji/rowah. Kegiatan ini melibatkan peran laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaannya. (Data RMI, 2017).
Ketika peran laki-laki telah usai (dari proses pengelolaan sawah hingga puncak kegiatan penyimpanan padi ke dalam leuit), tetapi peran yang harus dijalani perempuan masih sangat panjang. Perempuan masih melanjutkan pengelolaan padi menjadi beras, dan mengolah beras menjadi nasi hingga dapat dimakan untuk seluruh anggota keluarga. Seperti yang terlihat pada gambar xx.xx di atas yang merupakan gambar kegiatan nutu padi dengan menggunakan lisung atau lesung. Nutu padi merupakan kegiatan menumbuk padi di dalam lisung. Kegiatan ini seutuhnya dilakukan oleh para perempuan (biasanya secara berkelompok). Nutu padi dilakukan oleh dua orang yang memegang halu (tongkat penumbuk padi) dan menumbuk padi dalam lisung secara bergantian. Kemudian dua orang lainnya memisahkan padi dari huut (kulit padi) dengan menggunakan tampah. Kegiatan memisahkan padi dari kulitnya ini disebut dengan napi. Jika padi sudah terpisah dari huut-nya, jadilah beras yang kemudian dapat dikonsumsi rumah tangga.
Setelah memisahkan padi dari kulitnya, para perempuan Kasepuhan Cirompang juga memiliki cara khusus dalam proses pengelolaan beras menjadi nasi. Proses yang dilalui dalam pengelolaan nasi ini lebih panjang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari proses pembuatan nasi pada umumnya. Pertama proses tersebut dimulai dengan memasukkan beras ke dalam bakul kecil (disebut boboko) lalu beras dicuci hingga bersih. Kegiatan ini dinamakan dengan ngisikan/diisikan. Usai ngisikan dilakukan, beras tersebut dituang ke wadah berbentuk anyaman kerucut yang disebut asepan dan diletakkan di atas dandang (seeng). Proses ini dilakukan di atas dandang yang berada di atas tungku (hau) yang masih menggunakan bahan kayu bakar. Beras dalam asepan didiamkan hingga dandang terlihat mengeluarkan asap sampai timus (mengebul).
Kemudian setelah nasi dalam asepan terlihat setengah matang, nasi tersebut diangkat dan dipindahkan ke dalam dulang dan dituangi sedikit air kemudian diaduk dengan pangarih (centong yang terbuat dari kayu). Kemudian nasi yang setengah matang ini diaduk. Setelah dirasa air meresap dalam nasi, nasi tersebut kembali ditaruh ke dalam asepan dan ditutup menggunakan penutup (dikekeb). Setelah nasi matang, proses selanjutnya yaitu ngakeul, yaitu proses mengaduk nasi sebelum disajikan dan dilakukan di dalam dulang. Kegiatan ini dilakukan dengan tangan kiri memegang hihid (kipas) dan tangan kanan mengaduk nasi menggunakan pangarih (centong yang terbuat dari kayu) dan dilakukan secara bersamaan. Proses pembuatan nasipun selesai dan nasi tersebut dapat disajikan untuk seluruh anggota keluarga.
Selain proses pembuatan nasi, hal lain yang menarik perhatian kami yaitu ketika kami melewati pekarangan rumah dan galengan sawah di sekitar Kasepuhan Cirompang. Disana terlihat para perempuan yang menanam tanaman sayur untuk dimasak dan memenuhi kebutuhan sayur sehari-hari mereka. Kegiatan menanam sayur yang dilakukan para perempuan di Kasepuhan Cirompang ini bermula karena sulitnya akses kebutuhan sayur yang dibudidaya di Desa Cirompang. Para perempuan di Kasepuhan Cirompang membentuk kelompok perempuan adat yang bernama Sompang Kisancang. Salah satu kegiatan kelompok perempuan ini yaitu berupaya menciptakan ketahanan pangan keluarga dengan belajar menanam sayur di pekarangan rumah, di pinggiran kolam Saung Kisancang, serta di galangan sawah yang mereka miliki.
Berdasarkan penuturan Teh IW (ketua kelompok Sompang Kisancang), kegiatan yang dilakukan kelompok perempuan Sompang Kisancang sangatlah beragam. Mulai dari belajar menanam sayur bersama RMI sehingga sayur tersebut bisa memenuhi kebutuhan dan dijual keluar desa, membuat keripik dan kerupuk, membuat kue, hingga belajar membuat nugget dari bahan ikan nila dan ayam bersama Sobat Mengajar. Namun sayangnya, keterlibatan perempuan di Sompang Kisancang masih sangat rendah, jumlah maksimal perempuan yang aktif dalam kelompok perempuan ini hanyalah sepuluh orang. Kendala yang mempengaruhi kegiatan tersebut biasanya dikarenakan bertubrukan dengan jadwal musim tandur dan urusan domestik yang kemudian menjadi kendala berjalannya kegiatan kelompok perempuan tersebut. Namun meskipun begitu, para perempuan secara mandiri tetap berupaya menanam kebutuhan sayur di depan pekarangan rumah (dengan polibek/bekas karung beras) dan galengan sawah mereka.
Dari seluruh uraian peran yang diemban oleh perempuan Kasepuhan Cirompang, keterlibatan diri perempuan di banyak lini kesempatan yang ada membuat kita menyadari bahwa masih ada pembagian peran yang timpang. Hal ini membuktikan adanya pandangan patriarki yang masih terasa kental di Kasepuhan Cirompang. Timpangnya pelibatan perempuan terlihat dari pembagian tugas domestik dalam keseharian yang banyak dibebankan pada perempuan. Perempuan menanggung beban yang cukup dominan dalam pekerjaan rumah tangga dibandingkan laki-laki. Selain memasak, perempuan di Kasepuhan Cirompang juga memiliki tugas dalam penggarapan sawah, mencuci, membersihkan rumah, dan beragam tugas rumah tangga lainnya.
Banyaknya tugas yang harus dilakukan perempuan dalam keseharian ini juga secara tidak langsung kemudian mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam ruang publik. Seperti ketika terjadi rapat pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan adat, perempuan seringkali tidak diajak, atau bahkan ketika diajak dan perempuan hadir dalam pertemuan tetapi pendapatnya tidak didengarkan. Sehingga suara perempuan acapkali tidak terwakilkan dalam rapat pengambilan keputusan adat. Bahkan Teh IW menyatakan ketika ada beberapa perempuan yang ikut hadir dalam rapat adat dan mencoba memberi masukan, pendapat mereka tidak seutuhnya didengar ataupun dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan adat yang ada. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan adat dalam menegosiasikan perannya di ruang publik namun di sisi lain mereka juga harus hidup berdampingan dengan struktur adat yang telah terpatri. Meskipun perempuan di Kasepuhan Cirompang masih mengalami subordinasi dalam struktur adat dan kondisi ini sekilas terlihat fixed (tidak dapat dinegosiasikan), namun kami juga melihat dari sisi lain bahwa adanya semangat yang tinggi para perempuan Cirompang dalam mewujudkan posisi perempuan dalam masyarakat adat. Peran dominan pelibatan diri perempuan Kasepuhan Cirompang dalam menciptakan ketahanan pangan keluarga hingga terbentuknya kegiatan kelompok perempuan Sompang Kisancang menjadi bukti adanya agensi perempuan dalam menegosiasikan posisi mereka di Kasepuhan Cirompang. Selain memiliki tugas-tugas yang telah diidentikkan dengan tugas perempuan, namun perempuan Kasepuhan Cirompang tetap berupaya fleksibel membantu peran laki-laki di setiap kesempatan yang ada. Peran perempuan mulai dari pengelolaan tanah di sawah, pengelolaan tanaman padi, menumbuk padi hingga menjadi beras, mengelola beras dengan cara tradisional agar menjadi nasi, menanam sayur, hingga berinisiatif dan bergerak terlibat dalam kelompok perempuan Sompang Kisancang (menciptakan berbagai produk olahan rumah tangga) secara tidak langsung menjadi penanda bahwa negosiasi posisi perempuan di dalam Kasepuhan Cirompang sedang berlangsung. Fleksibilitas perempuan dalam membantu laki-laki menjalankan peran kesehariannya namun tetap menjalani kewajiban tugas perempuan sesuai aturan adat justru mendorong kreativitas perempuan Kasepuhan Cirompang dalam membentuk power perempuan itu sendiri. Sehingga peran yang diambil perempuan Kasepuhan Cirompang justru membawa mereka pada kondisi ‘berdaya’ dan tidak bergantung pada apapun. Tanpa peran aktif perempuan Kasepuhan Cirompang, ketahanan pangan di Kasepuhan Cirompang sulit untuk dapat terwujud.
Baduy adalah salah satu masyarakat adat yang berada di Kabupaten Lebak provinsi Banten, tepatnya di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar. Masyarakatnya masih teguh memegang pikukuh karuhun (tradisi leluhur) sebagai tuntunan perilaku kehidupan sehari-hari. Salah satu dari pikukuh tersebut adalah kewajiban warganya untuk ngahuma (menanam padi di ladang). Oleh karenanya ngahuma bagi orang Baduy bukan semata-mata aktivitas yang bersifat ekonomistik namun merupakan bagian kegiatan spiritual pada rukun wiwitan.
Baduy sendiri mendiami wilayah ulayat seluas 5.101,8 Ha. Wilayah tersebut terbagi ke dalam beberapa bagian berdasarkan pikukuh yaitu hutan lindung atau yang mereka sebut sebagai leuweung tutupan (secara literal berarti hutan tutupan) seluas 3.000 Ha dan sisanya adalah pemukiman dan areal pertanian. Menurut BPS Kabupaten Lebak, populasi penduduk Baduy pada tahun 2020 mencapai 11.699 jiwa dan tersebar di 3 kampung Baduy dalam dan 64 kampung Baduy luar. Meskipun begitu, konon jumlah penduduk saat ini diperkirakan mencapai ± 15.000 jiwa.
Jumlah penduduk tersebut sangat tidak berimbang dengan luas lahan yang mereka miliki dan telah menjadi persoalan baru yang muncul di tengah-tengah kehidupan warga Baduy saat ini. Keterbatasan lahan pertanian di tanah ulayat memaksa mereka keluar dari tanah garapannya untuk mencari lahan yang bisa digarap untuk ngahuma.Berdasarkan data Desa Kanekes tahun 2018, kegiatan ngahuma warga Baduy telah tersebar di 11 kecamatan. Akses menggarap lahan mereka dapatkan melalui skema menyewa, menumpang, maro bahkan ada juga yang membeli dari orang lain.
Kegelisahan akan kekurangan lahan sudah beberapa kali disampaikan masyarakat Baduy secara langsung kepada pemerintah, salah satunya pada kegiatan seba yang setiap tahun mereka selenggarakan. Di hadapan Gubernur Banten dan Bupati Lebak, kondisi kekurangan lahan menjadi salah satu kebutuhan khusus yang disampaikan.
Berdasarkan kondisi tersebut, pada tahun 2017 RMI melakukan kajian tentang lahan ngahuma Baduy yang mana hasil kajiannya menjadi dasar bagi RMI untuk melakukan proses pendampingan untuk mengatasi masalah kekurangan lahan bagi masyarakat Baduy. Pada tahun 2018 RMI mulai melakukan pendampingan dan proses tersebut berlangsung hampir 3 tahun lamanya. Salah satu yang menjadi kendala adalah lokasi yang dimohonkan sebagai area garapan Baduy berada di luar Desa Kanekes atau berada jauh dari tanah ulayat. Berbagai pendekatan kemudian dilakukan untuk mengakomodir kebutuhan mereka. Salah satunya melalui pembangunan kesepahaman dengan masyarakat lokal yang berada di kawasan hutan yang diusulkan–yang selanjutnya dituangkan dalam perjanjian tertulis antara Baduy dengan warga Pasir bitung. Untuk lahan yang diusulkan sendiri terletak di Desa Pasir Bitung Kecamatan Bojongmanik yang merupakan bagian dari area hutan produksi di bawah pengelolaan Perum Perhutani KPH Banten. Selanjutnya proses konsolidasi berlangsung melalui kerjasama antara Baduy dengan warga Pasir Bitung yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Bitung Raya dan Paguyuban Petani Baduy.
Pada September 2021, KLHK melalui Dirjen PSKL menetapkan SK Kulin KK Baduy dan Pasir Bitung sebagai kelompok masyarakat yang secara resmi diberikan izin mengakses lahan di wilayah yang diusulkan. Untuk luas lahannya sendiri berdasarkan SK Kulin KK Nomor SK. 5401/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/3/2021 dan Nomor SK. 5400/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/3/2021 masing-masing memiliki akses lahan garapan seluas 121,02 Ha untuk Baduy dan 202,35 Ha untuk KTH Bitung Raya.
Namun pasca keluarnya SK tersebut tidak serta merta membuat warga Baduy dapat mengakses lahan secara langsung, selain lahan yang eksisting. Persoalan teknis di lapangan sempat menjadi ganjalan bagi Baduy untuk menggunakan haknya dalam mengakses lahan. Kondisi tersebut disebabkan oleh lamanya proses konsolidasi di lapangan serta warga belum sepenuhnya menyadari haknya dalam skema KulinKK. Perlu sosialisasi berulang-ulang untuk meyakinkan masyarakat Baduy maupun Pasir Bitung bahwa mereka telah resmi dapat mengakses lahan sesuai dengan aturan yang dituangkan dalam NKK dan SK Kulin KK yang sudah diterima. Baru pada Maret 2022 warga Baduy dan Pasir Bitung bersepakat untuk mulai mengakses lahan dengan memperjelas batas lahan garapan kedua kelompok tersebut lalu menandai batas-batas tersebut sesuai kesepakatan yang dibuat kedua belah pihak.
Baduy sendiri dalam mengelola dan mengakses lahan memiliki cara khusus dimana pengelolaan lahan didasarkan pada adat dan tradisi mereka, termasuk soal waktu pembukaan lahan. Terdapat zona-zona larangan yang ditetapkan diantaranya sumber mata air atau dalam istilah mereka disebut hulu-hulu cai.
Kolaborasi satu skema antara Masyarakat Adat Baduy dengan masyarakat lokal dalam satu hamparan merupakan sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan lahan. Meskipun pada dasarnya masyarakat Baduy sudah terbiasa menggarap lahan di luar wilayah adatnya dan bercampur dengan masyarakat lokal; skema kulinKK ini semakin memperjelas status dan perlindungan hak-hak pengelolaan karena memiliki kekuatan hukum mengikat melalui SK yang diberikan.
Masyarakat Baduy sendiri terkenal dengan kepiawaiannya menggarap lahan. Ketekunan dan kerja kerasnya dalam bercocok tanam menjadi salah satu alasan yang memperlancar penerimaan Baduy oleh masyarakat lokal dalam kolaborasi ini. Masyarakat Pasir Bitung sendiri berharap jika mereka bergandengan dengan Baduy dalam mengelola lahan akan menjadi stimulus bagi mereka untuk mengolah lahan secara serius agar hasil yang didapatkan maksimal seperti yang diperoleh masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy di mata warga Pasir Bitung telah menjadi cerminan bagaimana aktivitas mengolah lahan secara sungguh-sungguh dapat menopang kesejahteraan mereka sendiri.
Kini masyarakat Baduy dan Pasir Bitung tengah menyiapkan diri bersama untuk mengelola lahan diantaranya dengan melakukan identifikasi lahan untuk dilakukan distribusi kepada anggota serta identifikasi jenis tanaman yang cocok ditanam di lokasi/lahan tertentu, mulai dari sayuran sampai tanaman hortikultura. Tanaman-tanaman tersebut kemudian akan disesuaikan dengan tutupan lahan dan kondisi topografi tanah yang tersedia. Untuk Baduy sendiri, lahan tersebut akan digunakan untuk ngahuma yang nantinya pada masa bera (masa jeda dalam aktivitas bercocok tanam sebagai waktu bagi tanah untuk beristirahat dan mengembalikan kesuburannya) akan ditanami rempah-rempah dan hortikultura sebagai tanaman selingan yang turut menunjang pemenuhan kebutuhan hidup mereka.
Pada tanggal 5-6 Maret 2022, RMI mengadakan pertemuan dengan perwakilan pemuda dan anak di Kasepuhan Pasir Eurih, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kegiatan pertemuan anak dan pemuda ini berjalan dengan didukung oleh terre des hommes-Germany (tdh-G), sebuah lembaga nirlaba yang memiliki fokus di hak-hak anak dan bekerja di berbagai negara dengan lembaga-lembaga lokal. Di Indonesia saat ini adalah 4 lembaga yang bekerjasama dengan tdh-G yaitu RMI, Nexus3 Foundation, Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) dan Sokola Institute. Pertemuan ini merupakan kegiatan rutin dua tahunan dan sering disebut sebagai NCYPM (National Children and Youth Partners Meeting).
Pertemuan dua hari tersebut dilaksanakan secara hybrid (offline dan online). Selain RMI yang memfasilitasi di Kampung Pasir Eurih-Lebak, Banten, pertemuan serentak juga dilakukan di Kota Medan (difasilitasi Yayasan PKPA), Desa Sekotong-Nusa Tenggara Barat (difasilitasi Nexus3 Foundation) dan Kota Bangko, Jambi (difasilitasi oleh Sokola Institute).
Pertemuan yang diikuti sekitar 30 peserta ini berjalan seru. Banyak muncul rasa kagum dan heran saat tiap kelompok berbagi cerita. Kelompok yang mengikuti kegiatan memang berbeda latar belakang; masyarakat adat, tinggal di desa dan kota, di gunung, hutan, anak yang bersekolah formal dan yang tidak bersekolah. Keragaman ini memperkaya pembelajaran antar kelompok, tidak heran tiap sesinya berjalan menarik.
Dari RMI sendiri, kelompok anak dan pemuda yang mengikuti kegiatan berasal dari KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan) Pasir Eurih dan LLI (Lentera Lumbung Ilmu) dari Kasepuhan Cirompang. Dua kelompok tersebut memiliki latar belakang masyarakat pedesaan yang masih memegang teguh adat, tinggal di sekitar gunung, dekat hutan, menerima modernitas dan umumnya sudah menikmati pendidikan formal. Mereka banyak bergerak di isu pelestarian budaya masyarakat adat Kasepuhan, pendidikan adat dan pendidikan alternatif.
Melihat Implementasi Hak Anak di Sekitar Tempat Tinggal
Pada hari pertama (5 Maret 2022), setelah pembukaan singkat dan penginformasian kebijakan perlindungan hak anak (child rights protection policy) dan perkenalan, kegiatan dilanjutkan oleh masing-masing kelompok secara offline. Kegiatan yang dilakukan adalah untuk melihat implementasi hak anak di sekitar lokasi mereka tinggal. Metode yang digunakan adalah “body mapping” yang mengharuskan adanya seorang model untuk dijadikan contoh untuk digambar bentuk tubuhnya. Setelah model dipilih oleh kelompok, peserta lain segera menggambar bentuk badan si model di kertas plano besar yang sudah disediakan. Gambar tubuh yang sudah jadi lalu diwarnai dan bagian-bagian tubuhnya akan dijadikan patokan untuk melakukan assesment terkait isu-isu hak anak. Peserta yang difasilitasi oleh Indra N.H. dan Fauzan Adima, RMI, membedakan gambar menjadi perempuan dan laki-laki sesuai dengan kelompok yang terbentuk. Fasilitator memfasilitasi dengan menunjuk bagian-bagian tertentu pada gambar tubuh dan mengajak peserta untuk berdiskusi melalui pertanyaan-pertanyaan kunci.
Pada bagian telinga contohnya, fasilitator memberikan pertanyaan: apakah kamu pernah mendengar pernyataan-pernyataan yang menurutmu melanggar hak-mu; atau melalui pertanyaan apakah menurutmu orang tua di kampungmu mendengarkan pendapat dari anak-anak mereka?. Pertanyaan-pertanyaan ini membantu para peserta untuk menggali lebih jauh tentang keadaan di sekeliling mereka.
Pertanyaan lain lagi misalnya adalah saat peserta sampai pada bagian gambar perut, fasilitator bertanya, apakah peserta mengetahui ada keluarga yang anaknya mengalami kelaparan, atau apakah menurut mereka anak-anak di lingkungan mereka sudah tercukupi kebutuhan gizinya?
Pertanyaan-pertanyaan pemantik seperti ini didiskusikan oleh para peserta dan tak jarang terjadi pembelajaran antar sebaya lewat penyampaian informasi yang baru, kurang diketahui sebelumnya oleh teman-temannya sendiri. Kasus pernikahan dini misalnya, menjadi informasi baru setelah disebutkan di beberapa wilayah Kasepuhan, kasus ini lebih tinggi dibanding wilayah lainnya.
Para peserta juga memberikan pendapat mengenai para pihak yang seharusnya terlibat dalam implementasi hak anak di kampung mereka.
Mengenal budaya, situasi dan sejarah dari masing-masing kelompok
Pada hari kedua (6 Maret 2022), para peserta berkenalan lebih jauh. Kali ini dengan bermain menebak “fakta atau bukan.” Masing-masing kelompok membuat pernyataan mengenai budaya, atau keadaan di kampung mereka. Peserta dari kelompok lain perlu menebak apakah pernyataan tersebut merupakan fakta atau bukan.
“Semua pemuda di rimba (Orang Rimba maksudnya), yang berbadan sehat bisa mengambil madu di pohon sialang (pohon tinggi tempat lebah membuat sarang) di rimba.” Pernyataan yang dibacakan oleh Jangat Pico, lewat media Zoom ini perlu ditebak oleh tiga kelompok lain di tiga lokasi. Tidak ada yang tahu pasti apakah pernyataan ini merupakan fakta atau bukan. Setelah dijawab, kebenaran pernyataan ini akan dijelaskan oleh kelompok yang memberi pernyataan.
Kelompok anak dan pemuda di Kasepuhan Pasir Eurih juga memberikan beberapa pernyataan. Salah satunya adalah mereka menyatakan “masyarakat Kasepuhan merupakan keturunan dari pasukan Kerajaan Mataram.” Pernyataan ini ditanggapi beragam juga oleh kelompok-kelompok lain. Ada jawaban yang benar, ada jawaban yang salah.
Kelompok lain kemudian melakukan hal yang sama yaitu memberikan pernyataan yang harus ditebak kelompok lainnya.
National Partners Meeting: Ruang anak dan pemuda untuk menyuarakan haknya
Sesi selanjutnya adalah presentasi online yang dilakukan oleh perwakilan masing-masing kelompok. Hasil presentasi merupakan ringkasan dari kegiatan sehari sebelumnya, yaitu hasil diskusi terkait isu-isu pemenuhan hak anak. Dari presentasi dan diskusi tampak keadaan sangat bervariasi, sesuai dengan kondisi yang dilihat oleh masing-masing kelompok di berbagai wilayah.
Selesai presentasi, peserta melakukan pemilihan perwakilan untuk menyuarakan suara anak dan pemuda di pertemuan kelompok pendamping (NPM – National Partners Meeting) tdh-G yang rencananya akan diadakan pada bulan Mei 2022. Dalam desain tdh-G, suara mereka juga akan disuarakan kembali di pertemuan yang lebih besar dan melibatkan perwakilan-perwakilan anak dan pemuda di Asia Tenggara nantinya. Kegiatan ini memang merupakan kegiatan yang memiliki tingkatan-tingkatan, di tingkat lokal, nasional dan lalu regional Asia Tenggara, terakhir adalah di tingkat internasional.
Dari pertemuan ini peserta muda bisa membuktikan bahwa diskusi yang mereka lakukan mampu membuahkan keluaran berupa pemetaan isu terkait pelaksanaan hak anak di lokasi masing-masing. Pada pertemuan ini juga terjadi terjadinya peningkatan kapasitas anak dan pemuda terutama berkaitan dengan soft skill seperti kemampuan berbicara, bekerjasama dengan teman, dan menuangkan ide-ide secara sistematis dengan percaya diri. Sebagai bonus, selama pertemuan para peserta juga jadi lebih saling mengenal satu sama lain di antara mereka sendiri dan dengan teman-teman dari berbagai daerah. Perkenalan awal ini bisa jadi merupakan permulaan dari bentuk kerjasama antar kelompok anak dan pemuda di kemudian hari. Kita tunggu saja di depannya.