Pada tanggal 5-6 Maret 2022, RMI mengadakan pertemuan dengan perwakilan pemuda dan anak di Kasepuhan Pasir Eurih, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kegiatan pertemuan anak dan pemuda ini berjalan dengan didukung oleh terre des hommes-Germany (tdh-G), sebuah lembaga nirlaba yang memiliki fokus di hak-hak anak dan bekerja di berbagai negara dengan lembaga-lembaga lokal. Di Indonesia saat ini adalah 4 lembaga yang bekerjasama dengan tdh-G yaitu RMI, Nexus3 Foundation, Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) dan Sokola Institute. Pertemuan ini merupakan kegiatan rutin dua tahunan dan sering disebut sebagai NCYPM (National Children and Youth Partners Meeting).
Pertemuan dua hari tersebut dilaksanakan secara hybrid (offline dan online). Selain RMI yang memfasilitasi di Kampung Pasir Eurih-Lebak, Banten, pertemuan serentak juga dilakukan di Kota Medan (difasilitasi Yayasan PKPA), Desa Sekotong-Nusa Tenggara Barat (difasilitasi Nexus3 Foundation) dan Kota Bangko, Jambi (difasilitasi oleh Sokola Institute).
Pertemuan yang diikuti sekitar 30 peserta ini berjalan seru. Banyak muncul rasa kagum dan heran saat tiap kelompok berbagi cerita. Kelompok yang mengikuti kegiatan memang berbeda latar belakang; masyarakat adat, tinggal di desa dan kota, di gunung, hutan, anak yang bersekolah formal dan yang tidak bersekolah. Keragaman ini memperkaya pembelajaran antar kelompok, tidak heran tiap sesinya berjalan menarik.
Dari RMI sendiri, kelompok anak dan pemuda yang mengikuti kegiatan berasal dari KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan) Pasir Eurih dan LLI (Lentera Lumbung Ilmu) dari Kasepuhan Cirompang. Dua kelompok tersebut memiliki latar belakang masyarakat pedesaan yang masih memegang teguh adat, tinggal di sekitar gunung, dekat hutan, menerima modernitas dan umumnya sudah menikmati pendidikan formal. Mereka banyak bergerak di isu pelestarian budaya masyarakat adat Kasepuhan, pendidikan adat dan pendidikan alternatif.
Melihat Implementasi Hak Anak di Sekitar Tempat Tinggal
Pada hari pertama (5 Maret 2022), setelah pembukaan singkat dan penginformasian kebijakan perlindungan hak anak (child rights protection policy) dan perkenalan, kegiatan dilanjutkan oleh masing-masing kelompok secara offline. Kegiatan yang dilakukan adalah untuk melihat implementasi hak anak di sekitar lokasi mereka tinggal. Metode yang digunakan adalah “body mapping” yang mengharuskan adanya seorang model untuk dijadikan contoh untuk digambar bentuk tubuhnya. Setelah model dipilih oleh kelompok, peserta lain segera menggambar bentuk badan si model di kertas plano besar yang sudah disediakan. Gambar tubuh yang sudah jadi lalu diwarnai dan bagian-bagian tubuhnya akan dijadikan patokan untuk melakukan assesment terkait isu-isu hak anak. Peserta yang difasilitasi oleh Indra N.H. dan Fauzan Adima, RMI, membedakan gambar menjadi perempuan dan laki-laki sesuai dengan kelompok yang terbentuk. Fasilitator memfasilitasi dengan menunjuk bagian-bagian tertentu pada gambar tubuh dan mengajak peserta untuk berdiskusi melalui pertanyaan-pertanyaan kunci.
Pada bagian telinga contohnya, fasilitator memberikan pertanyaan: apakah kamu pernah mendengar pernyataan-pernyataan yang menurutmu melanggar hak-mu; atau melalui pertanyaan apakah menurutmu orang tua di kampungmu mendengarkan pendapat dari anak-anak mereka?. Pertanyaan-pertanyaan ini membantu para peserta untuk menggali lebih jauh tentang keadaan di sekeliling mereka.
Pertanyaan lain lagi misalnya adalah saat peserta sampai pada bagian gambar perut, fasilitator bertanya, apakah peserta mengetahui ada keluarga yang anaknya mengalami kelaparan, atau apakah menurut mereka anak-anak di lingkungan mereka sudah tercukupi kebutuhan gizinya?
Pertanyaan-pertanyaan pemantik seperti ini didiskusikan oleh para peserta dan tak jarang terjadi pembelajaran antar sebaya lewat penyampaian informasi yang baru, kurang diketahui sebelumnya oleh teman-temannya sendiri. Kasus pernikahan dini misalnya, menjadi informasi baru setelah disebutkan di beberapa wilayah Kasepuhan, kasus ini lebih tinggi dibanding wilayah lainnya.
Para peserta juga memberikan pendapat mengenai para pihak yang seharusnya terlibat dalam implementasi hak anak di kampung mereka.
Mengenal budaya, situasi dan sejarah dari masing-masing kelompok
Pada hari kedua (6 Maret 2022), para peserta berkenalan lebih jauh. Kali ini dengan bermain menebak “fakta atau bukan.” Masing-masing kelompok membuat pernyataan mengenai budaya, atau keadaan di kampung mereka. Peserta dari kelompok lain perlu menebak apakah pernyataan tersebut merupakan fakta atau bukan.
“Semua pemuda di rimba (Orang Rimba maksudnya), yang berbadan sehat bisa mengambil madu di pohon sialang (pohon tinggi tempat lebah membuat sarang) di rimba.” Pernyataan yang dibacakan oleh Jangat Pico, lewat media Zoom ini perlu ditebak oleh tiga kelompok lain di tiga lokasi. Tidak ada yang tahu pasti apakah pernyataan ini merupakan fakta atau bukan. Setelah dijawab, kebenaran pernyataan ini akan dijelaskan oleh kelompok yang memberi pernyataan.
Kelompok anak dan pemuda di Kasepuhan Pasir Eurih juga memberikan beberapa pernyataan. Salah satunya adalah mereka menyatakan “masyarakat Kasepuhan merupakan keturunan dari pasukan Kerajaan Mataram.” Pernyataan ini ditanggapi beragam juga oleh kelompok-kelompok lain. Ada jawaban yang benar, ada jawaban yang salah.
Kelompok lain kemudian melakukan hal yang sama yaitu memberikan pernyataan yang harus ditebak kelompok lainnya.
National Partners Meeting: Ruang anak dan pemuda untuk menyuarakan haknya
Sesi selanjutnya adalah presentasi online yang dilakukan oleh perwakilan masing-masing kelompok. Hasil presentasi merupakan ringkasan dari kegiatan sehari sebelumnya, yaitu hasil diskusi terkait isu-isu pemenuhan hak anak. Dari presentasi dan diskusi tampak keadaan sangat bervariasi, sesuai dengan kondisi yang dilihat oleh masing-masing kelompok di berbagai wilayah.
Selesai presentasi, peserta melakukan pemilihan perwakilan untuk menyuarakan suara anak dan pemuda di pertemuan kelompok pendamping (NPM – National Partners Meeting) tdh-G yang rencananya akan diadakan pada bulan Mei 2022. Dalam desain tdh-G, suara mereka juga akan disuarakan kembali di pertemuan yang lebih besar dan melibatkan perwakilan-perwakilan anak dan pemuda di Asia Tenggara nantinya. Kegiatan ini memang merupakan kegiatan yang memiliki tingkatan-tingkatan, di tingkat lokal, nasional dan lalu regional Asia Tenggara, terakhir adalah di tingkat internasional.
Dari pertemuan ini peserta muda bisa membuktikan bahwa diskusi yang mereka lakukan mampu membuahkan keluaran berupa pemetaan isu terkait pelaksanaan hak anak di lokasi masing-masing. Pada pertemuan ini juga terjadi terjadinya peningkatan kapasitas anak dan pemuda terutama berkaitan dengan soft skill seperti kemampuan berbicara, bekerjasama dengan teman, dan menuangkan ide-ide secara sistematis dengan percaya diri. Sebagai bonus, selama pertemuan para peserta juga jadi lebih saling mengenal satu sama lain di antara mereka sendiri dan dengan teman-teman dari berbagai daerah. Perkenalan awal ini bisa jadi merupakan permulaan dari bentuk kerjasama antar kelompok anak dan pemuda di kemudian hari. Kita tunggu saja di depannya.
Sesuai dengan agenda yang telah disusun oleh Tim Pengorganisasian Masyarakat, RMI bersama JKPP akan menyelenggarakan Pelatihan Pemetaan Sosio-spasial Wilayah Adat secara Partisipatif pada tanggal 24-30 Januari 2022 bertempat di Kasepuhan Cibarani, Desa Cibarani, Kec. Cirinten, Kabupaten Lebak, Banten, dengan mengundang perwakilan dari Kasepuhan lainnya. Selain mengundang mereka yang telah mendapatkan SK Hutan Adat yaitu Kasepuhan Cirompang, Karang, dan Pasir Eurih; kegiatan ini juga dihadiri oleh Kasepuhan Cibedug yang sedang berproses untuk diakuinya Hutan Adat mereka. Penguatan kapasitas dan pembekalan kader-kader lokal yang bergabung dalam Forum Koordinasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL) juga merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan pelatihan.
Menyoal Skema Pembagian Keuntungan dengan Perhutani
Pada hari pertama, kita berkumpul di Imah Gede bersama masyarakat yang baru saja selesai mengadakan acara pertemuan. Di malam itu kita mensosialisasikan agenda pelatihan yang akan dilakukan selama 7 hari kedepan selain juga membahas surat dari Perum Perhutani perihal pembagian keuntungan (profit sharing) dari kerjasama yang dilakukan oleh Perhutani dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Cibarani. Armaya, salah seorang anggota LMDH Cibarani yang hadir di pertemuan ini, menjelaskan bahwa kerjasama terbentuk lantaran pada saat itu lahan garapan warga masih masuk dalam kawasan hutan. Masyarakat tetap diizinkan menggarap lahan mereka dengan syarat dikenakannya uang pajak 25% setiap kali panen. Meskipun begitu, Armaya beserta pengurus LMDH lainnya yang bertanggungjawab memungut pajak tersebut, tidak pernah memaksa masyarakat untuk membayar penuh tapi seikhlasnya saja. Di sisi lain, selama menjabat sebagai pengurus LMDH beliau baru sekali saja menerima hasil profit sharing yang kemudian dibelikan traktor.
Terkait surat berita acara yang saat ini diterima Masyarakat Kasepuhan Cibarani; walaupun tertulis bahwa terdapat sejumlah uang hasil profit sharing dari kerjasama terdahulu, LMDH tidak serta merta mengambil uang tersebut tanpa mengkoordinasikannya terlebih dahulu kepada kepala desa dan RMI. Warga Cibarani yang hadir malam itu mengaku bahwa mereka belum betul-betul memahami maksud dan tujuan dari surat tersebut. Beberapa diantara mereka juga menolak surat profit sharing tersebut. Penolakan muncul atas pemikiran bahwa masyarakat sudah tidak lagi berurusan dengan Perhutani sejak SK Hutan Adat Kasepuhan Cibarani telah mereka peroleh. Musyawarah malam itu berujung pada kesepakatan bahwa bahwa mereka akan membuat surat balasan yang kurang lebih berisi pengajuan pembubaran LMDH Kasepuhan Cibarani. Selain alasan penolakan profit sharing, pertimbangan diajukannya pembubaran LMDH lainnya yaitu adanya opini masyarakat yang memandang bahwa para pengurusnya lebih pro kepada Perhutani dibandingkan kepada sesama incu putu (keturunan Cibarani) sendiri; yang mana pandangan ini berpotensi menimbulkan konflik yang lebih meluas di internal Kasepuhan Cibarani sendiri.
Pentingnya Pengelolaan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani Pasca Ditetapkannya Hak
Selesai membahas surat dari Perum Perhutani, Waris kemudian mengajak masyarakat mengingat kilas balik perjalanan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani sampai dikeluarkannya SK Hutan Adat. Bagaimana perasaan masyarakat Cibarani ketika SK tersebut telah mereka dapatkan? Lalu manfaat apa yang hadir pasca diperolehnya SK Hutan Adat tersebut? Kebanyakan masyarakat yang hadir menjawab bahwa pasca memperoleh status Hutan Adat mereka lebih merasa aman dan nyaman dalam mengelola lahan garapan, terlebih sudah tidak ada lagi pungutan pajak dari Perhutani. Warga yang hadir juga menyampaikan bahwa jenis tanaman yang mereka budidaya belum banyak berubah, hanya bertambah jahe, porang, kopi, dan lain-lain.
Bagaimana dengan rencana atau keinginan ke depan pasca diperolehnya status Hutan Adat? Waris kembali bertanya. Peserta pertemuan menjawab bahwa mereka ingin lebih maju lagi, khususnya dalam bidang pertanian, namun masih belum paham bagaimana memulainya. Dengan adanya SK, apa masyarakat sudah merasa sejahtera? Mereka serentak menjawab belum sejahtera sebab belum semua masyarakat mempunyai akses terhadap lahan di Hutan Adat. Sama halnya dengan status Hutan Adat yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lainnya, status Hutan Adat Kasepuhan Cibarani pun merupakan hutan hak yang kepemilikan dan pengelolaannya harus dilakukan secara komunal sehingga segala sesuatunya harus melibatkan masyarakat dan lembaga adat. Saat ini kelembagaan Adat kasepuhan Cibarani sendiri bisa dikatakan masih belum memiliki rencana pengelolaan pasca terbitnya SK. Oleh karenanya kehadiran kami kali ini pada dasarnya berupaya memfasilitasi terjadinya ruang diskusi antara kelompok masyarakat, perempuan, dan generasi muda Kasepuhan tentang pentingnya pengelolaan Hutan Adat yang inklusif pasca penetapan hak sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Di Hutan Adat Kasepuhan Cibarani kini, masih banyak lahan yang kosong atau belum digarap; selain situasi penguasaan lahan di Cibarani yang juga belum merata. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI kembali mengingatkan perwakilan warga yang hadir malam itu tentang rencana Kepala Desa (Jaro) Dulhani meredistribusi lahan yang ada di dalam wilayah Hutan Adat. Selain pemerataan akses, redistribusi ini juga dimaksudkan agar masyarakat memiliki rasa memiliki serta kewajiban untuk melestarikan wilayah adat serta mengantisipasi tidak dipindahtangankannya kepemilikan lahan garapan ke pihak luar Kasepuhan Cibarani. Bagaimana pandangan masyarakat mengenai wacana ini? Masyarakat pada dasarnya mendukung agenda tersebut dan berpendapat bahwa Kelembagaan Adat Kasepuhan Cibarani perlu menyusun sejumlah aturan, hak, dan kewajiban bagi para pengelola lahan serta warga Cibarani pada umumnya. Rencana redistribusi ini pun dinilai sejalan dengan istilah lokal sabeungketan yang berarti sebagai masyarakat adat kita harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan senasib sepenanggungan, mulai dari masa-masa berjuang hingga nanti diperolehnya buah dari perjuangan tersebut.
Untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang merata, pengelolaan Hutan Adat pasca penetapan hak kemudian menjadi satu rangkaian proses yang krusial. Keberadaan data sosial-spasial diperlukan sebagai basis perencanaan komunitas dan wilayah adat Kasepuhan Cibarani. Pelatihan dan proses pengumpulan data ini sendiri berusaha menangkap kondisi seputar pengelolaan Hutan Adat saat ini yaitu dengan mengumpulkan informasi mengenai penggarap, luasan lahan, tanaman yang dibudidaya, keberadaan lahan yang masih kosong, dll. Guna mendukung terkumpulnya data yang akurat, teman-teman dari JKPP turut serta hadir untuk memberi pemahaman tentang data sosial-spasial dan mendampingi warga ketika praktik langsung. Generasi muda Kasepuhan sendiri banyak dilibatkan selama pelatihan dan proses pengelolaan Hutan Adatnya ke depan supaya semangat merawat wilayah adat mereka semakin terbangun dan apa yang diinginkan masyarakat dapat benar-benar tercapai.
Proses Pelatihan dan Pemetaan Wilayah Adat Kasepuhan Cibarani
Pada kegiatan hari kedua kita kedatangan teman-teman peserta dari Kasepuhan Pasir Eurih, Cibeas dan Cirompang. Sementara perwakilan masyarakat dari lokasi lain tidak bisa hadir dikarenakan ada halangan. Peserta yang hadir menyampaikan bahwa mereka hadir ke Kasepuhan Cibarani untuk menghadiri dan mengikuti pelatihan yang menarik ini. Rencana menerbangkan drone, yang diagendakan terlaksana di hari ini, gagal karena hujan mengguyur Cibarani dari pagi sehingga diputuskan untuk ditunda. Berdasarkan kesepakatan sebelumnya bahwa, pelatihan akan mulai setelah dhuhur karena pagi hari masyarakat Kasepuhan Cibarani melakukan gotong royong untuk mendirikan rumah warga yang terdampak gempa bumi. Namun setelah kita tunggu sampai sore, ternyata tidak ada satupun warga yang datang. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI kemudian memutuskan untuk menunda pertemuan ke malam hari dan menghabiskan waktu siang itu dengan mengobrol dengan teman-teman yang datang dari Kasepuhan lain. Setelah maghrib kita meminta tolong Pak RT Samanan untuk mengumumkan lewat speaker supaya masyarakat dapat berkumpul dan mengikuti pelatihan. Akan tetapi setelah ditunggu sampai malam, ternyata hanya baris olot saja yang hadir; alhasil tidak mungkin untuk melanjutkan rencana yang disepakati apalagi untuk melakukan pelatihan. Hasil diskusi dengan baris olot membuahkan gagasan untuk langsung membuat daftar nama perwakilan anak muda yang akan diundang mengikuti kegiatan esok hari pukul 09.00 WIB. Ini dilakukan sebab anak muda Kasepuhan Cibarani memang agak susah untuk diajak kumpul/riungan, tutur baris olot.
Besok paginya lumayan banyak masyarakat yang berkumpul di Imah Gede; dari Kasepuhan Cibarani sendiri ada perwakilan dari anak muda laki-laki dan perempuan adat dan baris olot. Kita membuka pelatihan dengan menyampaikan rencana pendataan sosial dan spasial yang karenanya sangat diharapkan masyarakat, terutama anak muda Kasepuhan, dapat terus mengikuti kegiatan pelatihan dan praktik lapangan dalam beberapa hari ke depan. Selanjutnya Fauzan memaparkan refleksi dari perjalanan Hutan Adat dari awal persiapan sampai terbitnya SK Hutan Adat–termasuk menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan SK hutan Adat dicabut jika dianggap tidak memberikan manfaat dan/atau justru menimbulkan kerusakan serta konflik di masyarakat. Maka dari itu perlu dipersiapkan perencanaan tata kelola Hutan Adat pasca penetapan hak supaya benar-benar memberikan manfaat lebih untuk masyarakat. Kemudian Opet dari JKPP menyambung penjelasan dengan memberikan gambaran pengelolaan Hutan Adat yang pernah didampingi JKPP sehingga masyarakat Kasepuhan yang hadir lebih mudah memahami proses pengelolaan serta proyeksi hasil yang didapatkan pasca pengelolaannya. Hanya saja perlu ditekankan terkait komitmen masyarakat karena memang prosesnya tidak sebentar sehingga masyarakat bisa jadi malas untuk berproses, sebagaimana kerap dihadapi masyarakat lainnya juga. Setelah istirahat, peserta yang telah sepakat untuk kumpul kembali, ternyata cuma sedikit dan hanya peserta perempuan yang kembali.
Secara terpisah kita juga memutuskan untuk menerbangkan drone selagi kondisi cuaca agak mendukung. Setelah mencoba 2 kali misi, ternyata hasil yang didapatkan sangat kecil sekali. Sekali terbang hanya mendapatkan 15 Ha dan masih jauh dari total luasan wilayah Adat Kasepuhan Cibarani yang luasnya mencapai 1200 Ha sehingga perlu terbang berapa kali dan banyak memakan waktu. Ini tidak sesuai dengan hasil diskusi sebelum turun lapang, yang menurut keterangan Aziz dari JKPP, bahwa dengan luasan 1200 Ha mungkin drone hanya perlu terbang 4-5 kali. Dari hasil diskusi, kita memprioritaskan untuk memetakan batas-batas Hutan Adat terlebih dahulu.
Di hari berikutnya, kita membagi tim menjadi dua yaitu sebagian mengawal pelatihan dan sebagian lagi turun lapang untuk menerbangkan drone. Hasil dari setiap misi penerbangan drone langsung kita olah. Namun ternyata pelatihan tidak lanjut lagi, dikarenakan tidak ada peserta yang hadir. Malam harinya kita mengobrol dengan teman-teman dari Kasepuhan lain. Ada sedikit protes dari mereka, bahwa mereka datang untuk belajar dan mengikuti pelatihan. Dikarenakan undangan dari RMI dan ditambah ketertarikan mereka terhadap tema yang akan dibawakan dalam pelatihan, mereka rela untuk meninggalkan kesibukan mereka masing-masing. Namun setelah mereka sampai di Kasepuhan Cibarani dan melihat kondisi masyarakat, terkhusus pemudanya, mereka ikut kesal dan kecewa. Sempat juga terlontar pertanyaan, “Kenapa sih Mas pelatihannya diadakan di Cibarani? Kenapa tidak ditempat kita saja, yang pasti akan mendapatkan sambutan yang positif dan tentunya banyak yang ikut berpartisipasi. Karena kita merasa juga butuh pengelolaan dan perencanaan HA kedepannya”. Kemudian kami menjawab bahwa Kasepuhan Cibarani dipilih karena mempertimbangkan kondisi kapasitas anak muda dan masyarakatnya yang masih perlu ditingkatkan, supaya memiliki kapasitas yang sama dengan masyarakat di wilayah Kasepuhan lain yang juga sudah mendapatkan SK Hutan Adat dan sudah terlebih dahulu difasilitasi dengan berbagai kegiatan peningkatan kapasitas di komunitasnya. Kehadiran teman-teman dari Kasepuhan lain juga diharapkan dapat menambah semangat masyarakat Cibarani untuk mengikuti pelatihan dan berbagi pengalaman. Tetapi memang kenyataannya anak muda Cibarani belum terlalu tergugah minatnya dengan kegiatan-kegiatan seperti ini. Kemudian mereka bertanya lagi, “Seandainya sampai besok tidak ada yang hadir lagi, apa pelatihannya juga akan ditunda lagi?” Akhirnya kita putuskan walaupun nantinya masyarakat lokal tidak ada yang hadir, kita akan tetap melanjutkan pelatihan demi menghargai teman-teman yang sudah jauh-jauh datang dengan tujuan mengikuti kegiatan. Malam harinya pun kita ngobrol-ngobrol dengan teman-teman dari kasepuhan lain, mereka bercerita situasi dan kondisi yang ada di wilayah mereka masing-masing serta mereka meminta saran dan masukan dari RMI dan JKPP.
Untungnya keesokan harinya pelatihan bisa dilanjutkan dengan dihadiri juga oleh ibu-ibu Kasepuhan Cibarani. Materi yang disampaikan tentang Perencanaan Pengolahan Lahan dan juga dibahas mengenai perubahan-perubahan dan hasil yang didapat setelah perencanaan. Peserta lalu diminta untuk berdiskusi dan membuat perencanaan sederhana di wilayah adat mereka masing-masing. Di lain tempat kita juga secara paralel melakukan penerbangan drone di area Hutan Adat dan berhasil menerbangkan misi selama 6 kali di pagi dan sore hari. Namun setelah data diolah ternyata foto udara yang dihasilkan tidak seragam, ada yang terlalu cerah ada juga yang gelap karena pengaruh cuaca yang berubah-ubah. Di pelatihan hari terakhir, dari warga lokal ternyata hanya perempuan dari Kasepuhan Cibarani saja yang hadir mengikuti pelatihan. Sangat disayangkan agenda yang sudah susah payah kita persiapkan kurang berjalan maksimal dikarenakan kurangnya respon masyarakat setempat. Misi drone pun juga belum menjangkau seluruh area Hutan Adat Cibarani sebab tim kesusahan mencari masyarakat yang bisa mendampingi turun lapang sehingga dalam prosesnya kita hanya berpatokan trek pada koordinat misi yang dibuat.
Menegaskan Kembali Komitmen Masyarakat
Malam hari di hari terakhir kegiatan kita meminta tolong Pak RT Samanan mengumpulkan masyarakat, karena ada beberapa hal yang mau disampaikan sebelum pulang ke Bogor. Di malam terakhir ini ternyata lumayan banyak masyarakat yang hadir, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Dalam riungan malam itu kita menyampaikan kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan dalam seminggu kebelakang, mulai dari pelatihan-pelatihan sampai pemetaan dengan menggunakan drone. Disampaikan juga bahwa hasil yang sudah didapatkan masih jauh dari kata maksimal dikarenakan partisipasi masyarakat sangat minim sekali. Hasil olahan data melalui drone selanjutnya ditampilkan kepada masyarakat, dimana setelah ditampilkan ternyata masyarakat juga masih belum begitu hafal terhadap wilayahnya sendiri. Namun setelah kami beri petunjuk salah satu lokasi yang mudah dikenal, akhirnya mereka mulai paham dan bisa menyebutkan area-area tersebut sembari mencoba didigitasi dan menyebutkan pola pengelola lahan. Dari percobaan digitasi, ternyata banyak perbedaan seperti luasan lahan dari keterangan yang disebutkan oleh pemilik lahan dan hasil hitungan setelah data diolah.
Dalam kesempatan ini kami juga menyampaikan respons dan pemikiran kami atas partisipasi masyarakat Kasepuhan Cibarani selama berlangsungnya pelatihan. Ketika tim RMI bersama JKPP datang, masyarakat sendiri yang menyepakati dan siap untuk berpartisipasi dalam pelatihan-pelatihan dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Tapi kenyataannya sedikit sekali yang hadir, bahkan tidak sekali atau dua kali kita selalu umumkan lewat speaker tetapi memang respon masyarakat yang kurang baik. Ditegaskan juga bahwa posisi RMI dan teman-teman JKPP disini hanya sebagai pendamping dan teman diskusi, bukan sebagai pekerja masyarakat. Kalaupun dari hasil diskusi muncul keinginan masyarakat menuju perubahan kearah yang lebih baik, itu semua tergantung dari masyarakat sendiri. Disaat masyarakat semangat, kita juga tambah semangat; begitu juga sebaliknya kalau masyarakat diam saja, kita juga tidak bisa berbuat apa-apa. RMI pun tidak selamanya akan berada di Kasepuhan Cibarani karena masih banyak wilayah lain yang juga ingin didampingi seperti Cibarani. Kami menjadikan Cibarani sebagai prioritas dikarenakan melihat kondisi dan semangat masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi lebih sejahtera. Namun melihat apa yang terjadi dalam kegiatan seminggu terakhir, komitmen itu tampaknya hanya sebatas ucapan saja. Sekarang kami mengembalikan lagi ke masyarakat, jika memang proses ini dianggap tidak penting dan tidak perlu dilanjutkan bagi kami tidak masalah. Semua proses ini berangkat dari kesepakatan masyarakat sehingga keputusan mutlak ada di tangan masyarakat pula.
Masyarakat menjawab bahwa mereka sebenarnya sudah meminta anak muda Cibarani untuk mengikuti pelatihan yang dilaksanakan, tetapi memang pemuda di sini agak susah kalau diajak diskusi, riungan, ataupun pelatihan. Sebagai orang tua, masyarakat Cibarani yang hadir juga mengaku kebingungan bagaimana membuat mereka–sebagai generasi penerus Kasepuhan Cibarani–lebih peduli dengan kampungnya. Terkait kelanjutan proses yang tengah berlangsung, hal ini sepertinya perlu direnungkan kembali antara lembaga adat dan masyarakat. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI lalu menyampaikan bahwa silakan sampaikan hasil diskusi tersebut kepada kami, dengan catatan bahwa jika ternyata ingin lanjut berarti sudah sewajarnya semua masyarakat partisipasi penuh dalam prosesnya. Disepakati bahwa jika selama 2 minggu ke depan kita tidak menerima kabar dari Kasepuhan Cibarani, maka kami anggap bahwa masyarakat memutuskan untuk tidak melanjutkan proses yang tengah berjalan.
Pembelajaran
Dari 7 hari kami di Kasepuhan Cibarani, ternyata apa yang telah kita rencanakan kurang bisa berjalan maksimal. Termasuk pernyataan dari teman-teman JKPP yang dapat menjadi bahan introspeksi bahwa mereka menganggap masyarakat belum siap untuk berproses dan juga belum punya sosok yang bisa dijadikan pegangan. Abah Jaro sebagai kepala adat sekaligus kepala desa tampak kurang merespon kegiatan yang tengah dilaksanakan. Ini terlihat dari pertama kali datang, beliau belum pernah hadir dalam kumpulan ataupun sekedar menanyakan kegiatan yang dilakukan. Kami juga berasumsi bahwa masyarakat Kasepuhan Cibarani sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap seorang pemimpin. Sehingga dari kegiatan-kegiatan yang diadakan kurang mendapatkan respon positif dari masyarakat. Kedepannya mungkin perlu ada forum diskusi antara pihak RMI dan Kelembagaan Adat Cibarani untuk membahas kelanjutan proses-proses di Kasepuhan Cibarani, sebab hanya akan membuang-buang energi jika dipaksakan sedangkan dampak bagi masyarakat minim. Perlu dibangun kembali komitmen-komitmen yang bisa dipegang bersama sehingga bisa berproses menuju ke arah yang jelas dalam pendampingan kedepan. Selain itu juga masih perlunya waktu untuk mendorong kesadaran masyarakat, terutama anak mudanya, supaya tergerak dan mau melakukan inisiatif-inisiatif pengelolaan ruang wilayah adat.
Pembelajaran lain yang diperoleh dari percobaan digitasi atau pemetaan wilayah adat Kasepuhan Cibarani yaitu ternyata tidak semua penggunaan lahan bisa diketahui batasnya. Seperti kebun, dikarena jenis tanamannya tidak terlihat jelas maka untuk menentukan batas-batasnya masyarakat juga kesusahan. Dikarenakan tidak semua lahan bisa ditentukan batas-batasnya, evaluasinya adalah perlu pengambilan titik koordinat ke lapangan terhadap lahan yang masih sulit diidentifikasi batas-batasnya. Konsekuensinya bagi masyarakat adalah mereka harus siap untuk pemetaan kembali, walaupun prosesnya mungkin tidak perlu lama sebab foto sawah dihasilkan dari drone sudah sangat jelas sehingga tidak perlu diambil kembali. Pasca diolah/didigitasi, hasilnya akan kembali ditampilkan ke masyarakat sebagai bahan diskusi rencana berikutnya.
Slot Deposit Dana – Diakhir tahun 2021, tepatnya tanggal 29 Desember 2021 lalu, KTH Ciwaluh, Desa Wates Jaya, Kec. Cigombong dan KTH Cipeucang, Desa Pasir Buncir, Kec. Caringin, Kab. Bogor, mendapatkan undangan dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) yang isinya berupa undangan pendandatanganan Perjanjian Kerjasama (PKS). Berita tersebut merupakan sebuah kabar yang dinanti-nanti setelah hampir empat tahun lamanya tiga Kelompok Tani Hutan (KTH) dari dua kampung tersebut menunggu.
Permainan game online Pay4d datang dari kekasih, mereka pun menyambutnya dengan sukacita dengan mengumumkannya melalui pengeras suara di mesjid. Seorang pengurus KTH, yang juga sebagai Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM), mengumumkan kabar tersebut sekaligus meminta kepada anggota KTH untuk berkumpul membahas undangan yang rencananya akan dibahas malam hari. Bagi masyarakat Ciwaluh, pengeras suara masjid tidak hanya digunakan untuk kepentingan ibadah seperti azan dan pengajian, tetapi juga berfungsi sebagai sarana komunikasi sosial untuk menyampaikan berbagai informasi yang diterima oleh masyarakat setempat. Informasi yang disampaikan melalui pengeras suara masjid biasanya berisi informasi-informasi penting dan kondisi-kondisi darurat saja.
Tanggal 29 Desember 2021, menjadi hari keramat bagi para penggarap lahan di Ciwaluh dan Cipeucang, karena untuk kesekian kalinya mereka bisa duduk berhadapan dengan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE), Wiratno. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, kali ini Wiratno bertemu penggarap Ciwaluh dan Cipeucang dalam rangkan menyaksikan penandatanganan Perjanjian Kerjasama (PKS) Kemitraan Konservasi yang dilakukan oleh Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) dengan masing-masing ketiga dari ketiga KTH, yaitu KTH Ciwaluh Hilir, KTH Ciwaluh Girang dan KTH Cipeucang.
Proses penandatanganan PKS tersebut berjalan dengan menarik, di mana Wiratno meminta perubahan durasi PKS yang awalnya direncanakan hanya tiga tahun menjadi lima tahun. Hal ini menunjukan bagaimana beliau berpihak kepada masyarakat yang memiliki hak untuk mengakses hutan sebagai ruang hidupnya selama ini.
Penandatangan PKS yang telah dilakukan ternyata belum cukup bagi KTH untuk dapat mengimpelementasikan isi perjanjian kerjasama tersebut, pasalnya mereka diwajibkan membuat dokumen Rencana Pelaksanaan Pogram (RPP) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) selama 5 tahun ke depan. RPP dan RKT merupakan amanat yang tertuang dalam PKS yang disusun bersama-sama antara KTH dan BBTNGGP dengan durasi penyusunan 3 bulan setelah PKS ditandatangani.
Penyusunan RPP dan RKT di Tiga KTH
Berdasarkan amanat PKS yang telah ditandatangani, di minggu pertama Januari 2022 ketiga KTH pun mulai melakukan penyusunan draft Rencana Pelaksanaan Program (RPP) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Kemitraan Konservasi. Dokumen RPP dan RKT bagi KTH bukan hanya persoalan administrasi semata, namun jauh dari itu memiliki makna besar bagaimana mereka menyiapkan rencana implementasi secara kolektif berdasarkan hasil diskusi mereka sendiri. Agar penyusunan RPP dan RKK berjalan dengan efektif, maka teknis penyusunan dilakukan secara bergilir di tiga KTH yang dimulai dengan KTH Ciwalu hilir. Hal ini sengaja dilakukan dengan melihat jumlah anggota KTH yang cukup banyak, sehingga tidak mungkin disatukan dalam satu forum.
Ada suasana yang beda ketika pertemua di tiga KTH baik Ciwaluh hilir, Ciwaluh girang maupun Cipeucang, anggota yang datang lebih banyak dari biasanya. Kondisi ini menunjukan bahwa ada semangat baru pada diri masyarakat penggarap setelah PKS ditandatangani. Terlihat ada kepercayaan diri pada mereka yang sebelumnya cukup pesimis dengan proses usulan Kemitraan Konservasi. Demi memperlancar proses penyusunan RKP dan RKT, KTH menyiapkan proyektor yang dipinjam dari kelompok wisata. Difasilitasi oleh RMI, pertemuan ini diawali dengan menyampaikan tujuan dan maksud penyusunan dokumen tersebut sekaligus membahas ulang tiap point isi PKS.
Proses peyusunan RPP dan RKT mengacu pada ruang lingkup kerjasama yang tertuang dalam PKS meliputi: 1) Perlindungan dan pengamanan Kawasan; 2) Pembinaan Habitat; 3) Akses pemungutan HHBK; 4) Budidaya Tradisional dan Tanaman Obat, Multi Puprpose Tree Species (MTPS–sistem pengelolaan lahan dimana berbagai jenis kayu, daun-daunan, dan buah-buahan ditanam dan dikelola, yang dapat digunakan sebagai bahan makanan ataupun pakan ternak); 5) Monitoring dan Evaluasi. Proses penyusunan dilakukan dengan metode diskusi, dimana setiap anggota menyampaikan pendapatnya, baik lisan maupun tulisan. Tujuannya agar setiap anggota dapat menyampaikan pendapatnya sesuai perspektif masing-masing. Proses selanjutnya adalah penyusunan RPP dan RKT secara detil hingga terbentuk matrik durasi dan timeline-nya, yang akan dikerjakan oleh tim khusus yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan satu orang anggota dari masing-masing KTH.
Ringkasan hasil diskusi dari pertempuan tersebut antara lain:
1.Perlindungan dan Pengamanan Kawasan;
Meliputi kegiatan pengamanan melalui sebaran infomasi tentang aturan pengelolaan, sosialisasi dan patroli rutin secara mandiri maupun berkolaborasi dengan petugas BBTNGGP.
2. Pembinaan Habitat;
Kegiatan ini disepakati berupa inventarisasi lahan kritis dan rawan longsor, penyemaian dan penanaman pohon hutan endemik.
3.Akses Pemungutan HHBK;
Kegiatan ini meliputi aktivitas harian masyarakat dalam memanfaatkan lahan, berupa kebun dan sawah yang secara produktif mereka kelola selama ini, termasuk pemanfaatan getah pinus. Selain itu juga soal penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas, serta pembentukan lembaga ekonomi seperti koperasi.
4.Budidaya Tradisional dan Tanaman Obat, MPTS;
Kegiatan ini meliputi pemanfaatan buah-buahan seperti jengkol, pete, nangka hingga sengon. Sengon merupakan jenis tanaman yang secara khusus pemanfaatannya diatur berdasarkan skema yang telah disiapkan KTH berupa sistem tanam tebang.
5.Monitoring dan Evaluasi.
Kegiatan ini meliputi pencatatan, pelaporan secara berkala, evaluasi tahunan dan lima tahunan.
Kembalinya Kepercayaan Diri dan Semangat Baru Para Penggarap
Ditandanganinya PKS Kemitraan Konservasi pada 29 Desember 2021 lalu membawa angin segar bagi para penggarap di kampung Ciwaluh dan Cipeucang. Ada kepercayaan diri yang perlahan tumbuh dibenak mereka bahwa keberadaannya kini telah mendapat pengakuan meskipun berupa kerjasama.
Di tengah proses diskusi Ketua KTH Ciwaluh Hilir, Adom bercerita bahwa sekarang ini para penggarap mulai berdatangan kepadanya dan memberikan secara sukarela sumbangan dalam bentuk uang, beras, kapolaga dan juga kopi untuk mendukung dan membiayai berbagai kegiatan yang akan dilakukan KTH kedepannya. Pasalnya mereka sekarang percaya bahwa perjuangan yang dilalui telah mendatangkan hasil, maka sudah sepatutnya anggota juga turut serta memberikan suport melalui iuran sukarela yang akan dikumpulkan oleh pengurus sebagai kas kelompok yang nantinya akan digunakan untuk membiayai kegatan-kegiatan KTH. Diwaktu yang sama, Adom juga membacakan satu persatu iuran sukarela yang masuk beserta pengeluaran apa saja yang telah dikeluarkan. Para anggota menyaksikan dengan seksama. Beberapa orang menanggapi bahwa anggota kini percaya dan siap untuk bekerjasama kedepannya karena pada dasarnya semuanya memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, yakni memperbaiki taraf hidup dan memperkuat solidaritas dan persatuan di internal kampung.
Meski belum besar nilainya, namun hal ini merupakan inisiatif baik dari para penggarap yang sebelumnya relatif tak acuh kini mulai acuh degan kegiatan-kegiatan KTH, termasuk membangun inisiatif dan rencana. Hal ini tidak hanya terjadi di Ciwaluh, di Cipeucang sendiri dalam diskusi perumusan RPP dan RKK, ketua RT menyampaikan bahwa dirinya beberapa waktu lalu telah mengusulkan di forum Musrembangdes Desa Pasir buncir agar memasukan KTH Cipeucang sebagai sasaran kelompok yang perlu didukung pengembangannya oleh pemerintah desa melalui Dana Desa. Menurutnya respon Kepala Desa cukup baik dengan menyetujui usulan yang disampaikan oleh Pak RT. Dalam waktu dekat, beliau akan mengajak ketua KTH Cipeucang untuk bertemu dengan Kepala Desa tujuannya mempertegas apa yang sudah diusulkan dalam Musrembang tersebut.
Ditandatanganinya PKS juga berdampak pada kepercayaan diri penggarap dalam menjalankan aktivitas keseharian mengolah tanah, mereka lebih merasa tenang dan nyaman, berbeda dengan kondisi sebelumnya. Sejak ada PKS Kemitraan Konservasi, masyarakat menganggap ada batasan dan aturan baku yang diterapkan, sehingga membuat mereka semakin yakin dalam mengelola lahannya. Di kesehariannya, KTH pun mulai berani menjalin komunikasi secara langsung dengan TNGGP, baik bertanya maupun melakukan klarifikasi terkait isu-isu tertentu yang berkaitan dengan aktivitas dan kondisi pengelolaan lahan garapan.
Mimpi 5 Tahun Ke Depan
Lahan garapan berupa sawah dan kebun sudah menjadi sumber kehidupan masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang yang mayoritas sebagai petani. Sejarah panjang telah menjadi perjalanan dan saksi nyata bagaimana masyarakat memiliki hak untuk menguasai, memiliki dan memanfaatkan kekayaan alam di sekitar mereka dengan tenang dan aman.
Sebelumnya, konflik dengan TNGGP telah membawa masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang semakin termarginalkan keberadaannya karena pembatasan akses yang bertolak belakang dengan aktivitas mereka selama ini. Kondisi ini secara otomatis membawa dampak buruk bagi ksejahteraan masyarakat setempat yang memiliki sumber kehidupan di kawasan hutan yang dikuasai negara.
Melalui skema Kemitraan Konservasi secercah harapan kembali hadir, ditengah rasa pesimis bahkan frustasi karena lamanya perjuangan yang ditempuh. Kini mereka telah resmi diakui aksesnya sebagai bagian dari pengelolaan kawasan hutan. 5 tahun yang diatur dalam PKS merupakan bungkusan mimpi penggarap untuk bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari secara legal tanpa dibayang-bayangi rasa takut akan pelanggaran hukum oleh petugas TNGGP.
Awal Januari 2022 masyarakat mulai menata apa yang akan dilakukan selama 5 tahun kedepan. Berbagai rencana dan harapan muncul dari mulut penggarap, salah satunya adalah memulai pertanian organik untuk kehidupan mendatang. Di tengah semakin sulit dan mahalnya biaya bertani, terutama sawah bagi petani kecil, maka pertanian organik akan menjadi solusi bagaimana meminimalisir biaya pertanian yang juga sangat bermanfaat untuk mewujudkan masyarakat Ciwaluh-Cipeucang lebih sehat. Dalam aspek usaha, para penggarap berharap selama 5 tahun ke depan KTH memiliki badan usaha sendiri atau lembaga keuangan sendiri seperti koperasi, yang dapat menjadi motor gerakan kemandirian petani dalam meningkatan produtivitas dan pendapatan.
Berangkat dari kesadaran bahwa perjuangan mendapatkan hak dan pengakuan bukanlah tujuan akhir, maka dibutuhkan proses-proses pengorganisasian yang dapat mendukung langkah-langkah selanjutnya. Pengakuan Hutan Adat merupakan ‘penghantar’ menuju perjuangan yang lebih besar, salah satu tujuannya menciptakan prinsip pemerataan akses, berkeadilan serta mencapai kesejahteraan lahir-batin.
Dalam konteks pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani, SK Hutan Adat yang diterima pada awal tahun 2021, belum menyentuh pada prinsip-prinsip berkeadilan di internal masyarakat adat Kasepuhan Cibarani. Pasalnya, belum ada perubahan struktur yang berarti dalam penguasaan dan pengelolaan, dengan kata lain masih melanjutkan warisan tata kelola semasa masih dikuasai Perum Perhutani. Sehingga belum lah jelas ‘kemana arah’ Hutan Adat Kasepuhan Cibarani. Lebih lanjut belum layak dinilai sejauh mana Hak Hutan Adat berkontribusi pada perbaikan penghidupan dan kehidupan anggota komunitas. Terlebih kepada golongan lemah yang tidak dan/atau terbatas dalam menjangkau akses atas sumber-sumber penghidupan berbasis tanah dan hutan.
Di lain sisi, kelembagaan Adat membutuhan baseline data yang dapat menjadi acuan dasar dalam perencanaan, pengelolaan, pengambilan keputusan dan kebijakan pada tingkat komunitas. Yang selanjutnya dapat terealisasi di internal komunitas dalam melakukan upaya-upaya pembenahan ke arah yang lebih baik.
Ruang belajar Lintas Generasi
Sebagai upaya meningkatkan kapasitas komunitas, terutama kelompok perempuan dan pemuda, dalam sepekan diadakan Pelatihan Pemetaan Sosial-spasial Wilayah Adat. Kerangkanya adalah sebagai tahap lanjutan dari proses pengaturan dan pengelolaan serta keadilan di internal masyarakat Cibarani. Pada kesempatan ini, mengundang juga peserta muda dari beberapa Kasepuhan seperti Kasepuhan Pasir Eurih, Cirompang dan Cibeas. Harapannya dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam proses pengelolaan Hutan Adat. Mengingat Kasepuhan Pasir Eurih dan Kasepuhan Cirompang Hutan Adatnya juga telah ditetapkan.
Pelatihan berlangsung selama 5 hari, yaitu pada 25-29 Januari 2022, bertempat di Imah Gede Kasepuhan Cibarani. Peserta yang terlibat dalam pelatihan ini sebanyak 20 orang yang terdiri dari 9 perempuan, 5 pemuda, 3 Perangkat Desa dan 3 baris kolot. Pelibatan para tetua dipandang lebih memberi warna dalam berbagi pengalaman.
Materi-materi yang disampaikan pada kegiatan ini berkaitan dengan sejarah pengakuan Hutan Adat, makna Hutan Adat bagi komunitas, ancaman serta kerentanan yang menyertainya. Materi tersebut sebagai pengantar untuk diskusi-diskusi ke depannya mengenai pentingnya melakukan pemetaan sosial-spasial.
Imam Mas’ud (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif/JKPP) sebagai narasumber membuka diskusi dengan membagikan kertas meta plan kepada para peserta untuk menuliskan “Apa makna Hutan Adat dan/atau Wilayah Adat”?. Sebagian besar peserta menuliskan bagi mereka Hutan Adat adalah sumber kehidupan dan penghidupan. Alasan itu juga yang disampaikan kenapa penting menjaga dan memelihara kampung, tempat di mana mereka dillahirkan dan dibesarkan. Lebih jauh bagaimana mengenali dan mengelola potensi-potensi yang ada, karena masyarakat lah yang lebih tahu tentang kondisi ruang hidupnya sendiri. Didukung dengan pengalaman dan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun. Untuk itu, wilayah adat dikelola oleh masyarakat suatu keniscayaan. Masyarakat tidak bisa menitipkan nasibnya kepada orang lain, melainkan masyarakat sendiri yang mampu merencanakan serta mengelola Hutan Adatnya berbasis pada pengetahuan dan pengalaman sendiri.
Di waktu yang sama, peserta juga belajar mengenai strategi mata pencaharian (livelihood), mengenal kampung/adat, analisis kelembagaan Adat/Desa dan pengenalan Gender dan PSDA. Untuk pengenalan Gender dan PSDA lebih fokus pada alokasi waktu kerja dan ruang jelajah laki-laki dan perempuan, utamanya dalam kerangka subsitensi yang bersumber dari alam.
Pada saat yang sama, kami juga melakukan pemetaan spasial wilayah adat dengan menggunakan drone. Hasil tangkapan drone kembali didiskusikan bersama masyarakat kasepuhan untuk mengidentifikasi pembagian ruang menurut pengetahuan lokal. Langkah ini guna mempertegas ruang berikut asal-usul penamaan dan kesejarahannya. Khusus untuk lahan garapan dalam rencana tindak lanjut akan dilakukan pemetaan persil secara partisipatif dan rencana pemanfaatannya. Selain itu akan dilakukan juga identifikasi pangan liar berbasis gender dan keanekaragaman hayatinya.
Kolaborasi Antar Generasi Muda Kasepuhan
Belajar dari beberapa komunitas di Kabupaten Lebak yang sudah ditetapkan Hutan Adatnya, masih minim adanya pelibatan kelompok perempuan dan pemuda dalam perencanaan, pengelolaan dan pengambilan keputusan di level komunitas. Di konteks Cibarani, kecenderungan para pemuda lebih memilih mencari nafkah di kota ketimbang mengelola lahan di tanah tumpah darah. Hal ini menunjukan bahwa kepastian hak bukan semata sebagai penjamin terutama bagi kelompok perempuan dan generasi muda dapat memanfaatkan potensi dari sumber-sumber kekayaan alam lingkungannya.
Pasca pelatihan ini, harapannya generasi muda lebih peka untuk melibatkan diri dalam proses-proses pengelolaan Hutan Adat. Berbekal asupan pengetahuan pemetaan sosial-spasial tentunya lebih bisa mengukur sejauh mana agenda perencanaan dapat berkontribusi pada gerakan kaum muda dan kedaulatan atas ruang adatnya. Pun satu hal yang pasti generasi muda adalah tonggak pelanjut atas identitas komunitas.
Recently, the Ministry of Environment and Forestry (KLHK) issued a new regulation on Customary Forests, P. 17/2020 concerning Customary Forests and Private Forests. This regulation is the implementing regulation for the administration of Customary Forests that have been allowed since the Constitutional Court decision number 35/PUU-X/2012 (MK 35) which corrected Forestry Law number 41 of 1999 by removing Customary Forest from the State Forest category and placing it in the Private Forest category. Previously, there were two Ministerial Regulations (Permen) regulating the administration of Customary Forests, namely P.32/2015 concerning Private Forests and P.21/2019 concerning Customary Forests and Private Forests. The spirit behind the issuance of P.17/2020 needs to be observed, because the predecessor regulation is only 16 months old and considering the achievements of Customary Forests which are quite small, namely 44,630 acres, from the Social Forestry’s target which is 4.38 million acres.
A quick glance at this Ministerial Regulations (Permen) shows the strong spirit of formalization in order to protect Indigenous Peoples’ rights to their customary territories in the form of forests. The new concept introduced by P.17/2020 is the Designation of Customary Forest which refers to the stage of validation of forest areas. The appointment is an alternative to the Designation of Customary Forest when the process is hindered by the recognition of Indigenous Peoples through regional legal products which become a condition for carrying out the verification process prior to stipulation.
The question then is, why is a new concept needed while in the previous Ministerial Regulations (Permen) the same protection has been administered through the Indigenous Forest Indicative Area Map? Designation of Customary Forest is intended for at least three things: 1) Providing time (two years) for Indigenous Peoples to complete the requirements for recognition through regional legal products; 2) Give time for holders of forest utilization permits and other management rights to coordinate with the Indigenous Peoples who own the Customary Forest; and 3) Protecting Customary Forests from the entry of new forest utilization permits. The three of them are the advantages of designation compared to the previous protection scheme which did not regulate what can and cannot be done after being determined to be an indication of Customary Forest.
Forward or backward?
Unfortunately, there are no transitional provisions governing the continuation of the administration of the temporary Indigenous Forestry Map while the legal basis, which is P.21/2019 is revoked and declared invalid since the issuance of this new regulation. Then what about the fate of the 950,129 hectares of Indigenous Peoples territory that has been protected through this scheme? As a result of this legal vacuum, if P.17/2020 is implemented in a normative-textual manner, efforts to protect the rights of Indigenous Peoples in forest areas that are supported and encouraged by many parties have been threatened in vain.
Another problem in the appointment is the prerequisite that instead of speeding up, it is feared that it will actually slow down the process of Designating and Stipulating Customary Forests. Designation of Customary Forest can only occur if there is a process of Identification and Mapping of Customary Areas. This process is also a new stage introduced by P.17/2020, which is carried out by a team formed by the Regional Head to become the basis for the issuance of a decision to recognize Indigenous Peoples by the authorized Regional Head as regulated in Article 14 of this Ministerial Regulations (Permen). The results of the identification and mapping along with the regional legal products recognition for the Indigenous Peoples on which they are based are then required to pass the validation stage of the Customary Forest application so that the application can be verified before the Customary Forest is determined. The question is then, what will happen to the application that has been submitted without prior identification and mapping of customary areas by the regional team? Do they have to submit a new application?
In addition, the experience of civil society in facilitating the process of determining Customary Forest since 2016 shows the political process in the regions in order to gain recognition for the Indigenous Peoples as the biggest challenge. Instead of speeding up, this process has put more burdens on Indigenous Peoples in the political process at the regional level, even before entering into the KLHK administration to get their Customary Forest. P.17/2020 also reaffirmed the criteria for Indigenous Peoples in Article 67 along with its explanation in Law (UU) No. 41/1999, which the Constitutional Court did not grant to the civil society lawsuit eight years ago. It is true that P.17/2020 also regulates the authority of the Ministry of Environment and Forestry to facilitate the Identification and Mapping of Customary Areas. Uniquely, this facilitation process is arranged to be carried out by an Integrated Team that is formed and appointed by the Director General of Social Forestry and Environmental Partnerships (Dirjen PSKL) whose composition and duties are exactly the same as the Verification Team. In fact, one of the internal factors for the delay in the administration of Customary Forests is the queue for services at the verification stage by the Team which is fully under the authority of the Director General of Social Forestry and Environmental Partnerships (Dirjen PSKL) but the time frame is not regulated even in this latest Ministerial Regulations (Permen).
Need Bureaucratic Courage
The good spirit of P.17/2020 is difficult to be realized if it is not supported by the administrative courage from the executors. The Minister of Environment and Forestry is expected to be able to present a policy that bridges the process of Designating Customary Forests over the accumulation of Indigenous Forest Indicative Area Map that have been stipulated in SK.10292/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2019 concerning Maps of Customary Forests and Indicative Areas of Indigenous Forests Phase III. It is hoped that the Director General of Social Forestry and Environmental Partnerships (Dirjen PSKL) will be able to take tactical policies regarding applications for customary forests that are currently in process or that are new in relation to potential obstacles in the process of identifying and mapping customary territories and regional legal products that are recognized by Indigenous Peoples.
Apart from these two things, protection of the rights of Indigenous Peoples in forest areas through the Indigenous Forest Indicative Area Map, the current Designation of Customary Forests, and including the Designation of Customary Forests since 2016 which has reached 66 units with a total area of approximately 44,630 hectares, will be useless if it does not present a sense of security for Indigenous Peoples.
Therefore, openness of public information and community involvement are important. The lack of community involvement in decision making regarding the function and extent of Customary Forests which will be designated serve as important notes for civil society, as well as regarding the Decree and maps of Customary Forests which are not open to be accessed by the rightful communities.
All of them require bureaucratic courage that has not been demonstrated in the implementation of Customary Forest regulations in the last four years.
Baru-baru ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan regulasi baru mengenai Hutan Adat, P.17 tahun 2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Peraturan ini menjadi peraturan pelaksana administrasi Hutan Adat yang dibolehkan sejak keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-X/2012 (MK 35) yang mengkoreksi Undang-undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999 dengan mengeluarkan Hutan Adat dari ketegori Hutan Negara dan memasukkannya ke dalam kategori Hutan Hak. Sebelumnya, telah ada dua Peraturan Menteri (Permen) yang mengatur administrasi Hutan Adat yaitu P.32/2015 tentang Hutan Hak dan P.21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Semangat di balik penerbitan P.17/2020 perlu dicermati, karena peraturan pendahulunya baru berumur 16 bulan dan mengingat capaian Hutan Adat yang terbilang sangat kecil yaitu 44.630 Hektare dari keseluruhan target Perhutanan Sosial seluas 4,38 Juta Hektare.
Membaca sekilas Permen ini menunjukkan semangat formalisasi yang kuat dalam rangka melindungi hak Masyarakat Adat atas wilayah adatnya yang berupa hutan. Konsep baru yang diperkenalkan P.17/2020 adalah Penunjukan Hutan Adat yang merujuk pada tahapan pengukuhan kawasan hutan. Penunjukan menjadi alternatif Penetapan Hutan Adat ketika prosesnya terkendala pengakuan Masyarakat Adat melalui produk hukum daerah yang menjadi syarat dilaksanakannya proses verifikasi sebelum penetapan.
Pertanyaannya kemudian, mengapa dibutuhkan konsep baru sementara pada Permen sebelumnya perlindungan yang sama sudah diadministrasikan melalui Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat? Penunjukan Hutan Adat dimaksudkan untuk paling tidak tiga hal: 1.) Memberikan waktu (dua tahun) bagi Masayrakat Adat untuk melengkapi persayaratan pengakuan melalui produk hukum daerah; 2.) Memberikan waktu pada pemegang izin pemanfaatan hutan dan hak pengelolaan lain untuk berkoordinasi dengan Masyarakat Adat empunya Hutan Adat; dan 3.) Melindungi Hutan Adat dari masuknya izin pemanfaatan hutan baru. Ketiganya menjadi kelebihan Penunjukan dibandingkan dengan skema perlindungan terdahulu yang tidak mengatur mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan setelah ditetapkan menjadi indikasi Hutan Adat.
Maju atau Mundur?
Sayangnya, tidak ada ketentuan peralihan yang mengatur kelanjutan administrasi Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat sementara P.21/2019 yang menjadi dasar hukumnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak diterbitkannya Permen baru ini. Lalu bagaimana nasib 950.129 Hektare wilayah Masyarakat Adat yang telah dilindungi melalui skema ini? Akibat kekosongan hukum ini jika P.17/2020 dilaksanakan secara normatif-tekstual saja, usaha perlindungan atas hak Masyarakat Adat di kawasan hutan yang didukung dan didorong banyak pihak selama ini terancam sia-sia.
Permasalahan lain dalam Penunjukan adalah prasyaratnya yang alih-alih mempercepat, dikhawatirkan justru memperlambat proses Penunjukan maupun Penetapan Hutan Adat. Penunjukan Hutan Adat hanya bisa terjadi jika telah ada proses Identifikasi dan Pemetaan Wilayah Adat. Proses ini juga adalah tahapan baru yang diintroduksi P.17/2020, yang dilakukan oleh tim yang dibentuk Kepala Daerah untuk menjadi dasar penerbitan keputusan pengakuan Masyarakat Adat oleh Kepala Daerah berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Permen ini. Hasil identifikasi dan pemetaan beserta produk hukum daerah pengakuan Masyarakat Adat yang didasarinya kemudian menjadi syarat untuk dapat melewati tahap validasi permohonan Hutan Adat sehingga permohonan dapat diverifikasi sebelum Hutan Adat ditetapkan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana nasib permohonan yang telah diajukan tanpa didahului identifikasi dan pemetaan wilayah adat oleh tim daerah? Apakah harus mengajukan permohonan baru?
Selain itu, pengalaman masyarakat sipil memfasilitasi proses penetapan Hutan Adat sejak 2016 menunjukkan proses politik di daerah dalam rangka memperoleh pengakuan Masyarakat Adat sebagai tantangan terbesar. Alih-alih mempercepat, proses ini justru semakin membebani Masyarakat Adat dalam proses politik di tingkat daerah, bahkan sebelum masuk ke administrasi KLHK untuk mendapatkan Hutan Adat mereka. Sudah begitu P.17/2020 juga menegaskan kembali kriteria Masyarakat Adat dalam Pasal 67 beserta penjelasannya dalam UU 41/1999, yang gugatan masyarakat sipil atasnya tidak dikabulkan Mahkamah Konstitusi delapan tahun silam. Memang betul P.17/2020 juga mengatur kewenangan KLHK untuk memfasilitasi Identifikasi dan Pemetaan Wilayah Adat. Uniknya, proses fasilitasi ini diatur untuk dilaksanakan oleh Tim Terpadu yang dibentuk dan ditetapkan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Dirjen PSKL) yang komposisi maupun tugasnya sama persis dengan Tim Verifikasi. Padahal salah satu faktor internal kelambatan administrasi Hutan Adat selama ini adalah antrean pelayanan di tahap verifikasi oleh Tim yang sepenuhnya di bawah wewenang Dirjen PSKL namun tidak diatur tata waktunya bahkan dalam Permen terbaru ini.
Butuh Keberanian Birokrasi
Semangat baik P.17/2020 sulit terwujud jika tak didukung keberanian administratif dari para pelaksananya. Menteri LHK diharapkan dapat menghadirkan kebijakan yang menjembatani proses Penunjukan Hutan Adat atas akumulasi Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat yang telah ditetapkan dalam SK.10292/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2019 tentang Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase III. Dirjen PSKL diharapkan dapat mengambil kebijakan-kebijakan taktis terkait permohonan Hutan Adat yang sedang berproses maupun yang baru dalam kaitannya dengan potensi hambatan dalam proses identifikasi dan pemetaan wilayah adat serta produk hukum daerah pengakuan Masyarakat Adat.
Selain kedua hal tersebut, perlindungan hak Masyarakat Adat di kawasan hutan melalui Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat, Penunjukan Hutan Adat saat ini, dan termasuk Penetapan Hutan Adat sejak 2016 yang telah mencapai 66 unit dengan total luasan lebih kurang 44.630 Hektare, akan nirmanfaat jika tidak menghadirkan rasa aman bagi Masyarakat Adat.
Karena itu keterbukaan informasi publik dan pelibatan masyarakat menjadi penting. Minimnya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan mengenai fungsi dan luasan Hutan Adat yang akan ditetapkan menjadi catatan penting masyarakat sipil, juga mengenai SK Penetapan dan peta Hutan Adat yang tertutup untuk diakses masyarakat penyandang haknya.
Semuanya membutuhkan keberanian birokrasi yang belum pernah ditunjukkan dalam pelaksanaan regulasi Hutan Adat selama empat tahun terakhir.