Tingkatkan Kemampuan Fasilitasi, Alumni Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan Terlibat dalam kegiatan Jelajah Kasepuhan Cirompang

Program Jelajah Kasepuhan Cirompang pada tanggal 25–29 Juli 2024 lalu di Kasepuhan Cirompang, Kecamatan Sobang, Lebak, Banten baru saja selesai dilaksanakan. 26 pemuda dari berbagai latar belakang organisasi mengikuti kegiatan tersebut, baik sebagai peserta maupun sebagai fasilitator. Dari jumlah tersebut, 10 (4 perempuan dan 6 laki-laki) merupakan alumni dari Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan RMI “Environmental Child’s Rights Training Program”

Sekitar satu bulan sebelumnya, selama 4 hari, para alumni memang sudah mendapatkan pembekalan untuk melakukan fasilitasi di komunitas. Pengetahuan dan keterampilan yang mereka dapatkan digunakan pada acara Jelajah Kasepuhan, misalnya dengan memfasilitasi perkenalan peserta, ice breaking dan energizer, serta permainan-permainan pemantik diskusi kelompok. Sepuluh fasilitator tersebut juga banyak memandu dan menginformasikan pengetahuan-pengetahuan lokal tentang Kasepuhan kepada para peserta.

Pengetahuan lokal yang disampaikan kepada para peserta banyak menimbulkan kekaguman akan budaya Kasepuhan. Pengetahuan lokal yang disampaikan mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari praktik pertanian, pengelolaan ruang, penggunaan tanaman obat, bahasa, seni, budaya, hingga sistem nafkah. 

“Seru sekali. Saya baru tahu tentang babay, sebuah benda yang terdiri dari bermacam-macam bagian tumbuhan hutan, yang sering dipakai sebagai penolak bala di Kasepuhan “ kata Jihan, salah seorang peserta dari Sumedang.

Metode fasilitasi yang digunakan oleh para fasilitator pada acara Jelajah Kasepuhan Cirompang ini juga menjadi salah satu keunggulan kegiatan. Aza, salah seorang peserta dari Jakarta, misalnya berpendapat bahwa metode yang digunakan para fasilitator asyik dan menyenangkan.

“Tidak terasa kita belajar karena menyenangkan, dan ini full pengetahuan banget kegiatannya.” cerita Aza saat berjalan pulang dari Hutan Adat Kasepuhan Cirompang.

Dalam kegiatan ini memang para alumni pelatihan menggunakan variasi-variasi metode. Hanifah memfasilitasi sesi energizer dan perkenalan lewat permainan “Tugu Pancoran” dan “Angka Setan”. Nina memfasilitasi lewat permainan “Pindah Rumah”, Rosi memancing diskusi tema lingkungan dan sosial lewat permainan “Injak Kertas”, dan Cecep sebagai fasilitator lokal berbagi pengetahuannya tentang Kasepuhan saat memandu para peserta berkeliling wilayah adat. Kesempatan ini memberikan ruang bagi alumni untuk bisa berkembang dan mengasah kemampuan fasilitasi mereka. 

“Pelatihan menjadi fasilitator bulan Juni lalu memberikan banyak sekali pengetahuan baru untukku, banyak metode-metode baru yang aku dapatkan. Aku juga sempat mencoba salah satu metode tersebut, kemarin pada acara Jelajah Kasepuhan di Cirompang, aku sempat mengajak teman-teman peserta disana untuk bermain game, seru, mereka antusias dan game-nya berjalan dengan menyenangkan sekali. Menjadi fasilitator pada salah satu sesi pelatihan merupakan pengalaman baru yang menyenangkan untukku.” kesan Nisa, salah satu alumni Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan, yang berkesempatan memfasilitasi peserta Jelajah Kasepuhan Cirompang.

Kombinasi teori dan praktik yang didapatkan selama kegiatan Jelajah Kasepuhan Cirompang, menjadi modal bagi alumni Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan untuk dapat menunjukan relevansi pengetahuan lokal dengan model pendidikan yang semestinya bersifat kritis dan kontekstual di Kasepuhan, sesuatu yang menjadi permasalahan selama ini.

Pendidikan kontekstual melihat pengetahuan lokal sebagai pondasi dalam menciptakan pendidikan yang relevan dan efektif sesuai dengan budaya yang berkembang pada komunitas. Mengintegrasikan pendidikan kontekstual dan pengetahuan lokal berarti mendorong komunitas untuk memahami dan menyelesaikan permasalah yang ada di lingkungannya sendiri dengan kesadaran kritis. 

Seperti yang terjadi secara umum di desa dan/atau secara lebih spesifik di daerah masyarakat adat, pendidikan jauh dari kata kritis-kontekstual. Pendidikan yang diajarkan oleh sekolah formal adalah “ilmu pergi” yang mendorong anak-anak muda pergi meninggalkan desa/wilayah adat, mencari pekerjaan di kota sebagai buruh. Pendidikan tidak mampu mengenali potensi yang ada di wilayah desa/adat, dan saat para pemuda selesai menyelesaikan sekolahnya, ilmu yang mereka dapatkan pun tidak dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah yang ada di desa mereka. 

Masalah hama dan kekeringan tidak dapat dipecahkan karena pelajar tidak belajar mencangkul di sekolah. Potensi pengobatan tidak dapat terlihat karena pelajar asing dengan rumput yang terlihat liar di hutan dan adat terkucilkan karena dipandang berseberangan dengan logika kapitalis.

Program Jelajah Kampung yang difasilitasi oleh para pemuda Kasepuhan adalah bagian dari “ilmu pulang”, dan model bagi kolaborasi pemecahan masalah antara anak muda yang tinggal di desa dan di kota. Di dalam diskusi-diskusi yang terjadi selama dan di sela-sela acara, banyak alternatif-alternatif pemecahan masalah yang baru dan membawa angin segar, bahwa anak muda tidak apatis dan bergerak dengan caranya masing-masing untuk melakukan perubahan sosial di lingkungan masing-masing.

Partisipasi Aktif Kaum Perempuan dalam Pembangunan Desa Melalui Forum Perempuan Kasepuhan

Seorang perumus metodologi Participatory Rural Appraisal (PRA) yang terkenal, Robert Chambers mengatakan bahwa “praktik pembangunan yang baik ialah menempatkan masyarakat sebagai pusat, menghargai dan menghormati pengetahuan dan kapasitas lokal, dan memastikan bahwa mereka yang paling terdampak memiliki hak bersuara dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.” Merujuk formula Chambers di atas maka sudah sepatutnya menempatkan masyarakat sebagai pusat dalam pembangunan, baik di desa maupun di kota, yang memiliki hak bersuara dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Hal ini mengingat, bahwa mereka adalah pihak yang paling terdampak atas pembangunan tersebut. Terlebih bagi kelompok perempuan yang sering kali tidak dilibatkan dalam proses pembangunan di desa. Padahal perempuan memiliki pengetahuan dan kapasitasnya sendiri seperti kemampuannya dalam pengembangan ekonomi. Misalnya, kapasitas mereka sebagai tulang punggung ekonomi keluarga dan masyarakat desa.

Dengan melibatkan perempuan dalam pembangunan dapat mengoptimalkan potensi ekonomi mereka, yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan keluarga dan komunitas, serta lebih jauh lagi bisa juga berdampak positif pada generasi berikutnya. Hal tersebut dapat memutus mata rantai kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup di desa​.  Selain itu, pelibatan perempuan dapat membawa perspektif unik. Perspektif unik inilah yang kemudian memperkaya proses pengambilan keputusan di masyarakat desa. Hal ini dikarenakan perempuan cenderung lebih peka terhadap isu-isu yang sangat penting dalam pembangunan desa seperti isu kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak. Dengan kapasitasnya tersebut, peran perempuan dapat memperkuat kohesi sosial dan keberlanjutan budaya lokal.

Berdasarkan data tingkat partisipasi dan keterwakilan perempuan di kelembagaan desa, mengutip dari Lipsus Kompas, menurut data Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) pada Maret 2023, persentase keterwakilan perempuan di pemerintahan desa yaitu 38,6 persen, di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) 28,45 persen, di Lembaga Kemasyarakatan Desa 55,55 persen, dan 33,69 persen di Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Data tersebut mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi masih banyak tantangan yang harus diatasi bersama-sama.  

Forum Perempuan Kasepuhan

Partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan desa (Meaningfull Participation) adalah kunci untuk memastikan kebijakan dan program desa yang mencerminkan kebutuhan serta aspirasi seluruh komunitas. Partisipasi ini melibatkan perempuan secara substansial, bukan hanya sebagai simbol atau token, melainkan dengan mengakui dan memperkuat peran mereka dari perencanaan hingga evaluasi kebijakan publik. Dengan demikian, melibatkan perempuan secara aktif dalam pengambilan keputusan dapat menghasilkan kemajuan yang inklusif, berkelanjutan, dan merata bagi masyarakat desa.

Bertolak dari isu itulah, maka pada tahun 2024, tepatnya bulan Juni lalu RMI mulai mengambil langkah strategis untuk meningkatkan partisipasi dan aspirasi perempuan di tingkat desa dengan menggagas terbentuknya forum khusus perempuan di dua kasepuhan yang berada di dua desa, yaitu Kasepuhan Pasir Eurih yang berada di Desa Sindanglaya dan Kasepuhan Cirompang yang berada di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, sebagai wadah partisipasi, menyampaikan berbagai gagasan dan aspirasi dalam konteks pembangunan desa. Pertemuan ini bertujuan untuk mendengar aspirasi kelompok-kelompok perempuan yang ada di dua desa tersebut yang selama ini suaranya sangat minim saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).

Pertemuan Forum Perempuan di Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya, dihadiri oleh 26 orang Perempuan yang mewakili Kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Kader Posyandu dan Kelompok Usaha Perempuan (Kelompok Canoli). Di pertemuan ini peserta diajak menggali pengalaman dan perspektif tentang kegiatannya masing-masing di lembaga, mengidentifikasi harapan dan ekspektasi masing-masing peserta agar mereka tertarik mau bergabung dengan kelompok/lembaganya, memahami dan menggali lebih dalam apa peran dan fungsi lembaga mereka masing-masing, menggambarkan lokasi melalui pembuatan sketsa kampung/desa untuk mengetahui di mana saja mereka biasa berkegiatan, mengidentifikasi dukungan dari mana saja dan berbentuk apa dukungan tersebut mereka terima, dan mengidentifikasi tantangan baik internal maupun eksternal di kelompok mereka masing-masing. Semua proses tersebut kemudian mereka presentasikan melalui perwakilan kelompok. Dari presentasi tersebut, masing-masing kelompok secara bergantian meminta kelompok lain untuk mengomentari dan bertanya terkait dengan informasi yang dipresentasikan.

Beberapa hal yang menjadi temuan menarik adalah peserta mengakui bahwa pertemuan ini merupakan pertama kali diadakan, dan dengan forum seperti ini banyak sekali informasi-informasi penting tentang gerakan perempuan di desa yang sebenarnya bisa terhubung satu sama lain untuk saling menguatkan. Menurut salah satu peserta yang hadir, pertemuan seperti ini juga penting karena selama ini peserta atau perempuan tidak pernah punya wadah untuk menyampaikan aspirasi dan gagasannya, kalaupun ada hanya sebatas formalitas. Peserta juga merasakan bahwa proses perencanaan pembangunan desa dan proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa pelibatan perempuannya sangat kurang, kalaupun ada mereka hanya hadir tanpa berani menyampaikan pendapat apalagi mempengaruhi kebijakan desa.

Setelah pertemuan di Kasepuhan Pasir Eurih, RMI melakukan pertemuan Forum Perempuan di Kasepuhan Cirompang, Desa Cirompang. Pertemuan ini dihadiri 26 orang Perempuan yang terdiri dari perwakilan RT, RW, Kelompok PKK, Kader Posyandu, pemerintah desa, dan Kelompok Usaha (Kisancang). Proses yang dilakukan sama dengan yang dilakukan di Kasepuhan Pasir Eurih, yang membedakan adalah hasil refleksi dari salah satu peserta. Salah satu peserta perempuan yang juga menjabat sebagai perangkat desa bidang Ekbang (Ekonomi dan pembangunan) menyampaikan bahwa selama ini perempuan di tingkat desa belum diprioritaskan kepentingannya, jangankan masyarakat, perangkat desa perempuan pun masih terpinggirkan kepentingannya, contohnya dapat ditemukan di kegiatan peningkatan kapasitas yang diutamakan selalu staf-staf laki-laki daripada perempuan. Ia juga menyampaikan arah dan kebijakan desa mengenai peran serta perempuan dalam musyawarah desa. Masalah penting menurutnya adalah masih besarnya rasa ketidakpercayaan diri bagi perempuan dalam mengikuti proses musyawarah atau proses pengambilan keputusan di desa menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya partisipasi perempuan di tingkat desa. Maka forum seperti ini menjadi salah satu momen penting untuk mendorong kepercayaan diri kelompok perempuan yang diharapkan ke depan dapat terlibat secara aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa salah satunya di forum Musrenbangdes.

Pertemuan forum perempuan ini merupakan rangkaian yang akan dilakukan selama beberapa waktu kedepan secara rutin yang akan didampingi oleh RMI untuk mempersiapkan terbentuknya wadah bersama para kaum perempuan dalam satu forum yang nantinya menjadi sebuah Forum Perempuan Desa yang berpartisipasi aktif dalam komunitas desa dan masyarakat. Melalui forum seperti ini nantinya diharapkan seluruh aspirasi dari kelompok-kelompok perempuan dapat didengar, dipertimbangkan, ditindaklanjuti, dan didukung oleh berbagai pihak. Melalui wadah forum perempuan inilah segala kepentingan kaum perempuan di desa dapat diperjuangkan yang mana salah satunya adalah agar bisa masuk ke dalam penyusunan anggaran operasional tahunan desa yang bertujuan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan bersama, baik untuk kaum perempuan khususnya maupun untuk kemajuan komunitas desa secara keseluruhan. Dengan demikian, agenda inklusi sosial yang salah satunya melibatkan partisipasi kaum perempuan dalam pembangunan desa dapat terwujud.

Penulis  : Siti Marfu’ah & Umi Nadrah

Editor    : Renal Rinoza

Partisipasi Kaum Muda Demokratis: Mulai dari Lokal

Partisipasi kaum muda dalam sistem demokrasi seperti terlibat dalam proses pengambilan keputusan, formulasi, implementasi dan pengawasan kebijakan publik sangatlah penting karena dapat memotori perubahan-perubahan dan meningkatkan kualitas kebijakan publik yang berorientasi pada masa depan. Akan tetapi, partisipasi pemuda dalam sistem demokrasi di berbagai tingkatan masih lemah. Hal ini dikarenakan berbagai hambatan secara sosial, budaya, dan politik. 

Indonesia adalah negara demokratis. Artinya, kekuasaan tertingginya berada di tangan rakyat. Bukan sebaliknya. Kekuasaan rakyat tersebut kemudian membentuk pemerintah untuk melaksanakan tujuan-tujuan bersama rakyat Indonesia. Tujuan-tujuan bersama tersebut tercantum dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Sebagai negara demokratis, partisipasi rakyat merupakan aspek yang sangat penting. Termasuk partisipasi kaum muda yang selama ini sangat rendah. Misalnya anggota DPR yang berusia 21-30 tahun hanya 22 orang atau berada di bawah 4%. (DataIndonesia.id, 2023) Selain itu, akses untuk mengisi jabatan publik tersebut masih didominasi oleh kaum muda dengan latar belakang kelas menengah ke atas. (Irdiana et al., 2021) Hal ini menggambarkan bagaimana konteks politik elektoral yang membutuhkan biaya yang sangat tinggi sehingga sulit diakses oleh kaum muda. 

Selain itu, secara sosial-budaya kaum muda disematkan berbagai stereotip-stereotip seperti “belum berpengalaman” “belum berpengetahuan cukup” dan “belum berkapasitas”. Ditambah lagi dengan perbedaan nilai antar generasi dan kurangnya representasi politik mengakibatkan pilihan untuk tidak berpartisipasi menjadi masuk akal bagi kaum muda. Padahal, akses terhadap informasi bagi kaum muda mengenai isu-isu politik sudah terbuka di berbagai media sosial. Di media sosial tersebar berbagai konten seperti siniar, diskusi publik, dan konten kreatif  secara langsung maupun tidak langsung memberikan pendidikan politik kepada kaum muda. 59% pemilih muda di tahun 2024 menyatakan media sosial adalah rujukan informasi utama. (CSIS, n.d.) Meskipun begitu, akses informasi ini belum mampu meningkatkan partisipasi politik kaum muda secara signifikan untuk menjadi pejabat publik. Hal ini disebabkan oleh hambatan secara sosial seperti stigma, stereotip dan bias dan hambatan ekonomi terkait mahalnya biaya yang diperlukan untuk mengikuti kontestasi politik.

Dengan begitu, kaum muda membutuhkan peran-peran lain untuk dapat  berpartisipasi dalam sistem demokrasi selain mengisi jabatan politik seperti kepala daerah, anggota legislatif dan yang lainnya. Misalnya, menjadi anggota pers, berorganisasi di lembaga-lembaga penguatan masyarakat sipil dan hak asasi manusia, terlibat dalam partai politik dan lain sebagainya. 

Tetapi, hal ini perlu dukungan lingkungan yang positif (enabling condition) yang mampu mengatasi hambatan-hambatan partisipasi kaum muda.  Misalnya dengan menyediakan ruang aman dan tindakan afirmatif terhadap partisipasi kaum muda di berbagai tingkatan untuk meningkatkan sistem yang transparan dan terbuka sehingga partisipasi kaum muda meningkat. Contohnya, model Panel Penasihat Muda (Youth Advisory Council) di berbagai lembaga pembangunan dapat dijadikan tolok ukur. Karena dapat mendorong kaum muda secara langsung untuk berpartisipasi dalam penyusunan program dan kebijakan. (Irdiana et al., 2021)

Lebih spesifik lagi, kaum muda sebagai warga negara pun bisa berpartisipasi dalam sistem demokrasi. Hal ini bisa dimulai dari skala kampung. Misalnya, aktif dalam pertemuan-pertemuan di tingkat kampung misalnya musyawarah perencanaan pembangunan desa, forum komunikasi di tingkat kelurahan, rapat di tingkat RW, dan lain sebagainya. Hal ini sering dikesampingkan karena dianggap kurang penting. Padahal dari tingkatan terkecil inilah kaum muda dapat menyuarakan pendapat dan memberikan dampak pada tingkat komunitas terkecil dan terdekat dengan dirinya. Selain itu, partisipasi di tingkat lokal memiliki ciri khas khusus dimana ruang untuk mengutarakan pendapat dan aspirasinya lebih mudah sehingga pola komunikasi dua arah dapat terbangun antara pemerintah dengan kaum muda (Berner et al., 2011, 157).  Selain itu partisipasi di tingkat kampung ini lebih mudah dijangkau oleh kaum muda karena hambatan sosial dan ekonominya tidak sebesar kontestasi politik untuk menjadi pejabat publik meskipun hambatan tersebut tidak sepenuhnya hilang. 

Dengan demikian, untuk mendorong partisipasi kaum muda diperlukan ruang yang suportif dan pembiasaan. Diperlukan enabling condition yang memampukan kaum muda agar dapat berpartisipasi sebagai individu berbagai sektor dan tingkatan. Hal ini dapat dimulai dari tingkat komunitas terkecil yang hambatan sosial-budaya dan ekonominya lebih mudah diidentifikasi dan ditanggulangi. Dengan begitu, praktik baik ini dapat memicu eskalasi partisipasi kaum muda di tingkat yang lebih besar. 

Penulis: Rifky putra Kurniawan

Editor: Siti Marfu’ah

Daftar Pustaka

Berner, M. M., Amos, J. M., & Morse, R. S. (2011). What Constitutes Effective Citizen Participation in Local Government? Views from City Stakeholder. Public Adiministration Quarterly, 35, 128-163.

CSIS. (n.d.). Pemilih Muda Dalam Pemilihan Umum 2024: Dinamis, Adaptif dan Responsif. CSIS. Retrieved April 5, 2024, from https://www.csis.or.id/publication/pemilih-muda-dalam-pemilihan-umum-2024-dinamis-adaptif-dan-responsif/

DataIndonesia.id. (2023, October 15). Mayoritas Anggota DPR Periode 2019-2024 Berusia Tua – Dataindonesia.id. Data Indonesia. Retrieved April 5, 2024, from https://dataindonesia.id/data-pemilu/detail/mayoritas-anggota-dpr-periode-20192024-berusia-tua

Irdiana, N., Febrianto, R., & Nisa, S. A. (2021, September 15). Kaum muda diremehkan di panggung politik: kita perlu dorong peran dan pengakuan mereka sebagai pemimpin dan politikus. The Conversation. Retrieved April 5, 2024, from https://theconversation.com/kaum-muda-diremehkan-di-panggung-politik-kita-perlu-dorong-peran-dan-pengakuan-mereka-sebagai-pemimpin-dan-politikus-159644

Sekelumit Cerita dari Teh Jarsih bersama Kelompok Lodong dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kasepuhan Cibarani

Pada hari Sabtu tanggal 18 November 2023 RMI memulai perjalanannya untuk mengadakan agenda monitoring evaluasi program Estungkara selama satu tahun terakhir ini. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Kasepuhan Cibarani yang berlokasi di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak, Banten. Salah satu teman kami di sana adalah teh Jarsih. Ia tergabung dalam kelompok Lodong Cibarani yaitu suatu kelompok usaha yang mengembangkan serta menjual produksi air nira yang telah diproses menjadi hasil produksi Gula Semut. Selain tergabung di kelompok Lodong, teh Jarsih juga turut membidani berdirinya kelompok kue ibu-ibu yang saat ini baru berjalan sekitar dua bulan.

Kasepuhan Cibarani memiliki banyak potensi alam yang dapat dimanfaatkan baik untuk sumber pangan maupun wisata. Disamping padi, hasil kebun pun juga cukup melimpah seperti durian, petai dan jengkol serta banyaknya warga yang memiliki pekerjaan sampingan menjadi penyadap nira yang kemudian membuat Kasepuhan Cibarani mulai terkenal akan produk gula cetaknya yang asli dan terjangkau. Sementara, untuk wisata alam terdapat banyak gua maka di Desa Cibarani dijuluki Desa 1000 gua.

Awal mula berdirinya kelompok Lodong Cibarani berawal dari ide bahwa hasil air nira yang seperti biasanya disadap dan diolah secara sederhana menjadi gula kemudian mulai dikembangkan menjadi produk gula semut. Akan tetapi, volume produksinya belum bisa dikatakan banyak karena masih belum ada tenaga yang cukup banyak untuk bisa melakukan skala produksi besar. Kemudian perubahan mulai dirasakan semenjak RMI masuk ke Cibarani. Tim CO (Community Organizer) RMI yang bertugas di lapangan ternyata melihat potensi yang ada, salah satunya adalah aktivitas masyarakat yang memproduksi gula aren. Dari situ, RMI menginisiasi berdirinya kelompok Lodong dan disambut antusias oleh masyarakat Cibarani.

Untuk meningkatkan kemampuan manajerial produksi dan pemasarannya anggotanya, RMI lalu mengadakan pelatihan. Dalam kegiatan pelatihan tersebut, masyarakat mendapat materi seperti cara pembukuan sederhana, mengatur anggota, melakukan presentasi, dan belajar tentang pengemasan untuk hasil produksi gula semut. Dari hasil-hasil pelatihan inilah akhirnya terbentuk suatu kelompok masyarakat yang memiliki fokus untuk membuat hasil produksi gula semut dan memutuskan menggunakan nama “Lodong Cibarani” sebagai nama komunitas mereka.  

Lodong Cibarani memiliki arti tersendiri yaitu nama “Lodong” merupakan nama tempat yang dipakai untuk menampung air nira yang digunakan oleh para petani penyadap dan juga Lodong melambangkan suatu ‘tempat’ dimana komunitas ini merupakan sebuah wadah/tempat bagi mereka sebagai anggota. Sedangkan “Cibarani” merupakan nama kasepuhan mereka. Komunitas Lodong Cibarani ini baru berjalan sekitar dua tahun yaitu dimulai dari tahun 2021 hingga sekarang. 

Sejauh ini menurut pengakuan salah satu anggotanya, yaitu Teh Jarsih, mengatakan bahwa capaian manfaat terutama dalam bidang kesejahteraan sejak berdirinya Komunitas Lodong Cibarani ini jika dilihat secara ekonomi adalah perbandingan harga gula cetak dan gula semut cukup jauh dan dalam hal ini keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil produksi gula semut jauh lebih tinggi dibandingkan gula cetak. Ditambah pula dengan ketahanan dari gula semut yang lebih lama daripada gula cetak. Gula semut bisa bertahan hingga jangka satu tahun jika disimpan di wadah tertutup namun untuk gula cetak hanya bertahan selama tiga sampai tujuh hari saja walaupun disimpan di wadah tertutup.

Disamping itu, dalam perjalanannya memang produksi gula semut masih memiliki banyak kendala untuk bisa menjadi stabil dan berkelanjutan dalam menghasilkan serta memasarkan produknya. Beberapa kendala yang sering muncul adalah terkait sistem yang ada di kelompok belum begitu terbentuk dan masih sangat sederhana sekali hanya terkait jual dan bagi hasil serta uang simpan tabungan kelompok. Selain itu kendala lainnya adalah tentang pemasaran yang masih kurang efektif. Hal ini dikarenakan skala untuk pemasaran masih sebatas di Cibarani dan wilayah sekitarnya saja, memang ada beberapa yang pernah meminta dari luar dengan jumlah yang banyak tetapi kelompok Lodong Cibarani sayangnya tidak bisa memenuhi permintaan tersebut karena permintaannya terlalu besar dan mereka hanya bisa memproduksinya sedikit. Kendala lainnya yang menghambat produksi dalam jumlah besar adalah produksi masih dilakukan secara manual. Agar dapat menghasilkan volume produksi dalam jumlah besar dapat terpenuhi maka dibutuhkan mesin pemasak atau kristalisator gula semut sehingga dapat memenuhi permintaan dalam partai besar. 

Seperti yang dikatakan teh Jarsih, “harapannya sih ingin banget untuk bisa membangun sistem tapi yang saling menguntungkan, jadi ga cuman bikin terus jual tapi bisa pengelolaannya teratur dan terus-menerus. Soalnya saat ini kan aku memang sudah belajar sedikit tentang pembukuan, akan tetapi masih sederhana banget, hanya mencatat terkait barang yang masuk dan barang yang dibeli.”

Selain itu, kendala dalam hal pengemasan juga terjadi, hal ini dikarenakan pengemasan untuk gula semut masih hanya menggunakan plastik zipper dan ditempelkan stiker. Hal ini rawan karena bisa saja stikernya dicabut dan diklaim ulang oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, Lodong Cibarani juga belum berani untuk menjual produknya ke pasar yang lebih luas seperti di marketplace online karena belum mengurus persyaratan izin edar pangan ke pihak BPOM. Keterbatasan akan pengetahuan tentang birokrasi mengurus kelengkapan serta akses yang sulit menjadi penghalang besar bagi komunitas Lodong Cibarani.

Terlepas dari kendala yang ada, dengan menengok perjalanan selama satu tahun belakangan ini, harapan dari teh Jarsih tersendiri adalah agar mereka bisa lebih berdaya lagi dari segi sumber daya alam dan manusianya, terutama kaum ibu-ibu disini bisa memiliki kegiatan yang produktif, bermanfaat, serta menghasilkan. Harapan lainnya adalah agar perempuan-perempuan di Cibarani memiliki ruang untuk bisa lebih berdaya lagi, dan ruang untuk bisa mengekspresikan dan menyalurkan bakat maupun hobi. Tidak lupa pula teh Jarsih berharap dengan adanya keterlibatan perempuan di setiap kegiatan maupun forum masyarakat tentunya dapat meningkatkan partisipasi perempuan di kasepuhan. Karena selama ini perempuan di Cibarani hanya memegang urusan dapur saja di setiap kegiatan maka untuk itulah penting sekali perannya untuk terlibat aktif di setiap agenda kasepuhan seperti menjadi bagian pengambil keputusan dan berbicara di depan forum. Teh Jarsih juga berharap agar kemitraan yang dilakukan oleh RMI bersama masyarakat bisa berjalan lancar sampai masyarakat di Kasepuhan Cibarani bisa mandiri dan terbuka akan ide-ide maupun masukan-masukan positif.

Penulis: Amara Elvita

Editor: Renal Rinoza

Acara Puncak dan Penutupan Festival Pare Ketan 2023

Hari kedua adalah puncak acara kegiatan Festival Pare Ketan yang pembukaannya dimulai dengan ritual menumbuk lesung oleh ibu-ibu kasepuhan, menyindenkan jaipongan, tarian rengkong dan alunan gendang pencak dan angklung, iring-iringan rombongan masing-masing dari tiga kasepuhan di Cirompang, dan tarian salah seorang ibu-ibu yang menggendong padi di bakul dan penampilan kesenian tradisional kasepuhan. Acara puncak Festival ini juga diisi dengan perlombaan tumpeng dari masing-masing RT, lomba saung pameran dari bazar produk pangan lokal dan cinderamata, lomba fashion show anak remaja, lomba cerdas cermat, dan lomba azan. Acara pembukaan di hari kedua ini berlangsung sangat meriah dan bangku yang disediakan panitia terisi penuh bahkan sampai meluber keluar. Banyak warga lainnya menyaksikan dari atas tempat acara.

Gb 1. Kemeriahan Pembukaan Acara Puncak Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Di hari kedua penyelenggaraan Festival Pare Ketan ini dimulai dengan acara sarasehan yang dipandu oleh Fauzan Adima dari RMI. Sarasehan berisi pemaparan dari masing-masing perwakilan OPD Pemda Lebak (Bapak Diki Darmawan selaku Staf Dinas PMD Kabupaten Lebak), Bapak Camat Cirompang, perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (mas Sani dari Kemitraan dan Abdul Waris dari RMI) dan perwakilan masyarakat Cirompang yang diwakili oleh Kang Mursid untuk berbagi cerita dan pengalaman tentang perjalanan Hutan Adat Cirompang. Penanggap dari sesi sarasehan ini adalah Kang Heri Yogaswara dari BRIN. Sesi siang harinya diisi ceramah dari Bapak Sukanta dari SABAKI (Kesatuan Adat Banten Kidul), Bapak Wakil Bupati Kabupaten Lebak, Kepala Kesbangpol Kabupaten Lebak, dan Tokoh Masyarakat dari Kasepuhan Pasir Eurih. Pada sesi sarasehan juga secara simbolis diserahkan hasil rekomendasi Forum KAWAL yang diwakili oleh Damidi, anak muda Baduy kepada pihak Pemerintah Kabupaten Lebak. Butir-butir hasil rekomendasi tersebut kemudian dibacakan oleh Damidi dan dilangsungkannya prosesi penyerahan hasil rekomendasi Forum KAWAL kepada Pemerintah Kabupaten Lebak.

Gb 2. Warga Kasepuhan Cirompang Antusias Menonton Hari Puncak Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Dalam kata sambutan pembukaan sesi sarasehan ini Fauzan memperkenalkan kios-kios pameran dari produk pangan lokal dan cinderamata sebagai promosi kekayaan pangan bagaimana sumber kehidupan masyarakat Kasepuhan Cirompang ditampilkan, terus yang kedua ada diskusi peningkatan kapasitas Forum KAWAL, dalam Forum KAWAL ini RMI selaku pendamping mencoba membangun konsolidasi antar generasi muda kasepuhan untuk sama-sama saling berproses dan saling memberikan inspirasi bagi bagaimana mewujudkan soal kedaulatan pangan dan rangkaian perjuangan masyarakat kasepuhan yang telah didahului oleh para leluhur masyarakat kasepuhan.

Sarasehan ini menjadi bagian penting bagaimana mempertemukan masyarakat, pemuda, perempuan, tokoh masyarakat dengan Pemerintah Daerah, dengan para mitra yang di kesempatan ini sudah hadir untuk masa depan pangan di kasepuhan menjadi bagian penting prioritas pembangunan baik di desa maupun di nasional.  

Gb 3. Para Baris Olot dan Tamu Undangan Duduk Mengitari Panggung di Hari Puncak Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Dalam sambutannya mas Sani, perwakilan dari Kemitraan, mengajak hadirin untuk kilas balik ke tahun 2015 ketika Festival Pare Gede diselenggarakan. Pada saat itu banyak jenis varietas padi lokal ditampilkan. Kasepuhan khususnya di Cirompang sejak 2015 sudah mulai verietas padi yang selama ini tidak dilirik secara nasional menjadi bahan rujukan apalagi saat ini katanya negara ini mengalami krisis pangan dan sebaliknya khususnya di Cirompang dan kasepuhan lain di Lebak urusan ini tidak menjadi kendala. Kemudian mas Sani berharap kepada baris olot (tetua adat) bagaimana perempuan, anak-anak, kaum disabiitas mendapat tempat di kasepuhan apalagi 20 tahun kedepan adik-adik yang masih muda nantinya akan menggantikan posisi baris olot dan itu yang mungkin menjadi perhatian kita bersama terkait apa sih yang dimaksud dengan inklusi sosial. Yang ketiga, Kemitraan yang bekerjasama dengan RMI yang sudah lama di kasepuhan khususnya di Kasepuhan Cirompang, Cibarani, Cibedug, dsb., berharap banyak kepada masyarakat Cirompang agar hutan adat menjadi penopang kehidupan masyarakat kasepuhan. Ini menjadi penting untuk pemangku kepentingan dan kebijakan karena banyak hal baik dari pengeolaan hutan adat yang dilakukan oleh masyarakat kasepuhan yang perlu didengar di level nasional. Dan juga terkait fungsi leuit (lumbung) yang menjadi fondasi penting bagi kedaulatan pangan masyarakat adat kasepuhan. Dan oleh karena itulah ini penting menjadi perhatian Kemitraan bahwa berbicara soal pangan penting artinya bagi kasepuhan dan ini yang Kemitraan sampaikan ke tempat-tempat lain di Indonesia. Eksistensi leuit penting untuk mempertahankan kedaulatan pangan dan menjadi penangkal dari serangan krisis pangan.

Gb 4. Tarian Rengkong di Acara Pembukaan Hari Puncak Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Sambutan kedua disampaikan Bapak Camat Sobang. Ia mengapresiasi pameran-pameran di kios-kios pangan lokal dan cenderamata serta lomba tumpeng dengan panganan lokal. Pak Camat mencontohkan dengan memakan makanan lokal para tetua dan orangtua di kasepuhan kondisinya sehat  karena memakan makanan yang lokal dan tidak terkontaminasi oleh bahan-bahan yang lain cukup sayur oge, uyah, bawang, sereh, salam. Cukup enak, sergah Bapak Camat. Dalam kata sambutannya Pak Camat juga membandingkan generasi muda sekarang yang terpapar dengan makanan instan. Oleh karena itulah, pangan lokal harus dipertahankan oleh generasi mendatang.

Selanjutnya, pada bagian sesi sarasehan ini pemandu acara meminta Kang Mursid membagi pengalamannya bersama masyarakat Kasepuhan Cirompang lainnya dalam memperjuangkan pengakuan Hak Hutan Adat, pemaparan singkat dari perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang diwakili oleh Abdul Waris dari RMI, pemaparan dari perwakilan OPD Pemda Kabupaten Lebak yang diwakili oleh Bapak Diki Darmawan, dan tanggapan atas pemaparan yang akan ditanggapi oleh Kang Heri Yogaswara, Peneliti Senior BRIN yang sudah malang-melintang dalam studi masyarakat kasepuhan dan juga terlibat dalam proses penyusunan naskah akademik Raperda Kasepuhan Adat Banten Kidul.

Di pemaparannya ini Kang Mursid selaku anggota Kisancang berbagi kisah perjuangan masyarakat kasepuhan Cirompang dalam mendapatkan pengakuan hak hutan adat di tahun 2019 dan tantangannya kedepan pasca pengakuan. Ada pertanyaan sejak kapan masyarakat Cirompang memperjuangkan hutan adat? Sebenarnya perjuangan untuk mendapat pengakuan hak hutan adat bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh masyarakat Cirompang. Dulu ketika tahun 2008, masyarakat Cirompang sudah mulai melakukan diskusi-diskusi skala kecil hingga skala besar ke seluruh incu pitu Kasepuhan Cirompang dan sejak itulah perwakilan dari masyarakat Cirompang mengirim surat ke RMI agar membantu memfasilitasi perjuangan masyarakat Kasepuhan Cirompang.

Gb 5. Kang Mursid Berbagi Pengalamannya Bersama Masyarakat Cirompang dalam Memperjuangkan Pengakuan Hak Hutan Adat. Foto: Erik Suhana

Dengan mengajak RMI untuk terlibat bagi kang Mursid hal tersebut didasarkan pada kondisi di masyarakat Cirompang yang masih mengalami kesulitan berkomunikasi dengan pihak luar terutama dengan Pemda dan Pemerintah Provinsi apalagi dengan Pemerintah Pusat. Oleh karena itulah, kami meminjam tangan dan mulut NGO untuk membantu perjuangan kami, aku kang Mursid. Jadi di tahun 2008 masyarakat Cirompang sudah mulai berdiskusi tentang ketahanan pangan, memetakan dulu pangan apa saja yang sudah tidak ada, mana saja yang masih ada dan apakah masih ada kawung (pohon aren) karena kecamatan Sobang terkenal dengan wilayah penghasil gula aren, kemudian masyarakat diajarkan penguatan kapasitas. Di tahun 2009, kang Mursid mengikuti pelatihan pemetaan partisipatif. Kang Mursid mengaku tugas yang ia emban adalah sebagai suku-sambung (perantara) antara lembaga adat kasepuhan dengan pihak luar (NGO, Pemerintah, dll) dalam memperjuangkan pengakuan Hak Hutan Adat. Dari pengalaman itulah kang Mursid terkejut bahwa Pemda Lebak ternyata baru mengetahui jika di Cirompang telah eksis berdiri sebuah kasepuhan. Pikir kang Mursid, bagaimana yang di Jakarta, di tingkat kabupaten saja tidak tahu tentang keberadaan masyarakat adat kasepuhan di Cirompang.

Dengan demikian, upaya yang intens terus dilakukan oleh masyarakat Cirompang agar segera mendapat Perda Pengakuan Masyarakat Kasepuhan. Diantaranya masyarakat menyusun sejarah keberadaan kasepuhan Cirompang, menetapkan kelembagaan adat secara formal dan tertulis, mencatat warga kasepuhan, memetakan wilayah adat kasepuhan, dan merapikan peta wilayah adat yang dibantu oleh rekan-rekan JKPP melalui kegiatan pemetaan partisipatif. Sebagai tambahan, masyarakat Cirompang juga melengkapi syarat administrasi berikutnya seperti mencatat pranata adat dan aturan adat kasepuhan. Dalam hal ini masyarakat mulai mencatat pranata adat tentang tata cara dan aturan dalam menanam padi, dan aturan mengenai hutan titipan, dsb. Ternyata persyaratan tentang pranata adat ini saja belum cukup. Akhirnya dengan kerja keras dan dukungan dari teman-teman aktivis lokal dan tokoh-tokoh dari wilayah kasepuhan Banten Kidul terbitlah SK Bupati Lebak tentang Kasepuhan Adat Banten Kidul termasuk pengakuan Kasepuhan Cirompang di dalamnya.

Masyarakat kasepuhan pada awalnya belum mengetahui jika hutan mereka dulu dikuasai oleh Perhutani kemudian di tahun 1992 telah dialihfungsikan menjadi Taman Nasional. Dan melalui perjuangan panjang kasepuhan-kasepuhan di Banten Kidul yang mengajukan gugatan (judicial review) UU Kehutanan tahun 1999. Kemudian terbitlah putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa hutan yang berada di wilayah adat bukan lagi menjadi hutan negara melainkan hutan hak komunal masyarakat adat. Dengan putusan MK ini, menjadi berita gembira untuk masyarakat kasepuhan namun perjuangan tersebut belum selesai sampai di situ. Harus ada lagi syarat yang dipenuhi yaitu produk peraturan hukum daerah berupa Perda atau Pergub. Dari situ mulailah masyarakat kasepuhan memperjuangkan Perda Kasepuhan.

Kang Mursid membagi pengalamannya di tahun 2013 ketika ia mengikuti workshop pengakuan masyarakat adat di Indonesia  yang diselenggarakan di Malinau Kalimantan Utara. Kebetulan saat itu Malinau sudah memiliki Perda pengakuan adat. Singkat cerita masyarakat adat kasepuhan mendapat kabar nanti di tahun 2016 akan dibuatkan Perda SK Kasepuhan oleh Pemda Lebak. Kemudian kabar ini disambut dan didukung NGO seperti RMI dan HuMa dan tidak sampai di tahun 2016, tepatnya di akhir tahun 2015 Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan terbit. Kang Mursid merasa sangat lega, akhirnya janjinya bisa terpenuhi. Namun sekali masih terdapat batu sandungan. Itu saja belum cukup karena harus ada SK dari Presiden, yang didelegasikan melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam SK Penetapan tersebut disyaratkan harus ada peta tata batas, harus ada persetujuan tata batas dengan kasepuhan lainnya yang berbatasan langsung seperti Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Sukamaju, Kasepuhan Citorek dan persetujuan kasepuhan lainnya.

Singkat cerita tim Kasepuhan Cirompang berangkat mengambil titik koordinat batas wilayah adat kasepuhan dan kemudian tim KLHK datang ke Cirompang untuk melakukan verifikasi teknis (vertek). Di momen reriungan kasepuhan adat Banten Kidul ke-10 di Citorek, Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa Kasepuhan Cirompang adalah satu dari delapan kasepuhan lain di Banten Kidul yang memperoleh SK Penetapan Hutan Adat. Kasepuhan Cirompang menerima SK Penetapan Hutan Adat seluas kurang lebih 322 hektar. Pasca penetapan Hutan Adat ini maka berbagai usaha terus dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan Cirompang mulai dari kegiatan patroli hutan, penanaman pohon incuk, dan penanaman pohon alpukat dan manggis. Di akhir berbagi pengalamannya di sarasehan ini Kang Mursid menceritakan lika-liku perjuangan mendapatkan pengakuan hak Hutan Adat yang sejatinya ditujukan bagi kesejahteraan lahir-batin masyarakat Kasepuhan Cirompang dan generasi mendatang.

Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh Bapak Diki Darmawan, selaku staf Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Lebak. Menurutnya, hanya di wilayah Banten saja terdapat leuit sebagai simbol ketahanan pangan. Untuk itu ia mengaja kepada mantri tani desa yang hadir di acara Festival ini untuk tidak segan berdiskusi dan belajar dengan bapak-bapak kasepuhan. Pemerintah Kabupaten menitipkan para mantri tani desa menjadi rekan diskusi dan bukan sebaliknya mengajari bapak-bapak di kasepuhan dalam bertani. Secara keilmuan moal mahi mengalahkan bapak-bapak. Nah, keilmuan kan dinamis mungkin ada kelilmuan yang tidak dimiliki bapak-bapak tapi ada dimiliki para mantri tani desa makanya keberadaan para mantri tani desa jadi batur pakumaha. Bukan untuk menggurui bapak-bapak tapi mereka menjadi teman diskusi, tekannya. Misalnya dalam penghadapi musim halodoh (kemarau) ini sekiranya para mantri tani desa bisa memberikan masukan jenis tanaman apa yang mesti ditanam di saat musim kemarau. Pak Diki juga menyinggung pendirian BumDes yang tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat desa khususnya warga kasepuhan di Cirompang. Pak Diki menunjukkan bahwa Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) sudah mengadakan advokasi dengan menggandeng kampus STAN (Politeknik Keuangan Negara STAN) dan beberapa perguruan tinggi lainnya untuk meningkatkan peran BumDes sebagai sumber pendapatan desa dan untuk ketahanan pangan desa.

Pemaparan terakhir disampaikan oleh perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang diwakili Abdul Waris dari RMI. Dalam pemaparannya Waris menyitir dari penjelasan kang Mursid tentang proses perjuangan nan panjang untuk mendapat pengakuan SK Hutan Adat.  Dalam hal ini, RMI cukup lama memfasilitasi masyarakat kasepuhan di Kabupaten Lebak. Fasilitasi itu apa? Fasilitasi untuk melakukan advokasi-advokasi salah satunya terkait pengakuan adat masyarakat kasepuhan yang ada di kabupaten Lebak. Fasilitasi ini kita lakukan dalam rangka kita berpihak. Kepada siapa kita berpihak? Kepada golongan lemah. Nah, kalau konteks hutan adat kalau kita tanya kepada penerima pengakuan tersebut biasanya yang selalu muncul adalah jawabannya kiwari mah kami ntos nyaman dan aman. Artina euweuh gangguan kitu. Alhamdulillah kiwari mah ntos euweuh gangguan. Kita ambil contoh di Kasepuhan Karang, setelah pengakuan ada hal yang mengejutkan bagi RMI yaitu mulai banyak anak-anak yang sebelumnya putus sekolah menjadi lebih banyak yang bersekolah dan bahkan sampai ada yang kuliah. Dari apa? Dari hasil pertanian. Karena apa? Karena buah yang mereka tanam di kebunnya dan ada hak seluruhnya dari si pemilik kebun tersebut sehingga tidak ada rasa takut dan rasa khawatir lagi menjual hasil bumi mereka. Artinya jeung ngabiayaan hirup jeuang ngabiayaan sakolah anak, sudah dapat terpenuhi, tekan Waris.

Sampai saat ini di Kabupaten Lebak sudah ada 8 kasepuhan yang memperoleh pengakuan dari negara. Diantaranya Kasepuhan Cirompang, Pasir Eurih, Karang, Cibarani, Citorek, Cibedug, Cisitu dan Cisungsang. Nah apakah sampai di sini perjuangan kita? Tentu tidak! karena ini bukan tujuan akhir. Ini baru gerbang. Tujuan akhir seharusnya bagaimana setelah memperoleh hutan adat, masyarakat di seluruh kasepuhan memiliki rasa nyaman dan aman lebih yaitu apa? Sejahtera lahir dan batin, pungkas Waris kepada para hadirin. Inilah yang menjadi tantangan dan pertanyaan bagi kita semua untuk bagaimana kita mendapatkannya. Untuk RMI lakukan saat ini adalah mencoba lakukan konsolidasi yaitu ngerembug bersama teman-teman pemuda karena teman-teman pemuda adalah generasi yang bakal jadi olot di lemburnya (kampungnya) masing-masing. Melalui pemudalah RMI mencoba fasilitasi dan belajar bareng-bareng bagaimana memperoleh keamanan dan kenyamanan yang lebih baik lagi dari hari ini.

Permasalahan yang kedua adalah, menyangkut persoalan hutan adat. RMI menjadikan persoalan sebagai catatan yang cukup penting karena seperti yang diceritakan kang Mursid barusan ada proses yang cukup panjang. Hal lainnya yang ketiga adalah soal bagaimana keberagaman pangan. Jadi ketika RMI belajar kasepuhan memang pertama yang kami pelajari adalah varietas padi lokal. Namun, ada juga makanan-makanan yang lain yang dimakan oleh masyarakat di Cirompang. Artinya di kasepuhan ini sudah ada keberagaman pangan. Kalau kita lihat di kios (stand) pameran pangan lokal dijual labu, pisang, ubi, dsb. Yang juga memiliki kandungan yang sama dengan padi. Sumber karbohidrat iya, sumber nutrisi iya, dan juga bahkan menjadi obat. Nah, hal-hal seperti itulah yang seharusnya terus dijaga sampai generasi-generasi berikutnya. Generasi yang melanjutkan tradisi dan nilai-nilai yang ada di kasepuhan.

Untuk yang terakhir soal guncangan perubahan iklim dan ketahanan pangan. Betul seperti yang disampaikan Pak Camat bahwa kita tidak hanya bergantung pada beras karena beras ini suatu saat bisa jadi punya tantangannya sendiri. Kalau kita lihat musim kemarau ini sawah sudah mengalami kekeringan dan itu artinya sulit untuk bisa ditanami padi. Lantas, karena kita punya ubi, labu itu masih menjadi sumber pangan kita. Di situlah pentingnya untuk selalu diingat dan diupayakan bahwa paling tidak di kebun kita ada sumber pangan cadangan. Di pemaparan terakhir yang Waris sampaikan. Ia mengajak para hadirin untuk mencermati 3 hal yang harus diupayakan untuk diamankan yang menjadi sumber penghidupan di saat kemarau yang durasi cukup panjang ini. Yaitu, pertama, air; kedua, pangan; dan ketiga adalah energi. Energi itu apa? Waris memberi contoh kecil yaitu api yang kita nyalakan untuk memasak adalah energi itu sendiri. Dengan demikian, ketiga elemen ini menjadi penting untuk diupayakan dan dijaga bersama-sama.

Gb 6. Para Juri (Ummi dari RMI dan Tracy dari Kemitraan) Melakukan Penilaian Lomba Tumpeng. Foto: Erik Suhana

Setelah ketiga perwakilan memberi pemaparannya, kini tiba waktunya bagi Kang Herry Yogaswara yang diminta pemandu acara untuk memberikan tanggapannya atas pemaparan dari ketiga perwakilan elemen yang hadir di Festival Pare Ketan. Kang Herry menceritakan pengalaman pertamanya bersama masyarakat kasepuhan yang dimulai di tahun 1987 di Kasepuhan Cipta Rasa yang saat ini menjadi Kasepuhan Cipta Gelar. Pertama-tama kang Herry memberi tanggapan atas pemaparan dari pengalaman kang Mursid dalam memperjuangkan pengakuan hutan adat. Kang Herry mengaku pernah ambil bagian di penyusunan Raperda Kasepuhan baik yang berada di Kabupaten Lebak maupun Kabupaten Sukabumi.

Gb 7. Kang Herry Yogaswara Memberikan Tanggapan Atas Pemaparan dari Perwakilan Kasepuhan, CSO, dan Pemerintah. Foto: Erik Suhana

Dulu ada tim yang membuat Perda Kasepuhan di Kabupaten Sukabumi dan Kasepuhan di Kabupaten Lebak. Dua-duanya ditahap pertama gagal. Jangan lupa itu kegagalannya! Kenapa gagal? Karena pada saat itu wilayah Kabupaten Sukabumi masuk di wilayah Banten tetapi incu putu Cipta Rasa sudah mendiami wilayah itu sebelum berdirinya Kabupaten Sukabumi maupun Kabupaten Lebak. Di dalam peta ada wilayah Lebak jadi tidak bisa Perda kabupaten itu ada di kabupaten lain. Jeung deui aya Perda Sukabumi. Sukabumi masuk Jawa Barat. Aya Lebak provinsi mana? Banten. Moal meunang. Nah yang Lebak juga gagal karena juga ada penolakan di DPRD. Kan Perda kudu kesepakatan Bupati jeung DPRD, sambungnya.

Di tahun 2015 masyarakat kasepuhan berhasil mendapatkan Perda Kasepuhan dari Bupati Lebak. Kalau kita membicarakan masyarakat adat di seluruh dunia maka ada 2 hal prinsip nya harus dipenuhi. Pertama, Pengakuan sendiri tentang keberadaan kasepuhan adat dengan catatan harus ada pihak lain yang mengakui. Siapa saja pihak luar tersebut? Di Indonesia pihak luar yaitu Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah. Di pemaparan kang Mursid di atas sudah menyinggung vertek, verifikasi teknis. Hal tersebut dilakukan agar batas-batas kasepuhan menjadi jelas. Kang Herry berbagi pengalamannya pernah tergabung sebagai tim verifikasi teknis hutan adat di 5 kasepuhan diantaranya Kasepuhan Cibarani, Cibedug, Cisungsang dan Kasepuhan Cisitu. Dari pengalaman tersebut, ternyata ditemukan di lapangan pengajuan hutan adat dari 2000 ha menjadi 2500 ha. Kenapa luasan hutan adatnya bertambah? Menurut kang Herry hal tersebut disebabkan oleh adanya pengakuan dari pihak lain dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pengakuan hutan adat dari negara harus ada produk hukum dar daerahnya mulai dari Perda, SK Bupati ataupun Perbup. Namun untuk pengakuan hutan adat, mengacu pada Pasal 67 UU No. 41 tentang Kehutanan Tahun 1999 dikatakan bahwa produk hukum yang diakui adalah Perda. Jika belum ada Perda-nya maka akan dijadikan statusnya Pencadangan Hutan Adat. Begitu prosedurnya. Berdasarkan pengalaman kang Herry sebagai tim verifikasi teknis hutan adat, pada hematnya didasarkan pada dua hal. Pertama, harus ada subyeknya yakni manusia yang mendiami daerah sekitar hutan adat. Dan kedua, harus Ada Obyeknya yakni keberadaan hutannya sendiri. Proses selanjutnya memang mesti bersabar karena pemohon hutan adat harus memetakan batas-batas hutan adatnya dan dilakukan dengan pemetaan partisipatif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di masyarakat kasepuhan.

Gb 8. Damidi Mewakili Teman-Teman Forum KAWAL Menyerahkan Hasil Rekomendasi Kepada Perwakilan Pemkab. Lebak. Foto: Erik Suhana

Acara sarasehan ditutup dengan pembacaan hasil rekomendasi Forum KAWAL yang diwakili oleh Damidi, pemuda adat Baduy kepada aparatur Pemerintah Kabupaten Lebak dan hadirin di Festival Pare Ketan. Damidi kemudian dengan mantab membacakan butir-butir rekomendasi tersebut. Pembacaan butir-butir rekomendasi ditutup dengan penyerahan hasil rekomendasi Forum KAWAL dan foto bersama antara Damini dengan Bapak Diki Darmawan selaku perwakilan Pemda Lebak. Acara sarasehan kemudian ditutup oleh pemandu acara, Fauzan Adima. Dalam kata penutupnya Fauzan menandaskan bahwa apa-apa saja yang sudah disampaikan di sarasehan ini kiranya dapat menjadi bagian penting untuk kita semua dan mengingatkan kembali bahwa ketahanan pangan ini menjadi catatan penting yang pada prakteknya sudah menajdi tradisi masyarakat adat yang perlu dilanjutkan oleh generasi muda kasepuhan.

Ditulis oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)

Batur Ngawangkong #2: Refleksi dan Rekomendasi dari Forum KAWAL

Di forum ini peserta diminta untuk merefleksikan perjalanan Forum KAWAL selama satu tahun ini (terhitung sejak Oktober 2022) sebagai catatan yang akan dilaksanakan di tahun selanjutnya dan tantangan apa saja yang akan dihadapi. Selain itu, di sesi ini juga menghadirkan butir-butir rekomendasi yang akan disampaikan Forum KAWAL kepada Pemerintah Kabupaten Lebak yang akan hadir di keesokan harinya, termasuk persiapan untuk acara Kenferensi Tenur. Para peserta dibagi ke dalam masing-masing kelompok untuk menuliskan refleksinya atas Forum KAWAL. Fasilitator menyodorkan lima pertanyaan kunci untuk didiskusikan dan disampaikan secara bersama-sama di forum refleksi ini. Lima pertanyaan kunci tersebut adalah: (I) Apa yang paling diingat dari pertemuan Forum KAWAL sebelumnya?; (II) Apa yang Anda ketahui tentang pemetaan partisipatif?; (III) Pengetahuan apa saja yang ingin lebih didalami dari Forum KAWAL ini?; (IV) Apa yang Anda ketahui tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA)?; dan (V) Apa yang Anda ketahui tentang Inklusi Sosial?

Gb 1. Tracy Pasaribu – Kemitraan, Mengawal Sesi Refleksi Forum KAWAL. Foto: Erik Suhana

Para peserta yang telah dibagi ke tiap-tiap kelompok kemudian mengelaborasi dari lima pertanyaan kunci yang diajukan fasilitator. Mereka kemudian mendiskusikan dan mencatatnya ke kertas metaplan untuk ditempelkan dan dipresentasikan lalu ditanggapi oleh fasilitator dan peserta lainnya. Adapun masing-masing kelompok mencatat hasil diskusi refleksi mereka. Berikut urutan masing-masing kelompok yang mencatat lima pertanyaan kunci yang dimulai dari pertanyaan I sampai pertanyaan V:

Pertanyaan I: Apa yang paling diingat dari pertemuan Forum KAWAL sebelumnya?

Kelompok 1

  • Publikasi tentang Pengakuan Hutan Adat kepada publik
  • Pengetahuan untuk masyarakat adat kasepuhan
  • Persaudaraan antar kasepuhan
  • Pengembangan SDM/SDA
  • Follow-up atau Rencana Tindak Lanjut (RTL) Forum KAWAL berikutnya

Kelompok 2

  • Kesetaraan Gender
  • Perubahan Lingkungan
  • Belajar hukum yang berlaku di masyarakat adat
  • Belajar pemetaan partisipatif

Kelompok 3

  • Memotret pendokumentasian pengetahuan masyarakat adat
  • Anggota Forum KAWAL sulit untuk mengimplementasikan Rencana Tindak Lanjut (RTL) dan kegiatan pendokumentasian pengetahuan masyarakat adat kasepuhan
  • Membangun ghiroh (semangat) anak muda kasepuhan dalam kegiatan Forum KAWAL. Misalnya menjaga tradisi dan budaya masyarakat kasepuhan
  • Terselenggaranya kegiatan Kelas Pengetahuan tentang masyarakat adat kasepuhan di kalangan anak muda khususnya kaum milenial di Kasepuhan Pasir Eurih
  • Pentingnya menggali pengetahuan adat yang diwariskan oleh para leluhur. Misalnya apa yang harus generasi muda jaga dan rawat dan apa saja larangan-larangan adat agar pengetahuan tersebut tidak punah

Kelompok 4

  • Berbagi ilmu pengetahuan antar komunitas kasepuhan aga bisa lebih meluas
  • Konsolidasi antar komunitas di Forum KAWAL
  • Jangkauan pengetahuan antar komunitas mungkin saja ada yang berbeda antara kasepuhan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, maka diperlukan tukar-menukar pengetahuan dan pengalaman bahkan untuk rekan-rekan komunitas adat di Nusantara lainnya. Pengalaman sebelumnya sudah dilakukan anak muda kasepuhan dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman bersama teman-teman muda dari komunitas adat yang berasal dari Provinsi NTT

Kelompok V

  • Saling berkomunikasi diantara anak-anak muda kasepuhan tentang apa yang terjadi didaerahnya masing-masing

Pertanyaan II: Apa yang Anda ketahui tentang pemetaan partisipatif?

Pada bagian pertanyaan ini disampaikan oleh beberapa peserta. Salah satu peserta berharap agar wilayah yang akan dipetakan masyarakat tahu tata batas antar wilayah kasepuhan, tata ruang wilayah adat yang dipetakan misalnya peruntukan lahan garapan masyarakat, dll. Sementara Kang Mursid dari perwakilan Pemuda Kasepuhan Cirompang menandaskan bahwa pemetaan (partisipatif) dilakukan secara bersama-sama dengan mendatangi satu per satu masyarakat. Kang Khori sebagai perwakilan Kasepuhan Cibarani mengingatkan bahwa dalam pemetaan partisipatif penting untuk memastikan peta tata batas lahan garapan masyarakat tidak terjadi pergeseran antar lahan garapan masyarakat. Untuk di Cibarani sendiri, Kang Khori berbagi pengalamannya dalam mengerjakan pemetaan partisipatif seperti ada yang bertugas menulis dan mencatat, ada yang pengoperasian alat GPS, dan lain-lainnya.

Di pertanyaan ketiga: Pengetahuan apa saja yang ingin lebih didalami dari Forum KAWAL? Para peserta berbagi keinginannya agar dapat diakomodir oleh rencana tindak lanjut Forum KAWAL selanjutnya. Diantaranya para peserta ingin menggali hukum adat, pendokumentasian dan inventarisasi hukum adat dari lembaga kasepuhan tentang pengetahuan adat, bagaimana mempelajari metode pendokumentasian dan pencatatan pengetahuan adat, kegiatan pendokumentasian saat ini belum selesai dan perlu dilanjutkan misalnya pendokumentasian hukum adat, pengetahuan adat, dan segala pengetahuan adat lainnya yang hidup di kasepuhan.

Gb 2. Panitia Menempel Metaplan Kolom Yang Diisi Peserta. Foto: Erik Suhana

Di pertanyaan keempat: Apa yang Anda ketahui tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA)? Para peserta mengajukan poin-poin penting dari pertanyaan ini. Diantaranya adalah MHA yang hidup secara turun-temurun, yang secara de-facto sudah ada eksistensinya di masing-masing kasepuhan, belum ada peraturan dari pemerintah terkait hukum adat di kasepuhan, MHA dapat diartikan berupa ketaatan terhadap hukum adat dan aturannya seperti kepatuhan warga MHA harus menyelenggarakan ritual adat sebelum memasuki leuweung (hutan) dan mentaati titah (perintah) olot (tetua) adat untuk memulai kegiatan cocok tanam, dan khususnya untuk di masyarakat wilayah ulayat Baduy anggota komunitas adatnya diwajibkan bertani.

Pada pertanyaan terakhir, di pertanyaan kelima: Apa yang Anda ketahui tentang Inklusi Sosial? Para peserta berbagi pendapatnya bahwa dalam inklusi sosial perlu adanya perhatian yang lebih kepada kaum minoritas yang terpinggirkan misalnya kepada kaum difabel. Disamping itu, negara juga perlu memberikan pengakuan hak dan mengedepankan prinsip-prinsip inklusi sosial dalam kebijakannya, dan perlu adanya restrorative justice oleh negara untuk mengatur hukum adat dan sanksi adat di internal kasepuhan. Artinya negara memberikan kewenangan sepenuhnya bagi Masyarakat Hukum Adat untuk mengatur dan menetapkan hukumnya sendiri bagi anggota komunitasnya sendiri. Ini dapat diartikan negara mengakui adanya pluralisme hukum di luar ketentuan hukum positif yang mengatur MHA dalam menegakkan hukum adatnya.

Kegiatan forum ngawangkong di sesi refleksi ini kemudian dilanjutkan di sesi rekomendasi di malam harinya setelah pemaparan dari dua pemateri (HuMa dan JKPP) selesai. Dalam kesempatan sesi rekomendasi ini fasilitator yang diawaki oleh Tracy Pasaribu meminta para peserta untuk mengungkapkan rasa kekhawatiran mereka dan kemudian Tracy membungkus (wrapping up) dari aspirasi kekhawatiran tersebut ke poin-poin penting yang akan ditindaklanjuti oleh rekan-rekan Forum KAWAL selanjutnya. Setelah mencurahkan rasa kekhawatirannya, kemudian para peserta mencatatnya menjadi poin-poin kekhawatiran di masing-masing perwakilan kasepuhan, komunitas adat Baduy dan perwakilan dari KATA Indonesia. Kelompok Kasepuhan Cibarani menyuarakan kekhawatiran mereka tentang persoalan lingkungan seperti sampah yang dibuang ke sungai, dan kekhawatiran tentang tata ruang yang tumpang tindih dalam hal status hutan adat dengan klaim Taman Nasional misalnya. Damidi sebagai anak muda dari komunitas adat Baduy mengungkapkan kekhawatirannya tentang generasi muda Baduy yang terbawa arus zaman dan terjadinya alih fungsi hutan. Untuk Kasepuhan Cirompang, kekhawatirannya adalah sedang memikirkan Cirompang 20 tahun kedepan. Bagi generasi muda Cirompang dikhawatirkan beda kepentingan akan beda pula kebijakannya yang ujung-ujungnya akan merugikan masyarakat. Untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut maka pemuda Cirompang sudah menyiapkan berbagai upaya diantaranya penguatan kapasitas anak muda Cirompang, regenerasi perjuangan masyarakat kasepuhan, dan memperbanyak peningkatan kognisi dengan berdiskusi dan kepekaan (awareness) yang dimulai dari hal-hal kecil hingga ke hal-hal yang besar.

Gb 3. Kesibukan Peserta Dalam Mengisi Kolom Kekhawatiran. Foto: Erik Suhana

Ungkapan kekhawatiran tentang tata ruang juga disampaikan oleh perwakilan dari Kasepuhan Jamrut yang mencari jalan keluar pemecahan agar masyarakat di Jamrut terbebas dari klaim tata ruang Taman Nasional Gung Halimun Salak (TNGHS), ketakutan terhadap penyerobotan lahan garapan dan ulayat masyarakat adat oleh pihak-pihak luar, konflik lahan yang berpotensi akan meledak, dan pengelolaan hutan adat yang tidak maksimal karena pembatasan akses masyarakat ke wilayah ulayatnya. Tambahan kekhawatiran lain dari perwakilan masyarakat Kasepuhan Jamrut tentang inklusi sosial ialah kurangnya perhatian terhadap kaum disabilitas dan kelompok rentan lainnya. Sementara itu, kekhawatiran dari perwakilan Kasepuhan Bongkok sama dengan apa yang disuarakan oleh pemuda Kasepuhan Cirompang yaitu kekhawatiran takut terkena imbas dari kebijakan penguasa setelah pergantian rezim yang tidak menutup kemungkinan akan berganti kebijakan dan tidak memihak kepada masyarakat adat, dan harapan-harapan masyarakat adat yang tidak terakomodir dengan baik oleh pemerintah daerah. Perwakilan Kasepuhan Bongkok di kesempatan forum ini juga mengapresiasi kegiatan fasilitasi dan forum refleksi dan rekomendasi Forum KAWAL ini yang akan dijadikan bahan yang akan mereka bawa pulang ke masyarakat Kasepuhan Bongkok lainnya. Dan terakhir catatan kekhawatiran yang disampaikan oleh perwakilan dari KATA Indonesia. Salah satu perwakilannya menggarisbawahi bahwa dikhawatirkan nilai-nilai adat akan hilang di masa depan, hutan yang semakin menyusut, pemanasan suhu dan perubahan iklim yang berdampak bagi masyarakat adat, suara-suara masyarakat adat yang tidak didengar dan sumber penghidupan tidak layak bagi kaum muda.

Setelah masing-masing perwakilan dari kasepuhan, wilayah ulayat Baduy dan KATA Indonesia menyampaikan rasa kekhawatirannya yang dipadatkan ke dalam beberapa poin maka selanjutnya fasilitator, Tracy Pasaribu, memerasnya ke daftar belanja masalah dan dari permasalahan tersebut untuk langkah selanjutnya menjadi pengingat dan usaha yang akan dilakukan oleh Forum KAWAL setelah ini. Diantara poin-poin yang ditandai oleh Tracy adalah persoalan: (1) Lingkungan; (2) Tata (Kelola) Ruang Hidup; (3) Generasi Muda yang menjaga adat; (4) Konflik Lahan (baik internal sesama masyarakat dan antar kasepuhan maupun berkonflik dengan pihak luar); (5) Kaum Terpinggirkan (misal. Kaum Disabilitas dan kelompok rentan lainnya); dan (6) Pergantian rezim kekuasaan (kekhawatiran aspirasi masyarakat adat tidak terpenuhi). Dari keenam poin yang dipetakan ini maka yang menjadi tonggak perubahan adalah peran aktif generasi muda sebagai generasi penerus (Tracy menyebutnya Generus) yang akan meneruskan perjuangan masyarakat adat dalam memperjuangkan haknya dan wilayah ulayatnya. Di sinilah posisi strategis Forum KAWAL yang terus mengawal perjuangan dari masyarakat adat dan partisipasinya dalam politik kewargaan semakin diperhitungkan. Misalnya mendorong partisipasi pemuda, perempuan dan kelompok rentan lainnya untuk terlibat di forum-forum di berbagai level, baik di tingkat kelembagaan adat maupun tingkat pemerintahan daerah bahkan di forum-forum nasional. Keterlibatannya mereka juga dapat memainkan peran yang signifikan dalam proses penentuan dan pengambilan keputusan baik di tingkat lokal maupun nasional. 

Ditulis Oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)