Batur Ngawangkong #1: Peningkatan Kapasitas Forum KAWAL di Festival Pare Ketan 2023

Di sesi kedua di hari pertama penyelenggaraan Festival Pare Ketan diisi dengan refleksi dan peningkatan kapasitas anggota Forum KAWAL. Para peserta mendengarkan penjelasan dari fasilitator dan pemateri tentang topik-topik yang relevan dengan agenda perjuangan masyarakat adat kasepuhan dan wilayah ulayat Baduy. Sesi ini dipandu oleh Fauzan Adima dari RMI. Materi pertama penguatan kapasitas mengambil topik Inklusi Sosial yang difasilitasi oleh Tracy Pasaribu dari Kemitraan. Setelah itu dilanjutkan materi kedua dan ketiga namun berhubung fasilitator kedua materi lainnya baru sampai ke lokasi maka akan disampaikan di malam hari. Materi peningkatan kapasitas lainnya adalah Kebijakan Nasional tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang difasilitasi Wahidul Halim dari HuMa dan materi Tantangan dan Peluang atas Ruang bagi Masyarakat Hukum Adat oleh Sulaiman Ahmad dari JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif). 

Gb 1. Pembukaan Sesi Penguatan Kapasitas Forum KAWAL. Foto: Erik Suhana

Dalam pemaparannya, Tracy mengajak peserta untuk membicarakan kenapa inklusi sosial penting untuk disuarakan dan digaungkan di kalangan masyarakat adat. Didalam inklusi sosial terdapat tiga prinsip utama yaitu (1) Akses terhadap layanan dan SDA; (2) Partisipasi Politik; dan (3) Manfaat dari inklusi sosial. Dengan demikian, inklusi sosial penting untuk diangkat ke permukaan karena selama ini ada beberapa kelompok masyarakat yang terpinggirkan dari proses-proses pengambilan keputusan dan keterlibatan dalam pembangunan. Salah satu kelompok-kelompok yang terpinggirkan itu adalah masyarakat adat bahkan secara umum ada tiga kelompok yang terpinggirkan diantaranya perempuan, anak-anak (termasuk anak muda), dan kaum disabilitas. Oleh karena itu, dengan adanya penerapan inklusi sosial akan memastikan semua orang mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama. Dalam beberapa kasus, Tracy mencontohkan bahkan di setiap pertemuan kelompok adat jarang sekali yang melibatkan perempuan dan anak muda. Demikian halnya dengan pola pembangunan di Indonesia yang masih meminggirkan peran-peran perempuan dan anak muda.

Gb 2. Diskusi dan Tukar-Pendapat Anggota Kelompok. Foto: Erik Suhana

Dalam pemaparannya, Tracy juga menyinggung fenomena bonus demografi yang dialami Indonesia hingga tahun 2040. Itu artinya komposisi anak muda Indonesia sekitar 70% dari total populasi. Momentum ini tentu tidak boleh kita lewatkan begitu saja karena peran anak muda lah yang menentukan arah kemajuan Indonesia mendatang. Apa yang anak muda bicarakan saat ini dan apa yang mereka lakukan khususnya di Forum KAWAL ini adalah awal mula perubahan. Berbicara dengan gerakan perubahan di kalangan anak muda dan terkait dengan pengarusutamaan inklusi sosial adalah memastikan ketiga prinsip dalam inklusi sosial dapat terpenuhi. Berbicara tentang akses ialah berbicara tentang bagaimana masyarakat adat terutama kaum perempuan dan anak mudanya mendapatkan akses terhadap layanan dan sumderdaya alam yang setara. Di kesempatan ini Tracy mengingatkan pentingnya membawa kepekaan (awareness) kita terlebih bagi masyarakat adat yang wilayahnya berada di daerah terpencil. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat terutama kaum perempuan dan anak muda adalah menyangkut akses terhadap sumberdaya alam. Tracy mencontohkan apa yang terjadi di masyarakat adat Nagekeo di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemerintah daerah di sana ternyata tidak sensitif dan tidak menghitung peran dan akses perempuan terhadap sumberdaya alam. Padahal perempuan memainkan peran yang sangat penting dalam merawat dan memelihara pengetahuan tradisional misalnya dalam pengklasifikasian jenis-jenis tanaman obat dan kegunaannya.

Gb 3. Peserta Mendiskusikan Materi. Foto: Erik Suhana

Prinsip kedua di inklusi sosial adalah partisipasi. Tracy menekankan kenapa dalam inklusi sosial penting untuk melibatkan partisipasi perempuan dan kaum difabel dari setiap agenda pembangunan yang dijalankan. Dengan menempatkan partisipasi, kita memperluas peran dan kesempatan yang setara bagi kaum perempuan dan difabel untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan pembangunan. Prinsip iklusi sosial yang ketiga adalah Manfaat. Tracy mengajukan pertanyaan kepada para peserta, “Kalau sudah ada pembangunan apakah semua mendapat manfaat yang sama? Perempuan dan laki-laki. Apakah anak-anak muda diajak terlibat dan berpartisipasi? Maka untuk itulah kita membutuhkan inisiatif untuk bergerak dan memainkan peranannya dalam pengambilan keputusan. Disamping itu, tentunya kita berusaha meningkatkan partisipasi dengan cara mempertajam kepekaan kita. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa kita adalah gerakan akar rumput yang setidaknya sudah mengetahui apa-apa saja permasalahan di tingkatan tapak. Dalam hal ini, Tracy memberi contoh. Misalnya dalam membuat bak mandi. Walau ini terlihat sepele namun posisi amat penting dalam meningkatkan partisipasi dan kepekaan kita. Apakah pembuatan bak mandi tersebut sudah sensitif jender dan peka terhadap kebutuhan perempuan? Jangan-jangan dalam pembuatan bak mandi tidak mengindahkan kebutuhan kaum perempuan. Ada satu contoh menarik yang Tracy singgung di kasus pembuatan bak mandi ini. Desain bak mandi yang ukurannya lebih tinggi membuat ibu-ibu susah untuk mengambil air yang biasanya digunakan untuk mencuci dan membersihkan sayur-sayuran.

Dari hal yang sepele ini Tracy mengajak kita untuk peka dan sensitif terhadap kebutuhan kelompok-kelompok lain yang terabaikan dalam kebijakan dan implementasi pembangunan dan bagaimana pentingnya memperluas kesempatan yang setara bagi kaum perempuan, anak muda, kaum difabel dan orang-orang yang terpinggirkan lainnya untuk didengar dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan. Ilustrasi pembuatan bak mandi yang Tracy contohkan adalah gambaran dimana betapa minimnya peran perempuan dan kelompok rentan lainnya dalam proses pengambilan keputusan di ranah kebijakan publik. Dengan demikian, melalui pemahaman kita terhadap inklusi sosial ini maka kita berjuang di arah hulu semisal akses terhadap sekolah dan produksi pengetahuan. Penting untuk mengajak dan melibatkan partisipasi perempuan ke berbagai kegiatan forum yang nantinya akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan dari sinilah dimulainya pengkaderan bagi perempuan untuk memainkan perannya di sektor partisipasi politik kewarganegaraan dan kebijakan pembangunan.

Di akhir pemaparannya, Tracy menyinggung sebuah kebiasan dari adat-istiadat kita yang menempatkan urusan perempuan hanya sekadar di wilayah dapur saja. Lalu Tracy menantang peserta dengan melontarkan sebuah pertanyaan tajam tentang masalah ini, “bagaimana mengubah paradigma seperti itu?.” Atas masalah ini, Tracy menunjukkan bahwa persoalan tradisi atau budaya yang tidak pernah ditulis. Padahal kalau digali lebih dalam lagi justru pengetahuan lama dari masyarakat adat malah banyak melibatkan peran perempuan dan penghormatan terhadap posisi perempuan sebagai pengambil keputusan dan sumber-sumber pengetahuan adat. Hal ini telah dibuktikan dari beberapa studi diantaranya penelitian yang dilakukan oleh PEREMPUAN AMAN, tekan Tracy. 

Gb 4. Wahidul Halim – HuMa, Menyampaikan Pemaparan Materinya tentang Advokasi Kebijakan Nasional MHA. Foto: Erik Suhana

Sesi peningkatan kapasitas berikutnya disampaikan oleh Wahidul Halim dari HuMa yang memaparkan materi Advokasi Kebijakan Nasional tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA). Dalam penyampaiannya, Halim menjelaskan tentang kedudukan Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya ditulis MHA) di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan eksistensi MHA sebenarnya sudah tertera di konstitusi kita misalnya di Pasal 18B UUD 1945 dan di Pasal 128 UU Pokok Agraria Tahun 1960. Adapun eksistensi MHA dapat dikenali selama MHA memiliki sejarah, tanah ulayat, hutan adat, masyarakatnya, pengetahuannya, kelembagaan adatnya dan eksistensinya diakui oleh masyarakat adat lainnya. Namun demikian, dalam catatan HuMa negara belum melindungi sepenuhnya eksistensi MHA. Misalnya apakah MHA dilibatkan dalam pembuatan UU? Dari indikator ini saja pemerintah belum mengakomodir tuntutan dan kebutuhan MHA.

Berdasarkan pengalaman HuMa ketika pengajuan tuntutan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi atas UU No. 5 tentang Kehutanan Tahun 1999 terhadap persoalan hutan adat. Dalam UU Kehutanan tahun 1999 negara tidak mengakui keberadaan hutan adat dan hutan yang dimiliki oleh MHA diklaim sebagai hutan negara. Oleh karena itu, HuMa bersama MHA dan elemen masyarakat sipil lainnya kemudian memperjuangkan pengadvokasian hutan adat dengan pengajuan tuntutan Judicial Review yang pada akhirnya tuntutan itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi dengan menghapus nomenklatur Hutan Negara di hutan adat milik MHA. Dari keberhasilan tuntutan itu maka tugas selanjutnya bagi MHA adalah kemudian bagaimana cara mengadvokasi hak komunal atau hak ulayat agar bisa didaftarkan dan tercatat. Upaya yang dapat dilakukan adalah mengadvokasi Peraturan Menteri (Permen) Kearifan Lokal. Di upaya advokasi ini bagaimana MHA dapat memiliki pemaknaan terhadap hak ulayat mereka seperti mata air, pohon-pohon, tumbuhan, hutan, dan pengetahuan adat terhadap nilai ekologi di wilayah ulayat MHA.

Gb 5. Para Peserta Menyimak Pemaparan dari Pemateri. Foto: Erik Suhana

Disamping itu, dalam hal eksistensi MHA di bidang hak ulayat, HuMa pernah bekerjasama dengan PEREMPUAN AMAN untuk melakukan penelitian tentang hak kolektif perempuan adat di Sulawesi. Dalam hak ulayat adat terdapat hak kolektif perempuan yang proporsinya sangat signifikan terutama pengetahuan MHA terhadap sumber-sumber pangan, tanaman obat dan hutan. Dari kekayaan pengetahuan itulah perlu upaya untuk mengumpulkan dan mendokumentasikan pengetahuan masyarakat adat sebagai hak kolektif mereka—yang selanjutnya didaftarkan sebagai hak kolektif MHA ke Bupati. Sebagai bagian dari eksistensi MHA, hutan adat menempati posisi yang sangat penting bagi pengakuan eksistensi MHA. Namun demikian, menurut Halim tantangannya adalah ketika pasca penetapan hutan adat. Tantangan yang kerapkali ditemui di lapangan adalah pemerintah tidak tahu dimana letak wilayah ulayat MHA berada. Selain itu, tantangan terbesar yang dihadapi MHA adalah berupa tantangan pengakuan bersyarat dari negara. Dalam norma hukumnya seharusnya negara yang mengikuti MHA tetapi yang terjadi menunjukkan sebaliknya—MHA yang mengikuti logika peraturan negara tentang penetapan wilayah ulayat adat. Di sinilah tantangan yang dihadapi oleh MHA meski sudah mendapat pengakuan tetapi logika pengakuannya mengikuti ketentuan negara. Di bagian ini, Abdul Waris selaku perwakilan RMI menambahkan bahwa dalam prosesnya negara yang seharusnya mengembalikan hak pengakuan tersebut ke masyarakat adat bukan malah yang memberi hak pengakuan ke masyarakat adat karena eksistensi MHA sudah lebih dulu ada dan kita kembalikan lagi ke konstitusi negara kita bahwa kedaulatan rakyat (termasuk di dalamnya MHA) sebagai pemegang tertinggi kedaulatan negara dan syarat utama berdirinya sebuah negara.

Di bagian akhir pemaparannya, Halim meluruskan pemahaman tentang perbedaan antara masyarakat adat dan masyarakat hukum adat (MHA). Baginya kedua terminologi ini sebenarnya sama saja dan yang membedakannya adalah terminologi MHA dipakai di dalam UU. Sementara itu, salah satu peserta yang berasal dari Kasepuhan Pasir Eurih mengajukan satu pertanyaan apakah MHA kedudukannya diakui di konstitusi kita? Halim menjawab jika RUU Masyarakat Adat dan RUU MHA itu tergantung dengan siapa yang membacanya. Di konstitusi negara kita sudah jelas tercantum di Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, dan Pasal 3 UU Pokok Agraria tahun 1960. Masalahnya hingga saat ini belum disahkannya RUU Masyarakat Adat. Jika RUU tersebut disahkan maka akan mudah bagi kita untuk mengidentifikasikan subyek Masyarakat Hukum Adat. Lamanya proses ketuk palu pengesahan RUU Masyarakat Adat ini disinyalir karena adanya permainan di Prolegnas (Program Legislasi Nasional) di DPR RI. Salah satu Parpol besar yang menguasai kursi di DPR menolak disahkannya RUU ini karena akan menghambat masuknya investasi.

Sesi yang disampaikan oleh Wahidul Halim ini ditutup dengan memberikan masukan kepada peserta dari Kasepuhan Bongkok yang sedang memperjuangkan pengakuan hak hutan adat mereka. Diantara langkah-langkah yang harus dipersiapkan adalah dengan mempersiapkan data-data tentang sejarah, peta wilayah adat, kelembagaan adat, dan profil menyeluruh tentang Kasepuhan Bongkok; membuat legal opinion (pendapat hukum) yang akan dibantu rekan-rekan CSO seperti HuMa; berdiskusi soal kondisi Kasepuhan Bongkok; usaha melobi kepentingan kasepuhan dengan memuat berita acara dan surat resmi ke Pemkab Lebak; bergerak bersama kasepuhan lain dan rekan-rekan CSO; dan terakhir membaca konteks politik kedepan seperti Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Dengan adanya usaha persiapan ini diharapkan akan memudahkan bagi Kasepuhan Bongkok dalam memperoleh pengakuan hak hutan adat dan diakui sebagai subyek MHA secara legal dan politik.

Sesi terakhir penguatan kapasitas disampaikan oleh Sulaiman Ahmad dari JKPP. Sulaiman memberikan pemaparannya tentang Tantangan dan Peluang terhadap Akses Ruang. Bagi Sulaiman penting untuk masyarakat adat kasepuhan membuat pemetaan agar supaya mengetahui ruang hidupnya sendiri. Dalam pengamatan Sulaiman sendiri, permasalahan penataan ruang di Indonesia dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Data yang tersedia masih banyak yang bersifat indikatif (misalnya ditetapkan berdasarkan wilayah kawasan hutan, desa, dll).
  2. Proses penataan ruang yang masih bersifat top-down. Penentuan penataan ruang berdasarkan ketetapan pemerintah dan bukan berasal dari masyarakat yang dilibatkan.
  3. Penentuan ruang masih menganut “azas kepentingan” yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah daripada kepentingan masyarakat.
  4. Keterlibatan masyarakat dalam penentuan penataan ruang masih sangat minim.
  5. Belum terintegrasinya data-data peta yang dibuat masyarakat adat (peta partisipatif).
  6. Kebijakan Satu Peta (One Map Policy). Namun data dan informasi pemetaan tidak dilakukan secara partisipatif baik dalam prosesnya maupun hasilnya.

Dari rincian permasalahan penataan ruang ini Sulaiman menunjukkan bahwa data yang membuat pemetaan yang dilakukan pemerintah seringkali tidak tepat dan celakanya dalam kasus-kasus yang terjadi di tingkatan tapak ternyata produk pemetaan yang dibuat negara ini, sesal Sulaiman, “mohon maaf malah jadi acuan kepala desa”, dan maka dari itu di sinilah letak persoalan dari penataan ruang di Indonesia khususnya yang terjadi di wilayah pedesaan—yang notabene banyak ditempati oleh komunitas masyarakat adat sehingga terjadi tumpang tindih lahan dan klaim negara terhadap wilayah ulayat adat masyarakat adat.

Gb 6. Sulaiman Ahmad – JKPP, Menyampaikan Materi tentang Ruang dan Pemetaan Partisipatif. Foto: Erik Suhana

Dari penyampaian materi tentang Tantangan dan Peluang Atas Ruang ini direspon oleh beberapa peserta diantaranya Kang Mursid yang berbagi pengalamannya. Kang Mursid menyatakan bahwa sebelumnya aparat Pemda Lebak tidak mengetahui di Cirompang sudah eksis sebuah kasepuhan yang keberadaannya bahkan jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Di kesempatan ini Kang Mursid juga menyinggung tentang bagaimana masyarakat Kasepuhan Cirompang berjuang untuk mendapatkan pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat. Salah satu usaha yang dilakukan masyarakat adalah melakukan pemetaan partisipatif yang sudah dimulai di tahun 2009. Namun perjuangan tersebut butuh waktu 10 tahun lama sampai masyarakat mendapat Pengakuan Hutan Adat di tahun 2019. Kemudian Kang Mursid mengingatkan kepada kita semua bahwa betapa pentingnya pengetahuan tentang “ruang” dan kenapa itu penting? Hemat kang Mursid karena ada ruang-ruang yang memang sudah dipetakan namun dalam prosesnya ternyata dilakukan tidak partisipatif atau diketahui oleh masyarakat sejauhmana status ruang kita ini, tutup kang Mursid. Sementara untuk kasus Kasepuhan Bongkok, salah satu perwakilan Kasepuhan Bongkok menceritakan bahwa Kasepuhan Bongkok tidak tercatat dalam lampiran Perda No.8/2015 Kabupaten Lebak tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan masyarakat adat kasepuhan dan jika demikian maka apa yang harus kami lakukan?, gugatnya.  

Gb 7. Pemandu Acara, Fauzan Adima, Menutup Rangkaian Materi Penguatan Kapasitas. Foto: Erik Suhana

Sesi peningkatan kapasitas ini ditutup oleh pemandu acara yang merangkum seluruh materi yang selama seharian penuh telah disampaikan oleh pemateri. Mulai dari materi inklusi sosial, advokasi Masyarakat Hukum Adat dan Peluang dan Tantangan tentang Ruang. Pemandu acara mengajak kepada peserta untuk merumuskan materi-materi yang sudah disampaikan. Materi-materi ini setidaknya dapat menjadi bekal bagi peserta untuk ditindaklanjuti di masing-masing kasepuhan. Disamping itu, pemandu juga meminta para peserta menuliskan kolom kekhawatiran yang dirasakan tentang kondisi masing-masing peserta dan menjadi bahan pembelajaran bersama. 

Ditulis Oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)

Pembukaan Festival Pare Ketan 2023

Festival Pare Ketan diselenggarakan oleh Kisancang (Komunitas Pemuda Adat Cirompang) dan RMI—Indonesian Institute for Forest and Environment – Bogor, Gerakan Muda Cirompang dan Pemerintah Desa Cirompang. Festival ini juga didukung oleh Kemitraan, HuMa, Program Estungkara, dan Tenure Conference. Festival ini berlangsung selama tiga hari, Jumat 13 Oktober – 15 Oktober 2023 di Kp. Cirompang, Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak-Banten.

Gb 1. Baris Olot Menghadiri Acara Pembukaan Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana
Gb 1. Baris Olot Menghadiri Acara Pembukaan Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Festival Pare Ketan mengusung tema “Patepung Sararea Ngobrolkeun Ketahanan Pangan” ini dimaknai sebagai ajang silaturahmi antar 3 kasepuhan di Cirompang dan kasepuhan-kasepuhan lain seperti Pasir Eurih, Cibarani, Jamrut, Cibedug, Bongkok, dan Cibeas . Selain itu, festival ini juga mengundang perwakilan dari  komunitas adat Baduy, organisasi masyarakat sipil, pemerintah kecamatan, perangkat Pemerintah Daerah dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak. Terselenggarakannya festival ini merupakan inisiatif dari pemuda adat Cirompang untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya kasepuhan melalui kegiatan yang menyasar pada upaya menjaga nilai-nilai adat dan pengetahuan adat kasepuhan agar tidak hilang tergerus jaman. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengangkat kearifan lokal berupa pengelolaan sumberdaya hutan dan sistem ketahanan pangan di kasepuhan.

Nama “Pare Ketan” dipilih sebagai simbol dari kekayaan hayati yang dijaga oleh masyarakat adat kasepuhan dan juga dapat dimaknai sebagai ajang silahturahmi yang mempertemukan semua orang untuk membahas kedaulatan pangan dan upaya mewujudkan semangat para generasi muda kasepuhan dalam mempertahankan dan menjaga nilai-nilai adat dan pengetahuan adat tentang ketahanan pangan. Disamping itu, kegiatan festival ini membahas tantangan lain bagi pemuda dan masyarakat adat kasepuhan yaitu di era modern ini adalah bagaimana memastikan bahwa seluruh masyarakat, termasuk perempuan, anak-anak, kelompok rentan, dan mereka yang seringkali terpinggirkan turut serta dan mendapatkan manfaat dari pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam yang efektif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, Komunitas Pemuda Adat Cirompang (Kisancang) memandang perlu untuk menekankan pentingnya inklusi sosial sebagai salah satu pilar utama dalam kegiatan Festival Pare Ketan.

Gb 2. Prosesi Ritual Adat Untuk Kelancaran Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Kegiatan pembukaan Festival Pare Ketan diawali dengan pembacaan doa dan ritual berupa pembakaran kemenyan dan sesajen rujak (yang terdiri dari segelas kopi pahit, air putih, air kembang, dan kudapan) dan nasi tumpeng dari olot kasepuhan agar pelaksanaan festival mendapat kelancaran hingga selesai. Kaum ibu-ibu dari perwakilan tiga kasepuhan menabuhkan alun ke lesung dengan hentakan yang berirama sebagai bagian dari prosesi adat untuk sebuah penyelenggaraan acara festival. Setelah itu agenda pembukaan diisi oleh sambutan-sambutan dari Ketua Kisancang, Kepala Desa Cirompang, Tokoh Masyarakat, perwakilan kelembagaan adat kasepuhan, dan RMI. Dalam rangkaian acara pembukaan ini diakhiri dengan pembacaan Al-Quran dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Adapun untuk rangkaian acara selama tiga hari diisi oleh penampilan kesenian tradisional, pameran produk-produk pangan lokal dan cinderamata, reriungan Forum KAWAL, refleksi perjalanan perjuangan hutan adat di Kasepuhan Cirompang, pemaparan dari Kemitraan tentang inklusi dan kesetaraan jender, pemaparan dari HuMa yang membahas advokasi kebijakan dan peluang bagi penguatan masyarakat adat, pemaparan dari JKPP yang mengingatkan pentingnya pengetahuan tentang penataan ruang dan pemetaan partisipatif bagi masyarakat adat kasepuhan, sarasehan bersama aparatur Pemerintah Kabupaten Lebak dan sambutan Wakil Bupati Kabupaten Lebak. Di hari terakhir, Festival ditutup dengan pengumuman lomba dan penyerahan trofi kepada pemenang lomba serta ramah-tamah panitia.

Gb 3. Tetabuhan Alun di Lesung. Foto; Erik Suhana

Kegiatan festival dipusatkan di kantor Kepala Desa Cirompang. Panitia membuat sebuah panggung bagi kegiatan utama festival di halaman dan ruangan yang dijadikan forum diskusi dan tukar pendapat permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat kasepuhan. Jalur disepanjang menuju panggung utama disuguhi saung (stand) masing-masing RT dan kader Posyandu untuk menjajakan hasil bumi dan oleh-oleh seperti cempedak, nangka, petai, jengkol, sayur-mayur, cabe, tomat, durian, kecapi, manggis, labu, pisang, ubi, singkong, opak, gula aren padat, gula aren cair, dan aneka panganan lokal masyarakat kasepuhan lainnya. Sementara itu, perwakilan dari Forum KAWAL juga menjajakan produk-produk dan cinderamata masyarakat adat kasepuhan dan baduy seperti kopi, gula semut, kopi, kaos, selendang tenun, dan iket.

Kegiatan pembukaan Festival Pare Ketan ditutup sebelum dimulainya waktu shalat jumat. Dan kemudian di siang harinya dilanjutkan dengan kegiatan peningkatan kapasitas yang dibungkus dalam Forum KAWAL yang difasilitasi oleh perwakilan CSO kepada generasi muda kasepuhan dan diikuti dengan kegiatan ngawangkong (diskusi dan berbagi pendapat dan pengalaman) Forum KAWAL antar generasi muda kasepuhan dan perwakilan masyarakat adat Baduy. Di sesi Forum Kawal ini berisi refleksi dan peningkatan kapasitas teman-teman muda kasepuhan, anak muda Baduy, dan mitra mereka dari CSO yang diwakili oleh RMI, Kemitraan, JKPP dan HuMa.

Ditulis Oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)

Fina, Partisipan Perempuan Baru Forum KAWAL

Kasepuhan Bongkok tergabung dalam Forum KAWAL sejak pertemuan di Cangkuem, salah satu perkampungan Baduy, pada Desember 2022. Salah satu partisipan aktif Forum KAWAL[1] dari Kasepuhan Bongkok tersebut adalah perempuan berusia 16 tahun bernama Fina. Setiap harinya ia memiliki kegiatan yang cukup padat. Mulai dari bersekolah, berkegiatan dalam OSIS[2], berkegiatan ekstrakurikuler rohani Islami dan ngobong[3]. Ia berangkat ke sekolah pukul 07.30 dan pulang pukul 17.00 petang. Setelah maghrib, ia ngobong sampai pukul 22.00 malam dan tiba di rumah pukul 22.30 malam. Melakukan banyak hal dalam satu waktu membuat waktunya banyak sekali tersita, belum lagi pekerjaan-pekerjaan domestik yang harus ia kerjakan.

Fina dan Abah Maman sedang mengobrol

Fina merupakan satu dari enam partisipan yang berasal dari Kasepuhan Bongkok yang tergabung dalam komunitas Burakok[4] yang didirikan pada tahun 2022. Forum KAWAL sesi kelima yang diselenggarakan pada tanggal 26-28 Mei 2023 di wilayah adat Kasepuhan Pasir Eurih adalah forum pertama yang diikutinya. Ia menganggap pengalaman ini menarik dan bermanfaat baginya untuk lebih aktif di masyarakat.

“Kayaknya seru. Terus menambah pengalaman juga ke Finanya. Terus, kayaknya, ini yang bikin Fina lebih aktif deh di masyarakat. Jadi Fina lebih tau. Kan Fina gak tahu sama sekali kalau di (Kasepuhan) Bongkok itu ternyata belum merdeka (wilayah adatnya masih belum diserahkan oleh negara) kan, (gak) kayak di Pasir Eurih[5]. Fina cuman tau disini (forum KAWAL) aja. Disana tuh Fina gak pernah diceritain kalau di Bongkok itu belum merdeka.”

Fina sedang mengikuti Ice breaking.

Forum KAWAL seri kelima ini mewadahi peserta untuk menggali dan merefleksikan pengalaman personal; merencakana perencanaan kelompok/komunitas; dan pengenalan dan simulasi pemetaan partisipatif melalui berbagai sesi yang dibagi ke dalam tiga hari. Fina terlibat dan mengikuti setiap sesi dengan antusias. Meskipun interaksinya terbatas pada teman-teman peserta perempuannya lainnya dan beberapa orang yang sudah ia kenali. Meskipun ia masih canggung untuk mengutarakan pendapatnya dalam diskusi besar, ia aktif ketika dalam diskusi kelompok. 

Dalam sesi “Sepanjang Jalan Kenangan” yang bertujuan menceritakan pengalaman personal peserta, Fina dan peserta diajak berefleksi melalui media gambar gelombang naik-turun yang menggambarkan jatuh-bangkit kehidupan, bagaimana cara bangkit dari situasi sulit dan siapa saja yang terlibat dalam prosesnya. Sesi ini membuat Fina lebih bersyukur dengan merefleksikan orang-orang yang yang berjasa dalam hidupnya. Sepanjang hidupnya, ia sempat keluar masuk pesantren karena ditinggalkan teman dekat hingga pindah ke Kampung Bongkok dan mulai beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru dan aktivitas baru.

Hari selanjutnya, dalam sesi perencanaan kelompok/komunitas, Fina beserta anggota Burakok lainnya melihat kembali kelompok dan kampungnya lalu mencoba merencanakan tujuan bersama dalam kurun waktu satu tahun kedepan. Proses ini digambarkan melalui rute jalan perencanaan tujuan kelompok. Nampaknya mereka berencana untuk memajukan salah satu obyek wisata potensial yang ada di Kasepuhan Bongkok. Meskipun begitu mereka sadar bahwa rencana tersebut merupakan rencana jangka panjang yang memerlukan banyak langkah-langkah kolektif untuk mencapainya, termasuk para orang muda di kampunya. Di sisi lain, menyoroti kampungnya, Fina menambahkan bahwa pemuda-pemudi yang telah lulus SMA jarang menetap di Kampung Bongkok: “Disana tuh gak ada pemuda yang udah lulus SMA. Di Bongkok itu, mayoritasnya, kalau udah SMA, dia kerja di luar kota.”

Selanjutnya, dalam sesi pemetaan partisipatif, peserta Forum KAWAL diberikan materi pengantar pemetaan partisipatif oleh Slamet Widodo, Community Organizer RMI yang mengaitkan urgensi pemetaan partisipatif dengan tata laksana pembangunan nasional:

“Selama ini peta menjadi acuan tata ruang dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Tapi sayang, pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha dan kurang memperhatikan hak-hak masyarakat setempat sehingga sering terjadi penyerobotan lahan, tumpang tindih kawasan, ketidajelasan tata batas dan sebagainya. Masyarakat yang hidup dan bekerja di wilayah itulah yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai wilayahnya. Hanya mereka yang bisa membuat peta secara lengkap dan akurat mengenai sejarah, tata guna lahan, pandangan hidup dan harapan masa depannya.”

Pemetaan partisipatif—yang menjadi salah satu materi yang dirasa paling dibutuhkan oleh peserta Forum KAWAL—menarik perhatian peserta karena dilengkapi dengan pengenalan perangkat pemetaan, tukar cerita pengalaman pemetaan partisipatif oleh Carik Jajuli dari Kasepuhan Pasir Eurih, dan simulasi kelompok untuk melakukan pemetaan partisipatif. Fina yang terlibat langsung dalam sesi ini mengatakan bahwa:

“… KAWAL itu membantu sebagai wadah. Kalau misalkan di wilayah kita mau ada pemetaan, nanti dibantu sama KAWAL. Tadinya Fina gak bisa pake GPS, baru belajar juga kemarin. Terus pokoknya banyak banget (yang didapat) karena Fina baru. Menariknya GPS ini abis belajar langsung dipraktekin.”

Sebagai peserta baru, Fina cukup antusias mengikuti kegiatan Forum KAWAL. Antusiasmenya terlihat dari keinginannya untuk ikut kegiatan Forum KAWAL selanjutnya yang menurutnya adalah kegiatan yang membuatnya berpikir kritis. Selain itu Fina mengaku ingin mengetahui lebih dalam mengenai hutan adat yang masih asing dimatanya.

Fina, dengan kesehariannya menghabiskan waktu sekitar 13 jam di sekolah dan pesantren, memiliki waktu yang lebih minim untuk terlibat dalam proses-proses yang tengah terjadi di kampungnya. Sedangkan sebagai perempuan yang bertempat tinggal dan beraktivitas di wilayah adat Kasepuhan Bongkok, Fina juga memiliki banyak keterbatasan-keterbatasan termasuk dalam Forum KAWAL itu sendiri. Sejauh ini interaksinya terbatas pada peserta perempuan lain dan beberapa yang ia sudah kenal.

Tanpa mengecilkan usaha afirmatif fasilitator di lapangan kepada peserta perempuan dengan sering-sering mengajukan pertanyaan khusus bagi mereka (“ti perempuanna kumaha? Aya nu rek dicaritakeun?”[6]), usaha tersebut belum mampu memantik mayoritas peserta perempuan untuk mengutarakan pendapatnya. Entah karena merasa tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman, entah karena takut salah berpendapat, entah karena tidak berminat atau faktor-faktor lain yang merintanginya; namun yang jelas kehadiran Fina sebagai peserta baru Forum KAWAL merupakan langkah baik yang perlu disyukuri di tengah pusaran lemahnya artikulasi konsep partisipasi orang muda dan perempuan di konteks Kasepuhan.


[1] Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak

[2] Organisasi Intra Sekolah

[3] Santri di suatu ‘Kobong’ dalam bahasa Sunda yang artinya ‘pesantren’ dalam bahasa Indonesia.

[4] Budak Ngora Kampung Bongkok (pemuda kampung bongkok)

[5] Salah satu Kasepuhan yang sudah mendapatkan SK Hutan Adat.

[6] Dari perempuannya bagaimana? Ada yang mau diceritakan?


Penulis: Rifky P.K.

Editor: Supriadi

Sarmani: Proses dan Dampak Tujuh Tahun Berkegiatan dengan RMI

Sarmani adalah laki-laki berusia 27 tahun yang sejak tahun 2018 bekerja sebagai perangkat desa Cirompang. Ia berasal dari keluarga petani, di mana kedua orang tuanya menggarap sawah di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Ia sempat berkuliah jurusan pertanian di salah satu universitas di Bandung selama empat semester sebelum kemudian memutuskan pulang ke wilayah adat Kasepuhan Cirompang di tahun 2015 dan menetap disana hingga saat ini. Setahun setelah kembali dari perantauan, ia mulai berkegiatan dengan RMI, ditandai dengan partisipasinya dalam kegiatan Sekolah Lapang Rakyat di tahun 2016. Selama tujuh tahun tentunya ia merasakan berbagai dampak dan proses-proses yang ia lalui berkegiatan dengan RMI. Kini ia sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak berusia tiga tahun.

Tahun 2016 sampai 2017 menjadi salah satu babak penting dalam hidup Sarmani. Sejak kembali dari perantauan, ia mencoba aktif berkegiatan di komunitasnya. Selain ikut Sekolah Lapang Rakyat, ia berperan aktif dalam kegiatan pemetaan partisipatif di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Keduanya membuat Sarmani merasa lebih memahami kasepuhan dan mengetahui wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Padahal, semasa bersekolah ia cenderung tidak memedulikan hal-hal terkait ritual adat, wilayah adat bahkan komunitas adatnya sendiri dan memilih untuk fokus belajar. Kepeduliannya terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Kasepuhan Cirompang terus berproses dari waktu ke waktu hingga mengantarkannya pada suatu titik dimana ia merasa ada yang berkurang dalam dirinya jika adat tidak dilestarikan.

1 Maret 2019 menandai Pemetaan partisipatif yang dilakukan Sarmani dan tim membuahkan hasil. Negara mengembalikan hak adat Kasepuhan Cirompang dengan mengeluarkan SK Hutan Adat seluas 306 Hektar yang dikeluarkan dari wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Manfaatnya jelas terasa bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cirompang. Bahkan, di tahun 2023, Hutan Adat Cirompang relatif hampir seluruhnya sudah tergarap  oleh masyarakat Kasepuhan Cirompang.

Setelah penetapan, Sarmani tetap menyadari pentingnya menjaga dan mengelola Hutan Adat Cirompang dengan baik. Sarmani memilih berkontribusi untuk menjaga hutan adat di Kasepuhan Cirompang dengan menjadi anggota Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Cirompang (Kisancang) yang salah satu kegiatannya adalah ronda leuweung/patroli hutan.  Sejak tahun 2021, Kisancang berkolaborasi dengan baris kolot sekitar satu sampai tiga kali dalam setiap tiga bulan melakukan kegiatan tersebut. Sarmani mengatakan bahwa dari aktivitas tersebut, secara kolektif mereka mampu mengetahui wilayah mana yang harus ditanam, wilayah mana yang sudah mulai rusak dan titik-titik mata air mana yang harus dijaga. Pilihan tersebut menjadi alternatif yang memungkinkan karena Sarmani tidak memiliki akses terhadap tanah dan bekerja sebagai perangkat desa.

Kesetaraan Gender Menjadi Fokus Sarmani

Sebagai perangkat desa, ia berkontribusi kepada masyarakat di sekitarnya. Sehari-hari, ia bekerja sebagai staf data yang mengurusi pencatatan surat masuk maupun surat keluar dan pencatatan data kependudukan seperti data disabilitas, lansia dan keluarga miskin. Menurutnya, ia banyak mengambil pelajaran selama mengerjakan pekerjaannya. Salah satunya, Ia menjadi tahu mengenai kondisi masyarakat di sekitarnya dan mampu mengidentifikasikan sasaran prioritas program pemerintah seperti bantuan sosial.

Melalui profesinya sebagai perangkat desa dan aktifnya ia di Kisancang, membuatnya sering terlibat dalam musyawarah di tingkat dusun sampai musyawarah desa. Sepanjang keterlibatannya di setiap forum tersebut, ia menggarisbawahi pentingnya keterlibatan perempuan dalam forum-forum tersebut. Dengan nada prihatin, ia mengungkapkan hanya  10-20 persen perempuan dari total peserta yang hadir dalam musyawarah. Dari angka yang  kecil itu, hanya satu sampai dua orang saja perempuan yang mau berpendapat dalam forum, itupun perempuan yang pendidikannya sudah tinggi (sarjana) atau berprofesi sebagai guru. Bagi perempuan yang terlibat dalam forum tersebut merasa bahwa ia hanya ibu rumah tangga yang sekedar ikut dan mendengarkan.

Perhatian Sarmani pada isu gender tidak berhenti di tingkat komunitas, ia juga mengaplikasikannya di tingkat keluarga. Dalam konteks pekerjaan domestik, Sarmani berbagi tugas dengan istrinya. Ia mengatakan kadang mereka bergantian melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci piring, memasak, menjaga anak dan bersih-bersih rumah. Terutama ketika istrinya sedang hamil. Waktu-waktu dimana Sarmani melakukan porsi kerja domestik yang lebih besar. Keresahannya terhadap isu gender, ia kemukakan dalam satu sesi di forum Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL). Pada salah satu sesi refleksi bersama, ia mengemukakan pentingnya melibatkan perempuan untuk ikut menyuarakan pendapatnya di tingkat komunitas.

Refleksi Sarmani Selama Mengikuti Forum KAWAL

Sarmani sangat aktif dalam Forum KAWAL. Forum KAWAL yang sudah keempat kalinya diselenggarakan, menjadi ruang belajar bersama dan bersolidaritas antar generasi muda berbagai kasepuhan. Ia selalu mengikuti setiap pertemuan KAWAL sejak Forum KAWAL pertama. Menariknya, ia mampu menjelaskan beberapa materi yang ia anggap menarik dari setiap pertemuannya. Baginya materi yang menarik adalah pengantar seks dan gender.  Ia menyimpulkan bahwa dalam musyawarah di Kasepuhan maupun di desa, tidak harus selalu laki-laki yang terlibat. Peran dan pendapat perempuan juga harus dihargai dan jangan sampai dibatasi. Hal ini menurutnya perlu untuk disosialisasikan lebih lanjut di masyarakat. Selain itu, baginya materi sketsa perubahan desa juga menarik. Pada materi tersebut, sejak tahun 1990an sampai 2022, Sarmani berefleksi akan perubahan fisik di Kasepuhan Cirompang. Ia mendapati perubahan sungai dan lingkungan pemukiman. Ia menyoroti bahwa di tahun 1980-1990an, atap rumah masih berbahan ijuk. Sedangkan sekarang, menggunakan genteng. Meskipun begitu, dalam konteks hutan, sampai sekarang masih terjaga seperti dulu. Menurutnya, hal ini dapat terjaga karena masyarakat Kasepuhan menaati aturan baris kolot yaitu larangan menebang pohon di wilayah mata air. Kesadaran ini sudah terbangun sejak dulu dan masih terjaga hingga saat ini.

Perubahan-perubahan tersebut tidak dapat terlepas dari konteks hukum dan negara terutama dalam aspek hutan dan budaya bertani yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupan di Cirompang. Hal inilah yang Sarmani dapatkan dari pertemuan kedua Forum KAWAL melalui permainan. Dari situ, Sarmani melihat bahwa penting bagi Kasepuhan untuk memiliki legalitas atau pengakuan dari pemerintah dan proses-proses advokasi di dalamnya. Baginya, penting bagi masyarakat adat untuk memahami hukum yang berlaku dan bertindak sesuai dengan peraturan yang ada.

Sarmani Saat Ini

Terkini, aktivitas Sarmani dengan RMI adalah Forum KAWAL keempat yang diselenggarakan di wilayah adat Kasepuhan Cibarani. Forum ini berbeda dari forum-forum sebelumnya karena Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (direktorat KMA) ikut terlibat dan memberikan beberapa materi. Secara singkat, materi yang disampaikan seputar perkenalan lembaga; layanan advokasi yang disediakan direktorat KMA; program penunjang pemajuan kebudayaan yang disediakan direktorat KMA; dan sosialisasi warisan budaya berbentuk fisik dan non-fisik. Dari situ, Sarmani menjadi terpikirkan akan suatu situs yang dinamai batu keupeul (batu kepal) di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Ia mengatakan bahwa sebelumnya tidak terpikirkan sampai mengajukan batu keupeul menjadi cagar budaya. Hal ini menjadi penting karena peninggalan-peninggalan sejarah di wilayah Sarmani menjadi lebih disadari sebagai sebuah peninggalan sejarah yang bernilai. Bukan sebagai batu yang biasa-biasa saja.

Sebagaimana batu keupeul yang bernilai sejarah di Kasepuhan Cirompang namun dianggap biasa-biasa saja, begitu juga dengan perjalanan Sarmani yang sering dianggap biasa-biasa saja. Padahal, setiap potongan peristiwa dan refleksi yang berproses dalam dirinya merupakan sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan Kasepuhan Cirompang.

Sejak berkegiatan dengan RMI, Sarmani aktif berkegiatan dalam berbagai kesempatan yang berdampak bagi Kasepuhan Cirompang. Dimulai dari Sekolah Lapang Rakyat dan pemetaan partisipatif di tahun 2016 sampai aktif di Forum KAWAL di tahun 2023. Perubahan-perubahan yang ia alami, diawali dengan suatu hal yang umum yaitu pengetahuan tentang Kasepuhan Cirompang itu sendiri. Sejak saat itu, ia aktif memperdalam dan memperluas pengetahuannya. Selama berkegiatan dengan RMI, ia merasa banyak mengambil pelajaran. Bagi Sarmani, salah satu faktor pendukung hal tersebut adalah kegiatan RMI yang tidak memandang status pendidikan. Menurutnya, baik yang berpendidikan maupun yang tidak, tidak dibeda-bedakan dalam kegiatan. Karenanya, teman-temen lain yang tidak sekolah (formal) tidak minder.

Alhasil, dari perjalanan dengan RMI selama tujuh tahun, Ia menyatakan bahwa ia merasa lebih lebih dekat dan lebih sering menggali terkait sejarah Kasepuhan kepada baris kolot Kasepuhan Cirompang. Selain itu, ia sering mengikuti upacara (ritual)  di Kasepuhan Cirompang. Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa ia merasa ada yang berkurang dalam dirinya jika adat tidak dilestarikan. Sarmani merasa punya tanggung jawab untuk ikut serta melestarikan adat dengan perkataan “kalau tidak kita yang menjaga, (lalu) siapa lagi?”

Oleh: Rifky Putra Kurniawan

Editor: Siti Marfu’ah

Menuju Generasi Muda Adat Berdaya melalui Forum KAWAL di Kabupaten Lebak, Banten

Generasi muda adat Kasepuhan dianggap “tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan.” Anggapan dan tereksklusinya mereka dalam pengambilan keputusan dan kebijakan di tingkat lokal disebabkan oleh gerontokrasi yang merajalela dan tidak terorganisirnya generasi muda adat untuk terlibat aktif dalam dialog kebijakan untuk menyuarakan kepentingan mereka. Alhasil, mereka minim akses dan kontrol terhadap pengolahan leuweung garapan/hutan garapan di Hutan Adat Kasepuhan. generasi muda adat baru bisa mendapatkan akses dan kontrol tersebut ketika sudah menikah. Dengan kata lain, mereka harus keluar dari status generasi muda dalam konteks sosial, politik dan budaya di Kasepuhan untuk dapat mengelola hutan adat. Dengan begitu, mau tidak mau mereka harus menggantungkan hidup mereka pada orang dewasa di sekitar. Padahal, seharusnya generasi muda dilihat sebagai subyek, aktor dan warga negara yang kepentingannya diakomodir oleh dialog kebijakan di berbagai tingkatan dan mendapatkan dukungan untuk terlibat dalam pertanian. (White, 2019) Agar generasi muda adat Kasepuhan berdaya. 

Generasi muda adat khususnya di Kasepuhan, sebetulnya mampu untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, kebijakan, dan pengelolaan hutan adat di Kasepuhan, serta mengadvokasikan kepentingan diri dengan syarat mereka bergabung dalam organisasi generasi muda adat lokal sambil mengembangkan kapasitas dan Hutan Adatnya sudah diakui negara. Hal ini mampu dibuktikan dengan meningkatnya partisipasi generasi muda adat Kasepuhan Pasir Eurih setelah berdirinya Komunitas Pemuda Adat (KOMPAK) di Kasepuhan Pasir Eurih. 

KOMPAK Pasir Eurih yang berdiri sejak 2018 membuat generasi muda adat berpartisipasi di Kasepuhan Pasir Eurih. Sejak 2019, secara singkat, mereka berperan dalam pengelolaan hutan adat, pelestarian ritual adat dan terlibat pembangunan di desa. Dulunya, di hutan garapan, mayoritas berisi kayu jeng-jeng yang panen setiap 5 tahun sekali. Pada tahun 2019 KOMPAK menginisiasi penanaman jahe, kopi, dan cengkeh yang hasil panennya lebih cepat menuju model pertanaman tumpang sari yang mempertimbangkan aspek perekonomian agar masyarakat tidak bergantung pada pendapatan lima tahun sekali karena buah dan kopi dapat dipanen lebih cepat. Selain itu, KOMPAK berperan besar dalam upacara seren taun dalam proses perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan dalam upacara seren taun dan peringatan hari besar islam di Kasepuhan Pasir Eurih. Terakhir, KOMPAK mampu mengadvokasi diri untuk mendapatkan dana bantuan pengembangan kelompok dari pemerintah desa setempat. Capaian ini dapat dikatakan berdampak pada generasi muda adat KOMPAK karena membuat generasi muda memiliki daya tawar lebih dan merubah pola interaksi di tingkat lokal yang tadinya antara lembaga adat dengan individu generasi muda adat, menjadi lembaga adat dengan KOMPAK.  Menariknya, capaian tersebut mungkin terjadi setelah Hutan Adat mereka diakui negara di tahun 2019.  

Hal inilah salah satu yang hendak diadaptasi, dieskalasi dan, diarahkan pada advokasi wilayah adat di Lebak. RMI berkolaborasi dengan generasi muda dari berbagai Kasepuhan melalui, inisiasi Forum Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL). Forum terdiri dari RMI; generasi muda adat Kasepuhan yang terdiri dari generasi muda adat yang sudah memiliki legitimasi Hutan Adat maupun belum dan generasi muda adat yang sudah tergabung dalam organisasi generasi muda di wilayah masing-masing maupun belum; dan generasi muda adat Baduy.  Harapannya, generasi muda adat di Kabupaten Lebak dapat saling berbagi pengetahuan, mengembangkan kapasitas, bersolidaritas, berkonsolidasi dalam memperjuangkan wilayah adat di Lebak dan melanjutkan kerjasama kolaborasi antara RMI dan masyarakat adat di Kabupaten Lebak, Banten. Demi masa depan generasi muda adat yang lebih baik. 

Dibentuk di seperempat akhir tahun 2022, forum KAWAL sudah dilaksanakan sebanyak tiga kali. Pertemuan pertama dilaksanakan di Cirompang pada tanggal 25-26 Oktober 2022 diikuti oleh perwakilan generasi muda dari empat Kasepuhan dan Baduy dengan total peserta 24 orang. Selanjutnya, pertemuan kedua dilaksanakan di Cibedug pada tanggal 26-27 November 2022. Dihadiri oleh perwakilan generasi muda dari lima Kasepuhan dan Baduy dengan total peserta 37 orang. Terakhir, Pertemuan ketiga dilaksanakan di Kampung Cangkueum dekat wilayah adat Baduy pada tanggal 24-26 Desember 2022.  Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan generasi muda dari tujuh Kasepuhan dan Baduy dengan total peserta 55 orang. Sampai hari ini, anggota forum sudah mencapai total 72 partisipan generasi muda adat dari delapan Kasepuhan dan Baduy telah mengikuti pertemuan KAWAL dan 40 di antaranya bergabung dalam grup whatsapp

Sejauh ini, forum ini sudah mampu memberikan akses generasi muda adat Kasepuhan pada peningkatan kapasitas; dan penguatan serta pertukaran pengetahuan mengenai  nilai-nilai adat di masing-masing Kasepuhan. Dalam konteks pentingnya hutan adat bagi generasi muda adat Kasepuhan dapat ditangkap bersama melalui pendapat  Mulyana, salah seorang generasi muda adat asal Kasepuhan Bongkok, yang menyatakan bahwa:

Sebenarnya kami butuh bantuan dari RMI untuk “mengadatkan” (mendampingi serangkaian proses pengajuan hutan adat mengacu kepada mekanisme yang diatur oleh peraturan perundang-undangan) hutan kami karena kami punya berbagai tujuan supaya pemuda adat berkembang. Kami tidak mau terus bergantung pada pemerintah. Kita bukannya ga paham, tapi karena kami belum ada komunitas pemuda (organisasi generasi muda tingkat Kasepuhan). Jadi mundur-maju. Supaya ga diudag-udag (dikejar-kejar).
(Catatan Rapat Cibedug RMI, 2022)

Pernyataan Mulyana tersebut menyiratkan bahwa hutan adat dan komunitas/organisasi generasi muda merupakan dua hal yang sangat penting. Keduanya adalah proses yang harus dilalui menuju rasa aman, tenang dan bebas dalam mengelola hutan. Secara umum, pernyataan tersebut menggambarkan bahwa perjuangan akses dan kontrol terhadap sumber daya hutan relevan bagi generasi muda adat di Kasepuhan. 

Dari rangkaian tiga pertemuan Forum KAWAL, peningkatan kapasitas peserta forum menjadi fokusnya. Dalam konteks ini, menurut pernyataan Jarsih, partisipan Forum KAWAL dari Kasepuhan Cibarani yang mampu menggambarkan peningkatan kesadaran akan pentingnya pengetahuan mengenai sistem adat; membangun rasa percaya diri sebagai generasi muda adat di tingkat lokal; dan memantik kesadaran gender di tingkat lokal: 

Sistem adat tadinya ga tau banget. Ga tau mendetail. Sekarang jadi mendalami, udah ada saran untuk menggali informasi tentang adat. Kalau di kampung kita mendalaminya cuman ngedenger doang ada kegiatan adat tapi ga memperhatikan. Tadinya merasa diajak kumpul aja malu, tapi sedikit demi sedikit ada kemauan, bisa becanda, (sebelumnya) kalau ga ditanya ga ngomong. Selalu ada cerita yang bisa diomongin. Kita jadi pengen cerita. Jadi tempat aman untuk bercerita. ….. Biasanya kalau ada kegiatan di Cibarani yang ga melibatkan perempuan, biasanya ga mau tau, biasa aja. Misal kegiatan gotong royong. Kalau sekarang ada kegiatan yang ga melibatkan perempuan, kita justru pengen tau alasannya kenapa perempuan ga dilibatkan.
(Cerita Perubahan Jarsih RMI, 2022)

Sebagai penutup, tercetusnya Forum KAWAL merupakan langkah percepatan strategis yang mampu menjangkau banyak generasi muda adat untuk mendorong proses advokasi berkelanjutan yang solid, berkelanjutan dan mandiri;  dan meningkatkan partisipasi generasi muda adat di Kabupaten Lebak akan pengelolaan  kekayaan alam di sekitarnya. Hal ini membutuhkan peningkatan kapasitas; wadah organisasi generasi muda adat; dan advokasi hutan adat dalam rangka memberdayakan dan membuktikan bahwa generasi muda adat di Lebak bukan berarti “tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan” tetapi kekurangan dukungan, wadah dan pengakuan di tingkat lokal. 

Daftar Pustaka

RMI. (2022). Catatan Rapat KAWAL Cibedug . Bogor : unpublished.

RMI. (2022). Transkrip Wawancara Cerita Perubahan Jarsih Cibarani 2022. Bogor: unpublished.

White, B. (2019). Rural youth, today and Tomorrow. Papers of the Rural Development Report, 1-35.

Penulis: Rifky Putra Kurniawan

Editor: Supriadi

Cerita Perubahan : Perawatan Kepedulian Pemuda Terhadap Kampung Sendiri

Terhitung sudah berjalan tiga bulan, kegiatan yang berfokus untuk membersamai kemajuan penciptaan ruang-ruang inklusif lewat pemberdayaan perempuan, pemenuhan hak-hak disabilitas dan inklusi sosial serta penguatan masyarakat sipil di empat Masyarakat Adat Kasepuhan dan Masyarakat Adat Baduy yang berlokasi di Kabupaten Lebak, Banten. Di awali dengan kegiatan penyusunan baseline data program.

Sejak disosialisasikan, kegiatan ini berkomitmen untuk melibatkan kelompok pemuda dan perempuan dalam proses pengambilan data. Dengan keterlibatannya, kelompok pemuda dan perempuan memperlihatkan kemauan keras untuk belajar  dan  kapabilitas mereka sebagai kelompok yang partisipasinya minim di kampung untuk tujuan pendataan. Hal ini tampak dari kerja sama antar enumerator kader lokal yang bergerak dengan dua cara yaitu berkelompok dan individu dalam suatu jangkauan kampung. Mereka berkoordinasi, membagi peran dan tanggung jawab dalam proses pendataan.

Selain itu, dari proses pendataan ini, enumerator kader lokal mampu melihat permasalahan yang muncul secara tersirat dari pertanyaan yang mereka tanyakan ke masyarakat yang ada  di kampung mereka. Beberapa diantaranya bercerita mengenai pendapatan yang lebih sedikit daripada pengeluaran setiap bulannya, banyaknya yang belum mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun, sampai layanan administrasi kependudukan yang belum dimiliki oleh masyarakat.

Cerita menarik, salah satunya datang dari Kasepuhan Cibedug. Enumerator kader lokal disana terdiri dari dua orang yaitu Ega Juanda dan Ahmad Setiadi. Selama proses tiga bulan pendataan baseline data ini, mereka selalu terlibat dalam proses pelatihan pendataan yang diberikan terhitung tiga kali oleh RMI. Setelah itu, keduanya juga sering menanyakan kepada RMI mengenai permasalahan yang dihadapi saat pendataan, menanyakan teknis secara mendalam dan menyatakan alasan macetnya pendataan yaitu musim panen di Cibedug yang membuat orang-orang di Kasepuhan Cibedug sibuk dan menghambat proses pendataan. Alhasil, Ega Juanda mampu mengumpulkan paling banyak data dengan 82 data dan Ahmad Setiadi mengumpulkan 55 data tertinggi ketiga dibandingkan seluruh enumerator.

Dari proses selama tiga bulan tersebut, kedua enumerator dari Cibedug menunjukkan rasa ingin belajar, mau mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahan. Menurut RMI, disinilah sisi inklusivitasnya, karena sebelumnya aktivitas pemuda di Kasepuhan Cibedug minim. Dengan terlibatnya kedua enumerator kader lokal disana, membuat mereka terlibat aktif dalam kegiatan di Kasepuhan Cibedug dan mampu melihat permasalahan yang muncul selama proses pendataan.

Hal positif lain yang bisa dilihat adalah praktik baik yang diperlihatkan oleh pemuda yang terlibat dalam pengumpulan data, ini memberikan dampak ke pemuda yang lain menjadi semangat untuk meningkatkan kapasitas dan mengembangkan diri. Karena memang pemuda dan perempuan bisa dikategorikan kedalam kelompok marjinal, di mana kesempatan untuk belajar dan partisipasi mereka masih sangat minim, baik dalam level desa maupun komunitas.

Berkerjasama dengan Kemitraan Partnership melalui program ESTUNGKARA “Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi” RMI melakukan kegiatan yang sudah dijelaskan di atas.  

Penulis : Rifky Putra K  dan Slamet Widodo

Editor: Siti Marfu’ah