Kolaborasi Multi-aktor dalam Upaya Menciptakan Ruang Inklusif Masyarakat Adat

Pemajuan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, pemenuhan hak-hak disabilitas serta penguatan masyarakat sipil menjadi aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam usaha untuk menciptakan ruang publik yang inklusif. Masyarakat adat yang memiliki ciri khas tertentu terkait keadatannya tidak menjadi halangan bagi terciptanya ruang publik inklusif. RMI percaya keduanya dapat berakulturasi secara bertahap. Dengan hal tersebut, RMI yakini dapat menyumbang pada visi besar pembangunan di lingkungan Masyarakat Adat yang mengedepankan kesejahteraan lahir batin.

Keberlanjutan gerakan kolaborasi antara RMI dan komunitas mitra sangatlah penting. Sehubungan dengan itu, dengan konteks dinamika sosial di komunitas mitra RMI yang dinamis perlu menyikapi tantangan-tantangan baru dari waktu ke waktu. Berangkat dari tersebut, untuk merespon tantangan baru dalam penciptaan ruang publik yang inklusif di komunitas mitra, RMI melakukan kerja sama dengan Kemitraan Partnership untuk menjalankan program ESTUNGKARA. 

ESTUNGKARA adalah kepanjangan dari “Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi”. Program ini ikut mendorong terwujudnya pemerintahan yang inklusif di Indonesia dan mendorong kesetaraan dan keadilan gender, inklusi sosial, peningkatan ekonomi dan pembangunan kapasitas organisasi masyarakat sipil. Dengan semangat yang senada, kolaborasi dalam program ESTUNGKARA menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan bagi seluruh pemangku kepentingan terkait.

Terhitung sejak tanggal 26 Juli 2022 sampai 3 Agustus 2022 RMI mulai bersafari ke lima komunitas sasaran program ESTUNGKARA yaitu Kasepuhan Cibedug, Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cirompang dan Baduy bermaksud untuk mensosialisasikan program ini. Selain itu, dalam kegiatan safari ini, RMI melakukan tahapan awal dengan melakukan riset di empat area yaitu terkait layanan dasar dan kesehatan, partispasi perempuan dan pemuda, penerimaan sosial dan situasi disabilitas, serta potensi ekonomi yang dapat dijadikan referensi tambahan bagi berjalannya program ESTUNGKARA.

Dalam proses pengumpulan data, RMI bekerja sama dengan kader pemuda kasepuhan sebagai enumeratornya. Hal ini dilakukan agar terjadi transfer pengetahuan dan pengalaman pengambilan data sekaligus meminimalisir kesalahan dalam menentukan sasaran calon penerima manfaat. Walaupun begitu, pengambil data tetap didampingi secara berkelanjutan untuk memastikan data terkumpul sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan observasi di lapangan, kader pemuda di kasepuhan terlihat antusias dalam mengikuti kegiatan sosialisasi. Walaupun begitu, untuk alasan teknis, pengambilan data di Baduy akan melibatkan aparat pemerintahan desa. Siasat ini dilakukan karena faktor teknis di Baduy yang lebih efektif menggunakan cara tersebut. Hal ini menekankan prinsip kolaborasi yang dibawa RMI sejak awal.

Selain berkolaborasi dengan kader pemuda lokal, RMI juga membuka komunikasi dengan tokoh pemuka adat, tokoh masyarakat dan pemerintah desa. Hal ini dilakukan untuk memastikan dukungan sosial terhadap program ini yang berdasarkan pada manfaat yang dapat dirasakan bagi seluruh pihak yang menjadi poin penting bagi tata kelola yang kolaboratif.

Dari sisi pemerintah desa, program ini dapat mengakselerasikan tujuan-tujuan pembangunan dan data yang akan dikumpulkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah desa untuk menyusun program kedepannya. Sedangkan dari tokoh masyarakat dan pemuka adat dapat merasakan secara tidak langsung dari kegiatan ini yang jika skalanya diperluas, harapannya, program ini dapat meresonansikan terciptanya kesejahteraan lahir batin bagi masyarakat adat yang inklusif dan tata kelola yang kolaboratif.

Masyarakat adat yang tadi sudah dipisahkan berdasarkan peran seperti tokoh adat, tokoh masyarakat, pemuda lokal dan penerima manfaat dalam program ini, tidak sekedar menjadi objek dari program ESTUNGKARA ini. Kami membuka peran seluas-luasnya bagi masyarakat adat untuk menentukan siapa sasaran penerima manfaat program dan mendampingi pengambilan data yang dilakukan oleh masyarakat adat. Hal ini dilakukan dengan harapan masyarakat adat dapat mengakselerasikan kemandirian pembangunan masyarakat adat dalam skala lokal yang inklusif untuk mencapai kesejahteraan lahir batin.

Penulis : Rifky A & Slamet Widodo

Editor: Siti Marfu’ah

Dinamika Pelatihan Pemetaan Sosio-spasial Wilayah Adat Kasepuhan Cibarani dan Refleksi atas Proses Pendampingan Masyarakat

Sesuai dengan agenda yang telah disusun oleh Tim Pengorganisasian Masyarakat, RMI bersama JKPP akan menyelenggarakan Pelatihan Pemetaan Sosio-spasial Wilayah Adat secara Partisipatif pada tanggal 24-30 Januari 2022 bertempat di Kasepuhan Cibarani, Desa Cibarani, Kec. Cirinten, Kabupaten Lebak, Banten, dengan mengundang perwakilan dari Kasepuhan lainnya. Selain mengundang mereka yang telah mendapatkan SK Hutan Adat yaitu Kasepuhan Cirompang, Karang, dan Pasir Eurih; kegiatan ini juga dihadiri oleh Kasepuhan Cibedug yang sedang berproses untuk diakuinya Hutan Adat mereka. Penguatan kapasitas dan pembekalan kader-kader lokal yang bergabung dalam Forum Koordinasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL) juga merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan pelatihan.

Menyoal Skema Pembagian Keuntungan dengan Perhutani

Pada hari pertama, kita berkumpul di Imah Gede bersama masyarakat yang baru saja selesai mengadakan acara pertemuan. Di malam itu kita mensosialisasikan agenda pelatihan yang akan dilakukan selama 7 hari kedepan selain juga membahas surat dari Perum Perhutani perihal pembagian keuntungan (profit sharing) dari kerjasama yang dilakukan oleh Perhutani dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Cibarani. Armaya, salah seorang anggota LMDH Cibarani yang hadir di pertemuan ini, menjelaskan bahwa kerjasama terbentuk lantaran pada saat itu lahan garapan warga masih masuk dalam kawasan hutan. Masyarakat tetap diizinkan menggarap lahan mereka dengan syarat dikenakannya uang pajak 25% setiap kali panen. Meskipun begitu, Armaya beserta pengurus LMDH lainnya yang bertanggungjawab memungut pajak tersebut, tidak pernah memaksa masyarakat untuk membayar penuh tapi seikhlasnya saja. Di sisi lain, selama menjabat sebagai pengurus LMDH beliau baru sekali saja menerima hasil profit sharing yang kemudian dibelikan traktor.

Terkait surat berita acara yang saat ini diterima Masyarakat Kasepuhan Cibarani; walaupun tertulis bahwa terdapat sejumlah uang hasil profit sharing dari kerjasama terdahulu, LMDH tidak serta merta mengambil uang tersebut tanpa mengkoordinasikannya terlebih dahulu kepada kepala desa dan RMI. Warga Cibarani yang hadir malam itu mengaku bahwa mereka belum betul-betul memahami maksud dan tujuan dari surat tersebut. Beberapa diantara mereka juga menolak surat profit sharing tersebut. Penolakan muncul atas pemikiran bahwa masyarakat sudah tidak lagi berurusan dengan Perhutani sejak SK Hutan Adat Kasepuhan Cibarani telah mereka peroleh. Musyawarah malam itu berujung pada kesepakatan bahwa bahwa mereka akan membuat surat balasan yang kurang lebih berisi pengajuan pembubaran LMDH Kasepuhan Cibarani. Selain alasan penolakan profit sharing, pertimbangan diajukannya pembubaran LMDH lainnya yaitu adanya opini masyarakat yang memandang bahwa para pengurusnya lebih pro kepada Perhutani dibandingkan kepada sesama incu putu (keturunan Cibarani) sendiri; yang mana pandangan ini berpotensi menimbulkan konflik yang lebih meluas di internal Kasepuhan Cibarani sendiri.

 

Pentingnya Pengelolaan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani Pasca Ditetapkannya Hak

Selesai membahas surat dari Perum Perhutani, Waris kemudian mengajak masyarakat mengingat kilas balik perjalanan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani sampai dikeluarkannya SK Hutan Adat. Bagaimana perasaan masyarakat Cibarani ketika SK tersebut telah mereka dapatkan? Lalu manfaat apa yang hadir pasca diperolehnya SK Hutan Adat tersebut? Kebanyakan masyarakat yang hadir menjawab bahwa pasca memperoleh status Hutan Adat mereka lebih merasa aman dan nyaman dalam mengelola lahan garapan, terlebih sudah tidak ada lagi pungutan pajak dari Perhutani. Warga yang hadir juga menyampaikan bahwa jenis tanaman yang mereka budidaya belum banyak berubah, hanya bertambah jahe, porang, kopi, dan lain-lain.

Bagaimana dengan rencana atau keinginan ke depan pasca diperolehnya status Hutan Adat? Waris kembali bertanya. Peserta pertemuan menjawab bahwa mereka ingin lebih maju lagi, khususnya dalam bidang pertanian, namun masih belum paham bagaimana memulainya. Dengan adanya SK, apa masyarakat sudah merasa sejahtera? Mereka serentak menjawab belum sejahtera sebab belum semua masyarakat mempunyai akses terhadap lahan di Hutan Adat. Sama halnya dengan status Hutan Adat yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lainnya, status Hutan Adat Kasepuhan Cibarani pun merupakan hutan hak yang kepemilikan dan pengelolaannya harus dilakukan secara komunal sehingga segala sesuatunya harus melibatkan masyarakat dan lembaga adat. Saat ini kelembagaan Adat kasepuhan Cibarani sendiri bisa dikatakan masih  belum memiliki rencana pengelolaan pasca terbitnya SK. Oleh karenanya kehadiran kami kali ini pada dasarnya berupaya memfasilitasi terjadinya ruang diskusi antara kelompok masyarakat, perempuan, dan generasi muda Kasepuhan tentang pentingnya pengelolaan Hutan Adat yang inklusif pasca penetapan hak sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Di Hutan Adat Kasepuhan Cibarani kini, masih banyak lahan yang kosong atau belum digarap; selain situasi penguasaan lahan di Cibarani yang juga belum merata. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI kembali mengingatkan perwakilan warga yang hadir malam itu tentang rencana Kepala Desa (Jaro) Dulhani meredistribusi lahan yang ada di dalam wilayah Hutan Adat. Selain pemerataan akses, redistribusi ini  juga dimaksudkan agar masyarakat memiliki rasa memiliki serta kewajiban untuk melestarikan wilayah adat serta mengantisipasi tidak dipindahtangankannya kepemilikan lahan garapan ke pihak luar Kasepuhan Cibarani. Bagaimana pandangan masyarakat mengenai wacana ini? Masyarakat pada dasarnya mendukung agenda tersebut dan berpendapat bahwa Kelembagaan Adat Kasepuhan Cibarani perlu menyusun sejumlah aturan, hak, dan kewajiban bagi para pengelola lahan serta warga Cibarani pada umumnya. Rencana redistribusi ini pun dinilai sejalan dengan istilah lokal sabeungketan yang berarti sebagai masyarakat adat kita harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan senasib sepenanggungan, mulai dari masa-masa berjuang hingga nanti diperolehnya buah dari perjuangan tersebut.

Untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang merata, pengelolaan Hutan Adat pasca penetapan hak kemudian menjadi satu rangkaian proses yang krusial. Keberadaan data sosial-spasial diperlukan sebagai basis perencanaan komunitas dan wilayah adat Kasepuhan Cibarani. Pelatihan dan proses pengumpulan data ini sendiri berusaha menangkap kondisi seputar pengelolaan Hutan Adat saat ini yaitu dengan mengumpulkan informasi mengenai penggarap, luasan lahan, tanaman yang dibudidaya, keberadaan lahan yang masih kosong, dll. Guna mendukung terkumpulnya data yang akurat, teman-teman dari JKPP turut serta hadir untuk memberi pemahaman tentang data sosial-spasial dan mendampingi warga ketika praktik langsung. Generasi muda Kasepuhan sendiri banyak dilibatkan selama pelatihan dan proses pengelolaan Hutan Adatnya ke depan supaya semangat merawat wilayah adat mereka semakin terbangun dan apa yang diinginkan masyarakat dapat benar-benar tercapai.

Proses Pelatihan dan Pemetaan Wilayah Adat Kasepuhan Cibarani

Pada kegiatan hari kedua kita kedatangan teman-teman peserta dari Kasepuhan Pasir Eurih, Cibeas dan Cirompang. Sementara perwakilan masyarakat dari lokasi lain tidak bisa hadir dikarenakan ada halangan. Peserta yang hadir menyampaikan bahwa mereka hadir ke Kasepuhan Cibarani untuk menghadiri dan mengikuti pelatihan yang menarik ini. Rencana menerbangkan drone, yang diagendakan terlaksana di hari ini, gagal karena hujan mengguyur Cibarani dari pagi sehingga diputuskan untuk ditunda. Berdasarkan kesepakatan sebelumnya bahwa, pelatihan akan mulai setelah dhuhur karena pagi hari masyarakat Kasepuhan Cibarani melakukan gotong royong untuk mendirikan rumah warga yang terdampak gempa bumi. Namun setelah kita tunggu sampai sore, ternyata tidak ada satupun warga yang datang. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI kemudian  memutuskan untuk menunda pertemuan ke malam hari dan menghabiskan waktu siang itu dengan mengobrol dengan teman-teman yang datang dari Kasepuhan lain. Setelah maghrib kita meminta tolong Pak RT Samanan untuk mengumumkan lewat speaker supaya masyarakat dapat berkumpul dan mengikuti pelatihan. Akan tetapi setelah ditunggu sampai malam, ternyata hanya baris olot saja yang hadir; alhasil tidak mungkin untuk melanjutkan rencana yang disepakati apalagi untuk melakukan pelatihan. Hasil diskusi dengan baris olot membuahkan gagasan untuk langsung membuat daftar nama perwakilan anak muda yang akan diundang mengikuti kegiatan esok hari pukul 09.00 WIB. Ini dilakukan sebab anak muda Kasepuhan Cibarani memang agak susah untuk diajak kumpul/riungan, tutur baris olot

Besok paginya lumayan banyak masyarakat yang berkumpul di Imah Gede; dari Kasepuhan Cibarani sendiri ada perwakilan dari anak muda laki-laki dan perempuan adat dan baris olot. Kita membuka pelatihan dengan menyampaikan rencana pendataan sosial dan spasial yang karenanya sangat diharapkan masyarakat, terutama anak muda Kasepuhan, dapat terus mengikuti kegiatan pelatihan dan praktik lapangan dalam beberapa hari ke depan. Selanjutnya Fauzan memaparkan refleksi dari perjalanan Hutan Adat dari awal persiapan sampai terbitnya SK Hutan Adat–termasuk menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan SK hutan Adat dicabut jika dianggap tidak memberikan manfaat dan/atau justru menimbulkan kerusakan serta konflik di masyarakat. Maka dari itu perlu dipersiapkan perencanaan tata kelola Hutan Adat pasca penetapan hak supaya benar-benar memberikan manfaat lebih untuk masyarakat. Kemudian Opet dari JKPP menyambung penjelasan dengan memberikan gambaran pengelolaan Hutan Adat yang pernah didampingi JKPP sehingga masyarakat Kasepuhan yang hadir lebih mudah memahami proses pengelolaan serta proyeksi hasil yang didapatkan pasca pengelolaannya. Hanya saja perlu ditekankan terkait komitmen masyarakat karena memang prosesnya tidak sebentar sehingga masyarakat bisa jadi malas untuk berproses, sebagaimana kerap dihadapi masyarakat lainnya juga. Setelah istirahat, peserta yang telah sepakat untuk kumpul kembali, ternyata cuma sedikit dan hanya peserta perempuan yang kembali. 

Secara terpisah kita juga memutuskan untuk menerbangkan drone selagi kondisi cuaca agak mendukung. Setelah mencoba 2 kali misi, ternyata hasil yang didapatkan sangat kecil sekali. Sekali terbang hanya mendapatkan 15 Ha dan masih jauh dari total luasan wilayah Adat Kasepuhan Cibarani yang luasnya mencapai 1200 Ha sehingga perlu terbang berapa kali dan banyak memakan waktu. Ini tidak sesuai dengan hasil diskusi sebelum turun lapang, yang menurut keterangan Aziz dari JKPP, bahwa dengan luasan 1200 Ha mungkin drone hanya perlu terbang 4-5 kali. Dari hasil diskusi, kita memprioritaskan untuk memetakan batas-batas Hutan Adat terlebih dahulu. 

Di hari berikutnya, kita membagi tim menjadi dua yaitu sebagian mengawal pelatihan dan sebagian lagi turun lapang untuk menerbangkan drone. Hasil dari setiap misi penerbangan drone langsung kita olah. Namun ternyata pelatihan tidak lanjut lagi, dikarenakan tidak ada peserta yang hadir. Malam harinya kita mengobrol dengan teman-teman dari Kasepuhan lain. Ada sedikit protes dari mereka, bahwa mereka datang untuk belajar dan mengikuti pelatihan. Dikarenakan undangan dari RMI dan ditambah ketertarikan mereka terhadap tema yang akan dibawakan dalam pelatihan, mereka rela untuk meninggalkan kesibukan mereka masing-masing. Namun setelah mereka sampai di Kasepuhan Cibarani dan melihat kondisi masyarakat, terkhusus pemudanya, mereka ikut kesal dan kecewa. Sempat juga terlontar pertanyaan, “Kenapa sih Mas pelatihannya diadakan di Cibarani? Kenapa tidak ditempat kita saja, yang pasti akan mendapatkan sambutan yang positif dan tentunya banyak yang ikut berpartisipasi. Karena kita merasa juga butuh pengelolaan dan perencanaan HA kedepannya”. Kemudian kami menjawab bahwa Kasepuhan Cibarani dipilih karena mempertimbangkan kondisi kapasitas anak muda dan masyarakatnya yang masih perlu ditingkatkan, supaya memiliki kapasitas yang sama dengan masyarakat di wilayah Kasepuhan lain yang juga sudah mendapatkan SK Hutan Adat dan sudah terlebih dahulu difasilitasi dengan berbagai kegiatan peningkatan kapasitas di komunitasnya. Kehadiran teman-teman dari Kasepuhan lain juga diharapkan dapat menambah semangat masyarakat Cibarani untuk mengikuti pelatihan dan berbagi pengalaman. Tetapi memang kenyataannya anak muda Cibarani belum terlalu tergugah minatnya dengan kegiatan-kegiatan seperti ini. Kemudian mereka bertanya lagi, “Seandainya sampai besok tidak ada yang hadir lagi, apa pelatihannya juga akan ditunda lagi?” Akhirnya kita putuskan walaupun nantinya masyarakat lokal tidak ada yang hadir, kita akan tetap melanjutkan pelatihan demi menghargai teman-teman yang sudah jauh-jauh datang dengan tujuan mengikuti kegiatan. Malam harinya pun kita ngobrol-ngobrol dengan teman-teman dari kasepuhan lain, mereka bercerita situasi dan kondisi yang ada di wilayah mereka masing-masing serta mereka meminta saran dan masukan dari RMI dan JKPP.

Untungnya keesokan harinya pelatihan bisa dilanjutkan dengan dihadiri juga oleh ibu-ibu Kasepuhan Cibarani. Materi yang disampaikan tentang Perencanaan Pengolahan Lahan dan juga dibahas mengenai perubahan-perubahan dan hasil yang didapat setelah perencanaan. Peserta lalu diminta untuk berdiskusi dan membuat perencanaan sederhana di wilayah adat mereka masing-masing. Di lain tempat kita juga secara paralel melakukan penerbangan drone di area Hutan Adat dan berhasil menerbangkan misi selama 6 kali di pagi dan sore hari. Namun setelah data diolah ternyata foto udara yang dihasilkan tidak seragam, ada yang terlalu cerah ada juga yang gelap karena pengaruh cuaca yang berubah-ubah. Di pelatihan hari terakhir, dari warga lokal ternyata hanya perempuan dari Kasepuhan Cibarani saja yang hadir mengikuti pelatihan. Sangat disayangkan agenda yang sudah susah payah kita persiapkan kurang berjalan maksimal dikarenakan kurangnya respon masyarakat setempat. Misi drone pun juga belum menjangkau seluruh area Hutan Adat Cibarani sebab tim kesusahan mencari masyarakat yang bisa mendampingi turun lapang sehingga dalam prosesnya kita hanya berpatokan trek pada koordinat misi yang dibuat.

Menegaskan Kembali Komitmen Masyarakat

Malam hari di hari terakhir kegiatan kita meminta tolong Pak RT Samanan mengumpulkan masyarakat, karena ada beberapa hal yang mau disampaikan sebelum pulang ke Bogor. Di malam terakhir ini ternyata lumayan banyak masyarakat yang hadir, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Dalam riungan malam itu kita menyampaikan kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan dalam seminggu kebelakang, mulai dari pelatihan-pelatihan sampai pemetaan dengan menggunakan drone. Disampaikan juga bahwa hasil yang sudah didapatkan masih jauh dari kata maksimal dikarenakan partisipasi masyarakat sangat minim sekali. Hasil olahan data melalui drone selanjutnya ditampilkan kepada masyarakat, dimana setelah ditampilkan ternyata masyarakat juga masih belum begitu hafal terhadap wilayahnya sendiri. Namun setelah kami beri petunjuk salah satu lokasi yang mudah dikenal, akhirnya mereka mulai paham dan bisa menyebutkan area-area tersebut sembari mencoba didigitasi dan menyebutkan pola pengelola lahan. Dari percobaan digitasi, ternyata banyak perbedaan seperti luasan lahan dari keterangan yang disebutkan oleh pemilik lahan dan hasil hitungan setelah data diolah. 

Dalam kesempatan ini kami juga menyampaikan respons dan pemikiran kami atas partisipasi masyarakat Kasepuhan Cibarani selama berlangsungnya pelatihan. Ketika tim RMI bersama JKPP datang, masyarakat sendiri yang menyepakati dan siap untuk berpartisipasi dalam pelatihan-pelatihan dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Tapi kenyataannya sedikit sekali yang hadir, bahkan tidak sekali atau dua kali kita selalu umumkan lewat speaker tetapi memang respon masyarakat yang kurang baik. Ditegaskan juga bahwa posisi RMI dan teman-teman JKPP disini hanya sebagai pendamping dan teman diskusi, bukan sebagai pekerja masyarakat. Kalaupun dari hasil diskusi muncul keinginan masyarakat menuju perubahan kearah yang lebih baik, itu semua tergantung dari masyarakat sendiri. Disaat masyarakat semangat, kita juga tambah semangat; begitu juga sebaliknya kalau masyarakat diam saja, kita juga tidak bisa berbuat apa-apa. RMI pun tidak selamanya akan berada di Kasepuhan Cibarani  karena masih banyak wilayah lain yang juga ingin didampingi seperti Cibarani. Kami menjadikan Cibarani sebagai prioritas dikarenakan melihat kondisi dan semangat masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi lebih sejahtera. Namun melihat apa yang terjadi dalam kegiatan seminggu terakhir, komitmen itu tampaknya hanya sebatas ucapan saja. Sekarang kami mengembalikan lagi ke masyarakat, jika memang proses ini dianggap tidak penting dan tidak perlu dilanjutkan bagi kami tidak masalah. Semua proses ini berangkat dari kesepakatan masyarakat sehingga keputusan mutlak ada di tangan masyarakat pula. 

Masyarakat menjawab bahwa mereka sebenarnya sudah meminta anak muda Cibarani untuk mengikuti pelatihan yang dilaksanakan, tetapi memang pemuda di sini agak susah kalau diajak diskusi, riungan, ataupun pelatihan. Sebagai orang tua, masyarakat Cibarani yang hadir juga mengaku kebingungan bagaimana membuat mereka–sebagai generasi penerus Kasepuhan Cibarani–lebih peduli dengan kampungnya. Terkait kelanjutan proses yang tengah berlangsung, hal ini sepertinya perlu direnungkan kembali antara lembaga adat dan masyarakat. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI lalu menyampaikan bahwa silakan sampaikan hasil diskusi tersebut kepada kami, dengan catatan bahwa jika ternyata ingin lanjut berarti sudah sewajarnya semua masyarakat partisipasi penuh dalam prosesnya. Disepakati bahwa jika selama 2 minggu ke depan kita tidak menerima kabar dari Kasepuhan Cibarani, maka kami anggap bahwa masyarakat memutuskan untuk tidak melanjutkan proses yang tengah berjalan. 

Pembelajaran

Dari 7 hari kami di Kasepuhan Cibarani, ternyata apa yang telah kita rencanakan kurang bisa berjalan maksimal. Termasuk pernyataan dari teman-teman JKPP yang dapat menjadi bahan introspeksi bahwa mereka menganggap masyarakat belum siap untuk berproses dan juga belum punya sosok yang bisa dijadikan pegangan. Abah Jaro sebagai kepala adat sekaligus kepala desa tampak kurang merespon kegiatan yang tengah dilaksanakan. Ini terlihat dari pertama kali datang, beliau belum pernah hadir dalam kumpulan ataupun sekedar menanyakan kegiatan yang dilakukan. Kami juga berasumsi bahwa masyarakat Kasepuhan Cibarani sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap seorang pemimpin. Sehingga dari kegiatan-kegiatan yang diadakan kurang mendapatkan respon positif dari masyarakat. Kedepannya mungkin perlu ada forum diskusi antara pihak RMI dan Kelembagaan Adat Cibarani untuk membahas kelanjutan proses-proses di Kasepuhan Cibarani, sebab hanya akan membuang-buang energi jika dipaksakan sedangkan dampak bagi masyarakat minim. Perlu dibangun kembali komitmen-komitmen yang bisa dipegang bersama sehingga bisa berproses menuju ke arah yang jelas dalam pendampingan kedepan. Selain itu juga masih perlunya waktu untuk mendorong kesadaran masyarakat, terutama anak mudanya, supaya tergerak dan mau melakukan inisiatif-inisiatif pengelolaan ruang wilayah adat.  

Pembelajaran lain yang diperoleh dari percobaan digitasi atau pemetaan wilayah adat Kasepuhan Cibarani yaitu ternyata tidak semua penggunaan lahan bisa diketahui batasnya. Seperti kebun, dikarena jenis tanamannya tidak terlihat jelas maka untuk menentukan batas-batasnya masyarakat juga kesusahan. Dikarenakan tidak semua lahan bisa ditentukan batas-batasnya, evaluasinya adalah perlu pengambilan titik koordinat ke lapangan terhadap lahan yang masih sulit diidentifikasi batas-batasnya. Konsekuensinya bagi masyarakat adalah mereka harus siap untuk pemetaan kembali, walaupun prosesnya mungkin tidak perlu lama sebab foto sawah dihasilkan dari drone sudah sangat jelas sehingga tidak perlu diambil kembali. Pasca diolah/didigitasi, hasilnya akan kembali ditampilkan ke masyarakat sebagai bahan diskusi rencana berikutnya. 

Penulis: Slamet Widodo

Editor: Supriadi

Inisiatif Kebun Pekarangan; Sebuah Usaha Memartabatkan Lahan dan Pangan Lokal

Bertempat di Imah gede Kasepuhan Cibarai, RMI memfasilitasi pertemuan diskusi bersama Kelompok Perempuan, Kelompok PKK dan Kader Posyandu. Tak kurang ada 35 peserta yang terdiri dari 33 perempuan dan dua orang laki-laki, mengikuti kegitan ini yang hampir semuanya perempuan.

Hari jumat  merupakan waktu libur beraktifitas bagi masyarakat kasepuhan Cibarani, khususnya akitifitas pertanian di sawah. Selain hari jumat, ada dua hari lagi yang pamali untuk aktifitas yang sama, yaitu hari Selasa dan Minggu. Sedangkan untuk kegiatan berkebun, mencari kayu bakar dan kegitan lainnya diperbolehkan.

Fasilitator menyampaikan maksud dan tujuan agenda hari ini, memantik diskusi bersama peserta terkait pengalaman berkebun, khususnya kebun pekarangan. Menariknya, hampir semua peserta memiliki pengalaman berkebun di perkarangan rumahnya.  Berangkat dari pengalaman itu, ada potensi dari masing-masing peserta yang mayoritas ibu rumah tangga kembali giat berkebun. Hal utama yang ditekankan dari kegiatan berkebun ini tujuannya untuk gizi keluarga dan anak. Mengingat fakta tentang gizi buruk, Kecamatan Cirinten menempati ranking teratas yang menyumbang angka stunting se kabupaten Lebak. Berangkat dari kegelisahan ini, maka perlu adanya kegitan kolaboratif dari kelompok perempuan, kelompok PKK dan Kader Posyandu.

Tujuan lain dari kegiatan berkebun yang bisa dipahami bersama yaitu menekan biaya pengeluaran rumah tangga, khususnya untuk kebutuhan pangan rumah tangga. Berkebun pekarangan juga dimaksudkan untuk memartabatkan lahan yang ada disekitar pemukiman. Biasanya lahan-lahan tersebut hanya dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah.

Pertemuan ini menyepakati pembentukan kelompok yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing RT, misalnya untuk memudahkan pengerjaan kelompok diusahakan berasal dari kampung yang sama dan atau bertetangga dekat. Dari kesepakatan bersama ada 7 kelompok terbentuk dari 4 kampung; Cibarani, Sukawari, Sempur, Gunung Batu dan Pasir Gembong sesuai dengan asal peserta. Selain ber kebun dengan cara berkelompok, peserta akan mengupayakan berkebun sesuai kebutuhan di halaman rumah masing-masing.

Sedangkan jenis-jenis sayuaran yang rencana akan ditanam mengusahakan dari benih yang tersedia di lokal, seperti cabe, tomat, kacang panjang, buncis dst. Sesuai dengan prinsipnya, agenda ini selain untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga dan anak, juga memartabatkan lahan dan pangan lokal. Harapannya, kerja kolaborasi ini menjadi percontohan pengelolaan kebun pekarangan yang baik, terutama di level Desa se-kecamatan Cirinten sebagai upaya menanggulangi banyaknya kasus gizi buruk (stunting). 

Penulis: Abdul Waris

Ngobrol Bareng #AnakMudauntukTanah Air: Menoleh Inisiatif dan Aspirasi Anak Muda Indonesia

Sejak dahulu, dan sampai sekarang — Anak Muda terbukti secara nyata telah menunjukkan kontribusinya dengan mempelopori berbagai gerakan perubahan. 

 

Sejak dahulu, Anak Muda terbukti telah secara nyata menunjukkan kontribusinya dengan mempelopori berbagai gerakan perubahan. Banyak momen-momen bersejarah yang dibangun oleh semangat anak muda seperti Sumpah Pemuda, Reformasi, bahkan banyak momentum di masa depan yang akan sangat bergantung pada keberadaan anak muda saat ini, seperti Pilpres 2024 dan Visi Indonesia 2045, tepat pada 100 tahun Kemerdekaan Indonesia. 

Atas dasar tersebut RMI dan Econusa menyadari bahwa perlu adanya titik temu bagi komunitas dan organisasi untuk membahas persoalan Anak Muda, menyediakan platform bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan lebih jauh lagi yaitu menghubungkan Anak Muda dengan ruang hidup dan tanah airnya. Pada 3 Agustus 2021, RMI dan Econusa menginisiasi Diskusi Konsolidasi Anak Muda untuk Tanah Air, yang dihadiri 59 peserta dari 22 komunitas anak muda dan 15 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki fokus pada isu lingkungan, agraria, anak muda, pemberdayaan ekonomi dan kewirausahaan sosial serta aktif berkegiatan di wilayah Indonesia Barat, Indonesia Tengah, Indonesia Timur maupun level nasional.

Kegiatan ini dibuka dengan perkenalan antarkomunitas dan LSM, yang difasilitasi oleh Wahyu (RMI). Para peserta diminta mengakses link Menti.com untuk selanjutnya mereka dipersilakan menuliskan nama organisasi dan nama makhluk hidup yang menyimbolkan organisasinya masing-masing.

Selanjutnya  pada sesi Diskusi #AnakMudauntukTanahAir terdapat dua pertanyaan kunci untuk dibahas lebih lanjut dalam dua kelompok besar (Komunitas Anak Muda dan LSM) yaitu: (1) Apa aksi anak muda yang sedang dilakukan dan (2) Apa refleksi (tantangan, aspirasi, pengalaman, dll) untuk gerakan anak muda sekarang dan masa mendatang.

Aksi dan Inisiatif yang sudah dan tengah dilakukan

 

Dari pertanyaan kunci pertama yaitu “Apa aksi anak muda yang sedang dilakukan?”, kelompok LSM menyampaikan bahwa pendampingan Anak Muda telah dilakukan di seluruh Indonesia dengan berbagai kegiatan dan isu, seperti peningkatan kapasitas individu dan kelompok anak muda melalui pendidikan hukum rakyat untuk penguatan kampung, membangun kesadaran Anak Muda di kampus terkait isu-isu agraria dan pangan di pedesaan, juga menstimulasi pertukaran informasi pedesaan-perkotaan (rural-urban). Ada pula kegiatan berupa konsolidasi Anak Muda khususnya Serikat Tani. 

 

Di kelompok Komunitas Anak Muda yang diikuti oleh 34 orang terlihat bahwa kegiatan anak muda yang ada di rural maupun urban juga tidak kalah beragam. Mulai dari kampanye di ranah pendidikan, krisis iklim dan lingkungan hidup, sampah plastik di wilayah pesisir, kegiatan bertani dan berkebun kelompok Anak Muda, sampai membahas persoalan regenerasi anak muda di pedesaan. Aksi dan inisiatif yang dilakukan menekankan kreativitas, gaya kekinian, kolaboratif, mengikuti trend, dan optimalisasi penggunaan teknologi dan media sosial sangat mencirikan inisiatif khas ala anak muda jaman now. Kegiatan Anak Muda tersebut dilakukan dengan berbagai pendekatan berbeda-beda, mulai dari kegiatan berbasis riset, kampanye daring, gerakan turun ke jalan, pendidikan di luar kelas, hingga menginisiasi lokakarya. 

 

Terlihat pula andil besar anak muda dalam penguatan kampung melalui berbagai fokus kegiatan yang dipilih, diantaranya: peningkatan kapasitas individu maupun kelompok, literasi dan pendidikan, pengarsipan kearifan lokal dan kekayaan pangan komunitas. Sementara pada kegiatan berorientasi advokasi, utamanya terkait dengan isu perubahan iklim, sampah, dan hak hak masyarakat adat juga lokal. Meski belum sebanyak kegiatan lain, ada pula program Anak Muda yang menyasar pada perubahan kebijakan seperti menggalang dukungan atau petisi dan long march.

 

Refleksi Gerakan Anak Muda Indonesia di Masa Kini dan Masa Mendatang

 

Dalam diskusi terfokus bersama kawan-kawan LSM, teridentifikasi bahwa tantangan gerakan anak muda adalah: (1) Adanya perbedaan/disparitas sosial dan geografis maupun teknologi antara anak muda di kampung dan urban; (2) Sulitnya menarik minat dan mengemas suatu isu untuk Anak Muda; (3) Anak muda dalam berkegiatan juga harus fokus pada pemenuhan kehidupan (livelihood) mereka, ada juga yang harus sekolah di luar kampung sehingga mereka tidak dapat sepenuhnya fokus berkegiatan untuk membangun kampungnya dan menyebabkan kekosongan kampung; (4) Dengan adanya sumber daya di masing-masing organisasi/ komunitas, dirasa sulit untuk membuka ruang kolaborasi. Adapun menjawab tantangan-tantangan tersebut, beberapa hal yang sudah dan sedang direncanakan adalah internalisasi nilai-nilai perjuangan kaum muda: menginternalisasi semangat perjuangan Anak Muda ke dalam kehidupan sehari-hari, merancang kegiatan pemberdayaan generasi muda di kampung untuk menyediakan sumber penghasilan bagi mereka sekaligus menahan laju urbanisasi, dan mencari format kelompok belajar dengan latar belakang dan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda, 

 

Sementara itu, di kelompok Komunitas Anak Muda, setidaknya ada lima tantangan yang berhasil ditangkap dari fasilitasi diskusi di kelompok komunitas anak muda terkait refleksi (tantangan, aspirasi, pengalaman dll) mereka untuk gerakan anak muda. (1) Tantangan atas akses, dana dan materi; (2) Peralatan dan pengetahuan terbatas; (3) Mengarusutamakan isu-isu yang berat dan sulit dipahami harus diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari; (4) Meningkatkan kerelawanan anak muda, karena tak sedikit anak muda yang  mengharapkan imbalan, seperti uang, saat melakukan kegiatan; (5) Tidak dianggap dan ditindaklanjutinya aspirasi anak muda oleh korporasi atau pemerintah; dan (6) Kurangnya kesadaran masyarakat atas isu-isu yang ada di sekitarnya. 

 

Di satu sisi kurangnya ruang anak muda untuk berpartisipasi di masyarakat menjadi tantangan sekaligus peluang bagi mereka untuk menciptakan ruang ekspresinya masing-masing dengan membentuk komunitas anak muda–tidak hanya sebagai ruang kreasi dan pengembangan diri, namun ruang bagi anak muda berkontribusi bagi lingkungannya.  

 

Kolaborasi dan Tindak Lanjut

 

Sesi berikutnya dilanjutkan dengan pemaparan kerangka inisiatif #AnakMudauntukTanahAir yang menegaskan bahwasanya RMI dan EcoNusa hanya berperan sebagai inisiator awal, sehingga desain dan konsep inisiatif ini kedepannya bisa diolah secara bersama-sama.  

 

Setelah menyampaikan alur inisiatif yang dibayangkan mulai dari Konsultasi Anak Muda, pelaksanaan kegiatan Youth Summit dan kegiatan-kegiatan pasca-Youth Summit sampai ke putaran berikutnya dan terus berulang menuju Indonesia Emas (2045). RMI dan EcoNusa kembali mengajak semua peserta untuk berkolaborasi dan bersama-sama membayangkan kerangka #AnakMudauntukTanahAir sebagai inisiatif yang berkesinambungan.

 

Diskusi pun berlanjut dengan tanggapan dan ide-ide menarik yang dilontarkan para peserta: 

“Jika momennya adalah sumpah pemuda, menurutku perlu mendefinisikan ulang ‘bagaimana menjadi Anak Muda Indonesia dalam perspektif mereka sendiri akan ruang hidup’. Ini dijadikan satu definisi/piagam/plakat. Setelah itu hasil-hasilnya ada pertemuan tidak hanya dengan pemerintah dan media, namun juga industri—karena bagaimanapun yang membuat kotor dan implementor adalah industri.” (Sulis/WWF Indonesia)

 

Salah satu peserta dari kelompok Anak Muda juga turut menyampaikan pendapatnya terkait potensi keberlanjutan dari inisiatif ini:

“Anak muda saat ini, dengan berbagai privilege yang dimilikinya, harusnya bisa mengoptimalkan hal tersebut. Trend pergerakan Anak muda saat ini bermacam-macam… ada juga yang sporadis dan spontan, namun dengan idealisme yang dimiliki Anak muda silahkan berikan kebebasan kepada kami untuk berekspresi (setidaknya aspirasi kami ditampung saja dulu). Jangan pernah ragukan Anak muda, namun kami juga masih memerlukan dukungan dari NGO dan tetapkan ‘koridor-koridor’ apa saja yang tidak boleh dilewati oleh kami sebagai Anak Muda.” Novita/XR (Extinction Rebellion Indonesia)

 

Setelah menyampaikan kemungkinan tindak lanjut, tim inisiator membagikan formulir online berisi pertanyaan-pertanyaan masukan bagi kerangka dan konsep kegiatan inisiatif #AnakMudauntukTanahAir serta potensi kolaborasi dan rencana pertemuan berikutnya. Acara ditutup dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.  

 

15 LSM yang hadir dalam diskusi kali ini adalah LSM dengan fokus kerja di area terestrial, pesisir, maupun keduanya yaitu Perkumpulan HuMa, Walhi, Perkumpulan Qbar, AKAR Foundation, Terasmitra, Sulawesi Community Foundation (SCF), WWF Indonesia, Sajogyo Institute, Sokola Institute, Yayasan Merah Putih Sulawesi Tengah, Perhimpunan Filantropi Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), EcoNusa, dan RMI.

 

Adapun 22 Komunitas Anak Muda, yang berkegiatan di area pesisir dan terestrial juga berasal dari komunitas masyarakat adat dan non-adat yang aktif bergerak di wilayah rural dan urban, antara lain: Alumni School of Eco Diplomacy (SED), Relawan4Life, Earth Hour Jayapura, Golongan Hutan, Lawe Indonesia, Green Politician, Twelve’s Organic, Project Semesta, Teens Go Green (TGG), Global Youth Biodiversity Network (GYBN) Indonesia, Climate Rangers, Kompilasi Ujung Kulon, Extinction Rebellion, Narasea Indonesia, Lakoat.Kujawas, SimpaSio Institute, Kelompok Makekal Bersatu (KMB), Pemuda Kasepuhan Cibeas, Pemuda Tani Merdeka, Lumbung Ilmu Kasepuhan Cirompang, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), dan Kompak Pasir Eurih.

 

Penulis: Alfina dan Novia

Editor: Siti Marfu’ah

Menjadi Pemimpin Bagi Diri Sendiri, Memupuk Asa Bagi Komunitas

Peserta pelatihan kepemimpinan di Kasepuhan Pasir Eurih

Kualitas kepemimpinan pada tingkat pribadi  merupakan hal yang perlu dimiliki oleh setiap orang. Mengambil keputusan yang penting dilakukan oleh semua orang setiap hari, dari hal-hal kecil terkait pekerjaan, sekolah, keluarga, pertemanan dan lainnya. Selain mengambil keputusan, memetakan potensi, melakukan pertimbangan, mengevaluasi adalah contoh-contoh hal sangat berkaitan dengan kepemimpinan.Tidak hanya pada level organisasi, kepemimpinan pada tingkatan pribadi juga diperlukan.

RMI melalui program Being and Becoming Indigenous, memfasilitasi kegiatan Pelatihan Kepemimpinan II di Kasepuhan Pasir Eurih, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten. Bersama enam orang anak muda perempuan dan lima orang anak muda laki-laki yang merupakan anggota dalam Kelompok Pemuda Adat Kasepuhan (Kompak) Pasir Eurih, serta dua orang dari Relawan 4 Life, pelatihan ini dilaksanakan pada 17-18 Februari 2021. 

Apa saja yang dipelajari pada pelatihan ini?

Pada pelatihan ini, peserta diajak mengenal kepribadian  masing-masing, memahami adanya bias, stereotyping, melakukan inisiatif dan mendengarkan secara aktif. Kepemimpinan dalam tingkat personal diperlukan untuk memperkuat kapasitas peserta, dan inilah topik Pelatihan Kepemimpinan yang kedua di Kasepuhan Pasir Eurih.  

Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari kegiatan Pelatihan Kepemimpinan I yang dilaksanakan pada 28-29 November 2020 lalu yang dilaksanakan di tempat yang sama (Kasepuhan Pasir Eurih). Bedanya, kegiatan Pelatihan Kepemimpinan I tersebut lebih fokus pada aspek-aspek kepemimpinan di tingkat organisasional. Oleh karena itu lebih banyak diisi oleh diskusi-diskusi praktis mengenai tantangan kerja berorganisasi yang dialami oleh Kompak, serta sesi belajar lintas kelompok, dengan Kelompok Wisata Ciwaluh, dan Relawan 4 Life.

Pada hari pertama, pelatihan diawali dengan pengisian MBTI (the Myers-Briggs Personality Test), yaitu tes kepribadian berisi pertanyaan-pertanyaan terhadap preferensi seseorang di empat domain berbeda. Pertama, cara mereka berinteraksi dengan individu lain dan kecenderungan mereka menerima dan menyalurkan energinya. Kedua, cara mereka mengumpulkan informasi soal dunia sekeliling. Ketiga, cara mereka mempertimbangkan dan memutuskan suatu hal. Keempat, cara mereka menangani hal-hal yang terjadi di dunia luar.

Peserta sedang dijelaskan mengenai hasil MBTI

Dilanjutkan dengan sesi Jendela Johari. Sesi ini berguna untuk mengamati cara kita memahami diri  dan melihat dinamika kesadaran diri sendiri, yang berkaitan dengan perilaku, perasaan, dan motif kita. Jendela tersebut terdiri dari matrik yang terdiri atas empat komponen, masing-masing sel menunjukkan daerah self (diri) baik yang terbuka maupun yang disembunyikan. Keempat komponen tersebut adalah daerah publik (tahu tentang diri sendiri dan diketahui orang lain), daerah buta (tidak tahu tentang diri sendiri, tetapi diketahui orang lain), daerah tersembunyi (tahu tentang diri sendiri, tetapi orang lain tidak tahu), dan daerah yang tidak disadari (tidak diketahui diri sendiri dan orang lain).

Hari pertama diakhiri dengan Materi “Membangun Ekowisata” oleh Agus Wiyono. Pada sesi ini, narasumber menyampaikan perbedaan ekowisata berbasis komunitas dengan wisata massal. Hal lain yang disampaikan juga mengenai prinsip-prinsip ekowisata, serta belajar dari komunitas lain untuk mengembangkan ekowisatanya. Klik link berikut untuk menyimak sesi ini. 

Peserta melakukan permainan team building.

 Hal menarik selama proses

Selama dua hari berproses banyak hal menarik pada kegiatan tersebut. Seperti, pelatihan ini hanya melibatkan anak muda. Baik peserta maupun fasilitator yang merupakan generasi millenial dan generasi Z. Hal ini berdampak pada ruang aman (safe space) yang dibangun. Peserta lebih percaya diri dan rasa segan juga berkurang ketika menyampaikan pendapat mereka. Bagi fasilitator, kegiatan ini juga merupakan ruang untuk mengeksplor diri mereka untuk memfasilitasi suatu kegiatan, serta belajar mengenali berbagai kondisi saat fasilitasi.

Terlibatnya peserta perempuan yang lebih banyak dibanding laki-laki juga sangat mempengaruhi diskusi antar peserta. Seperti saat sesi “Kepemimpinan Inklusif”, di mana peserta dibagi menjadi tiga kelompok, dan salah satu kelompok menyebutkan bahwa pemimpin yang ideal adalah laki-laki dan harus benar. Hal tersebut disanggah oleh peserta perempuan dari kelompok lain.

“Perempuan juga bisa menjadi pemimpin, baik di rumah tangga atau pemimpin yang paling tinggi sekalipun”, kata salah satu peserta. Pernyataan tersebut ditimpali oleh peserta perempuan lainnya, menurutnya kata “harus benar” sebaiknya diubah, karena kata “benar” terlalu luas pengertiannya.

Salah satu tujuan dari Pelatihan Kepemimpinan II ini sendiri adalah menyiapkan pemimpin-pemimpin baru Kasepuhan Pasir Eurih dalam pengelolaan sumber daya alam. Diharapkan pasca kegiatan ini peserta akan melakukan aksi-aksi nyata supaya membawa kebermanfaatan bagi masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih.

Penulis: Siti Marfu’ah

Pertemuan Majelis Permusyawaratan Masyarakat Kasepuhan Di Banten Untuk Merumuskan Peran Pemuda Adat

Keterlibatan generasi muda dan perempuan adat dalam Majelis Permusyawaratan Masyarakat Kasepuhan (MPMK) merupakan hal yang harus diapresiasi dan dikawal. Pasalnya, selama ini pemuda adat jarang dilibatkan dalam kegiatan adat, pengelolaan hutan, dan proses pengambilan keputusan lainnya. Mengingat pentingnya peran generasi muda sebagai generasi berikutnya yang melestarikan adat budaya Kasepuhan, sudah sepatutnya mereka dilibatkan. Terlebih lagi banyaknya ancaman yang hadir kemudian menyebabkan hilangnya wawasan adat budaya kasepuhan pada generasi muda.

MPMK sendiri adalah wadah komunikasi yang dibentuk oleh Masyarakat Kasepuhan dan terdiri dari unsur kokolot (tetua), unsur perempuan adat, unsur pemuda adat, dan unsur lainnya, seperti yang diamanatkan pada Bab 1 Ketentuan Umum Peraturan Daerah (Perda) Lebak No.8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan. MPMK dibentuk pada 20 Desember 2020 melalui musyawarah adat di Kasepuhan Guradog, Kecamatan Curugbitung, Kabupaten Lebak. Pembentukan MPMK dinilai mendesak, mengingat saat ini sudah lima kasepuhan yang dikembalikan Hutan Adatnya.

Pada Selasa, 19 Januari 2021, bertempat di kantor DPRD Kabupaten Lebak, Banten, pengurus MPMK mensosialisasikan hasil musyawarah adat tersebut. Pertemuan sosialisasi MPMK melibatkan beberapa pihak, seperti unsur perempuan dan pemuda kasepuhan, Satuan Adat Banten Kidul (SABAKI). Dari organisasi masyarakat sipil hadir RMI, JKPP, dan HuMA yang telah lama bekerja sama dengan masyarakat Kasepuhan, untuk mendorong pemenuhan hak-hak mereka sebagai bagian dari masyarakat adat. 

Junaedi Ibnu Jarta, atau yang akrab disapa Jun, selaku Ketua Umum menyampaikan bahwa MPMK merupakan organisasi yang memiliki visi “Menjadi Organisasi Terdepan yang PEDULI dan TURUT BERTANGGUNG JAWAB dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup dan kelangsungan Masyarakat Adat Kasepuhan dengan tiga jenis keanggotaan, pertama Anggota biasa yaitu merupakan masyarakat keturunan masyarakat adat Kasepuhan. Kedua anggota luar biasa, adalah organisasi yang masyarakat adat kasepuhan dari masing-masing kasepuhan. Terakhir anggota luar biasa, yaitu masyarakat non adat yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap masyarakat adat kasepuhan.

Dalam kesempatan itu Jun juga menyampaikan bahwa MPMK memiliki sembilan ketua, yaitu Ketua Umum; Ketua Hukum dan HAM; Ketua Bidang Sosial dan Ekonomi; Ketua Bidang Penelitian, Pendidikan; Ketua Bidang Keagamaan dan Kebudayaan; Ketua Bidang Pemuda dan Infrastruktur Masyarakat Kasepuhan ; Ketua Bidang Kesehatan, Pemberdayaan Perempuan Adat dan Perlindungan Anak; Ketua Bidang Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanian; dan Ketua Bidang Organisasi, kaderisasi, dan Keanggotaan. Selain itu, dalam kepengurusan MPMK juga terdapat Direktur Eksekutif yang membawahi administrasi dan keuangan. MPMK juga memiliki  Pelindung, Pembina dan Penasehat yang berada di struktur organisasinya.

Jun menyatakan bahwa pemuda perlu terlibat dalam kepengurusan MPMK, sehingga kemudian dipilih pemuda untuk berposisi  di bagian keuangan dan di bidang pemuda MPMK. Dengan keterlibatan tersebut, Jun berharap ke depannya partisipasi pemuda akan semakin meningkat.

Adapun menurut pengamatan RMI, selama ini generasi muda adat Kasepuhan adalah kelompok yang suaranya kurang didengarkan. Padahal pemuda dan perempuan adat kasepuhan dinilai memberikan beragam perspektif baru yang mengisi ruang-ruang kosong dalam perjuangan masyarakat adat kasepuhan.

Dalam riungan SABAKI “Regenerasi: Adat dan Pengembangan Sumber Daya Alam di Mata Generasi Muda”, pada tahun 2019 di Kasepuhan Citorek, para pemuda yang mengikuti pelatihan  menyatakan bahwa mereka belum banyak dilibatkan di organisasi tersebut. Namun demikian, keinginan mereka untuk berpartisipasi di organisasi dan kegiatan budaya sebenarnya sangat besar. Kendalanya adalah seringnya perasaan segan kepada orang-orang yang dituakan (baris kolot atau juru basa, misalnya) muncul, dan menahan mereka untuk berpartisipasi secara aktif.

Sebagai salah satu organisasi yang mengadvokasi pengakuan masyarakat adat Kasepuhan sejak 2003, RMI menilai Keterlibatan generasi muda dalam kepengurusan MPMK merupakan tahap dari jalan panjang yang harus ditempuh untuk mencapai kesejahteraan. Terlebih lagi setelah penyerahan Surat Keputusan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani, Hutan Adat Kasepuhan Cirompang, Hutan Adat Kasepuhan Citorek, dan Hutan Adat Kasepuhan Pasir Eurih, pada 7 Januari 2021.

Selain memastikan keterlibatan generasi muda dalam pengurus MPMK, RMI bersama JKPP dan HuMA juga menyampaikan bahwa MPMK idealnya menjadi forum strategis dan independen yang menelurkan rekomendasi, gagasan untuk mendistribusikan kesejahteraan masyarakat kasepuhan dan pengamanan adat dan budaya kasepuhan agar tidak tergerus globalisasi, serta mengawasi kebijakan daerah atau organisasi lainnya yang terkait dengan masyarakat kasepuhan.

 

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Indra N. Hatasura