Belajar Lintas Kelompok di Pelatihan Kepemimpinan

Foto 1. KOMPAK, Pokdarwis Ciwaluh, dan Relawan4Life mengikuti Pelatihan Kepemimpinan (Amanda/RMI)

Pada hari Sabtu dan Minggu (28-29 November 2020), RMI mengadakan pelatihan kepemimpinan di wilayah Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Sejumlah 27 peserta, yang terdiri dari 11 orang pemuda perempuan dan 16 orang pemuda laki-laki, melakukan pembelajaran bersama dan mengaitkannya dengan program yang sedang dikerjakan di lokasi, yaitu perencanaan edu-ekowisata.

Selain diikuti oleh KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan) Pasir Eurih, pelatihan ini juga diikuti oleh kelompok di luar wilayah Kasepuhan, yaitu Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) dari Kampung Ciwaluh dan dari komunitas Relawan4Life. Kedua kelompok ini memiliki pengalaman dalam mengelola program ekowisata dan mengelola kegiatan pendidikan lingkungan.  Dengan bergabungnya kedua kelompok tersebut pada pelatihan ini, maka diharapkan pembelajaran yang terjadi bersifat lintas kelompok. Konsep pembelajaran ini seringkali RMI istilahkan sebagai konsep belajar kampus-kampung-komunitas.

Evaluasi dan Mendulang Inspirasi

Pada hari pertama, para peserta melakukan evaluasi terhadap Rencana Tindak Lanjut (RTL) KOMPAK. Sesi ini difasilitasi oleh Indra NH (RMI) dan peserta yang berasal dari luar KOMPAK diminta memainkan peran sebagai “penyelidik” untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai kegiatan-kegiatan KOMPAK. Kegiatan ini diatur agar peserta dari Relawan4Life dan Pokdarwis terinformasi akan beberapa rencana yang dibuat sebelumnya.

Adapun rencana yang sudah dibuat di antaranya terdiri dari: (1). Penggalian data dan pendokumentasian pengetahuan lokal, (2). Peggalian data dan pendokumentasian makanan lokal, (3). Pembenahan jalur trekking, dan (4). Penggalian data dan pendokumentasian tanaman obat. Untuk membahas rencana-rencana tersebut maka dibentuklah kelompok-kelompok berdasarkan 4 tema di atas. Diskusi dan presentasi kemudian dilakukan untuk memaparkan hasil. Presentasi dilakukan oleh peserta di luar KOMPAK. Adapun diskusi dan presentasi yang dilakukan bertujuan untuk melihat kemajuan dan hambatan pada setiap kegiatan, serta untuk menyamakan pengetahuan peserta akan program-program yang sedang disusun KOMPAK.

Gambar 1. Evaluasi rencana program edu-ekowisata KOMPAK (Amanda/RMI)
                   Foto 2. Proses evaluasi rencana program edu-ekowisata KOMPAK (Amanda/RMI)

Pada siang dan sore hari, giliran Pokdarwis Ciwaluh yang berbagi cerita dalam mengembangkan program edu-ekowisata di lokasi kaki Gunung Gede Pangrango.  Format sesi ini dibuat menyerupai talkshow dimana Novia F (RMI) berperan sebagai pemandu acara. Narasumber muda ini menceritakan mengenai sepak terjang para pemuda di Kampung Ciwaluh yang berorganisasi sejak 2009 sampai akhirnya memutuskan untuk mengembangkan wisata kampung. Fokus cerita mereka bukan hanya pada keberhasilan mendapatkan tambahan penghasilan dari kegiatan wisata alam, namun juga tantangan-tantangan yang sudah atau masih mereka hadapi saat ini.

Tantangan-tantangan tersebut misalnya adalah berupa pergantian-pembubaran dan pembentukan organisasi, kebutuhan regenerasi dalam kelompok, pengikutsertaan anak muda dan perempuan, persaingan dengan kelompok di luar kampung dalam mengembangkan wisata, konflik dengan pengelola taman nasional untuk lokasi wisata dan lahan garapan, sampai rencana mengembangkan wisata tanpa bantuan dana desa. Peserta dari Kasepuhan Pasir Eurih pun banyak melakukan tanya jawab dengan Pokdarwis, terutama mengenai cara membangun edu-ekowisata secara mandiri.  

Pada sesi tersebut, masukan dari peserta di luar KOMPAK (Pokdawris Ciwaluh dan Relawan 4 Life) dirasakan memberikan manfaat bagi KOMPAK. “Kami jadi yakin, bahwa yang kami miliki di sini dapat dikembangkan dan memang harus dikerjakan,” kata Maman Syahroni salah seorang peserta dari KOMPAK.

Relawan4Life misalnya, memberikan pendapat bahwa Kasepuhan Pasir Eurih kaya akan pengetahuan tradisional, budaya, dan kearifan lokal. Mereka berpendapat bahwa kekuatan itulah yang perlu dikedepankan dalam menjalankan program edu-ekowisata. Bagi mereka, mendengarkan cerita mengenai 40-an varietas padi lokal yang ada di Kasepuhan atau bagaimana masyarakat Kasepuhan menyimpan padi di leuit, yang tetap dapat dimakan setelah usianya 20 tahun sangatlah “wah.”

“Sangat menarik, budaya yang ada di sini jika dikembangkan menjadi edu-ekowisata,” tutur Nuri Ikhwana, salah seorang peserta dari Relawan4Life yang juga berstatus mahasiswi dari Institut Pertanian Bogor. Pernyataan ini dikuatkan oleh kedua temannya yang lain.

Bagi peserta KOMPAK, masukan-masukan dari kelompok luar kampungnya tersebut memperkuat mereka dalam membuat keputusan yang strategis dan bermanfaat dalam pengembangan program edu-ekowisata yang sedang disusun.

Acara pada hari itu diselesaikan dengan diskusi ringan mengenai program-program KOMPAK yang perlu diselesaikan atau direvisi. Dalam obrolan yang dilakukan, disepakati juga jika pelatihan hari kedua akan dilakukan lebih siang karena banyak masyarakat yang sedang  menandur (menanam padi secara mundur), sebagai kegiatan yang dilakukan oleh para petani  pare gede yang mengikuti tatali paranti karuhun (adat istiadat yang dipercaya masyarakat adat Kasepuhan).

Khusus untuk Pokdarwis Ciwaluh dan Relawan4Life, waktu malam hari dipergunakan utuk melakukan evaluasi perjalanan dan proses pembelajaran. Masing-masing kelompok menyampaikan pengalaman dan pembelajarannya dalam mengikuti pelatihan atau saat berbaur dengan masyarakat di kampung. Mereka meyampaikan bahwa tinggal dan berinteraksi bersama Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih membuat mereka banyak belajar tentag kearifan lokal masyarakat. Beberapa kata yang mereka anggap baru didiskusikan kembali malam itu pare gede (padi besar), leuit (lumbung padi), rukun tujuh (tahapan bertani yang mengikuti adat), Kasepuhan (nama kelompok masyarakat adat di Banten dan Jawa Barat), dan lainnya.

Prinsip-prinsip Keorganisasian dan Dokumentasi Budaya

Pelatihan hari kedua dimulai pada pukul 10.00 pagi. Kegiatan hari kedua diawali dengan bermain permainan Zombie untuk proses team building yang juga dapat direfleksikan kepada isu-isu kepemimpinan, inisiatif pribadi, dan kedisiplinan. Permainan ini juga menjadi aktivitas pembuka untuk mendiskusikan kepemimpinan pada level organisasi.

Sesi berikutnya merupakan sebuah sesi yang dirancang untuk memberikan pengetahuan dan dorongan bagi para peserta untuk mengkampanyekan budaya lokal dengan memanfaatkan handphone dan internet. Sesi yang berjudul “Dokumentasi Budaya dan Kampanye untuk Membangun Identitas Masyarakat Adat” ini disampaikan secara daring oleh Karlina Octaviany, seorang antropolog digital dan spesialis strategi komunikasi digital. Karlina menyampaikan bahwa kemajuan teknologi jika tidak disikapi dengan bijak dapat merusak kearifan lokal masyarakat adat.

“Bersama-sama masyarakat harus sadar bahwa semua hal bisa punya dampak buruk, termasuk penggunaan internet. Nah itu yang disepakati bersama secara adat. Sampai batas mana pemanfaatan internet itu sudah mengkhawatirkan dan bagaimana cara mencegahnya,” terang Karlina.

Foto 3. Sesi Dokumentasi Budaya dan Kampanye untuk Membangun Identitas Masyarakat Adat  (Supriadi/RMI)

Sesi ini mengingatkan kembali Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih bahwa di tengah-tengah dunia yang semakin terdigitalisasi, internet dan kemajuan teknologi harus diposisikan sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat dan memperkuat tradisi-tradisi adat. Kesempatan ini juga peserta juga bertanya mengenai teknis penggunaan handphone dan media sosial untuk menjangkau masyarakat luas dan menyebarkan informasi mengenai adat Kasepuhan.

Setelah sesi makan siang, kegiatan pelatihan kepemimpinan dilanjutkan dengan materi keorganisasian yang diramu dalam bentuk permainan Rawa Beracun.  Pada permainan ini semua peserta diminta untuk berkompetisi, bekerjasama, mencapai target permainan sekaligus berstrategi. Permainan ini berlangsung cukup lama sekitar 2 jam dan dilakukan di bawah rintik hujan. Namun demikian, para peserta mempertahankan semangat mereka untuk menyelesaikan permainan ini, sama seperti yang mereka lakukan saat itu, bekerjasama, konsisten, kreatif dan belajar dari kesalahan untuk mencapai tujuan-tujuan jangka pendek.  Kondisi dan rintangan lainnya dalam permainan memang dikondisikan untuk menimbulkan refleksi-refleksi yang dihubungkan dengan program yang sedang dikerjakan KOMPAK.

Walaupun permainan Rawa Beracun cukup melelahkan, namun peserta masih cukup antusias mengikuti sesi terakhir yaitu pendalaman material keorganisasian yang dikaitkan dengan permainan Rawa Beracun tersebut. Sesi ini merupakan sesi pamungkas sekaligus penutup kegiatan. Pada sesi terakhir ini, para peserta diminta berbicara mengutarakan pendapat mereka mengenai pembenahan-pembenahan yang perlu dilakukan untuk mencapai target-target jangka pendek dan panjang dalam program edu-ekowisata.  Dengan mengkaitkannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam permainan, para peserta lebih mudah untuk melihat keterhubungan antara bagian-bagian dalam organisasi.

                              Foto 4. Peserta mengikuti permainan rawa beracun (Amanda/RMI)

Sebagai langkah terakhir dari pelatihan adalah dengan menyusun kesepakatan untuk menyelesaikan detail-detail pekerjaan termasuk tim, waktu dan bagaimana melakukannya. Community organizer RMI, Fauzan A,  yang mendampingi Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih menyatakan bahwa kegiatan perbaikan RTL (Rencana Tindak Lanjut) akan dilakukan kembali pasca pelatihan, dengan melibatkan Marja sebagai pembina KOMPAK. Beliau sendiri mengaku senang dengan diadakannya kegiatan Pelatihan Kepemimpinan yang mendatangkan kelompok dari luar wilayah Kasepuhan.

“Kami senang dikunjungi oleh teman-teman dari luar. Namun di sini ya begini, apa adanya,” kata Marja, sesepuh kampung sekaligus pembina KOMPAK. Ia berharap bahwa kebuntuan-kebuntuan yang terjadi saat berpikir ‘sendiri’ dapat dipecahkan dengan adanya teman-teman baru.

Pembelajaran yang didapat oleh ketiga kelompok yang terlibat dalam pelatihan kepemimpinan ini mungkin berbeda-beda bagi setiap kelompoknya. Namun demikian, langkah kecil selalu diperlukan untuk mencapai tujuan yang letaknya jauh, seperi yang digambarkan dalam permainan dan diskusi-diskusi refleksi pasca permainan tersebut.

Kegiatan Pelatihan Kepemimpinan ini merupakan bagian dari platform ‘Being and Becoming Indigenous’—sebuah platform berlajar bersama generasi muda adat yang dilaksanakan di tiga komunitas adat di dua negara yaitu Kasepuhan Pasir Eurih dan Mollo di Indonesia (RMI dan Lakoat.Kujawas) serta Dumagat-Remontado di Filipina (AFA dan PAKISAMA).

 

Penulis: Indra N. Hatasura

Belajar Lintas Kelompok di Pelatihan Kepemimpinan

Pada hari Sabtu dan Minggu (28-29 November 2020), RMI mengadakan pelatihan kepemimpinan di wilayah Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Sejumlah 27 peserta, yang terdiri dari 11 orang pemuda perempuan dan 16 orang pemuda laki-laki, melakukan pembelajaran bersama dan mengaitkannya dengan program yang sedang dikerjakan di lokasi, yaitu perencanaan edu-ekowisata.

Selain diikuti oleh KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan) Pasir Eurih, pelatihan ini juga diikuti oleh kelompok di luar wilayah Kasepuhan, yaitu Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) dari Kampung Ciwaluh dan dari komunitas Relawan4Life. Kedua kelompok ini memiliki pengalaman dalam mengelola program ekowisata dan mengelola kegiatan pendidikan lingkungan.  Dengan bergabungnya kedua kelompok tersebut pada pelatihan ini, maka diharapkan pembelajaran yang terjadi bersifat lintas kelompok. Konsep pembelajaran ini seringkali RMI istilahkan sebagai konsep belajar kampus-kampung-komunitas.

“Kami senang dikunjungi oleh teman-teman dari luar. Namun di sini ya begini, apa adanya.” kata Marja, sesepuh kampung sekaligus pembina KOMPAK saat membuka pelatihan. Ia berharap bahwa kebuntuan-kebuntuan yang terjadi saat berpikir “sendiri” dapat dipecahkan dengan adanya teman-teman baru.

 

Evaluasi dan Mendulang Inspirasi

Pada hari pertama, para peserta melakukan evaluasi terhadap Rencana Tindak Lanjut (RTL) KOMPAK. Sesi ini difasilitasi oleh Indra NH (RMI) dan peserta yang berasal dari luar KOMPAK diminta memainkan peran sebagai “penyelidik” untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai kegiatan-kegiatan KOMPAK. Kegiatan ini diatur agar peserta dari Relawan4Life dan Pokdarwis terinformasi akan beberapa rencana yang dibuat sebelumnya.

Adapun rencana yang sudah dibuat di antaranya terdiri dari: (1). Penggalian data dan pendokumentasian pengetahuan lokal, (2). Peggalian data dan pendokumentasian makanan lokal, (3). Pembenahan jalur trekking, dan (4). Penggalian data dan pendokumentasian tanaman obat. Untuk membahas rencana-rencana tersebut maka dibentuklah kelompok-kelompok berdasarkan 4 tema di atas. Diskusi dan presentasi kemudian dilakukan untuk memaparkan hasil. Presentasi dilakukan oleh peserta di luar KOMPAK. Adapun diskusi dan presentasi yang dilakukan bertujuan untuk melihat kemajuan dan hambatan pada setiap kegiatan, serta untuk menyamakan pengetahuan peserta akan program-program yang sedang disusun KOMPAK.

Pada siang dan sore hari, giliran Pokdarwis Ciwaluh yang berbagi cerita dalam mengembangkan program edu-ekowisata di lokasi kaki Gunung Gede Pangrango.  Format sesi ini dibuat menyerupai talkshow dimana Novia F (RMI) berperan sebagai pemandu acara. Narasumber muda ini menceritakan mengenai sepak terjang para pemuda di Kampung Ciwaluh yang berorganisasi sejak 2009 sampai akhirnya memutuskan untuk mengembangkan wisata kampung. Fokus cerita mereka bukan hanya pada keberhasilan mendapatkan tambahan penghasilan dari kegiatan wisata alam, namun juga tantangan-tantangan yang sudah atau masih mereka hadapi saat ini.

Tantangan-tantangan tersebut misalnya adalah berupa pergantian-pembubaran dan pembentukan organisasi, kebutuhan regenerasi dalam kelompok, pengikutsertaan anak muda dan perempuan, persaingan dengan kelompok di luar kampung dalam mengembangkan wisata, konflik dengan pengelola taman nasional untuk lokasi wisata dan lahan garapan, sampai rencana mengembangkan wisata tanpa bantuan dana desa. Peserta dari Kasepuhan Pasir Eurih pun banyak melakukan tanya jawab dengan Pokdarwis, terutama mengenai cara membangun edu-ekowisata secara mandiri.  

Pada sesi tersebut, masukan dari peserta di luar KOMPAK (Pokdawris Ciwaluh dan Relawan 4 Life) dirasakan memberikan manfaat bagi KOMPAK. “Kami jadi yakin, bahwa yang kami miliki di sini dapat dikembangkan dan memang harus dikerjakan,” kata Maman Syahroni salah seorang peserta dari KOMPAK.

Relawan4Life misalnya, memberikan pendapat bahwa Kasepuhan Pasir Eurih kaya akan pengetahuan tradisional, budaya, dan kearifan lokal. Mereka berpendapat bahwa kekuatan itulah yang perlu dikedepankan dalam menjalankan program edu-ekowisata. Bagi mereka, mendengarkan cerita mengenai 40-an varietas padi lokal yang ada di Kasepuhan atau bagaimana masyarakat Kasepuhan menyimpan padi di leuit, yang tetap dapat dimakan setelah usianya 20 tahun sangatlah “wah.”

“Sangat menarik, budaya yang ada di sini jika dikembangkan menjadi edu-ekowisata,” tutur Nuri Ikhwana, salah seorang peserta dari Relawan4Life yang juga berstatus mahasiswi dari Institut Pertanian Bogor. Pernyataan ini dikuatkan oleh kedua temannya yang lain.

Bagi peserta KOMPAK, masukan-masukan dari kelompok luar kampungnya tersebut memperkuat mereka dalam membuat keputusan yang strategis dan bermanfaat dalam pengembangan program edu-ekowisata yang sedang disusun.

Acara pada hari itu diselesaikan dengan diskusi ringan mengenai program-program KOMPAK yang perlu diselesaikan atau direvisi. Dalam obrolan yang dilakukan, disepakati juga jika pelatihan hari kedua akan dilakukan lebih siang karena banyak masyarakat yang sedang  menandur (menanam padi secara mundur), sebagai kegiatan yang dilakukan oleh para petani  pare gede yang mengikuti tatali paranti karuhun (adat istiadat yang dipercaya masyarakat adat Kasepuhan).

Khusus untuk Pokdarwis Ciwaluh dan Relawan4Life, waktu malam hari dipergunakan utuk melakukan evaluasi perjalanan dan proses pembelajaran. Masing-masing kelompok menyampaikan pengalaman dan pembelajarannya dalam mengikuti pelatihan atau saat berbaur dengan masyarakat di kampung. Mereka meyampaikan bahwa tinggal dan berinteraksi bersama Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih membuat mereka banyak belajar tentag kearifan lokal masyarakat. Beberapa kata yang mereka anggap baru didiskusikan kembali malam itu pare gede (padi besar), leuit (lumbung padi), rukun tujuh (tahapan bertani yang mengikuti adat), Kasepuhan (nama kelompok masyarakat adat di Banten dan Jawa Barat), dan lainnya.

Prinsip-prinsip Keorganisasian dan Dokumentasi Budaya

Pelatihan hari kedua dimulai pada pukul 10.00 pagi. Kegiatan hari kedua diawali dengan bermain permainan Zombie untuk proses team building yang juga dapat direfleksikan kepada isu-isu kepemimpinan, inisiatif pribadi, dan kedisiplinan. Permainan ini juga menjadi aktivitas pembuka untuk mendiskusikan kepemimpinan pada level organisasi.

Sesi berikutnya merupakan sebuah sesi yang dirancang untuk memberikan pengetahuan dan dorongan bagi para peserta untuk mengkampanyekan budaya lokal dengan memanfaatkan handphone dan internet. Sesi yang berjudul “Dokumentasi Budaya dan Kampanye untuk Membangun Identitas Masyarakat Adat” ini disampaikan secara daring oleh Karlina Octaviany, seorang antropolog digital dan spesialis strategi komunikasi digital. Karlina menyampaikan bahwa kemajuan teknologi jika tidak disikapi dengan bijak dapat merusak kearifan lokal masyarakat adat.

“Bersama-sama masyarakat harus sadar bahwa semua hal bisa punya dampak buruk, termasuk penggunaan internet. Nah itu yang disepakati bersama secara adat. Sampai batas mana pemanfaatan internet itu sudah mengkhawatirkan dan bagaimana cara mencegahnya,” terang Karlina.

Sesi ini mengingatkan kembali Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih bahwa di tengah-tengah dunia yang semakin terdigitalisasi, internet dan kemajuan teknologi harus diposisikan sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat dan memperkuat tradisi-tradisi adat. Kesempatan ini juga peserta juga bertanya mengenai teknis penggunaan handphone dan media sosial untuk menjangkau masyarakat luas dan menyebarkan informasi mengenai adat Kasepuhan.

Setelah sesi makan siang, kegiatan pelatihan kepemimpinan dilanjutkan dengan materi keorganisasian yang diramu dalam bentuk permainan Rawa Beracun.  Pada permainan ini semua peserta diminta untuk berkompetisi, bekerjasama, mencapai target permainan sekaligus berstrategi. Permainan ini berlangsung cukup lama sekitar 2 jam dan dilakukan di bawah rintik hujan. Namun demikian, para peserta mempertahankan semangat mereka untuk menyelesaikan permainan ini, sama seperti yang mereka lakukan saat itu, bekerjasama, konsisten, kreatif dan belajar dari kesalahan untuk mencapai tujuan-tujuan jangka pendek.  Kondisi dan rintangan lainnya dalam permainan memang dikondisikan untuk menimbulkan refleksi-refleksi yang dihubungkan dengan program yang sedang dikerjakan KOMPAK.

Walaupun permainan Rawa Beracun cukup melelahkan, namun peserta masih cukup antusias mengikuti sesi terakhir yaitu pendalaman material keorganisasian yang dikaitkan dengan permainan Rawa Beracun tersebut. Sesi ini merupakan sesi pamungkas sekaligus penutup kegiatan. Pada sesi terakhir ini, para peserta diminta berbicara mengutarakan pendapat mereka mengenai pembenahan-pembenahan yang perlu dilakukan untuk mencapai target-target jangka pendek dan panjang dalam program edu-ekowisata.  Dengan mengkaitkannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam permainan, para peserta lebih mudah untuk melihat keterhubungan antara bagian-bagian dalam organisasi.

Sebagai langkah terakhir dari pelatihan adalah dengan menyusun kesepakatan untuk menyelesaikan detail-detail pekerjaan termasuk tim, waktu dan bagaimana melakukannya. Community organizer RMI, Fauzan A,  yang mendampingi Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih menyatakan bahwa kegiatan perbaikan RTL (Rencana Tindak Lanjut) akan dilakukan kembali pasca pelatihan, dengan melibatkan Marja sebagai pembina KOMPAK. Beliau sendiri mengaku senang dengan diadakannya kegiatan Pelatihan Kepemimpinan yang mendatangkan kelompok dari luar wilayah Kasepuhan.

“Kami senang dikunjungi oleh teman-teman dari luar. Namun di sini ya begini, apa adanya,” kata Marja, sesepuh kampung sekaligus pembina KOMPAK. Ia berharap bahwa kebuntuan-kebuntuan yang terjadi saat berpikir ‘sendiri’ dapat dipecahkan dengan adanya teman-teman baru.

Pembelajaran yang didapat oleh ketiga kelompok yang terlibat dalam pelatihan kepemimpinan ini mungkin berbeda-beda bagi setiap kelompoknya. Namun demikian, langkah kecil selalu diperlukan untuk mencapai tujuan yang letaknya jauh, seperi yang digambarkan dalam permainan dan diskusi-diskusi refleksi pasca permainan tersebut.

Kegiatan Pelatihan Kepemimpinan ini merupakan bagian dari platform ‘Being and Becoming Indigenous’—sebuah platform berlajar bersama generasi muda adat yang dilaksanakan di tiga komunitas adat di dua negara yaitu Kasepuhan Pasir Eurih dan Mollo di Indonesia (RMI dan Lakoat.Kujawas) serta Dumagat-Remontado di Filipina (AFA dan PAKISAMA).

 

Penulis: Indra N Hatasura

Cross-Group Learning in Leadership Training

Foto 1. KOMPAK, Pokdarwis Ciwaluh, and Relawan4Life involving Leadership Training(Amanda/RMI)

On Saturday and Sunday (28-29 November 2020), RMI held a leadership training in the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People area, Sindanglaya Village, Sobang District, Lebak Regency, Banten Province. A total of 27 participants, consisting of 11 young women and 16 young men, learned together and linked it to a program that is being carried out in the location, namely planning edu-ecotourism.

The training was attended by KOMPAK Pasir Eurih (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Pasir Eurih), and by groups outside the Kasepuhan area, such as Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) from Ciwaluh Village and Relawan4Life. KOMPAK and Pokdarwis have experience in managing ecotourism programs while Relawan4Life has experience in managing environmental education activities. By joining these groups together in this training, the goal is that the learning process will be cross-grouped. This learning concept is often termed by RMI as a campus-village-community learning concept.

Evaluation and Gaining Inspiration

On the first day, the participants conducted an evaluation of the KOMPAK Follow-up Plan. This session was facilitated by Indra N.H. (from RMI) and participants from outside KOMPAK were asked to play the role of “investigators” to get as much information as possible about KOMPAK’s activities. This activity was arranged so that participants from Relawan4Life and Pokdarwis were informed of some of the plans that were made in advance.

The plans that have been made include: (1) Extracting data and documenting local knowledge, (2) Finding out and documenting local food, (3) Improvement of trekking paths, and (4) Extracting data and documenting medicinal plants. In order to discuss these plans, groups were formed based on the 4 themes above. The groups then discuss and present the results. Presentations made by participants outside KOMPAK. Discussions and presentations were conducted aimed at observing progress and obstacles in each activity, as well as to equate participants’ knowledge of the programs being compiled by KOMPAK.

Gambar 1. Evaluasi rencana program edu-ekowisata KOMPAK (Amanda/RMI)
 Photo 2. Evaluation process of KOMPAK’s edu-ecotourism program plans (Amanda/RMI)

In the afternoon and evening, it is Pokdarwis’ turn to share stories in developing an edu-ecotourism program at the foot of Mount Gede Pangrango. This session was made to resemble a talk show where Novia F. (from RMI) acted as the host of the event. A representative from Pokdarwis shared about the activities of the youth in Ciwaluh Village who has been active in organisations since 2009 until finally decided to develop village tourism. The focus of their story is not only on the success of getting additional income from nature tourism activities, but also on the challenges they have faced or are still facing today.

These challenges, for example, are in the form of changes in organizational formation, the need for regeneration in groups, the participation of young people and women, competition with groups outside the village in developing tourism, conflicts with national park managers for tourist sites and arable land, and plans to develop tourism without the assistance of village funds. Participants from Kasepuhan Pasir Eurih also did a lot of question and answer with Pokdarwis, especially about how to build edu-ecotourism independently.  

During the session, input from participants outside KOMPAK (Pokdarwis and Relawan4Life) was felt to be of benefit to KOMPAK. “We are convinced that what we have here can be developed and we have to do it,” said Maman Syahroni, a participant from KOMPAK.

Relawan4Life for example, expressed opinion that Kasepuhan Pasir Eurih is rich in traditional knowledge, culture and local wisdom. They argue that it is this strength that needs to be put forward in carrying out the edu-ecotourism program. For them, listening to stories about 40 local rice varieties in Kasepuhan or how the Kasepuhan people store rice in leuit (traditional rice barn), which can still be eaten 20 years old later is very “wow.”

“It is very interesting, if the culture here is developed into edu-ecotourism,” said Nuri Ikhwana, a participant from Relawan4Life who is also a student from the Bogor Agricultural Institute (IPB). This statement was confirmed by her other two friends.

For KOMPAK, inputs from groups outside their village helped them in making strategic decisions and is useful in the development of the edu-ecotourism program that is being developed.

That day’s program was concluded with a light discussion about KOMPAK programs that need to be completed or revised. In a chat conducted, it was agreed that the next day’s training will be carried out later in the day because there are a lot of people who do menandur (planting rice in reverse), as the activities carried out by the   pare gede farmers that follow tatali paranti karuhun (Kasepuhan customs).

For Pokdarwis and Relawan4Life, night time is used to evaluate the journey and the learning process. Each group shared their experiences and lessons learned in participating in the training or mingling with the community in the village. They said that living and interacting with the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People made them learn a lot about the local wisdom of the community. Some of the words they considered to have just been discussed that night were pare gede (big rice), leuit (traditional rice barn), rukun tujuh (the stages of farming that follow customs), Kasepuhan (the name of indigenous groups in Banten and West Java), and others.

Organizational Principles and Cultural Documentation

The second day of training started at 10:00 am. It begins with playing a Zombie game for a team building process which can also be reflected on issues of leadership, personal initiative, and discipline. This game is also an opening activity for discussing leadership at the organizational level.

The next session is a session designed to provide knowledge and encouragement for participants to campaign for local culture using smartphones and the internet. The session entitled “Cultural Documentation and Campaigns to Build the Identity of Indigenous Peoples” was delivered online by Karlina Octaviany, a digital anthropologist and digital communication strategy specialist. Karlina said that if technological progress is not addressed wisely, it can damage the local wisdom of indigenous peoples.

“Together, the community must be aware that all things can have a bad impact, including the use of the internet. Now that is what we need to discuss and agreed on according to local custom. To what extent is the use of the internet become worrying and how to prevent it,” explained Karlina.

Photo 2.Cultural Documentation Session and Campaign to Build Indigenous Peoples Identity (Supriadi/RMI)

This session reminded Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous Peoples that in the midst of an increasingly digitalized world, the internet and technological advances must be positioned as tools to empower communities and strengthen indigenous traditions. On this occasion the participants also asked about the technicalities of using smartphones and social media to reach the wider community and spread information about Kasepuhan customs.

After lunch session, the leadership training activity was continued with organizational material mixed in the form of the Toxic Swamp game. In this game all participants are asked to compete, cooperate, achieve game targets as well as strategize. This game lasts for about two hours and is carried out under a light rain. However, despite the rain, the participants maintained their enthusiasm for completing the game, just as they did back then, cooperate, be consistent, be creative and learn from mistakes to achieve short-term goals. The conditions and other obstacles in the game are indeed conditioned to generate reflections related to the program that is currently working on KOMPAK.

Even though the game of Toxic Swamp was quite tiring, the participants were still quite enthusiastic about participating in the last session, namely the deepening of organizational material associated with the Toxic Swamp game. This session is the final session as well as the closing of the activity. In this last session, the participants were asked to speak to express their opinions about the improvements that need to be done to achieve short-term and long-term targets in the edu-ecotourism program. By relating it to events that occur in the game, participants find it easier to see the connection between the parts in the organization.

Foto 3. Participants take part in the game “poison swamp” (Amanda/RMI)

The final step of the training is to draw up an agreement to finalize the details of the work including the team, time and how to do it.  RMI community organizer, Fauzan A. who accompanied the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People stated that the revised follow up plan would be carried out again after the training, involving Marja as the KOMPAK coach. He himself admitted that he was happy with the Leadership Training activities that brought groups from outside the Kasepuhan area.

“We like to be visited by friends from outside. But here is what it is,” said Marja, a village elder as well as a KOMPAK coach. He hopes that the deadlocks that occur when thinking ‘alone’ can be resolved by having new friends.

Lessons learned by the three groups involved in this leadership training may vary for each group. However, small steps are always required to reach distant goals, as depicted in the game and in the post-game reflection discussions.

This Leadership Training activity is part of the ‘Being and Becoming Indigenous’ platform – a learning platform with indigenous youths which is held in three indigenous communities in two countries, namely Kasepuhan Pasir Eurih and Mollo in Indonesia (RMI and  Lakoat Kujawas ) and Dumagat-Remontado in the Philippines (AFA  and PAKISAMA).

Author: Indra N. Hatasura

Translated by: Alfina Khairunnisa

Changes in the Perception of Life of the Youth Generation of Kasepuhan Cibedug

The sun had just risen when a 14 years old young man stepped out of the house wearing a long sleeve shirt, trousers, and a cap that made him look the same as a child of his age. This assumption changed momentarily. He carried a hoe and kaneron (a bag made of sacks).

Arek ka sawah.”

Going to the rice fields, he said. Rice fields are the place he has visited most since the last two years. Adut is the name of the young name. Even though it is tiring, according to him, being in the rice fields is better than feeling bored at home.

When modernity and the lifestyle in the city have hit, rice fields are not an attractive place for young people of his age, who prefer to play gadgets.

For the Kasepuhan Cibedug Indigenous People, Lebak, Banten, rice fields are part of the forest, where they depend their lives on because most of their lives are spent in the fields. Five days a week, from morning to evening they are in leuweung garapan (arable forest, including rice fields, gardens and houses), and two days in the forest to collect firewood or lalapan(fresh vegetables to accompany meals).

Kasepuhan Cibedug is an indigenous people community who live in an area that functions as a national park, namely the Mount Halimun Salak National Park (TNGHS). Kasepuhan Cibedug is located in the core zone of TNGHS, which is an area of National Park that has natural conditions that is still pristine and protected, and is currently applying for Customary Forest. 

As a child, Adut lived in Lampung with his mother and stepfather. Adut received only 2 years of education, from grade 1 to 2 of elementary school. After that, he became a labour in an oil palm plantation, as a transporter of oil palm fruit. Her mother and stepfather also worked on the oil palm plantation as sprayers.

Two years ago, Adut returned to Kasepuhan Cibedug, his mother’s hometown. His stepfather admitted that while Adut was in Lampung he still went to school, but in reality, he was not. Instead, he was asked to work on an oil palm plantation. Adut has also forgotten what his real father is like. He does not have any memories with that person. Now, his stepfather left him, his mother and step sister.

In the last two years, Adut’s life was no longer in oil palm plantations, but in the fields owned by his mother and uncles. Sometimes he does macul (hoeing rice fields). Sometimes he does ngebabat (cleaning weeds in the rice fields) or just holding a kokoprok rope (bird repellent made from bamboo). Adut also often goes to the forest to collect firewood.

Adut admitted that he was afraid and ashamed of going to school again, even though his mother and uncle had asked him to. He still doesn’t want to continue his formal education. Currently, Adut forgets what he has learned during school. He can’t read and write. Adut may not know what is the purpose of going to school, and he also doesn’t know what the impact of not going to school.

“I feel sorry for the boy” said some people seeing Adut. “How dare the parents,” said some of the others. “That’s great,” said some of the farmers whose children couldn’t farm.

What is there to be sorry for? Adut is one of the many children in Indonesia who experience the same thing, who drop out of school and go straight to work. Those who can’t read and write. Those who follow their parents to do farming. Those who do not know what their goals are. 

What makes it great? Adut may be a special person and will lead agriculture in Kasepuhan Cibedug in the future, because when a child his age is busy playing or going to the city, he chooses to farm and collect firewood in the forest following his local wisdom. When a child his age has no knowledge of farming local varieties of rice (pare gede), he grows it instead.

Change in Perception of Life

Reduced interest in agriculture and local wisdom as an indigenous community, started from a change in perceptions about the life of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People. For example, many young people decide to look for work in the city or village nearby. When they returned to Kasepuhan Cibedug, they brought a new life — a different life.

It is still fresh in the memory, when a group of young people told a story about how motorbikes first entered their territory. At that time, the one who brought a motorbike was one of the residents who had lived outside the Kasepuhan Cibedug area for a long time. The group of young people told how they held and paid close attention to this means of transportation. When the motorbike set off, they chased it. The early motorbikes which enter Kasepuhan Cibedug occurred in the early 2000s.

Currently, the younger generation in Kasepuhan Cibedug are flocking to the city. Most of them work in garbage stalls. The young women become household assistants, or help out at trash stalls. There are also many motorbikes in Kasepuhan Cibedug now.

Apart from the large number of young people who went to the city and nearby village, the invasion of information technology in Kasepuhan Cibedug also affected their lives. Although this is not the first time that the internet network has entered their area, it is the most massive.

An example that affects the lives of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People is the decreasing number of children who play traditional games outside the home. Currently there are not as many children playing traditional games as seven months ago, before the internet existed. Nowadays children prefer to play on their gadgets late into the night. It is feared that this will reduce interest and sense of responsibility in preserving the customs, traditions and culture of Kasepuhan Cibedug.

Lack of Interest in Agriculture

The important role of young farmers is one of the success factors of sustainable agriculture. In essence, sustainable agriculture is an agricultural system that is carried out through optimal management of potential resources, such as human resources, natural resources, local wisdom, institutions and technology, to keep an effort going and not deteriorating to improve the welfare of society as a whole.

According to data from the People’s Coalition for Sovereignty Research (KRKP), 70% of young people living in rural areas admit that they are not interested in becoming farmers (KRKP, 2015). This is a dilemma, considering that currently 60.8% of farmers are over 45 years old (LIPI, 2017).

From observations, modernity and changes in the perception of life that occur have had a positive impact on the Kasepuhan Cibedug Indigenous People, when viewed from an economic aspect. However, if we trace it deeper, people do not realize that these changes can threaten them. What if no one is farming anymore? What if the local wisdom is no longer practiced? Will the young generation of Kasepuhan Cibedug lose their identity as indigenous peoples?

Children go,

There is no successor,

Local wisdom is not lived on,

Identities are lost,

Life will be hard to live on

Finally, the changes that occur in the dimensions of the life of the Kasepuhan Cibedug Indigenous Peoples are indeed unavoidable. Changes that take place can have positive and negative impacts on the Kasepuhan Cibedug Indigenous People itself. Adaptation to change is necessary in order to bring optimal benefits, but the preservation of their customs also needs to be maintained.

Although Adut doesn’t know what his goals are, but until now he is still consistent in farming. According to him, going to the fields is a habit to get rid of boredom. In the fields he does maculngebabat or just hold the kokoprok rope. According to him, working in the fields is fun and not boring. Hopefully there are other Adut who enjoy working for a long time in the fields, not just having a picnic in the fields for an hour and then returning to playing gadgets.

Author: Siti Marfu’ah

Translator: Alfina Khairunnisa

Perubahan Persepsi Kehidupan Generasi Muda Adat Kasepuhan Cibedug

Matahari belum lama beranjak dari peraduannya ketika pemuda berusia 14 tahun melangkahkan kaki keluar rumah menggunakan baju lengan panjang, celana panjang, dan topi yang membuat ia terlihat sama dengan anak seumurannya. Anggapan tersebut sesaat berubah. Ia  membawa pacul dan kaneron (tas yang terbuat dari karung).

Arek ka sawah.”

Ingin ke sawah, katanya. Sawah adalah tempat yang paling sering ia kunjungi sejak dua tahun terakhir. Adut nama pemuda itu. Walaupun melelahkan, menurutnya, di sawah lebih baik daripada merasakan bosan di rumah.

Ketika modernitas dan gaya hidup di kota sudah menyergap, sawah bukanlah tempat yang menarik bagi anak muda seusianya, yang lebih memilih di rumah main gawai.

Bagi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug, Lebak, Banten, sawah bagian dari hutan, tempat menggantungkan hidup karena sebagian besar kehidupan mereka dihabiskan di sawah. Lima hari dalam seminggu, dari pagi hingga petang mereka di leuweung garapan (hutan garapan, termasuk sawah, kebun, dan rumah), dan dua harinya di hutan untuk mengambil kayu bakar atau lalapan.

Kasepuhan Cibedug adalah komunitas masyarakat adat yang berada di wilayah yang berfungsi sebagai taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Kasepuhan ini berada di zona inti TNGHS dan saat ini sedang mengajukan Hutan Adat. 

Adut sedang memacul di sawah

Saat kecil Adut tinggal di Lampung bersama ibu dan ayah tirinya. Adut mengenyam bangku pendidikan hanya 2 tahun, yaitu dari kelas 1 hingga 2 SD. Setelah itu ia menjadi buruh di perkebunan sawit, sebagai pengangkut buah kelapa sawit. Ibu dan ayah tirinya juga bekerja di perkebunan sawit sebagai penyemprot.

Dua tahun yang lalu, Adut pulang ke Kasepuhan Cibedug, kampung halaman ibunya. Ayah tirinya mengaku kalau Adut selama di Lampung tetap bersekolah, tetapi kenyataannya tidak. Dia diminta bekerja di perkebunan sawit. Adut pun telah lupa seperti apa ayah kandungnya.  Ia tidak memiliki kenangan apa-apa dengan orang tersebut. Sekarang ayah tirinya pergi meninggalkan ia, ibu dan adik tirinya.

Sejak dua tahun lalu kehidupan Adut bukan lagi di perkebunan sawit, melainkan di sawah milik ibu dan paman-pamannya. Terkadang ia macul (pacul sawah). Terkadang ia ngebabat (membersihkan rumput liar di sawah) atau hanya sekedar memegang tali kokoprok (pengusir burung yang terbuat dari bambu). Adut juga seringkali ke hutan mengambil kayu bakar.

Adut mengakui ia takut dan malu sekolah lagi, meskipun sudah diminta oleh ibu dan pamannya. Ia tetap tidak ingin melanjutkan pendidikan formalnya. Saat ini Adut lupa apa saja yang telah ia pelajari semasa sekolah. Ia tidak bisa baca-tulis. Adut mungkin tidak tahu untuk apa bersekolah, dan ia juga tidak tahu apa dampaknya tidak sekolah.

“Kasihan,” kata sebagian orang melihat Adut. “Tega sekali orangtuanya,” kata sebagian yang lain. “Hebat,” kata sebagian petani yang anaknya tidak bisa bertani.

Apa yang perlu dikasihani? Adut adalah salah satu dari sekian banyak anak di Indonesia yang mengalami hal serupa, yang putus sekolah dan langsung bekerja. Yang tidak bisa baca-tulis. Yang ikut orangtua bertani. Yang tidak tahu apa cita-citanya. 

Apa yang membuatnya hebat? Adut mungkin orang yang istimewa dan akan memimpin pertanian di Kasepuhan Cibedug kelak, karena di saat anak seusianya sibuk main atau pergi ke kota, ia memilih bertani dan mengambil kayu bakar di hutan sesuai dengan kearifan lokalnya. Ketika anak seusianya tidak memiliki pengetahuan terkait bertani padi varietas lokal (pare gede), ia malah menanamnya.

Perubahan Persepsi Kehidupan

Berkurangnya minat pada pertanian, dan kearifan lokal sebagai masyarakat adat, berawal dari perubahan persepsi tentang kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug. Misalnya banyaknya anak muda yang memutuskan untuk cari pekerjaan ke kota atau kampung sebelah. Ketika mereka pulang ke Kasepuhan Cibedug, mereka membawa kehidupan baru—kehidupan yang berbeda.

Masih segar di ingatan, ketika kelompok anak muda bercerita bagaimana sepeda motor pertama kali masuk ke wilayah mereka. Saat itu yang membawa sepeda motor adalah salah satu warga yang telah lama tinggal di luar wilayah Kasepuhan Cibedug. Kelompok anak muda itu bercerita bagaimana mereka memegang dan memperhatikan secara seksama alat transportasi tersebut. Saat sepeda motor tersebut pergi mereka mengejarnya. Peristiwa masuknya sepeda motor di Kasepuhan Cibedug terjadi di awal tahun 2000an.

Saat ini generasi muda di Kasepuhan Cibedug berbondong-bondong pergi ke kota. Sebagian besar mereka kerja di lapak sampah. Pemudinya menjadi asisten rumah tangga, atau membantu di lapak sampah. Sepeda motor pun sudah banyak di Kasepuhan Cibedug.

Selain banyaknya anak muda yang pergi ke kota atau kampung sebelah, adanya serbuan teknologi informasi di Kasepuhan Cibedug juga mempengaruhi kehidupan mereka. Walaupun ini bukan kali pertama jaringan internet masuk ke wilayah mereka, tetapi ini yang paling masif.

Contoh yang mempengaruhi kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug adalah berkurangnya anak-anak yang bermain permainan tradisional di luar rumah. Saat ini anak-anak yang bermain permainan tradisional tidak sebanyak tujuh bulan lalu, sebelum internet ada. Saat ini anak-anak lebih senang bermain gawai hingga larut malam. Hal ini dikhawatirkan akan mengurangi minat dan rasa tanggung jawabnya dalam melestarikan adat istiadat, tradisi dan budaya Kasepuhan Cibedug.

Kurangnya Minat di Pertanian

Pentingnya peran petani muda merupakan salah satu faktor keberhasilan pertanian berkelanjutan. Pada hakikatnya pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian yang dilakukan melalui pengelolaan secara optimal potensi sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, kearifan lokal, kelembagaan dan teknologi, untuk menjaga agar suatu upaya terus berlangsung dan tidak mengalami kemerosotan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Menurut data Riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan (KRKP), 70% anak muda yang tinggal di pedesaan mengaku tidak berminat menjadi petani (KRKP, 2015). Hal ini menjadi sebuah dilema, mengingat saat ini 60,8% petani sudah berusia di atas 45 tahun (LIPI, 2017).

Sejauh pengamatan, modernitas dan perubahan persepsi kehidupan yang terjadi membawa dampak positif bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug, apabila ditinjau dari aspek ekonomi. Namun jika ditelusuri lebih dalam, masyarakat tidak menyadari bahwa perubahan-perubahan tersebut dapat mengancam mereka. Bagaimana jika tidak ada yang bertani lagi? Bagaimana jika kearifan lokalnya sudah tidak dipraktekan lagi? Apakah generasi muda Kasepuhan Cibedug akan kehilangan identitas mereka sebagai masyarkat adat?

Anak pergi,

Tidak adalagi penerus kami,

Kearifan lokal tidak dijalani,

Hilangnya identitas diri,

Hidup sulit hingga mati.

Akhirnya, perubahan-perubahan yang terjadi dalam dimensi kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug memang merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Perubahan yang berlangsung dapat membawa pengaruh positif dan negatif bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug itu sendiri. Adaptasi terhadap perubahan itu memang diperlukan agar dapat membawa manfaat yang optimal, namun kelestarian adat istiadat mereka juga tetap perlu terjaga.

Walaupun Adut tidak tahu apa cita-citanya. Tetapi hingga saat ini ia masih konsisten untuk bertani. Menurutnya pergi ke sawah adalah kebiasaan untuk menghilangkan rasa bosan. Di sawah ia biasa macul, ngebabat atau hanya sekedar memegang tali kokoprok. Menurutnya, bukankah bekerja di sawah itu menyenangkan dan tidak membosankan. Semoga ada Adut-Adut lain yang kerasaan kerja berlama-lama di sawah, bukan hanya piknik ke sawah sejam lalu kembali lagi main gadget.

Penulis: Siti Marfu’ah

Jadi dan Menjadi Masyarakat Adat: Suara Anak Muda Adat

“Bagaimana kamu memandang identitasmu sebagai masyarakat adat di masa kini, disaat modernisasi, terutama teknologi informasi dan digitalisasi telah semakin mengubah cara kita berinteraksi dengan lingkungan kita, dan lebih jauh telah mempengaruhi cara kita memandang sesuatu, termasuk kontribusi pada stigma yang melekat pada masyarakat adat dan mereka yang bergantung pada sumber daya alam? ” “Menurutmu apakah Kamu masih menjadi bagian dari masyarakat adat saat Kamu menggunakan teknologi yang tidak digunakan orang tua dan leluhurmu di masa lalu?” “Menurutmu, apa yang membuatmu menjadi bagian dari masyarakat adat? Dan apakah artinya itu ? ”

Berangkat dari kehidupan sehari-hari pemuda/i adat, pertanyaan-pertanyaan semacam ini dirancang dengan cermat dalam program berjudul “Being and Becoming Indigenous”—atau “Jadi dan Menjadi Masyarakat Adat” untuk memberikan ruang bagi generasi muda dari empat komunitas adat mendiskusikan persepsi mereka sendiri tentang ke-adat-an mereka di tengah modernitas. Beberapa pertanyaan tersebut sebenarnya tercermin dari pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan oleh masyarakat non-adat kepada pemuda/i, mempertanyakan identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat adat. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang kontradiktif dan jarang dibahas telah membingungkan para pemuda/i ini.Karena persimpangan antara kehidupan mereka yang berbasis tradisi/adat dengan modernitas jarang sekali dibahas, maka arah perubahan yang mungkin terjadi pun tidak terencana dengan baik.

Anak muda adat Mollo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Sumber foto: Lakoat Kujawas

“Being and Becoming Indigenous”—atau “Jadi dan Menjadi Masyarakat Adat” merupakan program pemberdayaan generasi muda adat dengan memberikan ruang bagi mereka untuk memahami akar dan makna tradisinya, terutama tentang tata kelola sumber daya alam, di tengah kehidupan modern. Selain hal tersebut di atas, program ini juga bertujuan untuk memperkuat persepsi pemuda/i tentang adat yang berimplikasi pada partisipasi pemuda/i ini dalam mereproduksi praktik mata pencaharian berbasis komunal mereka kedepannya. Keempat komunitas Pemuda/i adat ini adalah Kasepuhan Pasir Eurih di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, keduanya berada di Indonesia, dan Agta-Dumagat-Remontado di Filipina akan berkesempatan untuk mendefinisikan identitasnya sebagai bagian dari komunitas adat meskipun hidup dan terhubung, termasuk secara digital, ke dunia modern. Para pemuda/i akan mendapat pengalaman di ruang belajar bersama ini guna memahami makna menjadi masyarakat adat selama delapan bulan ke depan.

Program ini dikelola oleh RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment bekerja sama dengan Asian Farmers Association for Rural Sustainable Development (AFA) dengan pelaksana lokal adalah Lakoat Kujawas di Indonesia, dan PAKISAMA di Filipina. “Being and Becoming Indigenous” adalah sebuah program yang didukung oleh program VOICE.

Semoga dalam prosesnya Anak muda-anak muda adat ini dapat mempersepsikan identitas mereka sebagai bagian dari budaya pemuda/i global sembari tetap berpegang pada akar tradisi mereka!