“How do you perceive your identity as being indigenous in present days, when modernization, especially information technology and digitalisation have further changed the way we interact with our surroundings, and have further influenced the way we see things, including to contribute to the stigma attached to indigenous communities and those depending on natural resources?” “Do you think you are still indigenous when you use technology that your parents and elders did not use in the past times?” “What do you think that makes you indigenous and what does it mean?”
Drawing from daily lives of indigenous youth, these kinds of questions are carefully designed in a project titled “Being and Becoming Indigenous” to provide space for youth from four indigenous communities to discuss their own perception on their indigeneity in the midst of modernity. Some of these questions are actually reflected from questions that are often being asked by the non-indigenous persons to the youth, questioning their identity as part of indigenous communities. These kinds of questions have left these youth confused as these kinds of seemed-to-be-contradictions are rarely discussed. As these crossroads between indigeneity and modernity of indigenous youth’s identity is rarely discussed, the directions of changes that are likely to happen are not well-planned.
The “Being and Becoming Indigenous” is a project to empower indigenous youth by creating a space for them to understand their roots and the meaning of their traditions, especially on natural resources governance, in the midst of modern life. This project also aims to contribute to strengthening the youth’s perception on indigeneity that implies to these youth’s participation in reproducing their community’s communal-based livelihoods practices in the long run. Youth of four indigenous communities namely Kasepuhan Pasir Eurih in Lebak Regency, Banten Province, Mollo in South Central Timor Regency, East Nusa Tenggara Province, both located in Indonesia, and Agta-Dumagat-Remontado in the Philippines will experience the opportunity to define their identity as being part of indigenous communities whilst living and be connected, including digitally, to the modern world. Co-learning space will be enjoyed by these youth to understand the meaning of being and becoming indigenous in the next eight months.
This project is led by RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment in collaboration with Asian Farmers Association for Sustainable Rural Development (AFA). Acting as local implementers are Lakoat Kujawas in Indonesia, and PAKISAMA in the Philippines. “Being and Becoming Indigenous” is a project supported by VOICE programme.
Please the process of these indigenous youth in perceiving their identities as part of global youth culture whilst also rooting in to their traditions!
Hubungan antara manusia dan lingkungan tidak bisa dihindarkan, namun perlu juga dipahami, bahwa derajat manusia tidaklah lebih tinggi dari lingkungan disekitarnya, yang kemudian, seolah-olah memperbolehkan manusia memperkosa lingkungan demi keberlangsungan kepuasan manusia yang kemudian justru merampas ruang hidup. Hukum di Indonesia melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak manusia pada aspek lingkungan, pendidikan, pangan, kesehatan, dan keselamatan. Namun di sisi lain, pelanggaran hak-hak atas lingkungan masih terjadi hingga saat ini, menciptakan ancaman yang besar bagi peradaban manusia.
Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa “lingkungan yang baik dan sehat adalah hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;” tetapi ironisnya, kerusakan lingkungan yang telah terjadi di Indonesia, meskipun mungkin tampak “alamiah”, sebenarnya adalah kerusakan sistematis, yang berarti bahwa kerusakan ini dapat dicegah. Ambil contoh tanah longsor; kurangnya pohon menyebabkan tanah menjadi lebih lemah karena air yang berlebihan disimpan di akar pohon, deforestasi adalah salah satu penyebab terus berkurangnya jumlah tutupan pohon. Contoh lain adalah banjir; proyek infrastruktur dapat menghambat saluran pembuangan air juga menyebabkan penurunan lahan (3-18 cm per tahun jika kita berbicara tentang Jakarta). Ini hanya beberapa contoh bencana “alam”. Bayangkan berapa banyak bencana alam lainnya yang tidak terekspos di media, yang sesungguhnya diciptakan oleh manusianya sendiri.
Ambil contoh perjuangan sembilan perempuan petani di Kendeng pada tahun 2016, di mana mereka menolak keras pembangunan PT Semen Indonesia di wilayah hidup mereka, terutama karena keprihatinan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh operasi pembangunan pabrik semen tersebut. Lokasi tersebut diketahui memiliki mata air dan merupakan lumbung pangan bagi masyarakat sekitar yang berladang, bertani, dan memiliki sumber penghidupan dari sumber daya alam di sana. Akibat dari penggalian pabrik semen tersebut membuat banyak daerah di sekitarnya kekeringan. Perampasan hak atas tanah ini sering terjadi atas nama pembangunan. Emil Salim, ahli Ekonom senior Indonesia dan mantan Politikus, menyatakan bahwa “politisi ditahan sebagai sandera oleh pemilik bisnis besar”. Pada diskusi yang berlangsung di Jakarta pada 3 Desember 2019, ia menceritakan sebuah fakta bahwa investor menggunakan politisi ini sebagai “tangan” mereka untuk merebut tanah dan sumber daya alam rakyat.
Perjuangan perempuan Kendeng mempertahankan kelestarian lingkungan di wilayahnya menunjukkan betapa bergantungnya manusia kepada lingkungan. Permasalahan lingkungan di Kendeng ini sebenarnya adalah permasalahan yang dapat dicegah karena bukan merupakan masalah lingkungan yang terjadi secara alamiah. Melindungi hak atas lingkungan dan ruang hidup berarti melindungi hak asasi manusia untuk hidup. Melanggar ha katas lingkungan dan ruang hidup berarti melanggar hak asasi manusia untuk hidup. Sangat penting untuk mendengar langsung dari mereka yang mengalami pelanggaran HAM ini, karena ketika perempuan diberi ruang untuk berpartisipasi, mereka akan dapat memutuskan hal-hal yang dapat mempengaruhi mereka dalam memastikan lingkungan yang layak untuk ditinggali; bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk masyarakat lebih luas.
Alm. Nia Ramdhaniaty dianugerahi penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai salah satu Tokoh Perhutanan Sosial (HutSos) 2019. Sejak tahun 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menganugerahkan penghargaan bagi para tokoh HutSos yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dalam berbagai kategori. Tahun 2019 ini, Imam Hanafi mewakili almarhumah menerima penghargaan tersebut yang diserahkan langsung oleh Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, dan Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam gelaran Festival PESONA yang diselenggarakan oleh KLHK.
Nia, panggilan akrabnya, adalah sosok yang memiliki perhatian besar terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan gender dan nasib masyarakat marjinal, khususnya perempuan non-elit. Perhatian besar tersebut dijawantahkan lewat pengalamannya yang panjang berinteraksi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat marjinal pedesaan sejak pertama kali bergabung dengan RMI pada 2002.
Sadar akan kondisi masyarakat marjinal yang tinggal di dan sekitar hutan serta jauh dari pemenuhan hak-haknya, Nia melakukan sejumlah upaya demi terciptanya pemenuhan hak-hak mereka. Bersama Koalisi Hutan Adat dan masyarakat Kasepuhan Karang, Nia berperan dalam upaya mendorong pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Karang sejak 2013 hingga akhirnya mendapat pengakuan pada 30 Desember 2016. Saat itu, hampir semua pihak meragukan bahwa wilayah hutan konservasi di Pulau Jawa dapat memperoleh pengakuan hutan adat sehingga status kepemilikannya dikembalikan pada masyarakat adat.
Berbagai strategi dilakukan dalam kurun waktu 2013-2016, diantaranya melakukan riset tentang Masyarakat Adat dan Hutan Adat Kasepuhan Karang, pemetaan partisipatif, pengorganisasian masyarakat secara intensif termasuk penguatan kelompok perempuan melalui Sekolah Lapang Perempuan yang dilakukan secara berseri.
Bersamaan dengan hal tersebut, bersama tim di RMI, SABAKI dan jaringan organisasi sipil lainnya, Nia memimpin upaya pengesahan Perda Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kasepuhan No 8/2015 serta mendinamisasi proses tersebut dengan organisasi-organisasi mitra RMI dan Pemda Kabupaten Lebak.
Pengusulan pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Karang pertama kali dilakukan pada bulan Oktober 2015 di Jakarta dan diterima langsung oleh Dirjen PSKL saat itu, yaitu Bapak Dr. Hadi Daryanto, sebelum Perda Kasepuhan lahir pada November 2015. Walaupun Hutan Adat Kasepuhan Karang sudah dikunjungi oleh Dirjen PSKL dan tim dari KLHK menindaklanjuti pengusulan tersebut, namun, pengakuan dalam bentuk SK tak kunjung didapat. Karenanya, sepanjang tahun, Nia terus memimpin proses advokasi dalam bentuk audiensi terus dilakukan kepada KLHK, bersama masyarakat adat Kasepuhan Karang. Pengusulan pengakuan hutan adat pun diulang pada bulan Oktober 2016, hingga akhirnya diakui pada Desember 2016.
Dalam rentang waktu 3 bulan tersebut, Nia terus terlibat dalam upaya advokasi, misalnya memandu konferensi pers terkait proses pengakuan hutan adat yang belum juga ada kejelasan untuk memfasilitasi 4 komunitas adat yang telah mengusulkan penetapan hutan adat mereka, yaitu Kasepuhan Karang, Marga Serampas, Ammatoa Kajang dan Wana Posangke pada 5 Desember 2016. Hasilnya, Hutan Adat Kasepuhan Karang menjadi salah satu hutan adat pertama yang diakui oleh Negara, dan menjadi representasi satu-satunya dari Hutan Adat yang berada di Pulau Jawa dengan fungsi konservasi.
Pasca pengakuan tersebut, Nia melanjutkan riset lebih spesifik untuk melihat dampak dari pengakuan hutan adat bagi komunitas adat Kasepuhan Karang, khususnya bagi pihak-pihak marjinal yaitu perempuan (non-elit) yang umumnya tidak memiliki lahan sendiri. Riset ini merupakan penelitian dalam proyek tesis Magisternya, yang dia selesaikan pada tahun 2018. Di samping itu, melalui riset yang dilakukan RMI bersama organisasi lain yang tergabung dalam Koalisi Hutan Adat yaitu HuMA, Yayasan Merah Putih, Qbar, Lembaga Bela Banoa Talino, Bantaya dan AMAN Sulawesi Selatan, Nia memimpin riset tersebut untuk mempelajari proses yang dilalui oleh 7 komunitas adat dalam tahap pra dan paska pengakuan hutan adat pada 2017-2018. Salah satu bagian riset ini juga melihat peran dan manfaat yang diterima oleh pihak-pihak marjinal dalam komunitas adat dalam perjuangan mendapatkan pengakuan atas hutan adatnya, yaitu perempuan dan generasi muda. Salah satu rekomendasi dari riset ini adalah penyediaan peta indikatif hutan adat yang disampaikan pada 27 Desember 2018.
Pada 21 September 2019, keluarga besar RMI kehilangan saudara, kakak, guru, sekaligus sahabat yang kami sayangi, Alm. Nia Ramdhaniaty. Namun, tidak sedikitpun hasil kerja keras dan dedikasinya kemudian bisa termakan oleh waktu, pun tanpa keberadaan fisiknya di sini. Nia Ramdhaniaty (Alm) terpilih menjadi salah satu Tokoh Penggerak Perhutanan Sosial Level Pendamping Tapak tahun 2019.
“Ini kali kedua dilakukan penilaian untuk toko-tokoh dan akan terus dilakukan, karena dengan ketokohan dengan role play, kita langsung menyaksikan, mengalami dan mengambil mencontoh dari apa itu praktek hutan sosial, yang bisa di dalami lebih jauh makna dan keterlibatan kesehariannya”, Hal tersebut diuangkapkan oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam arahannya usai memberikan piagam kepada para tokoh Hutan Sosial.
Pemilihan tokoh penggerak ini digagas oleh masyarakat, yang kemudian diperkuat melalui kegiatan verifikasi lapangan. Tim Juri menyepakati untuk Penerima Apresiasi Tokoh Hutan Sosial 2019 diberikan kepada 9 (sembilan) Tokoh Hutan Sosial, dan 4 (empat) Tokoh Penggerak (level kebijakan), 4 (empat) Tokoh Penggerak Level Pendamping Tapak dan 3 (tiga) Tokoh Penggerak Level Microfinance.
Pada 21 April setiap tahunnya, Indonesia memperingati Hari Kartini. Hari besar ini dirayakan bersamaan dengan hari kelahiran seorang pahlawan nasional perempuan bernama R.A. Kartini dari Rembang, Jawa Tengah. Ia dikenal sebagai sosok yang aktif menyuarakan emansipasi kaum perempuan di masa di mana perempuan mengalami represi atas hak, terutama hak untuk mengeyam pendidikan. Kartini kemudian ingin perempuan memiliki kebebasan menuntut ilmu dengan belajar, dan langkah untuk mencapai keinginannya adalah melalui pendidikan. Dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara dan setelah menikah, dia mendirikan lagi sekolah di Rembang. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya.
Keinginan untuk membuat sekolah yang bisa menampung murid perempuan atau siswi yang lebih banyak dan memperluas jumlah murid yang berasal dari golongan bawah menjadi ambisi yang ingin ia wujudkan. Sekolah yang dibangun tanpa memungut bayaran kepada siswanya itupun berhasil dibangun, dana apa yang Kartini inisiasikan kemudian diikuti oleh perempuan lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di daerah merea masing-masing, seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon. Tekad kuat Kartini tidak serta merta terjadi tanpa keberanian yang dinilai melebihi perempuan-perempuan lain pada zamannya. Demi mewujudkan ambisinya tersebut, Kartini pernah bertukar surat dengan pemerintah Hindia Belanda.
Perjuangan perempuan seperti Kartini saat ini masih bisa kita jumpai di Indonesia. Ketika perempuan yang “dikonstruksi” bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan pangan keluarga, tetapi di saat yang sama, ruang hidup mereka terampas, maka seketika itu pula daya juang perempuan akan terlihat. Salah satunya adalah perjuangan perempuan adat yang berada di Kasepuhan Banten Kidul. Menurut riset Tutur Perempuan Adat yang dilakukan oleh RMI pada tahun 2017 mengatakan bahwa ditengah ketidakadilan penguasaan ruang yang terjadi saat ini perempuanlah yang lebih sering ke sawah, karena laki-laki di desa harus pergi ke lubang tambang atau jadi pekerja berat seperti kuli bangungan, kuli kayu dan lain-lain. Perjuangan perempuan adat kasepuhan ini juga didorong oleh meningkatnya kebutuhan hidup, sehingga tidak hanya ke sawah yang mereka lakukan tetapi juga ikut bantu yang laki-laki di lubang tambang, menjadi buruh tani di sawah orang lain, dan pekerjaan sampingan yang lain.
Perempuan adat kasepuhan juga tangguh karena mereka dapat mengerjakan banyak hal, bahkan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki di tempat lain. Selain berperan di ranah domestik, perempuan adat juga menjalankan peran yang cukup signifikan dalam pertanian dan tata kelola tanah, seperti mencangkul, membabat atau bahkan memanggul hasil pare ke penggilingan.
Hal itu membuat perempuan adat memiliki pengetahuan lebih tentang berbagai macam hal, seperti jenis padi, obat-obatan tradisional, dan pemilihan bibit yang tepat. Perempuan adat lebih mengetahui bagaimana cara penentuan waktu dalam bercocok tanam di huma maupun di sawah. Penanaman itu mengacu pada konsep Guru Mangsa yang berarti berguru pada alam semesta untuk mengetahui kapan boleh melakukan kegiatan pertanian atau dan kapan waktu yang tidak tepat.
Selain perempuan Kasepuhan Banten Kidul, perempuan Nagari Alam Pauh Duo, Solok Selatan, Sumatera Barat juga berjuang untuk ikut memenuhi kebutuhan sehari-hari (pangan dan air) dan dalam upaya menghasilkan nilai ekonomi. Dalam skema pengelolaan sumber daya alam, perempuan Nagari Alam Pauh Duo juga memiliki peranan penting dalam usaha tani dan pengelolaan produksi hasil hutan non kayu dan bahkan perempuan menjadi mayoritas sebagai petani, baik buruh tani maupun bertani di ladang milik sendiri. Perempuan Nagari Alam Pauh Duo berperan dalam usaha penyiapan lahan untuk siap tanam, penebaran bibit tanaman, mengontrol pemberian pupuk, air dan penghilangan hama hingga pada proses pemasaran di pasar tradisional maupun menjualnya kepada kerabat terdekat. Selain itu, dalam usaha produksi hasil hutan non kayu, perempuan banyak terlibat dalam budidaya tanaman rempah-rempah seperti kayu manis, gambir yang menjadi komoditi khas dari Nagari Alam Pauh Duo, atau buah jeruk. (Women Research Insitute, 2016)
Dua penjabaran diatas sejalan dengan yang disampaikan Surono dan Wirotoahwa perempuan memiliki posisi penting dalam pertanian. Perempuanlah yang bertugas memelihara dan menyimpan benih. Di banyak negara berkembang di dunia, kebanyakan petani adalah perempuan. Negara-negara ini adalah produsen makanan pokok seperti jagung, beras, gandum dan lainnya. Di Asia Tenggara, perempuan melakukan 90% proses produksi bahan pangan pokok, dan lebih besar lagi pada bahan pangan tambahan seperti buah-buahan dan sayur-sayuran. Di Asia dan Afrika, petani perempuan bekerja 13 jam lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Tidak hanya petani perempuan yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan ditengah ketidakadilan penguasaan ruang, perempuan nelayan di Kalimantan Barat juga mengalami hal yang serupa. Perempuan nelayan memiliki peranan yang sangat penting dalam rumah tangga nelayan, baik sebagai nelayan, maupun istri nelayan. Menurut data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) tahun 2014, ada 48% dari pendapatan keluarga nelayan merupakan hasil dari perempuan nelayan. Sedikitnya 56 juta orang terlibat dalam aktivitas perikanan. Aktivitas ini mulai dari penangkapan, pengolahan, sa (Surono Indro, 2006)mpai dengan pemasaran hasil tangkapan. Dari jumlah itu, 70 persen atau sekitar 39 juta orang adalah perempuan nelayan. (KIARA, 2014).
Masih banyak kelompok-kelompok perempuan lain yang berjuang memenuhi kebutuhan hidup melalui sumber daya alamnya ditengah ketidakadilan penguasaan ruang yang terjadi. Meskipun begitu, perempuanlah yang paling mengenal sumber daya alam sekitar mereka. Melalui pengetahuan dan pengalamannya, perempuan patut diperhitungkan untuk mengendalikan proses pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Sumber:
Nuhamidah, N. F. (2017). Tutur Perempuan Adat: Kisah Perjuangan Hidup Perempuan Kasepuhan di Kabupaten Lebak Dari Masa ke Masa. Bogor: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment.
KIARA. (2014, Mei 28). Nasib Perempuan Nelayan. Dipetik April 20, 2019, dari www.kiara.or.id: https://www.kiara.or.id/nasib-perempuan-nelayan/
Surono Indro, dan Wiroto. (2006). Kedaulatan Pangan; Perjuangan Rakyat Dalam Mewujudkan Hak Pangan. Bogor: KRKP.
Women Research Insitute. (2016, Januari). Pengelolaan Sumber Daya Alam & Dampaknya Pada Kehidupan Perempuan di Solok Selatan. Dipetik April 20, 2019, dari www.wri.or.id: https://www.wri.or.id/attachments/article/688/Factsheet_Dampak%20Konsesi%20Hutan%20terhadap%20Perempuan%20di%20Solok%20Selatan.pdf
LEBAK-(22/03/2019) Masyarakat adalah poros penggerak kemajuan suatu desa. Kesadaran ini tengah terlihat pada masyarakat Kasepuhan Cibarani yang berdiam di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Lebak, Banten. Di sebuah hari yang cerah pada 22 Maret 2019, masyarakat Kasepuhan Cibarani berkumpul untuk membentuk koperasi dan membuat kesepakatan jumlah nominal simpanan wajib dan simpanan pokok yang harus dikeluarkan oleh anggota-nya. Selain itu, masyarakat Cibarani …
Today, we are celebrating the International Women’s Day (Hari Perempuan Internasional) that is commemorated on the 8th of March on each year. Why is the word ‘perempuan’ is used instead of ‘wanita’ in this commemoration and several other social movements? On a daily basis, the words ‘perempuan’ and ‘wanita’ are often used to replace each other and have relatively the …