Seorang perumus metodologi Participatory Rural Appraisal (PRA) yang terkenal, Robert Chambers mengatakan bahwa “praktik pembangunan yang baik ialah menempatkan masyarakat sebagai pusat, menghargai dan menghormati pengetahuan dan kapasitas lokal, dan memastikan bahwa mereka yang paling terdampak memiliki hak bersuara dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.” Merujuk formula Chambers di atas maka sudah sepatutnya menempatkan masyarakat sebagai pusat dalam pembangunan, baik di desa maupun di kota, yang memiliki hak bersuara dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Hal ini mengingat, bahwa mereka adalah pihak yang paling terdampak atas pembangunan tersebut. Terlebih bagi kelompok perempuan yang sering kali tidak dilibatkan dalam proses pembangunan di desa. Padahal perempuan memiliki pengetahuan dan kapasitasnya sendiri seperti kemampuannya dalam pengembangan ekonomi. Misalnya, kapasitas mereka sebagai tulang punggung ekonomi keluarga dan masyarakat desa.
Dengan melibatkan perempuan dalam pembangunan dapat mengoptimalkan potensi ekonomi mereka, yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan keluarga dan komunitas, serta lebih jauh lagi bisa juga berdampak positif pada generasi berikutnya. Hal tersebut dapat memutus mata rantai kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup di desa. Selain itu, pelibatan perempuan dapat membawa perspektif unik. Perspektif unik inilah yang kemudian memperkaya proses pengambilan keputusan di masyarakat desa. Hal ini dikarenakan perempuan cenderung lebih peka terhadap isu-isu yang sangat penting dalam pembangunan desa seperti isu kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak. Dengan kapasitasnya tersebut, peran perempuan dapat memperkuat kohesi sosial dan keberlanjutan budaya lokal.
Berdasarkan data tingkat partisipasi dan keterwakilan perempuan di kelembagaan desa, mengutip dari Lipsus Kompas, menurut data Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) pada Maret 2023, persentase keterwakilan perempuan di pemerintahan desa yaitu 38,6 persen, di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) 28,45 persen, di Lembaga Kemasyarakatan Desa 55,55 persen, dan 33,69 persen di Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Data tersebut mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi masih banyak tantangan yang harus diatasi bersama-sama.
Forum Perempuan Kasepuhan
Partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan desa (Meaningfull Participation) adalah kunci untuk memastikan kebijakan dan program desa yang mencerminkan kebutuhan serta aspirasi seluruh komunitas. Partisipasi ini melibatkan perempuan secara substansial, bukan hanya sebagai simbol atau token, melainkan dengan mengakui dan memperkuat peran mereka dari perencanaan hingga evaluasi kebijakan publik. Dengan demikian, melibatkan perempuan secara aktif dalam pengambilan keputusan dapat menghasilkan kemajuan yang inklusif, berkelanjutan, dan merata bagi masyarakat desa.
Bertolak dari isu itulah, maka pada tahun 2024, tepatnya bulan Juni lalu RMI mulai mengambil langkah strategis untuk meningkatkan partisipasi dan aspirasi perempuan di tingkat desa dengan menggagas terbentuknya forum khusus perempuan di dua kasepuhan yang berada di dua desa, yaitu Kasepuhan Pasir Eurih yang berada di Desa Sindanglaya dan Kasepuhan Cirompang yang berada di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, sebagai wadah partisipasi, menyampaikan berbagai gagasan dan aspirasi dalam konteks pembangunan desa. Pertemuan ini bertujuan untuk mendengar aspirasi kelompok-kelompok perempuan yang ada di dua desa tersebut yang selama ini suaranya sangat minim saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
Pertemuan Forum Perempuan di Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya, dihadiri oleh 26 orang Perempuan yang mewakili Kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Kader Posyandu dan Kelompok Usaha Perempuan (Kelompok Canoli). Di pertemuan ini peserta diajak menggali pengalaman dan perspektif tentang kegiatannya masing-masing di lembaga, mengidentifikasi harapan dan ekspektasi masing-masing peserta agar mereka tertarik mau bergabung dengan kelompok/lembaganya, memahami dan menggali lebih dalam apa peran dan fungsi lembaga mereka masing-masing, menggambarkan lokasi melalui pembuatan sketsa kampung/desa untuk mengetahui di mana saja mereka biasa berkegiatan, mengidentifikasi dukungan dari mana saja dan berbentuk apa dukungan tersebut mereka terima, dan mengidentifikasi tantangan baik internal maupun eksternal di kelompok mereka masing-masing. Semua proses tersebut kemudian mereka presentasikan melalui perwakilan kelompok. Dari presentasi tersebut, masing-masing kelompok secara bergantian meminta kelompok lain untuk mengomentari dan bertanya terkait dengan informasi yang dipresentasikan.
Beberapa hal yang menjadi temuan menarik adalah peserta mengakui bahwa pertemuan ini merupakan pertama kali diadakan, dan dengan forum seperti ini banyak sekali informasi-informasi penting tentang gerakan perempuan di desa yang sebenarnya bisa terhubung satu sama lain untuk saling menguatkan. Menurut salah satu peserta yang hadir, pertemuan seperti ini juga penting karena selama ini peserta atau perempuan tidak pernah punya wadah untuk menyampaikan aspirasi dan gagasannya, kalaupun ada hanya sebatas formalitas. Peserta juga merasakan bahwa proses perencanaan pembangunan desa dan proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa pelibatan perempuannya sangat kurang, kalaupun ada mereka hanya hadir tanpa berani menyampaikan pendapat apalagi mempengaruhi kebijakan desa.
Setelah pertemuan di Kasepuhan Pasir Eurih, RMI melakukan pertemuan Forum Perempuan di Kasepuhan Cirompang, Desa Cirompang. Pertemuan ini dihadiri 26 orang Perempuan yang terdiri dari perwakilan RT, RW, Kelompok PKK, Kader Posyandu, pemerintah desa, dan Kelompok Usaha (Kisancang). Proses yang dilakukan sama dengan yang dilakukan di Kasepuhan Pasir Eurih, yang membedakan adalah hasil refleksi dari salah satu peserta. Salah satu peserta perempuan yang juga menjabat sebagai perangkat desa bidang Ekbang (Ekonomi dan pembangunan) menyampaikan bahwa selama ini perempuan di tingkat desa belum diprioritaskan kepentingannya, jangankan masyarakat, perangkat desa perempuan pun masih terpinggirkan kepentingannya, contohnya dapat ditemukan di kegiatan peningkatan kapasitas yang diutamakan selalu staf-staf laki-laki daripada perempuan. Ia juga menyampaikan arah dan kebijakan desa mengenai peran serta perempuan dalam musyawarah desa. Masalah penting menurutnya adalah masih besarnya rasa ketidakpercayaan diri bagi perempuan dalam mengikuti proses musyawarah atau proses pengambilan keputusan di desa menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya partisipasi perempuan di tingkat desa. Maka forum seperti ini menjadi salah satu momen penting untuk mendorong kepercayaan diri kelompok perempuan yang diharapkan ke depan dapat terlibat secara aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa salah satunya di forum Musrenbangdes.
Pertemuan forum perempuan ini merupakan rangkaian yang akan dilakukan selama beberapa waktu kedepan secara rutin yang akan didampingi oleh RMI untuk mempersiapkan terbentuknya wadah bersama para kaum perempuan dalam satu forum yang nantinya menjadi sebuah Forum Perempuan Desa yang berpartisipasi aktif dalam komunitas desa dan masyarakat. Melalui forum seperti ini nantinya diharapkan seluruh aspirasi dari kelompok-kelompok perempuan dapat didengar, dipertimbangkan, ditindaklanjuti, dan didukung oleh berbagai pihak. Melalui wadah forum perempuan inilah segala kepentingan kaum perempuan di desa dapat diperjuangkan yang mana salah satunya adalah agar bisa masuk ke dalam penyusunan anggaran operasional tahunan desa yang bertujuan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan bersama, baik untuk kaum perempuan khususnya maupun untuk kemajuan komunitas desa secara keseluruhan. Dengan demikian, agenda inklusi sosial yang salah satunya melibatkan partisipasi kaum perempuan dalam pembangunan desa dapat terwujud.
Pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat sangat erat kaitannya dengan pendidikan kontekstual dalam banyak hal. Keduanya menekankan pentingnya keterlibatan aktif, relevansi dengan kehidupan nyata, dan penggunaan pengetahuan lokal. Dalam konteks pendidikan kontekstual, pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat dapat menjadi topik yang relevan untuk diajarkan, karena mencakup isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial yang penting bagi masyarakat. Selain itu, pendidikan kontekstual dapat membantu masyarakat memahami dan mengimplementasikan praktik-praktik pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat ke dalam pendidikan kontekstual, peserta tidak hanya mendapatkan pengetahuan teoritis, tetapi juga keterampilan praktis yang dapat mereka gunakan untuk berkontribusi pada pengelolaan kekayaan alam di komunitas mereka.
RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sebagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu Hak Asasi Manusia dan lingkungan, khususnya dalam memperkuat model pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat seringkali melakukan pembelajaran bersama masyarakat dengan menggunakan prinsip pendidikan kritis, kontekstual dan secara partisipatif. Namun, tidak banyak model pendidikan kontekstual di Indonesia dan untuk mengakselerasi model-model tersebut. Oleh karena itu, sejak tahun 2023 RMI menginisiasi pengembangan program untuk orang muda bersama dua NGO lainnya. Tema yang diangkat adalah “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia dan Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan”. Program ini dijalankan oleh RMI bersama Nexus3 Foundation di Indonesia, dan GITIB, Inc. di Filipina. Tujuan dari program ini adalah memperkuat peran anak muda untuk aktif berpartisipasi dalam mengembangkan program-program pendidikan kontekstual di komunitas masing-masing.
Berangkat dari program tersebut, RMI mengadakan Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program” pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung. Pelatihan ini bertujuan untuk: 1) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anak muda sebagai fasilitator pendidikan lingkungan; 2) meningkatkan kepekaan anak muda terhadap isu pendidikan kritis-kontekstual di wilayah adat Kasepuhan dan sekitarnya; dan 3) meningkatkan intensitas gerakan sosial melalui partisipasi pemuda di wilayah adat Kasepuhan dan sekitarnya. Terdapat 18 peserta yang mengikuti pelatihan, yang terdiri dari enam orang perempuan dan 12 orang laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cibarani, dan masyarakat lokal sekitar kasepuhan.
Peserta didorong untuk berpikir kritis tentang kondisi lingkungan mereka dan peran yang dapat mereka ambil dalam komunitas. Pelatihan ini merupakan salah satu upaya RMI dalam mendorong kaum muda untuk mengembangkan program pendidikan kontekstual sesuai dengan kondisi komunitas masing-masing. Pendidikan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada pendidikan formal, tetapi juga mencakup pendidikan informal dan non-formal yang dapat mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.
Pelatihan berlangsung selama empat hari dengan berbagai kegiatan, termasuk pengenalan isu, pembekalan, hingga identifikasi masalah pada komunitas. Pada hari pertama, peserta diminta mengenal diri sendiri melalui metode “Boks Gue Banget”. Mereka mencari informasi pribadi atau komunitas mereka melalui surat kabar yang sudah disediakan dan menempelkan informasi tersebut pada boks yang sudah dibagikan sebelumnya. Peserta kemudian diminta menceritakan hal-hal yang membuat mereka bangga. Teknik Appreciative Inquiry ini digunakan agar peserta lebih mudah menerima informasi ketika mereka diapresiasi. Sesi pengantar pelatihan juga diadakan pada hari yang sama. Pada sesi ini, peserta diberikan tiga pernyataan berbeda untuk diargumentasikan. Isu yang diangkat berkaitan dengan sistem pendidikan, lingkungan, dan kebudayaan, yang berhasil memantik diskusi kritis di antara peserta.
Hari kedua dimulai dengan kunjungan ke Museum Multatuli untuk meningkatkan rasa ingin tahu dan kepekaan peserta melalui peninggalan Multatuli dan sejarah Indonesia. Kegiatan dilanjutkan dengan penulisan permasalahan pendidikan di Indonesia. Beberapa masalah yang diidentifikasi antara lain pendidikan yang tidak kontekstual, perubahan kurikulum, pendidikan yang belum inklusif, fasilitas yang tidak merata, dan tenaga pendidik yang tidak kompeten. Hal ini sejalan dengan sistem pendidikan Indonesia yang bertujuan menciptakan pekerja daripada mendorong inovasi. Sentralisasi pendidikan dan homogenisasi model menyebabkan kesenjangan antar pelajar di berbagai wilayah, yang mendorong pemuda di kampung mencari kerja di kota dibandingkan mengembangkan potensi di tempat tinggal mereka. Peserta juga dibekali materi mengenai psikologi dan pembelajaran serta dasar-dasar fasilitasi sebagai landasan awal untuk menjadi fasilitator.
Pada hari kedua dan ketiga, peserta melakukan simulasi fasilitasi secara berkelompok. Setiap kelompok diberikan metode fasilitasi yang berbeda dan mengimplementasikannya kepada peserta lain. Hal ini dilakukan agar peserta dapat mencatat hal-hal yang perlu diperbaiki dalam cara memfasilitasi sebelum menerapkannya kepada masyarakat. Hari ketiga juga diisi dengan People First Impact Method (P-FIM), sebuah simulasi bagi peserta untuk berhadapan langsung dengan masyarakat. Hal ini menjadi refleksi bagi peserta untuk memahami masyarakat, terutama ketika dihadapkan dengan kondisi yang tidak terduga. Peserta diajarkan bahwa fasilitator harus mendapatkan kepercayaan masyarakat dengan menjadi percaya diri, dibekali kemampuan dan pengetahuan, peka, berempati, dan mampu mengelola forum. Sesi berikutnya, peserta diminta berkumpul dengan komunitasnya untuk memetakan isu pendidikan kontekstual dan aktor atau organisasi yang dapat dilibatkan.
Pada hari terakhir, peserta dikenalkan dengan empat prinsip hak anak dan Konvensi Hak Anak. Setiap kelompok mengidentifikasi pelanggaran terhadap empat prinsip hak anak yang terjadi di komunitas mereka. Diskusi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman peserta mengenai permasalahan anak di lingkungan mereka, bagaimana seharusnya anak dapat didengarkan, dipertimbangkan, dan bahkan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Hasil Konvensi Hak Anak juga mendukung peserta dalam memahami kaidah dalam perlindungan anak.
Selain pembekalan, terdapat sesi pemberian masukan terhadap strategic goals, focal theme, dan regional specific issue tdh-G yang berkaitan dengan: 1) pendidikan dan pemberdayaan; 2) membangun masyarakat yang demokratis; 3) suara pemuda tentang lingkungan; 4) keadilan gender dan; 5) anti-kekerasan. Peserta menyampaikan pemahaman dan kondisi yang terjadi di komunitas mengenai setiap isu yang dipaparkan. Salah satu bentuk pelanggaran yang terjadi di wilayah kasepuhan berupa adanya pembatasan pendidikan terhadap anak oleh orang tuanya. Hasil dari konsultasi tersebut nantinya disampaikan pada kegiatan National Children and Youth Partner Meeting (NCYPM) yang diselenggarakan di Semarang pada tanggal 04–08 Juli 2024.
Pelatihan ini merupakan rangkaian pertama dari tiga kegiatan yang akan dilaksanakan. Melalui pelatihan ini, RMI mencoba memunculkan kesadaran kritis bagi peserta untuk menciptakan pendidikan dan lingkungan yang mereka harapkan. Metode yang digunakan selama pelatihan menggunakan pendekatan pendekatan kritis, kontekstual, dan mendorong partisipatif bermakna pada peserta. Sehingga, outcome dari pelatihan ini diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan komitmen peserta untuk melakukan gerakan sosial di komunitas masing-masing. Dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam pendidikan lingkungan dan hak anak, peserta dapat berkontribusi secara signifikan dalam menciptakan masyarakat yang lebih sadar lingkungan dan peduli terhadap hak-hak anak.
Krisis iklim yang terjadi saat ini menimbulkan dampak buruk yang dirasakan di berbagai belahan wilayah di dunia, pun di Indonesia, dan telah menjadi perhatian banyak pihak. Deforestasi dan degradasi hutan, penggunaan bahan bakar fosil dan aktivitas manusia lainnya yang merusak lingkungan dinilai memperburuk terjadinya krisis iklim ini. Permasalahan ini akan memberikan dampak buruk, terutama bagi kelangsungan hidup anak-anak dan kaum muda, baik saat ini maupun di masa depan.
Sebagai salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia turut berkomitmen untuk melindungi anak dari segala hal yang mempengaruhi kehidupan dan dan tumbuh kembangnya. Hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 28B ayat 2 yang menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan diri dari kekerasan dan diskriminasi.” Akan tetapi, dalam perkembangannya, pemerintah Indonesia dinilai lebih mengutamakan program-program ketahanan ekonomi daripada menyediakan perlindungan yang memadai bagi anak dan komunitasnya dari risiko-risiko dan ancaman yang sedang dan akan mereka hadapi seiring dengan krisis iklim yang semakin memburuk. Meskipun demikian, anak-anak serta kaum muda sudah mulai dan semakin peduli terhadap permasalahan lingkungan dan dampak dari perubahan iklim yang sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, akses pengetahuan mereka terkait isu ini masih terbatas.
Berangkat dari permasalahan di atas, RMI bekerja sama dengan Nexus 3 Foundation di Indonesia dan Gitib, Inc. di Filipina menjalankan projek My Planet My Rights (MPMR) pada tahun 2021—sebuah kampanye global untuk meningkatkan kesadaran terhadap hak anak atas lingkungan yang aman, sehat, dan berkelanjutan. Kampanye yang dilakukan melalui projek ini berhasil untuk mendorong Komite di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mensahkan General Comment no 26 di tahun 2023, yang menekankan adanya kebutuhan mendesak untuk mengatasi dampak buruk degradasi lingkungan, dengan fokus khusus pada perubahan iklim, penikmatan hak-hak anak, dan memperjelas kewajiban negara untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Komite juga menjelaskan bagaimana hak-hak anak berdasarkan Konvensi Hak Anak berlaku untuk perlindungan lingkungan hidup, dan menegaskan bahwa anak-anak mempunyai hak atas lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan.
Berdasarkan hasil yang didapatkan dalam projek sebelumnya, yakni MPMR, RMI kembali bekerja sama dengan Nexus3 Foundation dan Gitib, Inc. untuk menginisiasi projek dengan tema “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” (“Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)”). Projek ini akan dilaksanakan di dua negara, yakni Indonesia dan Filipina, dan berlangsung selama tiga tahun (Oktober 2023 hingga Desember 2026). Melalui projek ini, diharapkan bahwa anak-anak dan kaum muda bisa mendapatkan akses informasi tentang isu lingkungan untuk meningkatkan kesadaran mereka dan mendukung mereka aktif berpartisipasi dalam memberikan solusi terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi. Selain itu, orang dewasa dari berbagai kalangan diharapkan juga mendukung secara aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak dan kaum muda untuk menyuarakan pendapat mereka. Hal ketiga yang diharapkan dalam projek ini adalah diakuinya hak anak atas lingkungan yang sehat secara lebih luas dengan diintegrasikannya hak atas lingkungan yang sehat ke dalam program dan kebijakan pemerintah, baik di tingkat lokal, provinsi, nasional, maupun regional (ASEAN). Projek ini mendapat dukungan dari tdh-Germany dan BMZ (Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung) atau Kementerian Federal Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Pemerintah Jerman.
Dalam implementasinya, RMI akan melaksanakan projek ini di tiga lokasi yang berbeda, yaitu Kabupaten Lebak (2024), Kabupaten Pandeglang (2025), serta Kabupaten Kuningan (2026). Selain berfokus pada isu lingkungan, RMI juga akan memperkuat peran kaum muda untuk aktif berpartisipasi dalam mengembangkan program-program pendidikan kontekstual di komunitasnya masing-masing. Dalam projek ini RMI akan mengadakan beberapa kegiatan, antara lain pelatihan fasilitator pendidikan lingkungan yang kemudian akan diimplementasikan di sekolah maupun di komunitas, seminar/peningkatan kapasitas untuk guru dan CSO, dan beberapa lokakarya serta aksi inisiatif, sebagai dukungan bagi kaum muda dalam mengembangkan dan mengimplementasikan program pendidikan kontekstual di wilayahnya.
Partisipasi aktif perempuan dalam pengembangan ekonomi lokal telah menjadi fokus utama Program Estungkara-Inklusi yang melibatkan tiga Kasepuhan di Lebak, Banten. Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Pasir Eurih, dan Kasepuhan Cibarani menjadi peserta yang ikut dalam Program Pelatihan Koperasi yang bertujuan untuk memperkuat peran perempuan dalam ranah peningkatan ekonomi. Kegiatan pelatihan dan studi banding ini dilaksanakan pada tanggal 07-08 Mei 2024 di Jakarta dan studi banding ke Koperasi Lentera Benteng Jaya di Kota Tangerang. Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW) Jakarta melalui program Estungkara-Inklusi didukung oleh Kemitraan-Partnership.
Peserta pelatihan terdiri dari perwakilan kelompok sebanyak 12 orang, dengan masing-masing kelompok mengirimkan 4 orang perwakilan. Peserta yang hadir terdiri dari 4 orang dari kelompok Lodong Cibarani (2 Perempuan, 2 pemuda), 3 Orang dari Sancang-Cirompang (2 Orang perempuan, 1 laki-laki), dan 5 orang dari Canoli (4 orang perempuan, 1 laki-laki). Tujuan utama dari kegiatan pelatihan dan studi banding ini adalah memberikan pendidikan dasar perkoperasian kepada kelompok ekonomi perempuan di Kasepuhan yang sedang menjalankan usaha kelompok mereka. Melalui serangkaian kegiatan yang mencakup pembelajaran tentang filosofi, konsep, dan kelembagaan koperasi, peserta juga memiliki kesempatan untuk terlibat dalam dialog serta mengunjungi langsung salah satu koperasi yang telah berjalan di Koperasi Lentera Benteng Jaya, Kota Tangerang.
Di hari pertama peserta diberikan peningkatan kapasitas oleh Ibu Tri Endang Sulistiyowati dari PPSW Jakarta yang selama ini aktif melakukan pendampingan di beberapa koperasi di Jakarta. Ibu Tri mulai membuka sesi materi dengan menyampaikan filosofi koperasi yang di dalamnya tentang urgensi berkelompok dan kenapa harus koperasi. Peserta diajak memahami apa pentingnya berkelompok. Dalam materi ini, Ibu Tri menjelaskan beberapa prinsip dalam membangun koperasi, yaitu, (1) bentuknya harus kolektif, (2) menjadikan alat demokratisasi ekonomi, artinya tidak ada penguasaan yang berlebihan oleh salah satu orang atau pihak, dan (3) harus menekankan pada swadaya kemandirian keberlanjutan. Sejalan dengan itu, pemilihan koperasi sebagai model pengelolaan yang relevan di masyarakat Kasepuhan tidaklah kebetulan. Koperasi, dengan nilai-nilai gotong royong dan kekeluargaan yang kuat, dianggap sebagai pilihan yang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya yang ada di lingkungan tersebut. Melalui pendekatan ini, diharapkan para peserta dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana menerapkan konsep-konsep koperasi dalam mengembangkan usaha kelompok mereka secara efektif dan berkelanjutan.
Masih di hari pertama pelatihan, materi berikutnya yaitu materi ke-2 dengan pembahasan penguatan manajemen kelompok yang tetap disampaikan oleh Ibu Tri. Isi materinya berupa tanggung jawab anggota dan pengurus kelompok. Ibu Tri merinci tentang bagaimana proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara bersama, hingga menyusun peraturan kelompok. Di materi ini, peserta diajak belajar apa bagaimana tanggung jawab anggota dan pengurus kelompok melalui identifikasi dan pembagian tugas-tugas antara pengurus dan anggota kelompok mulai dari tugas ketua, sekretaris, bendahara dan tanggung jawab anggota. Di bagian akhir materi ini, peserta diberikan pemahaman bagaimana prinsip dalam proses pengambilan keputusan di kelompok hingga memahami aturan-aturan yang dibuat secara bersama dalam kelompok yang mengatur tentang anggota, pengurus, tugas-tugas dan sumber pendanaan/iuran.
Sementara, penyampaian materi untuk hari ke-2 masih disampaikan oleh Ibu Tri. Materi pertama yang disampaikan oleh Ibu Tri adalah Penguatan Kepemimpinan. Dalam materi ini, Ibu Tri memaparkan tentang apa itu pemimpin, siapa itu, dan memahami gaya kepemimpinan serta memahami tipe orang yang dipimpin. Di sesi ini peserta diajak belajar memahami secara teori apa itu pemimpin. Belajar membedakan apa itu pemimpin dan Kepemimpinan. Beberapa poin pentingnya antara lain pemimpin adalah orang yang memimpin kelompok dua orang atau lebih, sedangkan kepimpinan adalah proses mempengaruhi antar orang dengan menggunakan komunikasi yang terarah untuk mencapai tujuan. Pemimpin fokus kepada orangnya, sedangkan kepemimpinan adalah fokus terhadap proses mempengaruhi antar orang atau pribadi dengan komunikasi yang terarah untuk mencapai tujuan. Di materi ini, peserta diajari bagaimana mengenali gaya kepemimpinan yang menurutnya dengan memulai mengenali tipe-tipe anggota di antaranya ada 4 tipe anggota yaitu 1) Tidak mau dan tidak mampu, 2) Mau tapi tidak mampu, 3) Tidak mau tapi mampu, dan 4) mau dan mampu. Keempat tipe ini akan berlaku dan ada di setiap kelompok. Maka ini akan menentukan bagaimana seharusnya pemimpin dalam memimpin suatu kelompok. Selanjutnya peserta diajak memahami gaya kepemimpinan yang menurutnya ada empat gaya kepemimpinan di antaranya 1) Memerintah, 2) Mengajak, 3) Melibatkan dan 4) Melimpahkan atau mendelegasikan. Gaya ini akan disesuaikan penerapannya pada anggota sesuai tipenya masing-masing.
Materi terakhir yang disampaikan dalam pelatihan dan studi banding ini adalah penjabaran tentang perkoperasian yang lebih terinci. Materi ini tetap disampaikan oleh Ibu Tri dan pada sesi materi ini para peserta diajak lebih dalam mengenal koperasi mulai dari sejarah, prinsip, dan nilai-nilai serta aturan main dalam koperasi. Setelah penyampaian materi ini, para peserta lalu diajak untuk studi banding dengan mengunjungi Koperasi Lentera Benteng Jaya, salah satu koperasi binaan PPSW yang terletak di Tangerang. Koperasi ini beranggotakan perempuan komunitas Cina Benteng. Beberapa prestasi yang telah ditorehkan koperasi ini mulai dari tingkat kelurahan hingga provinsi. Dalam sambutannya, Ibu Tyas Widya Anggraini, selaku ketua koperasi menceritakan sekelumit tentang masa lalunya yang buruk hingga perubahan dalam dirinya sejak terlibat di pendirian koperasi yang didampingi oleh PPSW. Dahulunya, Ibu Tyas sering menghabiskan waktunya dengan kebiasaan berjudi hingga membuat kondisi ekonominya semakin tercekik dan terperosok. Namun, sejak hadirnya PPSW yang melakukan pengorganisasian di komunitas Cina Benteng, membuat perubahan signifikan dalam hidupnya. Ibu Tyas kemudian dipercaya untuk memimpin koperasi yang awalnya berjumlah 25 anggota kini sudah beranggotakan 800 orang yang bergabung.
Inisiatif semacam ini bukan hanya sekadar langkah menuju kesetaraan dalam perekonomian, tetapi juga merupakan investasi dalam kedaulatan ekonomi lokal. Dengan memberikan kesempatan dan dukungan yang lebih besar bagi perempuan untuk berperan aktif dalam pengembangan ekonomi, diharapkan akan terjadi transformasi positif yang dapat memberikan dampak jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat terutama bagi masyarakat adat di wilayah kasepuhan.
Melalui kegiatan pelatihan dan studi banding ini, RMI menggandeng PPSW yang dijembatani oleh Kemitraan melalui program Estungkara untuk berkolaborasi dalam proses pengorganisasian perempuan dalam konteks pemberdayaan ekonomi melalui konsep koperasi. Hal ini dirasa cukup relevan dengan apa yang dilakukan RMI di komunitas terutama di masyarakat kasepuhan dalam mendorong kemandirian ekonomi terutama bagi kelompok perempuan. Kolaborasi dengan PPSW ini dilakukan sejak 2023 lalu melalui penyelenggaraan pelatihan ekonomi di kasepuhan yang menghadirkan PPSW dan komunitas dampingannya sebagai narasumber kegiatan. Kedepannya, kolaborasi dan kerjasama ini akan terus berlanjut dalam peningkatan kapasitas untuk memperkuat pemberdayaan ekonomi di masyarakat kasepuhan.
Partisipasi kaum muda dalam sistem demokrasi seperti terlibat dalam proses pengambilan keputusan, formulasi, implementasi dan pengawasan kebijakan publik sangatlah penting karena dapat memotori perubahan-perubahan dan meningkatkan kualitas kebijakan publik yang berorientasi pada masa depan. Akan tetapi, partisipasi pemuda dalam sistem demokrasi di berbagai tingkatan masih lemah. Hal ini dikarenakan berbagai hambatan secara sosial, budaya, dan politik.
Indonesia adalah negara demokratis. Artinya, kekuasaan tertingginya berada di tangan rakyat. Bukan sebaliknya. Kekuasaan rakyat tersebut kemudian membentuk pemerintah untuk melaksanakan tujuan-tujuan bersama rakyat Indonesia. Tujuan-tujuan bersama tersebut tercantum dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Sebagai negara demokratis, partisipasi rakyat merupakan aspek yang sangat penting. Termasuk partisipasi kaum muda yang selama ini sangat rendah. Misalnya anggota DPR yang berusia 21-30 tahun hanya 22 orang atau berada di bawah 4%. (DataIndonesia.id, 2023) Selain itu, akses untuk mengisi jabatan publik tersebut masih didominasi oleh kaum muda dengan latar belakang kelas menengah ke atas. (Irdiana et al., 2021) Hal ini menggambarkan bagaimana konteks politik elektoral yang membutuhkan biaya yang sangat tinggi sehingga sulit diakses oleh kaum muda.
Selain itu, secara sosial-budaya kaum muda disematkan berbagai stereotip-stereotip seperti “belum berpengalaman” “belum berpengetahuan cukup” dan “belum berkapasitas”. Ditambah lagi dengan perbedaan nilai antar generasi dan kurangnya representasi politik mengakibatkan pilihan untuk tidak berpartisipasi menjadi masuk akal bagi kaum muda. Padahal, akses terhadap informasi bagi kaum muda mengenai isu-isu politik sudah terbuka di berbagai media sosial. Di media sosial tersebar berbagai konten seperti siniar, diskusi publik, dan konten kreatif secara langsung maupun tidak langsung memberikan pendidikan politik kepada kaum muda. 59% pemilih muda di tahun 2024 menyatakan media sosial adalah rujukan informasi utama. (CSIS, n.d.) Meskipun begitu, akses informasi ini belum mampu meningkatkan partisipasi politik kaum muda secara signifikan untuk menjadi pejabat publik. Hal ini disebabkan oleh hambatan secara sosial seperti stigma, stereotip dan bias dan hambatan ekonomi terkait mahalnya biaya yang diperlukan untuk mengikuti kontestasi politik.
Dengan begitu, kaum muda membutuhkan peran-peran lain untuk dapat berpartisipasi dalam sistem demokrasi selain mengisi jabatan politik seperti kepala daerah, anggota legislatif dan yang lainnya. Misalnya, menjadi anggota pers, berorganisasi di lembaga-lembaga penguatan masyarakat sipil dan hak asasi manusia, terlibat dalam partai politik dan lain sebagainya.
Tetapi, hal ini perlu dukungan lingkungan yang positif (enabling condition) yang mampu mengatasi hambatan-hambatan partisipasi kaum muda. Misalnya dengan menyediakan ruang aman dan tindakan afirmatif terhadap partisipasi kaum muda di berbagai tingkatan untuk meningkatkan sistem yang transparan dan terbuka sehingga partisipasi kaum muda meningkat. Contohnya, model Panel Penasihat Muda (Youth Advisory Council) di berbagai lembaga pembangunan dapat dijadikan tolok ukur. Karena dapat mendorong kaum muda secara langsung untuk berpartisipasi dalam penyusunan program dan kebijakan. (Irdiana et al., 2021)
Lebih spesifik lagi, kaum muda sebagai warga negara pun bisa berpartisipasi dalam sistem demokrasi. Hal ini bisa dimulai dari skala kampung. Misalnya, aktif dalam pertemuan-pertemuan di tingkat kampung misalnya musyawarah perencanaan pembangunan desa, forum komunikasi di tingkat kelurahan, rapat di tingkat RW, dan lain sebagainya. Hal ini sering dikesampingkan karena dianggap kurang penting. Padahal dari tingkatan terkecil inilah kaum muda dapat menyuarakan pendapat dan memberikan dampak pada tingkat komunitas terkecil dan terdekat dengan dirinya. Selain itu, partisipasi di tingkat lokal memiliki ciri khas khusus dimana ruang untuk mengutarakan pendapat dan aspirasinya lebih mudah sehingga pola komunikasi dua arah dapat terbangun antara pemerintah dengan kaum muda (Berner et al., 2011, 157). Selain itu partisipasi di tingkat kampung ini lebih mudah dijangkau oleh kaum muda karena hambatan sosial dan ekonominya tidak sebesar kontestasi politik untuk menjadi pejabat publik meskipun hambatan tersebut tidak sepenuhnya hilang.
Dengan demikian, untuk mendorong partisipasi kaum muda diperlukan ruang yang suportif dan pembiasaan. Diperlukan enabling condition yang memampukan kaum muda agar dapat berpartisipasi sebagai individu berbagai sektor dan tingkatan. Hal ini dapat dimulai dari tingkat komunitas terkecil yang hambatan sosial-budaya dan ekonominya lebih mudah diidentifikasi dan ditanggulangi. Dengan begitu, praktik baik ini dapat memicu eskalasi partisipasi kaum muda di tingkat yang lebih besar.
Penulis: Rifky putra Kurniawan
Editor: Siti Marfu’ah
Daftar Pustaka
Berner, M. M., Amos, J. M., & Morse, R. S. (2011). What Constitutes Effective Citizen Participation in Local Government? Views from City Stakeholder. Public Adiministration Quarterly, 35, 128-163.
CSIS. (n.d.). Pemilih Muda Dalam Pemilihan Umum 2024: Dinamis, Adaptif dan Responsif. CSIS. Retrieved April 5, 2024, from https://www.csis.or.id/publication/pemilih-muda-dalam-pemilihan-umum-2024-dinamis-adaptif-dan-responsif/
DataIndonesia.id. (2023, October 15). Mayoritas Anggota DPR Periode 2019-2024 Berusia Tua – Dataindonesia.id. Data Indonesia. Retrieved April 5, 2024, from https://dataindonesia.id/data-pemilu/detail/mayoritas-anggota-dpr-periode-20192024-berusia-tua
Irdiana, N., Febrianto, R., & Nisa, S. A. (2021, September 15). Kaum muda diremehkan di panggung politik: kita perlu dorong peran dan pengakuan mereka sebagai pemimpin dan politikus. The Conversation. Retrieved April 5, 2024, from https://theconversation.com/kaum-muda-diremehkan-di-panggung-politik-kita-perlu-dorong-peran-dan-pengakuan-mereka-sebagai-pemimpin-dan-politikus-159644
Bincang-bincang Seputar Permasalahan Pangan Lokal, Tantangannya dan Kenapa Harus Didokumentasikan
Pada pekan keempat bulan Maret 2024, bertempat di sebuah restoran yang menyajikan pangan lokal khas NTT di bilangan Kemang, Jakarta Selatan diselenggarakan acara kegiatan peluncuran situs web Nusantarafoodbiodiversity.org.
Ide pembuatan situs web pendokumentasian pangan lokal ini diinisiasi oleh teman-teman KRKP, KEHATI, CIFOR-ICRAF, EKO NTT, dan Ahmad Arif, seorang wartawan Harian Kompas yang banyak menulis tentang isu pangan lokal di Nusantara. Inisiatif pendokumentasian keragaman pangan lokal ini muncul karena adanya keresahan bersama diantara sesama pegiat yang memang sudah lama berkecimpung di isu-isu pangan lokal dan disamping itu mereka juga melihat adanya potensi yang luar biasa dari masa depan pangan lokal Indonesia.
Gambar 1. Salah satu hasil pengidentifikasian tanaman di kebun dan hutan di kegiatan Pelatihan Pangan Lokal
Kegiatan peluncuran dashboard pangan lokal ini diawali dengan rangkaian sesi diskusi yang dipandu oleh Widya Hasian Situmeang dari KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan). Pada sesi diskusi ini menghadirkan empat orang pembicara, diantaranya adalah Said Abdullah dari KRKP, Mulia Nurhasan dari CIFOR-ICRAF, Imroatul Mukhlishoh dari KEHATI, dan Ahmad Arif dari Harian Kompas. Sesi diskusi ini juga mengundang perwakilan dari Pemerintah yaitu Rina Syawal, Direktur Penganekaragaman dan Konsumsi Pangan dari Badan Pangan Nasional (BAPANAS) sebagai penanggap diskusi. Sedangkan RMI sendiri hadir sebagai undangan dari kegiatan peluncuran situs web Nusantarafoodbiodiversity.org ini.
Kegiatan diskusi ini mengambil tema “Mulai dari lokal untuk berdaulat pangan”. Harapannya dari tema diskusi tersebut dapat menjadi langkah awal untuk setidaknya bisa menjawab kompleksitas tantangan krisis pangan dengan mengkampanyekan konsumsi pangan lokal. Pada hematnya, konsumsi pangan lokal cenderung lebih tahan terhadap guncangan iklim, dapat mengurangi emisi karbon, dan menjadi relevan mengingat Indonesia begitu kaya dengan sumber pangan yang beranekaragam baik dari segi jenis maupun keberlimpahannya. Dengan begitu, maka, pemanfaatan pangan lokal berbasis sumberdaya setempat sudah barang tentu berimplikasi pada tercapainya kedaulatan pangan di masing-masing komunitas masyarakat di Indonesia.
Gambar 2. Ahmad Arif (kiri) sedang memaparkan permasalahan pangan lokal di Tanah Air. Foto oleh: Tim dokumentasi KRKP.
Pembicara pertama yang berbagi pandangan dan pengalamannya adalah Ahmad Arif. Arif memulai dengan menceritakan kondisi yang ironis dari permasalahan keberagaman pangan lokal. Di satu sisi, cerita tentang keberagaman pangan yang luar biasa melimpah banyak dia temui di seantero wilayah Indonesia. Kedudukan pangan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal pedesaan selalu identik dan menjadi bagian yang paling penting dalam ritual-ritual karena memang begitulah pola hidup mereka yang notabene dibentuk oleh ketersediaan layanan alam termasuk sumber pangan yang mereka produksi dan konsumsi. Namun, di sisi yang lain, rupanya telah terjadi pergeseran pola konsumsi yang sangat tajam di masyarakat kampung dan ketidaktahuan terhadap pemanfaatan konsumsi pangan lokal.
Tentunya pergeseran dan ketidaktahuan ini membawa pada konsekuensi mulai pudarnya bahkan sampai hilangnya pengetahuan tentang cerita asal usul produksi dan konsumsi pangan lokal. Dalam kasus ini, Arif mencontohkan seperti yang terjadi di Flores, NTT. Di sana, cerita mengenai keberagaman pangan telah menjadi cerita masa lalu terutama bagi anak-anak muda saat ini. Banyak dari anak-anak muda di Flores tidak mau lagi mengkonsumsi jagung bosse sebagai sumber karbohidrat. Eksistensi jagung bosse telah digantikan dengan masifnya konsumsi nasi putih yang notabene berasal dari beras.
Sialnya, beras yang beredar di pasaran sebagian besar didatangkan dari luar pulau dan tentu saja masyarakat membeli beras itu di warung sembako. Parahnya lagi, tingkat ketergantungan terhadap beras yang sangat tinggi membuat masyarakat Flores seakan-akan mengalami ketiadaan pilihan-pilihan konsumsi pangan lain. Ditambah belakangan ini, harga beras mencapai rekor tertinggi dan risiko gagal panen padi di Pulau Flores akibat dampak El Nino semakin menyulitkan masyarakat memperoleh pasokan beras di sana. Akibatnya, situasi tersebut memunculkan permasalahan krisis pangan yang tidak boleh dianggap remeh.
Terkait permasalahan krisis iklim yang disinggung Arif ini, Imroatul Mukhlishoh, Asisten Program Agroekosistem Pertanian KEHATI, menandaskan bahwa varietas tanaman pangan lokal justru lebih tangguh terhadap dampak guncangan iklim. Selain tangguh, mulai dari proses produksi, rantai distribusi hingga konsumsinya pangan lokal lebih rendah emisi karbon. Potensi rendah emisi karbon inilah yang terbukti relevan untuk menjawab tantangan krisis perubahan iklim dewasa ini. Melihat dari potensi luar biasa pangan lokal dalam kompleksitas permasalahan krisis iklim ini, Mukhlishoh menekankan tentang pentingnya mendorong pemanfaatan dan pelestarian pangan lokal secara berkelanjutan.
Dalam hal ini, Arif menambahkan bahwa masyarakat Indonesia di masing-masing daerah memiliki kemampuan beradaptasi dengan budaya dan lingkungan spesifik. Di situlah letak pengetahuan dan teknologi mereka yang sebenarnya. Leluhur orang Indonesia sebenarnya sudah mewariskan segenap pengetahuannya kepada generasi penerus dalam mengolah sumber pangan. Pengalaman Arif berkeliling Indonesia membuktikan bahwa di masyarakat adat dan komunitas lokal adalah bagaimana cara mereka mulai dari mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan makanan telah menjadi pengetahuan yang paling berharga apalagi dihadapkan pada krisis perubahan iklim.
Selain kemampuannya yang tahan terhadap krisis perubahan iklim, pangan lokal dengan kekayaan biodiversitasnya mengandung keragaman komposisi gizi yang masing-masing memiliki keunikannya tersendiri. Mulia Nurhasan, Peneliti Pangan dan Gizi dari CIFOR-ICRAF, menjelaskan kepada para peserta diskusi bahwa permasalahan gizi di berbagai wilayah Indonesia itu bermacam-macam dan sangat lokal sehingga dibutuhkan penanganan yang juga lokal dan spesifik. Oleh karena itu, kekhasan pangan lokal di masing-masing tempat sebenarnya sudah mampu menangani permasalahan dan kebutuhan gizi masyarakat setempat.
Dalam pengamatan Nurhasan, selama ini permasalahan gizi seringkali hanya ditangani dengan pendekatan medis (medicalize approach) padahal itu bukanlah cara penanganan yang berkelanjutan. Baik pemerintah maupun masyarakat masih melihat permasalahan gizi mirip seperti penyakit yang segera dicarikan obatnya dan berharap dengan begitu masalah gizinya akan selesai. Misalnya dalam kasus tekes (stunting) yang melulu ditangani dengan pendekatan medis. Dalam kasus ini, Nurhasan mengajak agar kedepannya kita tidak bisa ketergantungan kepada solusi-solusi yang medicalize approach semata melainkan sudah seharusnya kita memberi karpet merah untuk solusi-solusi yang berkelanjutan—yang sumbernya berasal dari kekayaan pangan lokal Indonesia. Namun, tantangannya kini varietas pangan lokal kita sendiri sudah banyak yang hilang dan banyak pula dari kita semua sudah tidak mengkonsumsinya.
Berangkat dari keresahan atas permasalahan eksistensi pangan lokal tersebut, prakarsa pendokumentasian melalui sebuah dashboard di situs web menjadi langkah untuk menjaga dan melestarikan jenis-jenis dan pengetahuan tentang pangan lokal agar tidak punah. Harapannya dengan hadirnya dashboard ini, data yang terinput nantinya bisa dipakai menjadi basis argumentasi untuk mengadvokasi kebijakan. Dengan dua kata kunci: biodiversity dan locality diharapkan data di dashboard situs web ini akan menjadi pangkalan data (database) yang lengkap dan beragam untuk penyusunan kebijakan pangan yang lebih presisi dan sesuai dengan konteks lokalitasnya, tegas Said Abdullah dari KRKP dengan mantab.
Abdullah juga mengingatkan bahwa masalah intervensi kebijakan pangan lokal menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi kita semua dan bagaimana kebijakan dapat memperkuat itu dan tugas teman-teman di NGO memberi masukan dan bekerja secara kolaboratif dengan pemerintah. Apa yang Abdullah serukan, disambut oleh Rina Syawal, Direktur Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, BAPANAS (Badan Pangan Nasional), dengan menekankan bahwa berbagai inisiatif dari masyarakat yang muncul diharapkan dapat berkolaborasi dengan Pemerintah dalam merealisasikan mandat UU Pangan yang terkait dengan penganekaragaman pangan berbasis potensi pangan lokal.
Disamping itu, Arif menambahkan, dengan hadirnya dashboard ini dapat memetakan keberagaman pangan lokal di Indonesia dan mencatat mana saja yang masih eksis atau sudah lenyap. Dalam proses input data di dashboard ini, dikerjakan dengan pendekatan citizen science dan crowdsourcing yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam mendokumentasikan keanekaragaman pangan lokal di sekitar mereka dan cerita-cerita tentang pangan lokal bahkan yang keberadaannya sudah hilang sekalipun. Namun demikian, semangatnya adalah mengajak kita semua untuk berkontribusi bersama sehingga situs web ini bisa menjadi alat bersama yang bisa dipakai oleh siapa saja dan membangun kembali kebanggaan terhadap keberagaman pangan lokal yang ada di sekitar kita dan menjadi bagian budaya kita kembali, sergah Arif.
RMI dan Kerja-kerja Advokasi Pangan lokal
Mengingat betapa pentingnya eksistensi pangan lokal di kalangan masyarakat adat dan komunitas lokal di pedesaan, sebagai organisasi yang berfokus pada advokasi masyarakat adat di sekitar hutan, sejauh ini RMI sudah berkecimpung di dalam kerja-kerja menjaga dan melestarikan pangan lokal. Memang harus diakui bahwa saat ini telah terjadi pergeseran pola konsumsi yang masif di kalangan masyarakat adat. Ahmad Arif menyampaikan bukti-bukti yang menujukkan telah terjadinya pergeseran itu. Misalnya apa yang terjadi di masyarakat Baduy di Banten atau di Sumba, NTT.
Namun demikian, dalam amatan Arif ternyata masih ada peluang untuk bisa dimunculkan kembali. Senada dengan apa yang Arif katakan barusan, berdasarkan pengalaman RMI belakangan ini, kegairahan untuk melakukan kerja-kerja pendokumentasian pangan lokal juga semarak dilakukan oleh komunitas-komunitas mitra RMI. Misalnya kerja-kerja pendokumentasian dan penghidupan kembali marwah pangan lokal yang dilakukan oleh teman-teman Lakoat.Kujawas di Mollo, NTT; SimpaSio Institute di Larantuka, Flores; dan masyarakat kasepuhan di Lebak – Banten. Bahkan tidak hanya berhenti dalam menghidupkan pangan lokal tetapi juga meluas ke kegiatan pencarian berbagai jenis tumbuhan dari hutan adat yang bisa diolah menjadi jamu dan obat-obatan.
Kerja-kerja advokasi yang dilakukan oleh RMI yang berkolaborasi dengan Komunitas Pemuda Adat Cirompang (Kisancang) misalnya di Festival Pare Ketan yang diselenggarakan di bulan Oktober 2023 di Kasepuhan Cirompang – Lebak, di mana masyarakat kasepuhan Cirompang terutama kaum perempuan menjadi garda terdepan dalam menampilkan hasil olahan pangan lokal menjadi hidangan dan aneka panganan kue. Dampak positif dari festival tersebut adalah munculnya kesadaran dan rasa percaya diri terhadap pangan lokal mereka sendiri.
Disamping itu, keterlibatan RMI dalam advokasi pangan lokal secara serius dilakukan di Kasepuhan Cibedug melalui proyek penelitian Sistem Pangan Lokal yang bekerjasama dengan FAO di tahun 2019. Dalam proyek penelitian ini, RMI berfokus pada pendeskripsian aspek-aspek keberlanjutan dan resiliensi dari sistem pangan masyarakat Kasepuhan Cibedug dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim, masuknya input-input pertanian modern dan pengaruhnya terhadap sistem pangan tradisional, penurunan regenerasi petani, dan perubahan besar sejak wilayah kasepuhan masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) di tahun 1992.
Dari hasil temuan penelitian ini didapat bahwa sistem pangan masyarakat Kasepuhan Cibedug ternyata masih menunjukkan adanya tanda-tanda resiliensi, terutama kemampuannya dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim. Hal ini dibuktikan ketika terjadinya kekeringan di tahun 2019, di mana dampaknya tidak mempengaruhi ketersediaan pangan mereka lantaran disebabkan oleh masih kuatnya basis kemandirian pangan mereka dan masih minimnya ketergantungan pada pasokan pangan dari luar.
Pasokan pangan mereka diperoleh sebesar 50-60 persen dari hasil produksi pangan di lahan pertanian, 20 persen dari hutan, dan sisanya sekitar 20-30 persen dari pasar. Belum lagi dengan kebiasaan masyarakat Cibedug yang menyimpan padi di leuit (lumbung), pengumpulan pangan liar dari hutan, dan praktik mengawetkan pangan secara alami juga turut berkontribusi besar dalam menjaga ketahanan pangan dari terpaan guncangan iklim sehingga menjaga ketersediaan pangan mereka.
Namun demikian, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Cibedug adalah masuknya input-input pertanian modern seperti pupuk kimia, pestisida, dan mesin traktor yang didatangkan dari luar. Input-input pertanian modern ini berdampak pada penurunan kualitas kesuburan tanah. Penurunan kualitas kesuburan tanah ini mulai dikeluhkan oleh para petani. Untungnya, belakangan ini masyarakat Cibedug mulai memahami bahwa keputusan mereka menggunakan pupuk kimia dan mesin traktor mungkin merupakan keputusan yang keliru dan berakibat pada kualitas kesuburan tanah dalam jangka panjang.
Atas permasalahan tersebut, masyarakat Cibedug mulai gencar menghidupkan kembali penggunaan pupuk organik. Terlepas dari permasalahan tersebut, mereka masih mempunyai keinginan yang kuat dalam melestarikan adat dan tradisinya termasuk mempertahankan sistem pertanian tradisional mereka. Bagaimanapun, sistem pertanan tradisional ini sangat mendukung bagi keberlanjutan sistem pangan mereka.
Gambar 3. Seorang Petani di Kasepuhan Cibedug menangkap ikan dan organisme air tawar lainnya di sawah. Foto oleh: Dokumentasi Riset Sistem Pangan RMI di Cibedug.
Persoalan lain yang tak kalah gentingnya adalah masa depan regenerasi petani di Cibedug yang dirasa cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, banyak generasi muda di Cibedug enggan bertani dan lebih memilih bekerja di luar kampungnya. Selain itu, pengetahuan generasi muda terhadap tradisi dan kearifan lokal semakin menurun. Untuk mengatasi problem regenerasi petani ini, para tetua adat memandang perlu untuk melakukan penyegaran kembali pembelajaran adat dan tradisi bagi generasi muda. Meskipun demikian, tumpuan pendidikan dalam bertani di masing-masing keluarga di Kasepuhan Cibedug masih tetap dijalankan.
Di penelitian ini ditemukan bahwa anak-anak di Cibedug “sejak kecil dibawa ke sawah dan kebun lalu mengamati aktivitas pertanian orang tuanya. Kegiatan yang biasa mereka lakukan bersama keluarga antara lain memancing di sawah, memanen, menanam padi, memasang perangkap, dan terkadang berburu babi hutan. Anak-anak Kasepuhan Cibedug juga mempelajari kearifan lokal lokal melalui sosialisasi dengan teman sebaya: bertukar cerita dan pengalaman, bermain di sawah, memancing di sungai, memetik buah-buahan liar, dan lain sebagainya.”1
Dari kondisi faktual tersebut, krisis regenerasi petani di Cibedug ternyata sudah mereka antisipasi dengan melakukan mitigasi melalui penguatan kembali pembelajaran tradisi dan adat serta pendidikan dalam bertani di keluarga masing-masing. Dalam hal permasalahan dengan pihak TNGHS, dengan dukungan RMI kini status wilayah dan hutan adat masyarakat Kasepuhan Cibedug sudah diakui keberadaannya.
Tentunya, pengakuan dari negara ini berkonsekuensi terhadap masa depan keberlanjutan sistem pangan lokal masyarakat Cibedug karena mengingat sebagian besar lahan pertanian, kebun, dan aktivitas meramban pangan liar di hutan terdapat di kawasan TNGHS. Atas pengakuan ini, membuat masyarakat Cibedug bisa lebih bebas mengakses dan mengelola sistem pangan sesuai dengan kearifan dan pengetahuan lokal mereka sendiri.
Selain itu, dalam hal pengetahuan tentang sistem pangan lokal di masyarakat kasepuhan bertolak dari pengalaman RMI sejauh ini. Faktanya, di lapangan ditemukan bahwa masyarakat kasepuhan lainnya masih menjalankan praktik dari sistem pengetahuan pangan mereka. Salah satu praktik yang hingga kini masih dijalankan adalah tradisi ngalasan, yaitu, berupa aktivitas meramban pangan liar di dalam hutan sebagai aktivitas rutin masyarakat kasepuhan dalam pemenuhan kebutuhan gizi harian mereka.
Tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun, biasanya dilakukan jelang petang hari setelah mereka selesai beraktivitas bertani di sawah atau kebun. Apa yang mereka dapat selama ngalasan, itulah yang akan mereka bawa untuk dimasak sebagai menu makan malam atau sore hari. Beberapa jenis pangan liar yang didapat peramban selama melakukan aktivitas ngalasan biasanya berbagai jenis jamur, sayur-sayuran, lalap-lalapan, sarang lebah hutan, tanaman obat untuk jamu-jamuan dan minuman herbal, buah-buahan yang tumbuh di hutan seperti durian, umbut rotan (kambium di dalam rotan yang masih muda biasanya untuk disayur), dan tanaman di dalam hutan lainnya yang layak dikonsumsi.
Sementara itu, pangan lokal lainnya juga dapat mereka olah menjadi produk yang bisa dipasarkan untuk meningkatkan taraf penghidupan masyarakat sebagai pendapatan keluarga atau kelompok seperti singkong, pisang, durian, dukuh, langsat, gula aren, kulang-kaleng, dan buah manggis yang tumbuh di sekitar kebun dan di dalam hutan yang dikelola masyarakat kasepuhan.
Gambar 4. Hasil meramban pangan liar yang dikenal dengan tradisi ngalasan di masyarakat kasepuhan di Lebak – Banten. Foto oleh: Fauzan Adima (Staf Pengorganisasian Masyarakat RMI).
Melihat dari pengalaman RMI inilah, menurut Ahmad Arif sebenarnya masyarakat kasepuhan bisa berpeluang untuk berkolaborasi dalam mendukung pendokumentasian pangan lokal di pangkalan data Nusantarafoodbiodiversity.org. Bahkan Said Abdullah menyambut RMI dan teman-teman lainnya untuk sama-sama membesarkan situs web ini dengan memfasilitasi masyarakat kasepuhan dan komunitas adat Baduy di wilayah kerja RMI terutama bagi generasi mudanya sebagai kontributor. Dengan demikian, hadirnya pangkalan data pangan lokal ini dapat menjadi alat advokasi bersama bagi para pihak yang sama-sama memiliki perhatian dan kepedulian terhadap keberlanjutan khazanah keanekaragaman pangan lokal di Nusantara.
1 RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment. “Food System Profile of Kasepuhan Cibedug Indigenous Peoples in Cibeber, Lebak, Indonesia and Elements of Sustainability and Climate Resilience” dalam Profiling Indigenous Food Systems And Their Contribution To Debates On Sustainibility And Climate Resilience. Unpublished