Mendorong Peran Perempuan Melalui Pelatihan Koperasi: Menuju Kedaulatan Ekonomi Lokal

Gambar 1. Para Peserta Pelatihan sedang Mengerjakan Tugas Kelompok

Partisipasi aktif perempuan dalam pengembangan ekonomi lokal telah menjadi fokus utama Program Estungkara-Inklusi yang melibatkan tiga Kasepuhan di Lebak, Banten. Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Pasir Eurih, dan Kasepuhan Cibarani menjadi peserta yang ikut dalam Program Pelatihan Koperasi yang bertujuan untuk memperkuat peran perempuan dalam ranah peningkatan ekonomi. Kegiatan pelatihan  dan studi banding ini dilaksanakan pada tanggal 07-08 Mei 2024 di Jakarta dan studi banding ke Koperasi Lentera Benteng Jaya di Kota Tangerang. Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW) Jakarta melalui program Estungkara-Inklusi didukung oleh Kemitraan-Partnership.

Peserta pelatihan terdiri dari perwakilan kelompok sebanyak 12 orang, dengan masing-masing kelompok mengirimkan 4 orang perwakilan. Peserta yang hadir terdiri dari 4 orang dari kelompok Lodong Cibarani (2 Perempuan, 2 pemuda), 3 Orang dari Sancang-Cirompang (2 Orang perempuan, 1 laki-laki), dan 5 orang dari Canoli (4 orang perempuan, 1 laki-laki). Tujuan utama dari kegiatan pelatihan dan studi banding ini adalah memberikan pendidikan dasar perkoperasian kepada kelompok ekonomi perempuan di Kasepuhan yang sedang menjalankan usaha kelompok mereka. Melalui serangkaian kegiatan yang mencakup pembelajaran tentang filosofi, konsep, dan kelembagaan koperasi, peserta juga memiliki kesempatan untuk terlibat dalam dialog serta mengunjungi langsung salah satu koperasi yang telah berjalan di Koperasi Lentera Benteng Jaya, Kota Tangerang. 

Gambar 2. Ibu Tri Endang Sulistiyowati dari PPSW Jakarta sedang memberikan pemaparan materi

Di hari pertama peserta diberikan peningkatan kapasitas oleh Ibu Tri Endang Sulistiyowati dari PPSW Jakarta yang selama ini aktif melakukan pendampingan di beberapa koperasi di Jakarta. Ibu Tri mulai membuka sesi materi dengan menyampaikan filosofi koperasi yang di dalamnya tentang urgensi berkelompok dan kenapa harus koperasi. Peserta diajak memahami apa pentingnya berkelompok. Dalam materi ini, Ibu Tri menjelaskan beberapa prinsip dalam membangun koperasi, yaitu, (1) bentuknya harus kolektif, (2) menjadikan alat demokratisasi ekonomi, artinya tidak ada penguasaan yang berlebihan oleh salah satu orang atau pihak, dan (3) harus menekankan pada swadaya kemandirian keberlanjutan. Sejalan dengan itu, pemilihan koperasi sebagai model pengelolaan yang relevan di masyarakat Kasepuhan tidaklah kebetulan. Koperasi, dengan nilai-nilai gotong royong dan kekeluargaan yang kuat, dianggap sebagai pilihan yang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya yang ada di lingkungan tersebut. Melalui pendekatan ini, diharapkan para peserta dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana menerapkan konsep-konsep koperasi dalam mengembangkan usaha kelompok mereka secara efektif dan berkelanjutan.

Gambar 3. Para Peserta sedang mengerjakan tugas kelompok di sesi materi penguatan manajemen kelompok

Masih di hari pertama pelatihan, materi berikutnya yaitu materi ke-2 dengan pembahasan penguatan manajemen kelompok yang tetap disampaikan oleh Ibu Tri. Isi materinya berupa tanggung jawab anggota dan pengurus kelompok. Ibu Tri merinci tentang bagaimana proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara bersama, hingga menyusun peraturan kelompok. Di materi ini, peserta diajak belajar apa bagaimana tanggung jawab anggota dan pengurus kelompok melalui identifikasi dan pembagian tugas-tugas antara pengurus dan anggota kelompok mulai dari tugas ketua, sekretaris, bendahara dan tanggung jawab anggota. Di bagian akhir materi ini, peserta diberikan pemahaman bagaimana prinsip dalam proses pengambilan keputusan di kelompok hingga memahami aturan-aturan yang dibuat secara bersama dalam kelompok yang mengatur tentang anggota, pengurus, tugas-tugas dan sumber pendanaan/iuran. 

Sementara, penyampaian materi untuk hari ke-2 masih disampaikan oleh Ibu Tri. Materi pertama yang disampaikan oleh Ibu Tri adalah Penguatan Kepemimpinan. Dalam materi ini, Ibu Tri memaparkan tentang apa itu pemimpin, siapa itu, dan memahami gaya kepemimpinan serta memahami tipe orang yang dipimpin. Di sesi ini peserta diajak belajar memahami secara teori apa itu pemimpin. Belajar membedakan apa itu pemimpin dan Kepemimpinan. Beberapa poin pentingnya antara lain pemimpin adalah orang yang memimpin kelompok dua orang atau lebih, sedangkan kepimpinan adalah proses mempengaruhi antar orang dengan menggunakan komunikasi yang terarah untuk mencapai tujuan. Pemimpin fokus kepada orangnya, sedangkan kepemimpinan adalah fokus terhadap proses mempengaruhi antar orang atau pribadi dengan komunikasi yang terarah untuk mencapai tujuan. Di materi ini, peserta diajari bagaimana mengenali gaya kepemimpinan yang menurutnya dengan memulai mengenali tipe-tipe anggota di antaranya ada 4 tipe anggota yaitu 1) Tidak mau dan tidak mampu, 2) Mau tapi tidak mampu, 3) Tidak mau tapi mampu, dan 4) mau dan mampu. Keempat tipe ini akan berlaku dan ada di setiap kelompok. Maka ini akan menentukan bagaimana seharusnya pemimpin dalam memimpin suatu kelompok. Selanjutnya peserta diajak memahami gaya kepemimpinan yang menurutnya ada empat gaya kepemimpinan di antaranya 1) Memerintah, 2) Mengajak, 3) Melibatkan dan 4) Melimpahkan atau mendelegasikan. Gaya ini akan disesuaikan penerapannya pada anggota sesuai tipenya masing-masing.

Gambar 4. Para Peserta sedang mengunjungi (studi banding) di Koperasi Lentera Benteng Jaya, salah satu koperasi binaan PPSW di Kampung Cina Benteng, Kota Tangerang

Materi terakhir yang disampaikan dalam pelatihan dan studi banding ini adalah penjabaran tentang perkoperasian yang lebih terinci. Materi ini tetap disampaikan oleh Ibu Tri dan pada sesi materi ini para peserta diajak lebih dalam mengenal koperasi mulai dari sejarah, prinsip, dan nilai-nilai serta aturan main dalam koperasi. Setelah penyampaian materi ini, para peserta lalu diajak untuk studi banding dengan mengunjungi Koperasi Lentera Benteng Jaya, salah satu koperasi binaan PPSW yang terletak di Tangerang. Koperasi ini beranggotakan perempuan komunitas Cina Benteng. Beberapa prestasi yang telah ditorehkan koperasi ini mulai dari tingkat kelurahan hingga provinsi. Dalam sambutannya, Ibu Tyas Widya Anggraini, selaku ketua koperasi menceritakan sekelumit tentang masa lalunya yang buruk hingga perubahan dalam dirinya sejak terlibat di pendirian koperasi yang didampingi oleh PPSW.  Dahulunya, Ibu Tyas sering menghabiskan waktunya dengan kebiasaan berjudi hingga membuat kondisi ekonominya semakin tercekik dan terperosok. Namun, sejak hadirnya PPSW yang melakukan pengorganisasian di komunitas Cina Benteng, membuat perubahan signifikan dalam hidupnya. Ibu Tyas kemudian dipercaya untuk memimpin koperasi yang awalnya berjumlah 25 anggota kini sudah beranggotakan 800 orang yang bergabung.

Gambar 5. Ibu Tyas Widya Anggraini selaku ketua Koperasi Lentera Benteng Jaya sedang memberikan pemaparan tentang koperasi yang dia pimpin

Inisiatif semacam ini bukan hanya sekadar langkah menuju kesetaraan dalam perekonomian, tetapi juga merupakan investasi dalam kedaulatan ekonomi lokal. Dengan memberikan kesempatan dan dukungan yang lebih besar bagi perempuan untuk berperan aktif dalam pengembangan ekonomi, diharapkan akan terjadi transformasi positif yang dapat memberikan dampak jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat terutama bagi masyarakat adat di wilayah kasepuhan.

Gambar 6. Sesi foto bersama peserta Pelatihan Koperasi

Melalui kegiatan pelatihan dan studi banding ini, RMI menggandeng PPSW yang dijembatani oleh Kemitraan melalui program Estungkara untuk berkolaborasi dalam proses pengorganisasian perempuan dalam konteks pemberdayaan ekonomi melalui konsep koperasi. Hal ini dirasa cukup relevan dengan apa yang dilakukan RMI di komunitas terutama di masyarakat kasepuhan dalam mendorong kemandirian ekonomi terutama bagi kelompok perempuan. Kolaborasi dengan PPSW ini dilakukan sejak 2023 lalu melalui penyelenggaraan pelatihan ekonomi di kasepuhan yang menghadirkan PPSW dan komunitas dampingannya sebagai narasumber kegiatan. Kedepannya, kolaborasi dan kerjasama ini akan terus berlanjut dalam peningkatan kapasitas untuk memperkuat pemberdayaan ekonomi di masyarakat kasepuhan.

Penulis: Fauzan Adima

Editor: Renal Rinoza

Partisipasi Kaum Muda Demokratis: Mulai dari Lokal

Partisipasi kaum muda dalam sistem demokrasi seperti terlibat dalam proses pengambilan keputusan, formulasi, implementasi dan pengawasan kebijakan publik sangatlah penting karena dapat memotori perubahan-perubahan dan meningkatkan kualitas kebijakan publik yang berorientasi pada masa depan. Akan tetapi, partisipasi pemuda dalam sistem demokrasi di berbagai tingkatan masih lemah. Hal ini dikarenakan berbagai hambatan secara sosial, budaya, dan politik. 

Indonesia adalah negara demokratis. Artinya, kekuasaan tertingginya berada di tangan rakyat. Bukan sebaliknya. Kekuasaan rakyat tersebut kemudian membentuk pemerintah untuk melaksanakan tujuan-tujuan bersama rakyat Indonesia. Tujuan-tujuan bersama tersebut tercantum dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Sebagai negara demokratis, partisipasi rakyat merupakan aspek yang sangat penting. Termasuk partisipasi kaum muda yang selama ini sangat rendah. Misalnya anggota DPR yang berusia 21-30 tahun hanya 22 orang atau berada di bawah 4%. (DataIndonesia.id, 2023) Selain itu, akses untuk mengisi jabatan publik tersebut masih didominasi oleh kaum muda dengan latar belakang kelas menengah ke atas. (Irdiana et al., 2021) Hal ini menggambarkan bagaimana konteks politik elektoral yang membutuhkan biaya yang sangat tinggi sehingga sulit diakses oleh kaum muda. 

Selain itu, secara sosial-budaya kaum muda disematkan berbagai stereotip-stereotip seperti “belum berpengalaman” “belum berpengetahuan cukup” dan “belum berkapasitas”. Ditambah lagi dengan perbedaan nilai antar generasi dan kurangnya representasi politik mengakibatkan pilihan untuk tidak berpartisipasi menjadi masuk akal bagi kaum muda. Padahal, akses terhadap informasi bagi kaum muda mengenai isu-isu politik sudah terbuka di berbagai media sosial. Di media sosial tersebar berbagai konten seperti siniar, diskusi publik, dan konten kreatif  secara langsung maupun tidak langsung memberikan pendidikan politik kepada kaum muda. 59% pemilih muda di tahun 2024 menyatakan media sosial adalah rujukan informasi utama. (CSIS, n.d.) Meskipun begitu, akses informasi ini belum mampu meningkatkan partisipasi politik kaum muda secara signifikan untuk menjadi pejabat publik. Hal ini disebabkan oleh hambatan secara sosial seperti stigma, stereotip dan bias dan hambatan ekonomi terkait mahalnya biaya yang diperlukan untuk mengikuti kontestasi politik.

Dengan begitu, kaum muda membutuhkan peran-peran lain untuk dapat  berpartisipasi dalam sistem demokrasi selain mengisi jabatan politik seperti kepala daerah, anggota legislatif dan yang lainnya. Misalnya, menjadi anggota pers, berorganisasi di lembaga-lembaga penguatan masyarakat sipil dan hak asasi manusia, terlibat dalam partai politik dan lain sebagainya. 

Tetapi, hal ini perlu dukungan lingkungan yang positif (enabling condition) yang mampu mengatasi hambatan-hambatan partisipasi kaum muda.  Misalnya dengan menyediakan ruang aman dan tindakan afirmatif terhadap partisipasi kaum muda di berbagai tingkatan untuk meningkatkan sistem yang transparan dan terbuka sehingga partisipasi kaum muda meningkat. Contohnya, model Panel Penasihat Muda (Youth Advisory Council) di berbagai lembaga pembangunan dapat dijadikan tolok ukur. Karena dapat mendorong kaum muda secara langsung untuk berpartisipasi dalam penyusunan program dan kebijakan. (Irdiana et al., 2021)

Lebih spesifik lagi, kaum muda sebagai warga negara pun bisa berpartisipasi dalam sistem demokrasi. Hal ini bisa dimulai dari skala kampung. Misalnya, aktif dalam pertemuan-pertemuan di tingkat kampung misalnya musyawarah perencanaan pembangunan desa, forum komunikasi di tingkat kelurahan, rapat di tingkat RW, dan lain sebagainya. Hal ini sering dikesampingkan karena dianggap kurang penting. Padahal dari tingkatan terkecil inilah kaum muda dapat menyuarakan pendapat dan memberikan dampak pada tingkat komunitas terkecil dan terdekat dengan dirinya. Selain itu, partisipasi di tingkat lokal memiliki ciri khas khusus dimana ruang untuk mengutarakan pendapat dan aspirasinya lebih mudah sehingga pola komunikasi dua arah dapat terbangun antara pemerintah dengan kaum muda (Berner et al., 2011, 157).  Selain itu partisipasi di tingkat kampung ini lebih mudah dijangkau oleh kaum muda karena hambatan sosial dan ekonominya tidak sebesar kontestasi politik untuk menjadi pejabat publik meskipun hambatan tersebut tidak sepenuhnya hilang. 

Dengan demikian, untuk mendorong partisipasi kaum muda diperlukan ruang yang suportif dan pembiasaan. Diperlukan enabling condition yang memampukan kaum muda agar dapat berpartisipasi sebagai individu berbagai sektor dan tingkatan. Hal ini dapat dimulai dari tingkat komunitas terkecil yang hambatan sosial-budaya dan ekonominya lebih mudah diidentifikasi dan ditanggulangi. Dengan begitu, praktik baik ini dapat memicu eskalasi partisipasi kaum muda di tingkat yang lebih besar. 

Penulis: Rifky putra Kurniawan

Editor: Siti Marfu’ah

Daftar Pustaka

Berner, M. M., Amos, J. M., & Morse, R. S. (2011). What Constitutes Effective Citizen Participation in Local Government? Views from City Stakeholder. Public Adiministration Quarterly, 35, 128-163.

CSIS. (n.d.). Pemilih Muda Dalam Pemilihan Umum 2024: Dinamis, Adaptif dan Responsif. CSIS. Retrieved April 5, 2024, from https://www.csis.or.id/publication/pemilih-muda-dalam-pemilihan-umum-2024-dinamis-adaptif-dan-responsif/

DataIndonesia.id. (2023, October 15). Mayoritas Anggota DPR Periode 2019-2024 Berusia Tua – Dataindonesia.id. Data Indonesia. Retrieved April 5, 2024, from https://dataindonesia.id/data-pemilu/detail/mayoritas-anggota-dpr-periode-20192024-berusia-tua

Irdiana, N., Febrianto, R., & Nisa, S. A. (2021, September 15). Kaum muda diremehkan di panggung politik: kita perlu dorong peran dan pengakuan mereka sebagai pemimpin dan politikus. The Conversation. Retrieved April 5, 2024, from https://theconversation.com/kaum-muda-diremehkan-di-panggung-politik-kita-perlu-dorong-peran-dan-pengakuan-mereka-sebagai-pemimpin-dan-politikus-159644

Langkah Kolaboratif Pendokumentasian dan Pelestarian Keragaman Pangan Lokal Nusantara

Bincang-bincang Seputar Permasalahan Pangan Lokal, Tantangannya dan Kenapa Harus Didokumentasikan

Pada pekan keempat bulan Maret 2024, bertempat di sebuah restoran yang menyajikan pangan lokal khas NTT di bilangan Kemang, Jakarta Selatan diselenggarakan acara kegiatan peluncuran situs web Nusantarafoodbiodiversity.org.

Ide pembuatan situs web pendokumentasian pangan lokal ini diinisiasi oleh teman-teman KRKP, KEHATI, CIFOR-ICRAF, EKO NTT, dan Ahmad Arif, seorang wartawan Harian Kompas yang banyak menulis tentang isu pangan lokal di Nusantara. Inisiatif pendokumentasian keragaman pangan lokal ini muncul karena adanya keresahan bersama diantara sesama pegiat yang memang sudah lama berkecimpung di isu-isu pangan lokal dan  disamping itu mereka juga melihat adanya potensi yang luar biasa dari masa depan pangan lokal Indonesia.  

Gambar 1. Salah satu hasil pengidentifikasian tanaman di kebun dan hutan di kegiatan Pelatihan Pangan Lokal

Kegiatan peluncuran dashboard pangan lokal ini diawali dengan rangkaian sesi diskusi yang dipandu oleh Widya Hasian Situmeang dari KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan). Pada sesi diskusi ini menghadirkan empat orang pembicara, diantaranya adalah Said Abdullah dari KRKP, Mulia Nurhasan dari CIFOR-ICRAF, Imroatul Mukhlishoh dari KEHATI, dan Ahmad Arif dari Harian Kompas. Sesi diskusi ini juga mengundang perwakilan dari Pemerintah yaitu Rina Syawal, Direktur Penganekaragaman dan Konsumsi Pangan dari Badan Pangan Nasional (BAPANAS) sebagai penanggap diskusi. Sedangkan RMI sendiri hadir sebagai undangan dari kegiatan peluncuran situs web Nusantarafoodbiodiversity.org ini.

Kegiatan diskusi ini mengambil tema “Mulai dari lokal untuk berdaulat pangan”. Harapannya dari tema diskusi tersebut dapat menjadi langkah awal untuk setidaknya bisa menjawab kompleksitas tantangan krisis pangan dengan mengkampanyekan konsumsi pangan lokal. Pada hematnya, konsumsi pangan lokal cenderung lebih tahan terhadap guncangan iklim, dapat mengurangi emisi karbon, dan menjadi relevan mengingat Indonesia begitu kaya dengan sumber pangan yang beranekaragam baik dari segi jenis maupun keberlimpahannya. Dengan begitu, maka, pemanfaatan pangan lokal berbasis sumberdaya setempat sudah barang tentu berimplikasi pada tercapainya kedaulatan pangan di masing-masing komunitas masyarakat di Indonesia.

Gambar 2. Ahmad Arif (kiri) sedang memaparkan permasalahan pangan lokal di Tanah Air. Foto oleh: Tim dokumentasi KRKP.

Pembicara pertama yang berbagi pandangan dan pengalamannya adalah Ahmad Arif. Arif memulai dengan menceritakan kondisi yang ironis dari permasalahan keberagaman pangan lokal. Di satu sisi, cerita tentang keberagaman pangan yang luar biasa melimpah banyak dia temui di seantero wilayah Indonesia. Kedudukan pangan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal pedesaan selalu identik dan menjadi bagian yang paling penting dalam ritual-ritual karena memang begitulah pola hidup mereka yang notabene dibentuk oleh ketersediaan layanan alam termasuk sumber pangan yang mereka produksi dan konsumsi. Namun, di sisi yang lain, rupanya telah terjadi pergeseran pola konsumsi yang sangat tajam di masyarakat kampung dan ketidaktahuan terhadap pemanfaatan konsumsi pangan lokal.

Tentunya pergeseran dan ketidaktahuan ini membawa pada konsekuensi mulai pudarnya bahkan sampai hilangnya pengetahuan tentang cerita asal usul produksi dan konsumsi pangan lokal. Dalam kasus ini, Arif mencontohkan seperti yang terjadi di Flores, NTT. Di sana, cerita mengenai keberagaman pangan telah menjadi cerita masa lalu terutama bagi anak-anak muda saat ini. Banyak dari anak-anak muda di Flores tidak mau lagi mengkonsumsi jagung bosse sebagai sumber karbohidrat. Eksistensi jagung bosse telah digantikan dengan masifnya konsumsi nasi putih yang notabene berasal dari beras.

Sialnya, beras yang beredar di pasaran sebagian besar didatangkan dari luar pulau dan tentu saja masyarakat membeli beras itu di warung sembako. Parahnya lagi, tingkat ketergantungan terhadap beras yang sangat tinggi membuat masyarakat Flores seakan-akan mengalami ketiadaan pilihan-pilihan konsumsi pangan lain. Ditambah belakangan ini, harga beras mencapai rekor tertinggi dan risiko gagal panen padi di Pulau Flores akibat dampak El Nino semakin menyulitkan masyarakat memperoleh pasokan beras di sana. Akibatnya, situasi tersebut memunculkan permasalahan krisis pangan yang tidak boleh dianggap remeh.

Terkait permasalahan krisis iklim yang disinggung Arif ini, Imroatul Mukhlishoh, Asisten Program Agroekosistem Pertanian KEHATI, menandaskan bahwa varietas tanaman pangan lokal justru lebih tangguh terhadap dampak guncangan iklim. Selain tangguh, mulai dari proses produksi, rantai distribusi hingga konsumsinya pangan lokal lebih rendah emisi karbon. Potensi rendah emisi karbon inilah yang terbukti relevan untuk menjawab tantangan krisis perubahan iklim dewasa ini. Melihat dari potensi luar biasa pangan lokal dalam kompleksitas permasalahan krisis iklim ini, Mukhlishoh menekankan tentang pentingnya mendorong pemanfaatan dan pelestarian pangan lokal secara berkelanjutan.

Dalam hal ini, Arif menambahkan bahwa masyarakat Indonesia di masing-masing daerah memiliki kemampuan beradaptasi dengan budaya dan lingkungan spesifik. Di situlah letak pengetahuan dan teknologi mereka yang sebenarnya. Leluhur orang Indonesia sebenarnya sudah mewariskan segenap pengetahuannya kepada generasi penerus dalam mengolah sumber pangan. Pengalaman Arif berkeliling Indonesia membuktikan bahwa di masyarakat adat dan komunitas lokal adalah bagaimana cara mereka mulai dari mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan makanan telah menjadi pengetahuan yang paling berharga apalagi dihadapkan pada krisis perubahan iklim.

Selain kemampuannya yang tahan terhadap krisis perubahan iklim, pangan lokal dengan kekayaan biodiversitasnya mengandung keragaman komposisi gizi yang masing-masing memiliki keunikannya tersendiri. Mulia Nurhasan, Peneliti Pangan dan Gizi dari CIFOR-ICRAF, menjelaskan kepada para peserta diskusi bahwa permasalahan gizi di berbagai wilayah Indonesia itu bermacam-macam dan sangat lokal sehingga dibutuhkan penanganan yang juga lokal dan spesifik. Oleh karena itu, kekhasan pangan lokal di masing-masing tempat sebenarnya sudah mampu menangani permasalahan dan kebutuhan gizi masyarakat setempat.

Dalam pengamatan Nurhasan, selama ini permasalahan gizi seringkali hanya ditangani dengan pendekatan medis (medicalize approach) padahal itu bukanlah cara penanganan yang berkelanjutan. Baik pemerintah maupun masyarakat masih melihat permasalahan gizi mirip seperti penyakit yang segera dicarikan obatnya dan berharap dengan begitu masalah gizinya akan selesai. Misalnya dalam kasus tekes (stunting) yang melulu ditangani dengan pendekatan medis. Dalam kasus ini, Nurhasan mengajak agar kedepannya kita tidak bisa ketergantungan kepada solusi-solusi yang medicalize approach semata melainkan sudah seharusnya kita memberi karpet merah untuk solusi-solusi yang berkelanjutan—yang sumbernya berasal dari kekayaan pangan lokal Indonesia. Namun, tantangannya kini varietas pangan lokal kita sendiri sudah banyak yang hilang dan banyak pula dari kita semua sudah tidak mengkonsumsinya.

Berangkat dari keresahan atas permasalahan eksistensi pangan lokal tersebut, prakarsa pendokumentasian melalui sebuah dashboard di situs web menjadi langkah untuk menjaga dan melestarikan jenis-jenis dan pengetahuan tentang pangan lokal agar tidak punah. Harapannya dengan hadirnya dashboard ini, data yang terinput nantinya bisa dipakai menjadi basis argumentasi untuk mengadvokasi kebijakan. Dengan dua kata kunci: biodiversity dan locality diharapkan data di dashboard situs web ini akan menjadi pangkalan data (database) yang lengkap dan beragam untuk penyusunan kebijakan pangan yang lebih presisi dan sesuai dengan konteks lokalitasnya, tegas Said Abdullah dari KRKP dengan mantab.

Abdullah juga mengingatkan bahwa masalah intervensi kebijakan pangan lokal menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi kita semua dan bagaimana kebijakan dapat memperkuat itu dan tugas teman-teman di NGO memberi masukan dan bekerja secara kolaboratif dengan pemerintah. Apa yang Abdullah serukan, disambut oleh Rina Syawal, Direktur Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, BAPANAS (Badan Pangan Nasional), dengan menekankan bahwa berbagai inisiatif dari masyarakat yang muncul diharapkan dapat berkolaborasi dengan Pemerintah dalam merealisasikan mandat UU Pangan yang terkait dengan penganekaragaman pangan berbasis potensi pangan lokal.

Disamping itu, Arif menambahkan, dengan hadirnya dashboard ini dapat memetakan keberagaman pangan lokal di Indonesia dan mencatat mana saja yang masih eksis atau sudah lenyap. Dalam proses input data di dashboard ini, dikerjakan dengan pendekatan citizen science dan crowdsourcing yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam mendokumentasikan keanekaragaman pangan lokal di sekitar mereka dan cerita-cerita tentang pangan lokal bahkan yang keberadaannya sudah hilang sekalipun. Namun demikian, semangatnya adalah mengajak kita semua untuk berkontribusi bersama sehingga situs web ini bisa menjadi alat bersama yang bisa dipakai oleh siapa saja dan membangun kembali kebanggaan terhadap keberagaman pangan lokal yang ada di sekitar kita dan menjadi bagian budaya kita kembali, sergah Arif.

RMI dan Kerja-kerja Advokasi Pangan lokal

Mengingat betapa pentingnya eksistensi pangan lokal di kalangan masyarakat adat dan komunitas lokal di pedesaan, sebagai organisasi yang berfokus pada advokasi masyarakat adat di sekitar hutan, sejauh ini RMI sudah berkecimpung di dalam kerja-kerja menjaga dan melestarikan pangan lokal. Memang harus diakui bahwa saat ini telah terjadi pergeseran pola konsumsi yang masif di kalangan masyarakat adat. Ahmad Arif menyampaikan bukti-bukti yang menujukkan telah terjadinya pergeseran itu. Misalnya apa yang terjadi di masyarakat Baduy di Banten atau di Sumba, NTT.

Namun demikian, dalam amatan Arif ternyata masih ada peluang untuk bisa dimunculkan kembali. Senada dengan apa yang Arif katakan barusan, berdasarkan pengalaman RMI belakangan ini, kegairahan untuk melakukan kerja-kerja pendokumentasian pangan lokal juga semarak dilakukan oleh komunitas-komunitas mitra RMI. Misalnya kerja-kerja pendokumentasian dan penghidupan kembali marwah pangan lokal yang dilakukan oleh teman-teman Lakoat.Kujawas di Mollo, NTT; SimpaSio Institute di Larantuka, Flores; dan masyarakat kasepuhan di Lebak – Banten. Bahkan tidak hanya berhenti dalam menghidupkan pangan lokal tetapi juga meluas ke kegiatan pencarian berbagai jenis tumbuhan dari hutan adat yang bisa diolah menjadi jamu dan obat-obatan.

Kerja-kerja advokasi yang dilakukan oleh RMI yang berkolaborasi dengan Komunitas Pemuda Adat Cirompang (Kisancang) misalnya di Festival Pare Ketan yang diselenggarakan di bulan Oktober 2023 di Kasepuhan Cirompang – Lebak, di mana masyarakat kasepuhan Cirompang terutama kaum perempuan menjadi garda terdepan dalam menampilkan hasil olahan pangan lokal menjadi hidangan dan aneka panganan kue. Dampak positif dari festival tersebut adalah munculnya kesadaran dan rasa percaya diri terhadap pangan lokal mereka sendiri.

Disamping itu, keterlibatan RMI dalam advokasi pangan lokal secara serius dilakukan di Kasepuhan Cibedug melalui proyek penelitian Sistem Pangan Lokal yang bekerjasama dengan FAO di tahun 2019. Dalam proyek penelitian ini, RMI berfokus pada pendeskripsian aspek-aspek keberlanjutan dan resiliensi dari sistem pangan masyarakat Kasepuhan Cibedug dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim, masuknya input-input pertanian modern dan pengaruhnya terhadap sistem pangan tradisional, penurunan regenerasi petani, dan perubahan besar sejak wilayah kasepuhan masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) di tahun 1992.

Dari hasil temuan penelitian ini didapat bahwa sistem pangan masyarakat Kasepuhan Cibedug ternyata masih menunjukkan adanya tanda-tanda resiliensi, terutama kemampuannya dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim. Hal ini dibuktikan ketika terjadinya kekeringan di tahun 2019, di mana dampaknya tidak mempengaruhi ketersediaan pangan mereka lantaran disebabkan oleh masih kuatnya basis kemandirian pangan mereka dan masih minimnya ketergantungan pada pasokan pangan dari luar.

Pasokan pangan mereka diperoleh sebesar 50-60 persen dari hasil produksi pangan di lahan pertanian, 20 persen dari hutan, dan sisanya sekitar 20-30 persen dari pasar. Belum lagi dengan kebiasaan masyarakat Cibedug yang menyimpan padi di leuit (lumbung), pengumpulan pangan liar dari hutan, dan praktik mengawetkan pangan secara alami juga turut berkontribusi besar dalam menjaga ketahanan pangan dari terpaan guncangan iklim sehingga menjaga ketersediaan pangan mereka.

Namun demikian, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Cibedug adalah masuknya input-input pertanian modern seperti pupuk kimia, pestisida, dan mesin traktor yang didatangkan dari luar. Input-input pertanian modern ini berdampak pada penurunan kualitas kesuburan tanah. Penurunan kualitas kesuburan tanah ini mulai dikeluhkan oleh para petani. Untungnya, belakangan ini masyarakat Cibedug mulai memahami bahwa keputusan mereka menggunakan pupuk kimia dan mesin traktor mungkin merupakan keputusan yang keliru dan berakibat pada kualitas kesuburan tanah dalam jangka panjang.

Atas permasalahan tersebut, masyarakat Cibedug mulai gencar menghidupkan kembali penggunaan pupuk organik. Terlepas dari permasalahan tersebut, mereka masih mempunyai keinginan yang kuat dalam melestarikan adat dan tradisinya termasuk mempertahankan sistem pertanian tradisional mereka. Bagaimanapun, sistem pertanan tradisional ini sangat mendukung bagi keberlanjutan sistem pangan mereka.

Gambar 3. Seorang Petani di Kasepuhan Cibedug menangkap ikan dan organisme air tawar lainnya di sawah. Foto oleh: Dokumentasi Riset Sistem Pangan RMI di Cibedug.

Persoalan lain yang tak kalah gentingnya adalah masa depan regenerasi petani di Cibedug yang dirasa cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, banyak generasi muda di Cibedug enggan bertani dan lebih memilih bekerja di luar kampungnya. Selain itu, pengetahuan generasi muda terhadap tradisi dan kearifan lokal semakin menurun. Untuk mengatasi problem regenerasi petani ini, para tetua adat memandang perlu untuk melakukan penyegaran kembali pembelajaran adat dan tradisi bagi generasi muda. Meskipun demikian, tumpuan pendidikan dalam bertani di masing-masing keluarga di Kasepuhan Cibedug masih tetap dijalankan.

Di penelitian ini ditemukan bahwa anak-anak di Cibedug “sejak kecil dibawa ke sawah dan kebun lalu mengamati aktivitas pertanian orang tuanya. Kegiatan yang biasa mereka lakukan bersama keluarga antara lain memancing di sawah, memanen, menanam padi, memasang perangkap, dan terkadang berburu babi hutan. Anak-anak Kasepuhan Cibedug juga mempelajari kearifan lokal lokal melalui sosialisasi dengan teman sebaya: bertukar cerita dan pengalaman, bermain di sawah, memancing di sungai, memetik buah-buahan liar, dan lain sebagainya.”1

Dari kondisi faktual tersebut, krisis regenerasi petani di Cibedug ternyata sudah mereka antisipasi dengan melakukan mitigasi melalui penguatan kembali pembelajaran tradisi dan adat serta pendidikan dalam bertani di keluarga masing-masing. Dalam hal permasalahan dengan pihak TNGHS, dengan dukungan RMI kini status wilayah dan hutan adat masyarakat Kasepuhan Cibedug sudah diakui keberadaannya.

Tentunya, pengakuan dari negara ini berkonsekuensi terhadap masa depan keberlanjutan sistem pangan lokal masyarakat Cibedug karena mengingat sebagian besar lahan pertanian, kebun, dan aktivitas meramban pangan liar di hutan terdapat di kawasan TNGHS. Atas pengakuan ini, membuat masyarakat Cibedug bisa lebih bebas mengakses dan mengelola sistem pangan sesuai dengan kearifan dan pengetahuan lokal mereka sendiri.

Selain itu, dalam hal pengetahuan tentang sistem pangan lokal di masyarakat kasepuhan bertolak dari pengalaman RMI sejauh ini. Faktanya, di lapangan ditemukan bahwa masyarakat kasepuhan lainnya masih menjalankan praktik dari sistem pengetahuan pangan mereka. Salah satu praktik yang hingga kini masih dijalankan adalah tradisi ngalasan, yaitu, berupa aktivitas meramban pangan liar di dalam hutan sebagai aktivitas rutin masyarakat kasepuhan dalam pemenuhan kebutuhan gizi harian mereka.

Tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun, biasanya dilakukan jelang petang hari setelah mereka selesai beraktivitas bertani di sawah atau kebun. Apa yang mereka dapat selama ngalasan, itulah yang akan mereka bawa untuk dimasak sebagai menu makan malam atau sore hari. Beberapa jenis pangan liar yang didapat peramban selama melakukan aktivitas ngalasan biasanya berbagai jenis jamur, sayur-sayuran, lalap-lalapan, sarang lebah hutan, tanaman obat untuk jamu-jamuan dan minuman herbal, buah-buahan yang tumbuh di hutan seperti durian, umbut rotan (kambium di dalam rotan yang masih muda biasanya untuk disayur), dan tanaman di dalam hutan lainnya yang layak dikonsumsi.

Sementara itu, pangan lokal lainnya juga dapat mereka olah menjadi produk yang bisa dipasarkan untuk meningkatkan taraf penghidupan masyarakat sebagai pendapatan keluarga atau kelompok seperti singkong, pisang, durian, dukuh, langsat, gula aren, kulang-kaleng, dan buah manggis yang tumbuh di sekitar kebun dan di dalam hutan yang dikelola masyarakat kasepuhan.

Gambar 4. Hasil meramban pangan liar yang dikenal dengan tradisi ngalasan di masyarakat kasepuhan di
Lebak – Banten. Foto oleh: Fauzan Adima (Staf Pengorganisasian Masyarakat RMI).

Melihat dari pengalaman RMI inilah, menurut Ahmad Arif sebenarnya masyarakat kasepuhan bisa berpeluang untuk berkolaborasi dalam mendukung pendokumentasian pangan lokal di pangkalan data Nusantarafoodbiodiversity.org. Bahkan Said Abdullah menyambut RMI dan teman-teman lainnya untuk sama-sama membesarkan situs web ini dengan memfasilitasi masyarakat kasepuhan dan komunitas adat Baduy di wilayah kerja RMI terutama bagi generasi mudanya sebagai kontributor. Dengan demikian, hadirnya pangkalan data pangan lokal ini dapat menjadi alat advokasi bersama bagi para pihak yang sama-sama memiliki perhatian dan kepedulian terhadap keberlanjutan khazanah keanekaragaman pangan lokal di Nusantara.

1 RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment. “Food System Profile of Kasepuhan Cibedug
Indigenous Peoples in Cibeber, Lebak, Indonesia and Elements of Sustainability and Climate Resilience”
dalam Profiling Indigenous Food Systems And Their Contribution To Debates On Sustainibility And Climate Resilience. Unpublished

Penulis: Renal Rinoza (Staf Knowledge Management, RMI)

Demokrasi dalam Kacamata Masyarakat Adat

Perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 telah menjadi tonggak sejarah yang menandai perjuangan tokoh bangsa dalam mewujudkan nilai-nilai demokrasi dalam tatanan negara Indonesia. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” menunjukan posisi Indonesia sebagai negara demokrasi. Kedaulatan rakyat ini memperlihatkan bahwa rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi yang diimplementasikan salah satunya melalui mekanisme pemilihan umum di Indonesia. Prinsip utama yang dipegang erat dalam proses demokrasi tersebut antara lain persamaan hak, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (Redaksi Ilmiah, 2024) 

Keberagaman budaya di Indonesia mempengaruhi cara masyarakat dari berbagai daerah dalam mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi, terutama dalam proses pengambilan keputusan dan partisipasi politik. Pada konteks Masyarakat Adat, terdapat nilai-nilai yang telah diturunkan dari generasi ke generasi yang akhirnya mempengaruhi aspek sosial, budaya, dan politik mereka. Negara pun perlu untuk mengakui secara politik dan hukum bagi masyarakat adat dalam menjalankan hak-hak tradisionalnya (Zazili, 2012).

Demokrasi deliberatif menjadi pola yang lebih dikenal dalam konteks masyarakat adat, di mana proses pengambilan keputusan didasarkan pada diskursus publik dan musyawarah. Proses yang dilakukan melibatkan berbagai macam pihak terpilih dengan mengedepankan kepentingan kolektif (Lubbi, 2021). Musyawarah untuk mufakat dan aklamasi akhirnya lebih sering digunakan dibandingkan menggunakan mekanisme voting. Meskipun secara mekanisme demokrasi pada umumnya berbeda, namun nilai-nilai partisipasi dan proses musyawarah yang didasarkan pada kepentingan bersama menunjukan bahwa nilai-nilai demokrasi tetap mengakar pada masyarakat adat.

Pengakuan politik dan hukum bagi Masyarakat Adat oleh negara, salah satunya diberikan kepada masyarakat adat di Papua Pegunungan. Negara melalui  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47-81/PHPU.A-VII/200 memberikan pengakuan atas sistem pemilu noken yang didasarkan nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Mekanisme yang dilakukan yaitu dengan cara musyawarah mufakat atau berdasarkan keputusan kepala suku dalam memilih calon tertentu. Hal ini merupakan bentuk kedaulatan rakyat menurut masyarakat di Papua Pegunungan yang dilakukan dengan sistem kesepakatan warga atau aklamasi (Lubbi, 2021). 

Pengakuan terhadap sistem pemilu noken di Papua Pegunungan oleh Mahkamah Konstitusi adalah upaya untuk mencegah timbulnya konflik diantara kelompok-kelompok masyarakat setempat yang dapat mengancam harmoni di masyarakat. Meskipun mendapat kritik bahwa setiap orang seharusnya memiliki hak dipilih dan memilih secara langsung, pengakuan ini mencerminkan upaya negara untuk memahami dan menghormati nilai-nilai kultural yang hidup di masyarakat.

Di tingkat pemerintah daerah, Bali memiliki peraturan sendiri mengenai mekanisme Desa Adat yang tertuang dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Melalui peraturan ini masyarakat memiliki kekuasaan dalam membentuk serta menetapkan peraturan berlandaskan hukum adat yaitu lainya disebut dengan Awig-Awig serta Pararem yang pembentukanya dilakukan dengan cara musyawarah mufakat atau di Bali sering disebut dengan Paruman (Winjaya dan Windia, 2023). Hal ini memungkinkan nilai-nilai demokrasi untuk diintegrasikan dengan kearifan lokal dan tradisi adat sehingga dapat mewujudkan  sistem demokrasi dengan tetap berpijak pada keunggulan kebudayaan daerah (Suacana, 2015).

Pada tingkat komunitas lokal, proses pengambilan keputusan juga seringkali dilakukan berdasarkan keputusan bersama melalui musyawarah mufakat. Salah satunya  dilakukan oleh suku Uma Hun di Desa Doka Nikisi’e, Nusa Tenggara Timur, yang tetap mempertahankan nilai-nilai adat dalam berkehidupan bernegara. Mane Maksain (tetua adat) memiliki kewenangan dalam memimpin musyawarah bersama ketika ada permasalahan yang terjadi (Seran dan Widihastuti, 2022). Mekanisme Restorative Justice dilakukan dalam proses peradilan yang mengundang pihak-pihak berwenang untuk menentukan tindakan yang diberikan dengan mengutamakan keadilan bersama. Mekanisme ini juga banyak dilakukan di masyarakat adat yang lain sesuai dengan kebutuhan dan kearifan lokal yang dipegang oleh masyarakat bersangkutan.

Namun, tantangan masih muncul dalam proses demokrasi lokal. Misalnya, dalam pemilihan Bendesa Adat (pemimpin tertinggi di desa adat) di Bali, partisipasi seluruh masyarakat desa belum terjamin, dan masih terdapat ketidaksetaraan gender dalam pengambilan keputusan (Suacana, 2015). Di sisi lain, di beberapa wilayah seperti Desa Doka Nikisi’e, peran perempuan dalam pengambilan keputusan masih terbatas, bahkan dalam konteks masyarakat matrilineal sekalipun (Seran dan Widihastuti, 2022). 

Kritik juga muncul terhadap beberapa aspek demokrasi lokal, seperti noken di Papua Pegunungan, yang dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (Ramadhan, 2022). Namun tidak bisa dipungkiri bahwa nilai-nilai yang masyarakat adat pegang diwariskan secara tidak tertulis. Maka dari itu pengakuan terhadap masyarakat yang memiliki struktur dan hukum yang berbeda perlu dilakukan. Hal ini menegaskan bahwa kebutuhan masyarakat bukan hanya konstitusi tertulis. Konstitusi harus bisa mengakomodasi unsur-unsur hukum tertulis dan tidak tertulis sehingga dapat mewujudkan demokrasi yang inklusif dan berkeadilan di Indonesia. (Zazili, 2012).

Referensi:

Lubbi, Muhammad Malikul. (2021). Analisis Sistem Pemilihan Umum Noken di Provinsi Papua dalam Prinsip Demokrasi dan Sistem Hukum Nasional. Jurnal Dharmasisya.  Vol 1, No.2. 

Ramadhan, Muhammad Nur. (2022). Pengakuan dan Implementasi Hak Pilih Masyarakat Adat dalam Pemilihan Umum di Indonesia. Jurnal Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau. Vol 4, No.2. 

Redaksi Ilmiah. (2024). Dimana Titik Temu Antara Konsep Musyawarah Dan Konsep Demokrasi. Diakses 23 03, 2024, dari ilmiah.id:

https://ilmiah.id/dimana-titik-temu-antara-konsep-musyawarah-dan-konsep-demokrasi/

Suacana, I Wayan Gede. (2015). Nilai-Nilai dan Parameter Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Bali. Jurnal Kajian Bali. Vol 5, No.1.

Seran, JK; & Widihastuti, S. (2012). Studi tentang Pengambilan Keputusan Adat dalam Musyawarah Suku Uma Hun. Jurnal Kajian Mahasiswa PPKn. Vol 11, No 2. 

Wijaya, IPS; & Windia, IW. (2023). Implementasi Sistem Musyawarah Mufakat dalam Pemilihan Bendesa Adat di Desa Adat Pecatu.  Jurnal Kertha Semaya. Vol 11, No.4.

Zazili, Ahmad. (2012). Pengakuan Negara Terhadap Hak-Hak Politik (Right to Vote) Masyarakat Adat dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum. Jurnal Konstitusi. Vol. 9, No. 1. 

Penulis: Hanifah Nur Hidayah

Editor: Siti Marfu’ah

Konsolidasi 2024 Masyarakat Kasepuhan Bongkok Untuk Perjuangan Hak Pengakuan Hutan Adat

Kasepuhan Bongkok adalah komunitas masyarakat adat Banten Kidul yang sedang memperjuangkan hak pengakuan hutan adat mereka kepada negara. Secara administratif, kasepuhan ini berada di Desa Sukaresmi, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak – Provinsi Banten. Berbeda dengan rekan mereka di kasepuhan lain yang sudah mendapatkan hak pengakuan hutan adat, Kasepuhan Bongkok sedang bergulat di internal mereka sendiri untuk mengatasi kesalahpahaman di masyarakatnya terkait legal standing1 hutan adat, kemudian didesak dengan situasi yang menghimpit lantaran rencana Taman Nasional Gunung Halimun Salak (selanjutnya ditulis TNGHS) yang akan menerapkan kebijakan rehabilitasi lahan atau penghutanan kembali (reforestasi) dan dalam hal ini yang menjadi sumber konflik adalah lahan garapan masyarakat yang berada di kawasan hutan, dan atas keterdesakan tersebut akhirnya membuat pihak kasepuhan berencana untuk melakukan konsolidasi internal. Konsolidasi ini sebagai tahap awal untuk menghasilkan resolusi yang nantinya menjadi titik berangkat dalam memperjuangkan hak pengakuan hutan adat masyarakat Kasepuhan Bongkok. Ide konsolidasi internal ini muncul di sela-sela acara Seren Tahun yang jatuh di hari Sabtu, 9 Desember 2023.

Pentas Angklung memeriahkan acara Seren Taun Kasepuhan Bongkok

Setelah beramah tamah dengan Aki (pimpinan kasepuhan) dan baris olot (tetua adat yang menjabat sebagai jajaran kasepuhan) kami berkesempatan berbincang-bincang bersama Pak Suarta, Pak Jaro Desa Sukaresmi, dan dua orang baris olot di kediaman Pak Jaro. Dalam perbincangan tersebut menggelinding sebuah resolusi awal tentang langkah-langkah yang akan diperjuangkan masyarakat Bongkok untuk mendapatkan Hak Pengakuan atas hutan adat mereka dari negara. Dari perbincangan yang hangat ini ditekankan pentingnya mengambil langkah yang diperlukan dan mendesak seperti penguatan internal di masyarakat melalui musyawarah untuk menyamakan persepsi dan pemahaman terkait duduk perkara hutan adat. Menurut Pak Suarta, selaku Juru Bicara (Jubir) masyarakat Kasepuhan Bongkok menyatakan bahwa hutan adat yang ada di Bongkok bukanlah milik kasepuhan tetapi milik masyarakat yang pengaturannya sudah dibagi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka dahulu. Selama ini muncul anggapan bahwa jika hutan adat mereka sudah mendapatkan SK Pengakuan maka otomatis akan menjadi milik kasepuhan. Inilah anggapan yang keliru sehingga perlu diluruskan. Melalui forum musyawarah warga yang akan digelar nanti segala kekeliruan dan kesalahpengertian itu akan diluruskan, terang Pak Suarta

Bersilaturahmi dan berbincang-berbincang bersama Pak Jaro Desa Sukaresmi dan beberapa Baris Olot Kasepuhan Bongkok

Konsolidasi warga ini penting artinya mengingat hutan adat yang dimiliki masyarakat kasepuhan perlu memiliki legal standing sebagai ketetapan hukum untuk melindungi wilayah tenurial masyarakat adat secara formal oleh negara. Hal yang paling mengkhawatirkan dan menakutkan bagi masyarakat ialah bisa saja sewaktu-waktu pihak taman nasional mengambilnya dan membatasi bahkan melarang masyarakat memasuki dan memanfaatkan hasil hutan. Kekhawatiran itu menurut Pak Suarta sangat beralasan, karena sebelumnya pihak taman nasional sering mengadakan patroli hutan dan memanggil masyarakat yang menebang pohon di dalam kawasan hutan. Namun, sejak isu hutan adat muncul ke permukaan dan mendapat perhatian dari berbagai pihak, yang menggema keras di tahun 2018, sejak itu pula pengawasan ketat dari Taman Nasional berkurang dan mereda hingga kini. Meskipun demikian, beredar kabar tentang revisi lahan di TNGHS. Kabar tersebut membuat masyarakat kembali khawatir dan was-was. Celakanya, revisi tersebut memasukkan sawah dan kebun masyarakat masuk ke dalam zona rehabilitasi.

Pak Suarta mengistilahkannya dengan sebutan dihutankan kembali lahan-lahan yang digarap masyarakat di dalam kawasan taman nasional. Kebijakan penghutanan kembali (reforestasi) oleh TNGHS ini menjadi ancaman serius bagi sumber penghidupan masyarakat yang sangat bergantung dari hutan. Di dalam kawasan hutan, masyarakat tidak hanya mengambil hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu melainkan juga beberapa sawah dan kebun mereka berada di dalam kawasan hutan. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa pengaturan kehutanan masyarakat adat kasepuhan hutan dibagi menjadi tiga zona peruntukan, yaitu: hutan tutupan, hutan titipan, dan hutan sampalan atau garapan. Di zona tutupan, hutan berfungsi sebagai zona lindung seperti menjaga sumber mata air dan keanekaragaman hayati; di zona titipan, hutan berfungsi sebagai zona penyangga untuk menjaga ekosistem hutan yang tidak boleh dirusak. Sementara zona garapan, hutan berfungsi sebagai zona pemanfaatan untuk dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup masyarakat. Di hutan garapan ini terdapat sawah dan kebun.

Pak Suarta (di tengah berbaju putih) sedang menguraikan persoalan hutan adat Kasepuhan Bongkok

Disamping itu, terdapat pula hutan cawisan—yang fungsinya sebagai hutan cadangan. Peruntukan hutan cawisan ini dipergunakan untuk kepentingan umum masyarakat seperti tanah wakaf dan pemakaman. Pembagian kawasan hutan ini sesuai dengan peruntukan dan kebutuhan incu pitu (keturunan) masyarakat adat kasepuhan yang diwariskan dari leluhur mereka. Untuk menguatkan aturan yang sudah berlaku turun-temurun ini, terutama pada pemanfaatan di kawasan hutan titipan, di masyarakat Bongkok tergambar dalam sebuah ungkapan peribahasa yaitu “bisik potong jodog reuntas tihang” yang dapat diartikan apabila ada kerusakan atau perbaikan yang dibutuhkan pada sebuah rumah apakah itu bagian tiang, atap, dinding, dlsb maka si pemilik rumah diperbolehkan untuk mengambil kayu di hutan. Dengan syarat si pemilik rumah hanya diperbolehkan mengambil seperlunya saja sesuai dengan kebutuhannya dan dia juga dilarang untuk memperjual-belikan berdasarkan aturan adat yang berlaku di kasepuhan. Menurut Pak Suarta, aturan adat tersebut bertujuan untuk mendistribusikan hasil kekayaan dari hutan secara sepadan dan bijaksana kepada seluruh masyarakat Bongkok—sebagai pemegang hak atas hutan adat mereka.

Di lain pihak, kita ketahui pihak taman nasional juga meminjam istilah masyarakat adat dalam pembagian kawasan hutan. Masalahnya di sini ialah pengertian pembagian zonasi tersebut dalam penerapannya berbeda dengan apa yang diberlakukan oleh masyarakat adat kasepuhan. Pihak TNGHS menafsirkannya sebagai kawasan konservasi yang tidak boleh dimasuki oleh masyarakat. Hal inilah yang dikeluhkan oleh masyarakat Bongkok. Bahkan untuk memasuki dan mengakses hutan garapan pun masyarakat sempat dilarang. Alhasil, antara petugas Balai Taman Nasional dan Polisi Hutan malah bermain kucing-kucingan dengan masyarakat. Sering dijumpai masyarakat menebang pohon-pohon yang dikategorikan masuk ke dalam daftar pohon lindung. Bahkan taman nasional melarang masyarakat menebang pohon jengjeng (sengon) padahal masyarakat sendiri yang menanamnya. Namun demikian, seperti yang sudah disinggung di atas, sejak gembar-gembor SK Penetapan Hutan Adat tingkat intensitas penindakan yang dilakukan oleh taman nasional kepada masyarakat tidak seketat sebelum berita ini santer terdengar. Pada momen tersebut, Pak Suarta mengisahkannya, “memang (di tahun) 2018 sudah mulai dengar-dengar (wacana SK Penetapan Hutan Adat di Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Sindanglaya). Tapi setelah Cirompang dan Sindanglaya mendapatkan SK Penetapan Hutan Adat, ya kayaknya taman nasional agak ngerem. Agak kendor gitu. Bolehlah (pohon) jengjeng mah. Bolehlah (memanfaatkan hasil hutan) di garapan masyarakat.” Sementara itu, pada kasus yang lain, taman nasional menggandeng masyarakat desa hutan dalam program Kemitraan Konservasi yang berbasis pemberdayaan masyarakat dan peningkatan ekonomi. Namun rupanya, program tersebut tidak terdengar di masyarakat Bongkok. Justru sebaliknya, yang sampai ke telinga mereka malah wacana kebijakan rehabilitasi hutan. Sontak, kabar tersebut membuat masyarakat menjadi khawatir karena sumber penghidupan mereka sangat bergantung dari hutan yang akan direhabilitasi tersebut.

Persoalan lain yang tak kalah gentingnya yang juga menyangkut hutan adat mereka adalah lampiran Perda Bupati Lebak Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan yang tidak memasukkan Kasepuhan Bongkok di dalam lampiran. Hal inilah yang menyisakan sebuah pertanyaan bagi masyarakat Bongkok. Nyatanya, menurut Pak Suarta eksistensi masyarakat adat kasepuhan Bongkok sudah ada sejak lama. Sama halnya dengan kasepuhan-kasepuhan lain yang masuk ke dalam lampiran Perda. Apabila ditilik dari syarat-syarat masyarakat adat kasepuhan, Bongkok sudah memenuhi syarat tersebut. Pertama, eksistensinya sudah ada sejak dahulu. Eksistensi ini dikisahkan melalui cerita asal-muasal Kasepuhan Bongkok yang bersumber dari sebuah siloka2 leluhur mereka dahulu kala. Salah satu baris olot menyebut siloka tersebut, toponimi Bongkok berasal dari istilah “bongkarkeun ngodokkeun kemana ngodokna ya ka atas ka pusat”. Secara ilustratif siloka ini dapat digambarkan bahwa apabila kita ingin mengambil ikan di balik batu sungai maka kita akan menyodokkan tangan kita bahkan ketika kita menggunakan jala, kita tetap akan menyodokkan dengan tangan ke sela-sela batu tersebut. Tentunya posisi badan kita membungkuk dan di situlah asal-muasal nama Bongkok. Riwayat lainnya mengisahkan penamaan Bongkok dinisbatkan sebagai perlambang orang tua yang dituakan yang posisi tubuhnya membungkuk karena semakin tua. Perlambang ini sesuai dengan arti siloka yang dimaksud baris olot tersebut dimana seseorang yang sedang mencari ikan hingga pencariannya sampai ke bagian hulu sungai. Wilayah hulu sungai ditafsirkan sebagai pusat atau awal mula. Kedua, pengakuan dari masyarakat adat kasepuhan lain. Ini dibuktikan Kasepuhan Bongkok berjejaring dengan masyarakat adat Banten Kidul lainnya yang tergabung di Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI). Bahkan sebelum terbentuk organisasi SABAKI, Kasepuhan Bongkok sudah sering ikut-serta di acara-acara perkumpulan kasepuhan lainnya. Selain itu, hubungan kekerabatan dengan Kasepuhan Cipta Gelar (kini berganti nama dengan nama Kasepuhan Gelar Alam) terjalin sangat erat. Hubungan tersebut ditandai ketika Kasepuhan Cipta Gelar akan melangsungkan hajat (seperti perayaan Seren Taun) maka mereka akan berziarah ke Kasepuhan Bongkok. Pun jika adanya suksesi kepemimpinan adat di Kasepuhan Bongkok maka pemimpin adat Kasepuhan Gelar Alam yang akan menunjuk seseorang untuk menjadi pimpinan adat Kasepuhan Bongkok. Sekilas posisinya terlihat membingungkan. Di amatan awam kita seharusnya Kasepuhan Bongkok lah yang menunjuk seorang pemimpin adat di Cipta Gelar bukan sebaliknya karena di saat Kasepuhan Cipta Gelar akan melangsung hajat mereka berziarah ke Bongkok. Prosesi ziarah yang dilakukan ini sebagai bentuk penghormatan kepada yang lebih dituakan. Bagi Pak Suarta, tentunya aturan adat ini membingungkan kita semua namun kembali lagi bahwa segala sesuatu yang menjadi ranah urusan karuhun3 tak bisa ditawar-tawar.

Ditambahkan juga, batas-batas wilayah hutan adat Kasepuhan Bongkok telah diakui oleh kasepuhan lainnya. Bahkan luasannya berada di luar wilayah Desa Sukaresmi. Diperkirakan luas wilayah hutan adat Kasepuhan Bongkok sekitar 1200 hektar—luasnya hampir sama dengan luas wilayah hutan adat Kasepuhan Cibedug dengan potensi alam dan pertaniannya yang luar biasa.4 Batas wilayah hutan adat Bongkok ini bahkan dipakai oleh Perum Perhutani sebagai batas blok.5 Merujuk Blok Bongkok, batas-batas hutan adat Bongkok membentang dari wahangan6 Ciparasi yang secara administrasi masuk ke wilayah Desa Ciparasi, dari batas Desa Hariang ke Leuwi Kantor, dari Cikawa ke Cirengit, dari Jagaraksa sampai wilayah Cepak Maghrib, dari wahangan Citujah dan Cikiruh yang berbatasan dengan Kasepuhan Sindanglaya, dari sungai-sungai kecil lalu menanjak ke perbukitan di Pasir Pinang hingga sampai di sebuah situ yang bernama Situ Cileusang, dan batas hutan adat Bongkok sampai ke kawasan yang dinamakan Gunung Henyot. Dinamakan gunung henyot karena sudah memasuki zona hutan rimba yang lebat dan basah sehingga ketika kaki kita menginjaknya maka akan terasa kenyal dan berpegas. Hal ini lantaran tanahnya sudah ditutupi oleh tumpukan dedaunan dan ranting-ranting pohon yang kian menebal dalam jangka waktu yang lama. Dengan syarat-syarat yang tergambar di atas, tentunya sudah tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengakui eksistensi masyarakat adat Kasepuhan Bongkok.

Oleh karena itu, dengan prasyarat-prasyarat yang sudah terpenuhi tersebut dan identifikasi permasalahan yang sudah ditemukan akar masalahnya akan menjadi modal bagi masyarakat Bongkok untuk berjuang mendapatkan hak mereka atas hutan adat. Langkah-langkah strategis dan taktis semakin mendesak untuk segera dilakukan. Semuanya ini bergantung pada kesiapan masyarakat Bongkok untuk memperjuangkan hak mereka. Tahun 2024 menjadi tahun krusial bagi masyarakat Bongkok untuk melakukan konsolidasi internal dan penyusunan syarat-syarat legal standing SK Pengakuan Hutan Adat. Konsolidasi internal ditempuh dengan cara: 1) membangun komunikasi dengan kampung-kampung lain ataupun rendangan-rendangan7 di wilayah Kasepuhan Bongkok tentang perjuangan SK Pengakuan Hutan Adat dan sikap bersama masyarakat terhadap ancaman dari taman nasional yang akan merehabilitasi lahan untuk dihutankan kembali; 2) mengadakan musyawarah warga dan didukung oleh aparat pemerintahan desa baik Kepala Desa dan jajarannya, BPD hingga Ketua RT. Agenda pertama musyawarah setidaknya memastikan informasi dapat tersampaikan dengan jelas kepada masyarakat mengenai hutan adat dan proses perjuangannya untuk mendapatkan legal standing. Pasalnya, selama ini telah terjadi kesalahpahaman yang beredar di masyarakat mengenai hutan adat seakan-akan jika sudah mendapat SK Pengakuan, otomatis hutan adat milik lembaga adat. Sebenarnya tidak demikian halnya seperti selama ini yang sudah terlanjur dipahami masyarakat.

Aneka panganan di acara Seren Taun Kasepuhan Bongkok. Masyarakat Bongkok menyebutnya ameungan

Dengan demikian, musyawarah yang rencananya akan dilangsungkan di awal tahun 2024 akan menuntaskan kesalahpahaman tersebut. Disamping itu, di forum musyawarah yang akan digelar nanti rencananya akan membahas potensi ancaman dan risiko-risiko apa saja yang akan didapat jika pihak taman nasional benar-benar menerapkan kebijakan zona rehabilitasi kawasan hutan. Ini artinya akan menutup akses masyarakat terhadap hutan. Menutup akses masyarakat terhadap hutan sama artinya menutup mata pencaharian masyarakat yang notabene 80% lebih menggantungkan hidupnya dari hutan. Di kawasan hutanlah lahan garapan masyarakat berada baik dalam bentuk sawah maupun kebun. Potensi ancaman lainnya adalah keberadaan satu kampung yang lokasinya berada di zona enclave taman nasional. Muncul sinyalemen bahwa kampung tersebut akan direlokasi jika pihak taman nasional akan merehabilitasi lahan di sana. Tentunya relokasi kampung tersebut memantik reaksi keras dari masyarakat. Bagi masyarakat Bongkok, kampung yang lokasinya berada di dalam hutan tersebut telah eksis dan memiliki sejarah yang panjang—jauh sebelum masuknya Perum Perhutani apalagi TNGHS yang kawasannya baru diperluas di tahun 2003; dan 3) setelah terbangunnya komunikasi dan musyawarah yang menghasilkan resolusi bersama maka tahap selanjutnya melakukan penyusunan syarat-syarat untuk mendapatkan legal standing. Dalam proses penyusunan legal standing ini masyarakat Bongkok dapat meminta dukungan kepada masyarakat kasepuhan lain maupun organisasi masyarakat sipil. Salah satu tahap dari penyusunan legal standing itu adalah mengerjakan pemetaan partisipatif. Pemetaan ini menjadi bagian elementer dan titik tolak dari basis argumen yang akan dipertarungkan kepada para pihak dan menjadi landasan formal penguasaan tenurial hutan adat masyarakat. Proses pemetaan partisipatif ini akan melibatkan masyarakat Bongkok, wilayah tetangga kasepuhan, aparat desa dan organisasi masyarakat sipil yang sama-sama membantu kelancaran proses tersebut.

Demikianlah bincang-bincang kami bersama Pak Suarta, Pak Jaro dan baris olot di sela-sela kegiatan Seren Taun Kasepuhan Bongkok. Bincang-bincang ini setidaknya dapat menjadi bahan untuk disampaikan di musyawarah warga dan menggalang dukungan kepada pihak lain agar perjuangan masyarakat Bongkok mendapatkan legal standing semakin mengeras dan terealisasi. Tentunya tahun 2024 bagi masyarakat Bongkok dijadikan sebagai tahun konsolidasi perjuangan mereka atas hutan adat. Adapun langkah-langkah yang akan mereka tempuh dengan cara penguatan internal, penyusunan legal standing, dan penggalangan dukungan kepada para pihak. Perjuangan untuk mendapat legal standing ini bukanlah perkara yang mudah tetapi dengan strategi yang terencana dan kesiapan penuh dari masyarakat maka perjuangan itu setidaknya sudah bisa melewati fase genting dan tahun 2024 adalah tahun yang paling menentukan bagi masyarakat Bongkok bagi perjuangan selanjutnya sampai mereka benar-benar mendapatkan Hak Pengakuan Hutan Adat dari Negara. Maka, tahun 2024 bisa dikatakan sebagai tahun konsolidasi yang tujuannya untuk benar-benar menghasilkan resolusi yang konkret bagi perjuangan masyarakat Bongkok. Bersamaan dengan itu, situasi di Kasepuhan Jamrut juga menghadapi permasalahan yang sama dengan saudara mereka di Bongkok. Bagi kedua kasepuhan ini, tahun 2024 adalah tahun tersibuk dalam mempersiapkan legal standing hak pengakuan hutan adat mereka. Sementara, dukungan dari pihak lain sangat diperlukan agar nafas perjuangan mereka tetap panjang. Tabik.

Penulis

Renal Rinoza (Divisi Knowledge Management)


  1. Legal Standing adalah Putusan Hukum dari Negara yang memberikan pengakuan terhadap kedudukan hukum yang diajukan oleh Pemohon (dalam hal ini subyeknya adalah Masyarakat Adat) untuk mendapatkan hak-hak konstitusional mereka sebagai Warga Negara dan status Hak Penguasaan dan Pengelolaan Hutan Adat. ↩︎
  2. Siloka adalah semacam tamsil atau perlambang yang diungkapkan secara tersirat dalam bentuk bahasa simbolik dan metaforis tentang sejarah, ajaran-ajaran, nasihat-nasihat, peringatan, pengetahuan, dan kejadian di masa depan. ↩︎
  3. Karuhun adalah leluhur masyarakat adat kasepuhan. ↩︎
  4. Lokasi Kasepuhan Cibedug secara administratif berada di Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber – Kabupaten Lebak. ↩︎
  5. Sebelum berpindah tangan ke Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), penguasaan lahan di wilayah hutan adat Bongkok dipegang oleh Perum Perhutani. ↩︎
  6. Wahangan adalah aliran sungai kecil di bagian hulu sungai. ↩︎
  7. Rendangan adalah unit kampung di bawah kasepuhan. Misalnya sebuah kasepuhan memiliki unit kampung di luar wilayah pusat kasepuhan berada dan wilayah rendangan tetap terhubung secara kultural dan spiritual dengan kasepuhan utama. ↩︎

Sekelumit Cerita dari Teh Jarsih bersama Kelompok Lodong dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kasepuhan Cibarani

Pada hari Sabtu tanggal 18 November 2023 RMI memulai perjalanannya untuk mengadakan agenda monitoring evaluasi program Estungkara selama satu tahun terakhir ini. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Kasepuhan Cibarani yang berlokasi di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak, Banten. Salah satu teman kami di sana adalah teh Jarsih. Ia tergabung dalam kelompok Lodong Cibarani yaitu suatu kelompok usaha yang mengembangkan serta menjual produksi air nira yang telah diproses menjadi hasil produksi Gula Semut. Selain tergabung di kelompok Lodong, teh Jarsih juga turut membidani berdirinya kelompok kue ibu-ibu yang saat ini baru berjalan sekitar dua bulan.

Kasepuhan Cibarani memiliki banyak potensi alam yang dapat dimanfaatkan baik untuk sumber pangan maupun wisata. Disamping padi, hasil kebun pun juga cukup melimpah seperti durian, petai dan jengkol serta banyaknya warga yang memiliki pekerjaan sampingan menjadi penyadap nira yang kemudian membuat Kasepuhan Cibarani mulai terkenal akan produk gula cetaknya yang asli dan terjangkau. Sementara, untuk wisata alam terdapat banyak gua maka di Desa Cibarani dijuluki Desa 1000 gua.

Awal mula berdirinya kelompok Lodong Cibarani berawal dari ide bahwa hasil air nira yang seperti biasanya disadap dan diolah secara sederhana menjadi gula kemudian mulai dikembangkan menjadi produk gula semut. Akan tetapi, volume produksinya belum bisa dikatakan banyak karena masih belum ada tenaga yang cukup banyak untuk bisa melakukan skala produksi besar. Kemudian perubahan mulai dirasakan semenjak RMI masuk ke Cibarani. Tim CO (Community Organizer) RMI yang bertugas di lapangan ternyata melihat potensi yang ada, salah satunya adalah aktivitas masyarakat yang memproduksi gula aren. Dari situ, RMI menginisiasi berdirinya kelompok Lodong dan disambut antusias oleh masyarakat Cibarani.

Untuk meningkatkan kemampuan manajerial produksi dan pemasarannya anggotanya, RMI lalu mengadakan pelatihan. Dalam kegiatan pelatihan tersebut, masyarakat mendapat materi seperti cara pembukuan sederhana, mengatur anggota, melakukan presentasi, dan belajar tentang pengemasan untuk hasil produksi gula semut. Dari hasil-hasil pelatihan inilah akhirnya terbentuk suatu kelompok masyarakat yang memiliki fokus untuk membuat hasil produksi gula semut dan memutuskan menggunakan nama “Lodong Cibarani” sebagai nama komunitas mereka.  

Lodong Cibarani memiliki arti tersendiri yaitu nama “Lodong” merupakan nama tempat yang dipakai untuk menampung air nira yang digunakan oleh para petani penyadap dan juga Lodong melambangkan suatu ‘tempat’ dimana komunitas ini merupakan sebuah wadah/tempat bagi mereka sebagai anggota. Sedangkan “Cibarani” merupakan nama kasepuhan mereka. Komunitas Lodong Cibarani ini baru berjalan sekitar dua tahun yaitu dimulai dari tahun 2021 hingga sekarang. 

Sejauh ini menurut pengakuan salah satu anggotanya, yaitu Teh Jarsih, mengatakan bahwa capaian manfaat terutama dalam bidang kesejahteraan sejak berdirinya Komunitas Lodong Cibarani ini jika dilihat secara ekonomi adalah perbandingan harga gula cetak dan gula semut cukup jauh dan dalam hal ini keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil produksi gula semut jauh lebih tinggi dibandingkan gula cetak. Ditambah pula dengan ketahanan dari gula semut yang lebih lama daripada gula cetak. Gula semut bisa bertahan hingga jangka satu tahun jika disimpan di wadah tertutup namun untuk gula cetak hanya bertahan selama tiga sampai tujuh hari saja walaupun disimpan di wadah tertutup.

Disamping itu, dalam perjalanannya memang produksi gula semut masih memiliki banyak kendala untuk bisa menjadi stabil dan berkelanjutan dalam menghasilkan serta memasarkan produknya. Beberapa kendala yang sering muncul adalah terkait sistem yang ada di kelompok belum begitu terbentuk dan masih sangat sederhana sekali hanya terkait jual dan bagi hasil serta uang simpan tabungan kelompok. Selain itu kendala lainnya adalah tentang pemasaran yang masih kurang efektif. Hal ini dikarenakan skala untuk pemasaran masih sebatas di Cibarani dan wilayah sekitarnya saja, memang ada beberapa yang pernah meminta dari luar dengan jumlah yang banyak tetapi kelompok Lodong Cibarani sayangnya tidak bisa memenuhi permintaan tersebut karena permintaannya terlalu besar dan mereka hanya bisa memproduksinya sedikit. Kendala lainnya yang menghambat produksi dalam jumlah besar adalah produksi masih dilakukan secara manual. Agar dapat menghasilkan volume produksi dalam jumlah besar dapat terpenuhi maka dibutuhkan mesin pemasak atau kristalisator gula semut sehingga dapat memenuhi permintaan dalam partai besar. 

Seperti yang dikatakan teh Jarsih, “harapannya sih ingin banget untuk bisa membangun sistem tapi yang saling menguntungkan, jadi ga cuman bikin terus jual tapi bisa pengelolaannya teratur dan terus-menerus. Soalnya saat ini kan aku memang sudah belajar sedikit tentang pembukuan, akan tetapi masih sederhana banget, hanya mencatat terkait barang yang masuk dan barang yang dibeli.”

Selain itu, kendala dalam hal pengemasan juga terjadi, hal ini dikarenakan pengemasan untuk gula semut masih hanya menggunakan plastik zipper dan ditempelkan stiker. Hal ini rawan karena bisa saja stikernya dicabut dan diklaim ulang oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, Lodong Cibarani juga belum berani untuk menjual produknya ke pasar yang lebih luas seperti di marketplace online karena belum mengurus persyaratan izin edar pangan ke pihak BPOM. Keterbatasan akan pengetahuan tentang birokrasi mengurus kelengkapan serta akses yang sulit menjadi penghalang besar bagi komunitas Lodong Cibarani.

Terlepas dari kendala yang ada, dengan menengok perjalanan selama satu tahun belakangan ini, harapan dari teh Jarsih tersendiri adalah agar mereka bisa lebih berdaya lagi dari segi sumber daya alam dan manusianya, terutama kaum ibu-ibu disini bisa memiliki kegiatan yang produktif, bermanfaat, serta menghasilkan. Harapan lainnya adalah agar perempuan-perempuan di Cibarani memiliki ruang untuk bisa lebih berdaya lagi, dan ruang untuk bisa mengekspresikan dan menyalurkan bakat maupun hobi. Tidak lupa pula teh Jarsih berharap dengan adanya keterlibatan perempuan di setiap kegiatan maupun forum masyarakat tentunya dapat meningkatkan partisipasi perempuan di kasepuhan. Karena selama ini perempuan di Cibarani hanya memegang urusan dapur saja di setiap kegiatan maka untuk itulah penting sekali perannya untuk terlibat aktif di setiap agenda kasepuhan seperti menjadi bagian pengambil keputusan dan berbicara di depan forum. Teh Jarsih juga berharap agar kemitraan yang dilakukan oleh RMI bersama masyarakat bisa berjalan lancar sampai masyarakat di Kasepuhan Cibarani bisa mandiri dan terbuka akan ide-ide maupun masukan-masukan positif.

Penulis: Amara Elvita

Editor: Renal Rinoza