Menguatkan Inisiatif: Langkah Lanjutan Mendorong Pendidikan Kritis Kontekstual pada Generasi Muda

RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sejak awal berkomitmen untuk melakukan pembelajaran dengan mengedepankan prinsip pendidikan kritis, kontekstual, dan secara partisipatif. Melalui Program “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia – Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia serta Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan,” RMI melaksanakan kegiatan Environmental Children’s Rights (ECR) Training Program (ETP) atau Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan. 

Fasilitator Pendidikan Lingkungan terdiri dari tiga rangkaian seri yang dilaksanakan secara bertahap:

Dokumentasi ETP Seri 1

Seri Pertama: Dilaksanakan pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung. Pelatihan ini fokus pada pembekalan mengenai pendidikan kontekstual dan dasar-dasar fasilitasi. Sebagai tindak lanjut, peserta diminta untuk melaksanakan mini project sebagai implementasi dari pelatihan tersebut, sekaligus sebagai kesempatan bagi mereka untuk mencoba menjadi fasilitator di komunitas masing-masing.

Dokumentasi ETP Seri 2

Seri Kedua: Dua bulan kemudian, seri kedua dilaksanakan pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Pelatihan kedua mengadopsi pendekatan People First Impact Method (PFIM), mendorong peserta untuk dapat menggali informasi melalui wawancara mendalam dengan topik yang telah ditentukan. Selain itu, dikenalkan pula isu-isu mengenai perubahan iklim, kemiskinan struktural, gender, dan politik ekologi yang dikaitkan dengan kondisi masing-masing komunitas.

Dokumentasi ETP Seri 3

Seri Ketiga: Seri terakhir dilaksanakan pada tanggal 25–27 Oktober 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih, diikuti oleh 15 peserta, terdiri dari tiga perempuan dan 12 laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Jamrut, serta masyarakat lokal di sekitar Kasepuhan. Pelatihan ini berlangsung selama tiga hari dengan isu-isu yang saling berhubungan dengan pelatihan sebelumnya, seperti pembangunan berkelanjutan, gerakan sosial, keanekaragaman hayati, dan keadilan iklim.

Pada hari pertama, peserta diajak untuk mengenal diri mereka melalui tes MBTI, diharapkan dapat mengetahui arah pengembangan sesuai dengan kepribadian masing-masing. Selain itu, peserta juga diberikan kesempatan untuk saling berbagi pengetahuan berdasarkan keahlian atau ketertarikan masing-masing. Sesi pertama dilakukan oleh Hanifah Nur Hidayah dengan topik “Otoritas dan Kekerasan,” yang menjelaskan bahwa seseorang dapat melakukan tindakan yang bertentangan dengan moralnya ketika menerima perintah dari orang yang lebih berwenang.  Selanjutnya, Siti Sopariah menjelaskan tentang “Keseimbangan Ekosistem,” membahas interaksi biotik dan abiotik yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan ketika salah satu komponen hilang. Pendekatan ini memantik diskusi terbuka antara peserta karena sifatnya yang peer-to-peer.

Hari pertama diakhiri dengan pengenalan media pembelajaran melalui permainan quartet yang berisikan informasi mengenai Kasepuhan, seperti perangkat adat, hewan langka di kawasan Halimun, hingga objek Kasepuhan. Melalui permainan ini, peserta dapat membaca dan mengetahui informasi yang tertera di kartu. Hal ini diharapkan dapat menjadi pemicu untuk menciptakan alat serupa sebagai media pembelajaran bagi anak-anak dan kaum muda dengan cara yang lebih menyenangkan dan kontekstual.

Pada hari kedua, isu yang diangkat berkaitan dengan keanekaragaman hayati melalui praktik biomonitoring untuk menguji kualitas air sungai. Peserta dibagi menjadi empat kelompok dan melakukan biomonitoring di titik-titik sungai sekitar. Peserta diminta mengidentifikasi makhluk makroinvertebrata yang terdapat dalam ekosistem sungai sebagai indikator kualitas air. Sekalipun hasil yang didapat perlu dikaji lebih dalam untuk menghasilkan data yang valid, peserta tetap dapat mengenali dan mengidentifikasi secara sederhana kondisi lingkungan yang ada di sekitar mereka.

Menyusul isu yang sama, peserta terlibat dalam permainan “Mancing Mania,” yang mencerminkan tantangan pengelolaan kekayaan alam yang terbatas. Dalam permainan ini, peserta berperan sebagai perusahaan penangkap ikan yang berusaha untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan skor paling tinggi. “Hanya satu orang yang sadar, sedangkan yang lainnya tidak,” ucap Yadin, salah satu peserta dari Kasepuhan Cirompang, ketika seluruh sumber daya ikan habis karena kurangnya tindakan pengelolaan yang bijak dari peserta. Hal ini dilanjutkan dengan pemaparan materi mengenai pembangunan berkelanjutan yang menegaskan tentang pentingnya pertimbangan lingkungan-sosial-ekonomi dalam pembangunan.

Di hari kedua, Dida Nuraida dan Arsani juga berbagi pengetahuan dengan topik yang berbeda. Dida Nuraida mengambil topik “Gizi Seimbang dari Pangan Lokal Menuju Gaya Hidup Sehat,” mengedukasi peserta tentang pengertian dan pentingnya gizi seimbang bagi tubuh serta mengaitkannya dengan kandungan gizi dalam pangan lokal yang sering kali diabaikan. Sementara itu, Arsani menjelaskan mengenai pengertian, tingkatan, dan manfaat keanekaragaman hayati, serta mengajak peserta mengidentifikasi keanekaragaman hayati di Kasepuhan masing-masing dari perspektif kesehatan, budaya, perikanan, dan pertanian. Diskusi dua arah pun terjadi, membahas kondisi lingkungan masing-masing dan keterkaitannya.

Hari ketiga dibuka dengan talkshow tentang keadilan iklim yang disampaikan oleh Fadilla Mutiarawati dari Sokola Institute dan Indra N. H. dari RMI. Talkshow dikemas secara interaktif dengan membahas tentang dampak krisis iklim dan mitigasi yang dapat dilakukan, terutama bagi peserta yang tinggal di kawasan pegunungan. “Rugi, biasanya bekal padi cukup untuk periode tertentu, tetapi jika masa tanam mundur, masyarakat harus membeli beras untuk mencukupi kebutuhan,” cerita Yadin mengenai dampak krisis iklim yang dialami masyarakat Kasepuhan. Fadilla dan Indra juga menjelaskan dampak serupa yang dialami masyarakat lain.

Talkshow ini diharapkan dapat mendorong peserta untuk mulai bergerak dan mengambil tindakan, seperti yang disampaikan Fadilla dalam pernyataannya, “Kita sudah berefleksi tentang banyak hal, harus dipikirkan lebih dalam dan segera mengambil tindakan. Anak-anak muda harus mengambil peran besar untuk mitigasi krisis iklim.” Melalui sesi ini, krisis iklim dijelaskan secara kontekstual sehingga menegaskan dampak nyata yang akan dihadapi oleh masyarakat, khususnya Masyarakat Adat.

Selanjutnya, isu tentang gerakan sosial diperkenalkan melalui permainan “Hands of Power.” Terdapat satu peserta yang mendapatkan perintah untuk mengikuti arah tangan dari fasilitator ke mana pun dan dalam kondisi apapun tanpa bisa berhenti. Sementara itu, peserta lain diminta agar dapat menghentikannya. Permainan ini menunjukkan pentingnya kekuatan kolektif dalam mengatasi suatu permasalahan, karena tanpa adanya keinginan melawan bersama maka kemungkinan besar gerakan sosial tidak akan terjadi.

Sebagai penutup dari rangkaian pelatihan, permainan “Jaring Laba-Laba” digunakan dengan cara peserta mengidentifikasi cerita yang telah disediakan. Cerita tersebut dibuat berdasarkan fenomena sosial yang terjadi sehingga peserta dapat menjelaskan hubungan sebab-akibat dari berbagai permasalahan sosial yang muncul, seperti isu iklim, kemiskinan struktural, pembangunan berkelanjutan, pendidikan, dan akar masalah lainnya. “Karena permasalahan ini kompleks, maka perlu dipecahkan satu per satu,” ungkap Manil, salah satu peserta, saat menanggapi permainan tersebut. Fasilitator menegaskan bahwa terdapat benang merah antar-isu yang ada, dan solusi yang ditawarkan harus mempertimbangkan berbagai sudut pandang.

Dalam prosesnya, peserta mengimplementasikan keterampilan yang didapat dari pelatihan ini melalui berbagai macam kegiatan. Seperti kegiatan mini project yang dilakukan di komunitas masing-masing, seperti pendokumentasian pengetahuan lokal di Kasepuhan Cirompang, pengenalan tanaman obat di Kasepuhan Pasir Eurih, serta pengenalan krisis iklim di SMAN 1 Sobang. Selain itu, beberapa peserta juga terlibat dalam kegiatan Forum KAWAL, Jelajah Kasepuhan, Semiloka yang diselenggarakan oleh KMA Kemendikbud, serta aktivitas lain yang menjadikan mereka sebagai penggerak pendidikan kontekstual.

Setelah mengikuti serial pelatihan ini, peserta akan melakukan aktivitas dalam rangka Global Action Month, seperti identifikasi tanaman obat dan kesenian di SD sekitar Kasepuhan, termasuk SDN 2 Sindanglaya, SDN 2 Wangunjaya, SDN 1 Sukaresmi, SDN 1 Cirompang, dan SDN 4 Hariang.

“Semua hal berkesan, tetapi yang paling berkesan adalah metodenya. Ternyata penyampaian materi tidak harus lewat presentasi, tetapi bisa melalui permainan, seperti permainan pohon-tupai, nasi garam, mancing-mancing, dan hands of power. Pada seri kedua, kami juga mendapatkan pengetahuan baru dari tempat tinggal sendiri saat wawancara,” ungkap Nina Nuraina ketika berbagai kesan setelah mengikuti pelatihan sepanjang tiga seri.

Melalui berbagai pengalaman yang telah dijalani, berbagai macam metode dan pendekatan yang telah dilakukan, salah satunya melalui pendidikan kontekstual. Maka diharapkan peserta dapat memahami pembelajaran secara lebih relevan dan bermakna, tidak hanya fokus pada pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga mendorong mereka untuk melihat keterkaitan antara pembelajaran dengan kondisi di komunitas mereka. Para peserta kini didorong untuk mengambil peran aktif dan memunculkan inisiatif yang baru di komunitas masing-masing. Mereka diharapkan mampu mengidentifikasi permasalahan yang ada di komunitas dan memberikan solusi yang relevan. Dengan keterampilan ini, para peserta dapat menganalisis tantangan yang dihadapi, baik dalam konteks lingkungan, sosial, maupun ekonomi. RMI berharap melalui pelatihan ini, akan muncul inisiatif-inisiatif baru yang muncul dari kebutuhan komunitas itu sendiri.

Penulis: Hanifah Nur Hidayah

Melanjutkan Aksi: Memperdalam Peran Generasi Muda dalam Fasilitasi Pendidikan Kritis dan Kontekstual

Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program” menjadi salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan untuk dapat mendorong kaum muda berpikir kritis tentang kondisi lingkungan mereka dan peran yang dapat mereka ambil dalam komunitas. Pelatihan ini dilakukan dalam dua seri kegiatan dengan peserta yang berasal dari kaum muda adat Kasepuhan dan kaum muda lokal di sekitar kasepuhan. Sebelumnya, pelatihan pertama telah berlangsung pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung dan Pelatihan kedua berlangsung pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Berikut rangkaian dua seri kegiatan Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan yang sudah diselenggarakan:

Seri Pertama: Pelatihan pertama telah berlangsung pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung, dengan fokus pada pembekalan mengenai pendidikan kontekstual dan dasar-dasar fasilitasi. Sebagai tindak lanjut, peserta melaksanakan proyek mini sebagai implementasi dari pelatihan, dan juga sebagai ajang bagi para peserta untuk mencoba menjadi fasilitator di komunitas masing-masing. Misalnya, Mela dan Fikri menerapkan pelatihan ini kepada siswa kelas, sementara Siti Sopariah memainkan permainan “Tupai Pohon” dan “Angka Setan” di komunitas KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Pasir Eurih). Dalam permainan “Tupai Pohon dan Angka Setan”. Untuk permainan tupai pohon berjalan lancar, tetapi untuk permainan angka setan agak kesulitan, karena banyak para peserta yang kebingungan,” cerita Siti Sopariah ketika mencoba menjadi fasilitator dalam kegiatan komunitasnya. “Harus lebih sabar dalam memfasilitasi,” dilanjutkan Mela ketika ditanya kesulitan dalam memfasilitasi siswa kelas 1 SD. Sementara itu, Arsani memimpin permainan dalam kegiatan Paskibra, dan Hanifah menguji media pembelajaran baru dengan mahasiswa. Pada sesi ini menunjukkan bahwa RMI telah mendorong partisipasi bermakna melalui proyek dan aktivitas yang dilakukan.

Seri Kedua: Pelatihan kedua berlangsung pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Terdapat 20 peserta yang mengikuti pelatihan, yang terdiri dari enam perempuan dan 14 orang laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Jamrut, dan masyarakat lokal di sekitar Kasepuhan. 13 peserta diantaranya merupakan peserta yang telah mengikuti pelatihan dari seri pertama. 

Pelatihan kedua berfokus terhadap berbagai macam isu yang relevan dengan kondisi yang ada di kampung, beberapa di antaranya berkaitan dengan perubahan iklim, gender dan seksualitas, ketidakadilan gender, ekologi politik, serta kemiskinan struktural. Melalui pengenalan terhadap berbagai isu ini, diharapkan para peserta dapat melihat keterhubungan masalah yang ada dalam lingkungan mereka. Pada seri kali ini, alumni pelatihan seri pertama juga diberikan kesempatan untuk dapat memfasilitasi sesi ice breaking atau energizer, salah satunya dilakukan oleh Arsani yang memandu permainan “Pindah Rumah”. 

Pada hari pertama, dilakukan pengenalan lebih dekat antar-peserta melalui kartu “Kenalan Yuk!” yang dapat menjadi inspirasi bagi peserta untuk membuat alat pembelajaran serupa dengan pertanyaan yang lebih kontekstual. Kegiatan selanjutnya, para peserta melakukan tes kecerdasan majemuk untuk mengetahui kecerdasan yang dimiliki oleh peserta berdasarkan kategori linguistik, logika-matematika, spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Pengenalan kecerdasan ini diharapkan dapat membuat peserta mengenali potensi diri dan timnya. Setelah itu, para peserta mengidentifikasi permasalahan yang ada di kampungnya menggunakan metode matriks ranking, dengan menilai seberapa besar isu-isu tersebut berdampak pada lingkungan mereka. Beberapa masalah yang teridentifikasi antara lain sampah, perburuan satwa liar, peracunan ikan di sungai, dan pembukaan lahan. Sesi ini menjadi pemantik bagi peserta untuk melihat apakah setiap isu terjadi secara berkaitan atau tidak.

Pada hari kedua, peserta menerapkan metode People-First Impact Method (P-FIM) dengan wawancara tokoh masyarakat untuk mengumpulkan informasi berdasarkan tema yang telah ditentukan. Hasil wawancara ditampilkan dalam bentuk seni pertunjukan seperti drama, tablo, monolog, dan puisi yang menggambarkan berbagai isu yaitu hutan, kebudayaan, pendidikan, serta ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Salah satu peserta, Cecep Sanusi, mengungkapkan perasaannya setelah melakukan wawancara ke tokoh masyarakat. Dari metode ini kita dapat “menggali informasi dari berbagai sisi, sehingga banyak yang didapatkan, dan informasi yang dikumpulkan lebih komprehensif,” ujarnya. Berbeda dengan Cecep, Jamal yang berasal dari Kasepuhan Jamrut membandingkan kondisi yang ada di Kasepuhan Pasir Eurih dengan kampungnya, “Hasil wawancara berbeda dengan kondisi di Jamrut, terutama terkait pendidikan. Di Jamrut, sekolah [Madrasah] Aliyah tidak punya gedung sekolah, baru tahun 2024 dibuat gedung permanen.”  Hal ini menunjukan bahwa metode yang digunakan mendorong peserta untuk mengidentifikasi dan meningkatkan sensitivitas peserta terhadap isu yang ada di lingkungan atau komunitasnya.

Setelah mendapatkan gambaran tentang kondisi di lingkungan, hari ketiga difokuskan pada penyampaian isu-isu yang relevan melalui diskusi. Pertama, isu hutan dan perubahan iklim. Diskusi dimulai dengan mini drama yang menggambarkan dampak perubahan iklim di kampung, diikuti penjelasan tentang proses dan dampaknya pada kehidupan, terutama bagi Masyarakat Adat. Diskusi ini membantu peserta, khususnya kaum muda, memahami peran mereka dalam mengatasi perubahan iklim dengan perspektif berdasarkan pengetahuan lokal.

Isu kedua berkaitan dengan pengetahuan dasar tentang gender dan seks. Hal ini menjadi krusial karena berdampak pada adanya pembagian peran yang tidak seimbang dan terbatasnya kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, baik di ranah domestik maupun publik. Pada sesi ini para peserta diminta untuk menyebutkan sosok pasangan ideal sekaligus menuliskan deskripsi sosok ideal pada kertas yang telah disediakan. Melalui aktivitas ini, para peserta diajak untuk menyadari dan membedakan antara konsep seks sebagai kategori biologis dan gender sebagai konstruksi sosial yang erat dengan peran-peran tertentu.

Diskusi ini menjadi relevan ketika membahas peran-peran yang melekat pada perempuan dan laki-laki di masyarakat Kasepuhan. Peserta diajak berpikir kritis untuk menghubungkan seks dan gender dengan isu ketidakadilan gender yang marak terjadi di lingkungannya. Bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut meliputi beban ganda, kekerasan berbasis gender, subordinasi, marjinalisasi, stereotipe, dan diskriminasi. Dalam diskusi ini salah satu peserta mengungkapkan pendapatnya, “Sangat relevan di sekitar kita, pekerjaan lebih banyak ada di perempuan. Beberapa hal yang terjadi: pekerjaan domestik dilakukan oleh perempuan, sedangkan laki-laki berleha-leha padahal mengetahui pekerjaan perempuan yang belum selesai,” cerita Manil ketika mengidentifikasi kondisi yang terjadi di lingkungannya.

Hari terakhir, isu yang diangkat berkaitan dengan kemiskinan struktural dan ekologi politik. Materi ekologi politik disampaikan oleh Wahyubinatara Fernandez (Direktur RMI) dengan dipandu oleh Dinah dari RMI dan Irsyadudin dari perwakilan anak muda kasepuhan. Sesi berlangsung secara hybrid yang disajikan dalam bentuk talkshow. Peserta diajak untuk melihat kebijakan-kebijakan terkait hak atas tanah dari waktu ke waktu. Ini menegaskan bahwa krisis ekologi yang terjadi dipengaruhi oleh kepentingan politik, tidak hanya terjadi di tingkat negara, namun dapat juga terjadi di kampung. 

Selanjutnya, isu yang diangkat berkaitan dengan kemiskinan struktural. Peserta diajak bermain permainan yang mencerminkan kondisi saat ini, yakni adanya jurang yang sangat besar antara orang kaya dan orang miskin. Peserta didorong untuk memahami bahwa kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan faktor individu atau kultural, akan tetapi terjadi karena sistem yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan gerakan sosial untuk menciptakan keadilan, terutama bagi golongan miskin. 

Tentang Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program”

RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sebagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu Hak Asasi Manusia dan lingkungan, khususnya dalam memperkuat model pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat, berkomitmen untuk melakukan pembelajaran bersama masyarakat dengan menggunakan prinsip pendidikan kritis, kontekstual, dan secara partisipatif. Melalui penyampaian berbagai isu dalam pelatihan fasilitator pendidikan lingkungan, peserta diharapkan dapat melihat adanya keterhubungan antar-isu yang terjadi di lingkungan atau komunitasnya masing-masing, bahwa setiap isu tersebut memiliki benang merah yang menunjukkan adanya sebab akibat. 

Inisiatif yang dilakukan oleh RMI dalam mengembangkan pendidikan kontekstual ini juga didukung oleh program “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia dan Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan”. Pemahaman terhadap isu ini dituangkan dalam Rancangan Tindak Lanjut (RTL) sebagai bentuk implementasi Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan yang diselenggarakan dalam 2 Seri kegiatan. Beberapa di antaranya ada yang melanjutkan project sebelumnya dan ada yang mendorong project baru. Dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam memahami beragam isu, peserta dapat mendorong gerakan sosial yang kontekstual.

Penulis: Hanifah Nur Hidayah, Siti Marfu’ah, Ajeng Lestari Midi Setyoputri

Editor: Renal Rinoza

Partisipasi Aktif Kaum Perempuan dalam Pembangunan Desa Melalui Forum Perempuan Kasepuhan

Seorang perumus metodologi Participatory Rural Appraisal (PRA) yang terkenal, Robert Chambers mengatakan bahwa “praktik pembangunan yang baik ialah menempatkan masyarakat sebagai pusat, menghargai dan menghormati pengetahuan dan kapasitas lokal, dan memastikan bahwa mereka yang paling terdampak memiliki hak bersuara dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.” Merujuk formula Chambers di atas maka sudah sepatutnya menempatkan masyarakat sebagai pusat dalam pembangunan, baik di desa maupun di kota, yang memiliki hak bersuara dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Hal ini mengingat, bahwa mereka adalah pihak yang paling terdampak atas pembangunan tersebut. Terlebih bagi kelompok perempuan yang sering kali tidak dilibatkan dalam proses pembangunan di desa. Padahal perempuan memiliki pengetahuan dan kapasitasnya sendiri seperti kemampuannya dalam pengembangan ekonomi. Misalnya, kapasitas mereka sebagai tulang punggung ekonomi keluarga dan masyarakat desa.

Dengan melibatkan perempuan dalam pembangunan dapat mengoptimalkan potensi ekonomi mereka, yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan keluarga dan komunitas, serta lebih jauh lagi bisa juga berdampak positif pada generasi berikutnya. Hal tersebut dapat memutus mata rantai kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup di desa​.  Selain itu, pelibatan perempuan dapat membawa perspektif unik. Perspektif unik inilah yang kemudian memperkaya proses pengambilan keputusan di masyarakat desa. Hal ini dikarenakan perempuan cenderung lebih peka terhadap isu-isu yang sangat penting dalam pembangunan desa seperti isu kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak. Dengan kapasitasnya tersebut, peran perempuan dapat memperkuat kohesi sosial dan keberlanjutan budaya lokal.

Berdasarkan data tingkat partisipasi dan keterwakilan perempuan di kelembagaan desa, mengutip dari Lipsus Kompas, menurut data Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) pada Maret 2023, persentase keterwakilan perempuan di pemerintahan desa yaitu 38,6 persen, di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) 28,45 persen, di Lembaga Kemasyarakatan Desa 55,55 persen, dan 33,69 persen di Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Data tersebut mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi masih banyak tantangan yang harus diatasi bersama-sama.  

Forum Perempuan Kasepuhan

Partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan desa (Meaningfull Participation) adalah kunci untuk memastikan kebijakan dan program desa yang mencerminkan kebutuhan serta aspirasi seluruh komunitas. Partisipasi ini melibatkan perempuan secara substansial, bukan hanya sebagai simbol atau token, melainkan dengan mengakui dan memperkuat peran mereka dari perencanaan hingga evaluasi kebijakan publik. Dengan demikian, melibatkan perempuan secara aktif dalam pengambilan keputusan dapat menghasilkan kemajuan yang inklusif, berkelanjutan, dan merata bagi masyarakat desa.

Bertolak dari isu itulah, maka pada tahun 2024, tepatnya bulan Juni lalu RMI mulai mengambil langkah strategis untuk meningkatkan partisipasi dan aspirasi perempuan di tingkat desa dengan menggagas terbentuknya forum khusus perempuan di dua kasepuhan yang berada di dua desa, yaitu Kasepuhan Pasir Eurih yang berada di Desa Sindanglaya dan Kasepuhan Cirompang yang berada di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, sebagai wadah partisipasi, menyampaikan berbagai gagasan dan aspirasi dalam konteks pembangunan desa. Pertemuan ini bertujuan untuk mendengar aspirasi kelompok-kelompok perempuan yang ada di dua desa tersebut yang selama ini suaranya sangat minim saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).

Pertemuan Forum Perempuan di Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya, dihadiri oleh 26 orang Perempuan yang mewakili Kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Kader Posyandu dan Kelompok Usaha Perempuan (Kelompok Canoli). Di pertemuan ini peserta diajak menggali pengalaman dan perspektif tentang kegiatannya masing-masing di lembaga, mengidentifikasi harapan dan ekspektasi masing-masing peserta agar mereka tertarik mau bergabung dengan kelompok/lembaganya, memahami dan menggali lebih dalam apa peran dan fungsi lembaga mereka masing-masing, menggambarkan lokasi melalui pembuatan sketsa kampung/desa untuk mengetahui di mana saja mereka biasa berkegiatan, mengidentifikasi dukungan dari mana saja dan berbentuk apa dukungan tersebut mereka terima, dan mengidentifikasi tantangan baik internal maupun eksternal di kelompok mereka masing-masing. Semua proses tersebut kemudian mereka presentasikan melalui perwakilan kelompok. Dari presentasi tersebut, masing-masing kelompok secara bergantian meminta kelompok lain untuk mengomentari dan bertanya terkait dengan informasi yang dipresentasikan.

Beberapa hal yang menjadi temuan menarik adalah peserta mengakui bahwa pertemuan ini merupakan pertama kali diadakan, dan dengan forum seperti ini banyak sekali informasi-informasi penting tentang gerakan perempuan di desa yang sebenarnya bisa terhubung satu sama lain untuk saling menguatkan. Menurut salah satu peserta yang hadir, pertemuan seperti ini juga penting karena selama ini peserta atau perempuan tidak pernah punya wadah untuk menyampaikan aspirasi dan gagasannya, kalaupun ada hanya sebatas formalitas. Peserta juga merasakan bahwa proses perencanaan pembangunan desa dan proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa pelibatan perempuannya sangat kurang, kalaupun ada mereka hanya hadir tanpa berani menyampaikan pendapat apalagi mempengaruhi kebijakan desa.

Setelah pertemuan di Kasepuhan Pasir Eurih, RMI melakukan pertemuan Forum Perempuan di Kasepuhan Cirompang, Desa Cirompang. Pertemuan ini dihadiri 26 orang Perempuan yang terdiri dari perwakilan RT, RW, Kelompok PKK, Kader Posyandu, pemerintah desa, dan Kelompok Usaha (Kisancang). Proses yang dilakukan sama dengan yang dilakukan di Kasepuhan Pasir Eurih, yang membedakan adalah hasil refleksi dari salah satu peserta. Salah satu peserta perempuan yang juga menjabat sebagai perangkat desa bidang Ekbang (Ekonomi dan pembangunan) menyampaikan bahwa selama ini perempuan di tingkat desa belum diprioritaskan kepentingannya, jangankan masyarakat, perangkat desa perempuan pun masih terpinggirkan kepentingannya, contohnya dapat ditemukan di kegiatan peningkatan kapasitas yang diutamakan selalu staf-staf laki-laki daripada perempuan. Ia juga menyampaikan arah dan kebijakan desa mengenai peran serta perempuan dalam musyawarah desa. Masalah penting menurutnya adalah masih besarnya rasa ketidakpercayaan diri bagi perempuan dalam mengikuti proses musyawarah atau proses pengambilan keputusan di desa menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya partisipasi perempuan di tingkat desa. Maka forum seperti ini menjadi salah satu momen penting untuk mendorong kepercayaan diri kelompok perempuan yang diharapkan ke depan dapat terlibat secara aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa salah satunya di forum Musrenbangdes.

Pertemuan forum perempuan ini merupakan rangkaian yang akan dilakukan selama beberapa waktu kedepan secara rutin yang akan didampingi oleh RMI untuk mempersiapkan terbentuknya wadah bersama para kaum perempuan dalam satu forum yang nantinya menjadi sebuah Forum Perempuan Desa yang berpartisipasi aktif dalam komunitas desa dan masyarakat. Melalui forum seperti ini nantinya diharapkan seluruh aspirasi dari kelompok-kelompok perempuan dapat didengar, dipertimbangkan, ditindaklanjuti, dan didukung oleh berbagai pihak. Melalui wadah forum perempuan inilah segala kepentingan kaum perempuan di desa dapat diperjuangkan yang mana salah satunya adalah agar bisa masuk ke dalam penyusunan anggaran operasional tahunan desa yang bertujuan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan bersama, baik untuk kaum perempuan khususnya maupun untuk kemajuan komunitas desa secara keseluruhan. Dengan demikian, agenda inklusi sosial yang salah satunya melibatkan partisipasi kaum perempuan dalam pembangunan desa dapat terwujud.

Penulis  : Siti Marfu’ah & Umi Nadrah

Editor    : Renal Rinoza

Beraksi Bersama: Generasi Muda Mengambil Peran Fasilitasi Pendidikan Kritis dan Kontekstual.

Pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat sangat erat kaitannya dengan pendidikan kontekstual dalam banyak hal. Keduanya menekankan pentingnya keterlibatan aktif, relevansi dengan kehidupan nyata, dan penggunaan pengetahuan lokal. Dalam konteks pendidikan kontekstual, pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat dapat menjadi topik yang relevan untuk diajarkan, karena mencakup isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial yang penting bagi masyarakat. Selain itu, pendidikan kontekstual dapat membantu masyarakat memahami dan mengimplementasikan praktik-praktik pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat ke dalam pendidikan kontekstual, peserta tidak hanya mendapatkan pengetahuan teoritis, tetapi juga keterampilan praktis yang dapat mereka gunakan untuk berkontribusi pada pengelolaan kekayaan alam di komunitas mereka.

RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sebagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu Hak Asasi Manusia dan lingkungan, khususnya dalam memperkuat model pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat seringkali melakukan pembelajaran bersama masyarakat dengan menggunakan prinsip pendidikan kritis, kontekstual dan secara partisipatif. Namun, tidak banyak model pendidikan kontekstual di Indonesia dan untuk mengakselerasi model-model tersebut. Oleh karena itu, sejak tahun 2023 RMI menginisiasi pengembangan program untuk orang muda bersama dua NGO lainnya. Tema yang diangkat adalah “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia dan Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan”. Program ini dijalankan oleh RMI bersama Nexus3 Foundation di Indonesia, dan GITIB, Inc. di Filipina. Tujuan dari program ini adalah memperkuat peran anak muda untuk aktif berpartisipasi dalam mengembangkan program-program pendidikan kontekstual di komunitas masing-masing. 

Berangkat dari program tersebut, RMI mengadakan Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program” pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung. Pelatihan ini bertujuan untuk: 1) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anak muda sebagai fasilitator pendidikan lingkungan; 2) meningkatkan kepekaan anak muda terhadap isu pendidikan kritis-kontekstual di wilayah adat Kasepuhan dan sekitarnya; dan 3) meningkatkan intensitas gerakan sosial melalui partisipasi pemuda di wilayah adat Kasepuhan dan sekitarnya. Terdapat 18 peserta yang mengikuti pelatihan, yang terdiri dari enam orang perempuan dan 12 orang laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cibarani, dan masyarakat lokal sekitar kasepuhan. 

Peserta didorong untuk berpikir kritis tentang kondisi lingkungan mereka dan peran yang dapat mereka ambil dalam komunitas. Pelatihan ini merupakan salah satu upaya RMI dalam mendorong kaum muda untuk mengembangkan program pendidikan kontekstual sesuai dengan kondisi komunitas masing-masing. Pendidikan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada pendidikan formal, tetapi juga mencakup pendidikan informal dan non-formal yang dapat mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.

Pelatihan berlangsung selama empat hari dengan berbagai kegiatan, termasuk pengenalan isu, pembekalan, hingga identifikasi masalah pada komunitas. Pada hari pertama, peserta diminta mengenal diri sendiri melalui metode “Boks Gue Banget”. Mereka mencari informasi pribadi atau komunitas mereka melalui surat kabar yang sudah disediakan dan menempelkan informasi tersebut pada boks yang sudah dibagikan sebelumnya. Peserta kemudian diminta menceritakan hal-hal yang membuat mereka bangga. Teknik Appreciative Inquiry ini digunakan agar peserta lebih mudah menerima informasi ketika mereka diapresiasi. Sesi pengantar pelatihan juga diadakan pada hari yang sama. Pada sesi ini, peserta diberikan tiga pernyataan berbeda untuk diargumentasikan. Isu yang diangkat berkaitan dengan sistem pendidikan, lingkungan, dan kebudayaan, yang berhasil memantik diskusi kritis di antara peserta.

Hari kedua dimulai dengan kunjungan ke Museum Multatuli untuk meningkatkan rasa ingin tahu dan kepekaan peserta melalui peninggalan Multatuli dan sejarah Indonesia. Kegiatan dilanjutkan dengan penulisan permasalahan pendidikan di Indonesia. Beberapa masalah yang diidentifikasi antara lain pendidikan yang tidak kontekstual, perubahan kurikulum, pendidikan yang belum inklusif, fasilitas yang tidak merata, dan tenaga pendidik yang tidak kompeten. Hal ini sejalan dengan sistem pendidikan Indonesia yang bertujuan menciptakan pekerja daripada mendorong inovasi. Sentralisasi pendidikan dan homogenisasi model menyebabkan kesenjangan antar pelajar di berbagai wilayah, yang mendorong pemuda di kampung mencari kerja di kota dibandingkan mengembangkan potensi di tempat tinggal mereka. Peserta juga dibekali materi mengenai psikologi dan pembelajaran serta dasar-dasar fasilitasi sebagai landasan awal untuk menjadi fasilitator.

Pada hari kedua dan ketiga, peserta melakukan simulasi fasilitasi secara berkelompok. Setiap kelompok diberikan metode fasilitasi yang berbeda dan mengimplementasikannya kepada peserta lain. Hal ini dilakukan agar peserta dapat mencatat hal-hal yang perlu diperbaiki dalam cara memfasilitasi sebelum menerapkannya kepada masyarakat. Hari ketiga juga diisi dengan People First Impact Method (P-FIM), sebuah simulasi bagi peserta untuk berhadapan langsung dengan masyarakat. Hal ini menjadi refleksi bagi peserta untuk memahami masyarakat, terutama ketika dihadapkan dengan kondisi yang tidak terduga. Peserta diajarkan bahwa fasilitator harus mendapatkan kepercayaan masyarakat dengan menjadi percaya diri, dibekali kemampuan dan pengetahuan, peka, berempati, dan mampu mengelola forum. Sesi berikutnya, peserta diminta berkumpul dengan komunitasnya untuk memetakan isu pendidikan kontekstual dan aktor atau organisasi yang dapat dilibatkan.

Pada hari terakhir, peserta dikenalkan dengan empat prinsip hak anak dan Konvensi Hak Anak. Setiap kelompok mengidentifikasi pelanggaran terhadap empat prinsip hak anak yang terjadi di komunitas mereka. Diskusi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman peserta mengenai permasalahan anak di lingkungan mereka, bagaimana seharusnya anak dapat didengarkan, dipertimbangkan, dan bahkan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Hasil Konvensi Hak Anak juga mendukung peserta dalam memahami kaidah dalam perlindungan anak.

Selain pembekalan, terdapat sesi pemberian masukan terhadap strategic goals, focal theme, dan regional specific issue tdh-G yang berkaitan dengan: 1) pendidikan dan pemberdayaan; 2) membangun masyarakat yang demokratis; 3) suara pemuda tentang lingkungan; 4) keadilan gender dan; 5) anti-kekerasan. Peserta menyampaikan pemahaman dan kondisi yang terjadi di komunitas mengenai setiap isu yang dipaparkan. Salah satu bentuk pelanggaran yang terjadi di wilayah kasepuhan berupa adanya pembatasan pendidikan terhadap anak oleh orang tuanya. Hasil dari konsultasi tersebut nantinya disampaikan pada kegiatan National Children and Youth Partner Meeting (NCYPM) yang diselenggarakan di Semarang pada tanggal 04–08 Juli 2024.

Pelatihan ini merupakan rangkaian pertama dari tiga kegiatan yang akan dilaksanakan. Melalui pelatihan ini, RMI mencoba memunculkan kesadaran kritis bagi peserta untuk menciptakan pendidikan dan lingkungan yang mereka harapkan. Metode yang digunakan selama pelatihan menggunakan pendekatan pendekatan kritis, kontekstual, dan mendorong partisipatif bermakna pada peserta. Sehingga, outcome dari pelatihan ini diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan komitmen peserta untuk melakukan gerakan sosial di komunitas masing-masing. Dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam pendidikan lingkungan dan hak anak, peserta dapat berkontribusi secara signifikan dalam menciptakan masyarakat yang lebih sadar lingkungan dan peduli terhadap hak-hak anak.

Penulis: Hanifah Nur Hidayah dan Siti Marfu’ah

Aksi Anak dan Remaja untuk Hak Anak Atas Lingkungan di Indonesia

Krisis iklim yang terjadi saat ini menimbulkan dampak buruk yang dirasakan di berbagai belahan wilayah di dunia, pun di Indonesia, dan telah menjadi perhatian banyak pihak.  Deforestasi dan degradasi hutan, penggunaan bahan bakar fosil dan aktivitas manusia lainnya yang merusak lingkungan dinilai memperburuk terjadinya krisis iklim ini. Permasalahan ini akan memberikan dampak buruk, terutama bagi kelangsungan hidup anak-anak dan kaum muda, baik saat ini maupun di masa depan. 

Sebagai salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia turut berkomitmen untuk melindungi anak dari segala hal yang mempengaruhi kehidupan dan dan tumbuh kembangnya. Hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 28B ayat 2 yang menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan diri dari kekerasan dan diskriminasi.” Akan tetapi, dalam perkembangannya, pemerintah Indonesia dinilai lebih mengutamakan program-program ketahanan ekonomi daripada menyediakan perlindungan yang memadai bagi anak dan komunitasnya dari risiko-risiko dan ancaman yang sedang dan akan mereka hadapi seiring dengan krisis iklim yang semakin memburuk. Meskipun demikian, anak-anak serta kaum muda sudah mulai dan semakin peduli terhadap permasalahan lingkungan dan dampak dari perubahan iklim yang sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, akses pengetahuan mereka terkait isu ini masih terbatas.

Berangkat dari permasalahan di atas, RMI  bekerja sama dengan Nexus 3 Foundation di Indonesia dan Gitib, Inc. di Filipina menjalankan projek My Planet My Rights (MPMR) pada tahun 2021—sebuah kampanye global untuk meningkatkan kesadaran terhadap hak anak atas lingkungan yang aman, sehat, dan berkelanjutan. Kampanye yang dilakukan melalui projek ini berhasil untuk mendorong Komite di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mensahkan General Comment no 26 di tahun 2023, yang menekankan adanya kebutuhan mendesak untuk mengatasi dampak buruk degradasi lingkungan, dengan fokus khusus pada perubahan iklim, penikmatan hak-hak anak, dan memperjelas kewajiban negara untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Komite juga menjelaskan bagaimana hak-hak anak berdasarkan Konvensi Hak Anak berlaku untuk perlindungan lingkungan hidup, dan menegaskan bahwa anak-anak mempunyai hak atas lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan. 

Berdasarkan hasil yang didapatkan dalam projek sebelumnya, yakni MPMR, RMI kembali bekerja sama dengan Nexus3 Foundation dan Gitib, Inc. untuk menginisiasi projek dengan tema “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” (“Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)”). Projek ini akan dilaksanakan di dua negara, yakni Indonesia dan Filipina, dan berlangsung selama tiga tahun (Oktober 2023 hingga Desember 2026). Melalui projek ini, diharapkan bahwa anak-anak dan kaum muda bisa mendapatkan akses informasi tentang isu lingkungan untuk meningkatkan kesadaran mereka dan mendukung mereka aktif berpartisipasi dalam memberikan solusi terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi. Selain itu, orang dewasa dari berbagai kalangan diharapkan juga mendukung secara aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak dan kaum muda untuk menyuarakan pendapat mereka. Hal ketiga yang diharapkan dalam projek ini adalah diakuinya hak anak atas lingkungan yang sehat secara lebih luas dengan diintegrasikannya hak atas lingkungan yang sehat ke dalam program dan kebijakan pemerintah, baik di tingkat lokal, provinsi, nasional, maupun regional (ASEAN). Projek ini mendapat dukungan dari tdh-Germany dan BMZ (Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung) atau Kementerian Federal Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Pemerintah Jerman. 

Dalam implementasinya, RMI akan melaksanakan projek ini di tiga lokasi yang berbeda, yaitu Kabupaten Lebak (2024), Kabupaten Pandeglang (2025), serta Kabupaten Kuningan (2026). Selain berfokus pada isu lingkungan, RMI juga akan memperkuat peran kaum muda untuk aktif berpartisipasi dalam mengembangkan program-program pendidikan kontekstual di komunitasnya masing-masing. Dalam projek ini RMI akan mengadakan beberapa kegiatan, antara lain pelatihan fasilitator pendidikan lingkungan yang kemudian akan diimplementasikan di sekolah maupun di komunitas, seminar/peningkatan kapasitas untuk guru dan CSO, dan beberapa lokakarya serta aksi inisiatif, sebagai dukungan bagi kaum muda dalam mengembangkan dan mengimplementasikan program pendidikan kontekstual di wilayahnya.

-Ajeng Lestari

Partisipasi Kaum Muda Demokratis: Mulai dari Lokal

Partisipasi kaum muda dalam sistem demokrasi seperti terlibat dalam proses pengambilan keputusan, formulasi, implementasi dan pengawasan kebijakan publik sangatlah penting karena dapat memotori perubahan-perubahan dan meningkatkan kualitas kebijakan publik yang berorientasi pada masa depan. Akan tetapi, partisipasi pemuda dalam sistem demokrasi di berbagai tingkatan masih lemah. Hal ini dikarenakan berbagai hambatan secara sosial, budaya, dan politik. 

Indonesia adalah negara demokratis. Artinya, kekuasaan tertingginya berada di tangan rakyat. Bukan sebaliknya. Kekuasaan rakyat tersebut kemudian membentuk pemerintah untuk melaksanakan tujuan-tujuan bersama rakyat Indonesia. Tujuan-tujuan bersama tersebut tercantum dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Sebagai negara demokratis, partisipasi rakyat merupakan aspek yang sangat penting. Termasuk partisipasi kaum muda yang selama ini sangat rendah. Misalnya anggota DPR yang berusia 21-30 tahun hanya 22 orang atau berada di bawah 4%. (DataIndonesia.id, 2023) Selain itu, akses untuk mengisi jabatan publik tersebut masih didominasi oleh kaum muda dengan latar belakang kelas menengah ke atas. (Irdiana et al., 2021) Hal ini menggambarkan bagaimana konteks politik elektoral yang membutuhkan biaya yang sangat tinggi sehingga sulit diakses oleh kaum muda. 

Selain itu, secara sosial-budaya kaum muda disematkan berbagai stereotip-stereotip seperti “belum berpengalaman” “belum berpengetahuan cukup” dan “belum berkapasitas”. Ditambah lagi dengan perbedaan nilai antar generasi dan kurangnya representasi politik mengakibatkan pilihan untuk tidak berpartisipasi menjadi masuk akal bagi kaum muda. Padahal, akses terhadap informasi bagi kaum muda mengenai isu-isu politik sudah terbuka di berbagai media sosial. Di media sosial tersebar berbagai konten seperti siniar, diskusi publik, dan konten kreatif  secara langsung maupun tidak langsung memberikan pendidikan politik kepada kaum muda. 59% pemilih muda di tahun 2024 menyatakan media sosial adalah rujukan informasi utama. (CSIS, n.d.) Meskipun begitu, akses informasi ini belum mampu meningkatkan partisipasi politik kaum muda secara signifikan untuk menjadi pejabat publik. Hal ini disebabkan oleh hambatan secara sosial seperti stigma, stereotip dan bias dan hambatan ekonomi terkait mahalnya biaya yang diperlukan untuk mengikuti kontestasi politik.

Dengan begitu, kaum muda membutuhkan peran-peran lain untuk dapat  berpartisipasi dalam sistem demokrasi selain mengisi jabatan politik seperti kepala daerah, anggota legislatif dan yang lainnya. Misalnya, menjadi anggota pers, berorganisasi di lembaga-lembaga penguatan masyarakat sipil dan hak asasi manusia, terlibat dalam partai politik dan lain sebagainya. 

Tetapi, hal ini perlu dukungan lingkungan yang positif (enabling condition) yang mampu mengatasi hambatan-hambatan partisipasi kaum muda.  Misalnya dengan menyediakan ruang aman dan tindakan afirmatif terhadap partisipasi kaum muda di berbagai tingkatan untuk meningkatkan sistem yang transparan dan terbuka sehingga partisipasi kaum muda meningkat. Contohnya, model Panel Penasihat Muda (Youth Advisory Council) di berbagai lembaga pembangunan dapat dijadikan tolok ukur. Karena dapat mendorong kaum muda secara langsung untuk berpartisipasi dalam penyusunan program dan kebijakan. (Irdiana et al., 2021)

Lebih spesifik lagi, kaum muda sebagai warga negara pun bisa berpartisipasi dalam sistem demokrasi. Hal ini bisa dimulai dari skala kampung. Misalnya, aktif dalam pertemuan-pertemuan di tingkat kampung misalnya musyawarah perencanaan pembangunan desa, forum komunikasi di tingkat kelurahan, rapat di tingkat RW, dan lain sebagainya. Hal ini sering dikesampingkan karena dianggap kurang penting. Padahal dari tingkatan terkecil inilah kaum muda dapat menyuarakan pendapat dan memberikan dampak pada tingkat komunitas terkecil dan terdekat dengan dirinya. Selain itu, partisipasi di tingkat lokal memiliki ciri khas khusus dimana ruang untuk mengutarakan pendapat dan aspirasinya lebih mudah sehingga pola komunikasi dua arah dapat terbangun antara pemerintah dengan kaum muda (Berner et al., 2011, 157).  Selain itu partisipasi di tingkat kampung ini lebih mudah dijangkau oleh kaum muda karena hambatan sosial dan ekonominya tidak sebesar kontestasi politik untuk menjadi pejabat publik meskipun hambatan tersebut tidak sepenuhnya hilang. 

Dengan demikian, untuk mendorong partisipasi kaum muda diperlukan ruang yang suportif dan pembiasaan. Diperlukan enabling condition yang memampukan kaum muda agar dapat berpartisipasi sebagai individu berbagai sektor dan tingkatan. Hal ini dapat dimulai dari tingkat komunitas terkecil yang hambatan sosial-budaya dan ekonominya lebih mudah diidentifikasi dan ditanggulangi. Dengan begitu, praktik baik ini dapat memicu eskalasi partisipasi kaum muda di tingkat yang lebih besar. 

Penulis: Rifky putra Kurniawan

Editor: Siti Marfu’ah

Daftar Pustaka

Berner, M. M., Amos, J. M., & Morse, R. S. (2011). What Constitutes Effective Citizen Participation in Local Government? Views from City Stakeholder. Public Adiministration Quarterly, 35, 128-163.

CSIS. (n.d.). Pemilih Muda Dalam Pemilihan Umum 2024: Dinamis, Adaptif dan Responsif. CSIS. Retrieved April 5, 2024, from https://www.csis.or.id/publication/pemilih-muda-dalam-pemilihan-umum-2024-dinamis-adaptif-dan-responsif/

DataIndonesia.id. (2023, October 15). Mayoritas Anggota DPR Periode 2019-2024 Berusia Tua – Dataindonesia.id. Data Indonesia. Retrieved April 5, 2024, from https://dataindonesia.id/data-pemilu/detail/mayoritas-anggota-dpr-periode-20192024-berusia-tua

Irdiana, N., Febrianto, R., & Nisa, S. A. (2021, September 15). Kaum muda diremehkan di panggung politik: kita perlu dorong peran dan pengakuan mereka sebagai pemimpin dan politikus. The Conversation. Retrieved April 5, 2024, from https://theconversation.com/kaum-muda-diremehkan-di-panggung-politik-kita-perlu-dorong-peran-dan-pengakuan-mereka-sebagai-pemimpin-dan-politikus-159644