Kasepuhan Bongkok adalah komunitas masyarakat adat Banten Kidul yang sedang memperjuangkan hak pengakuan hutan adat mereka kepada negara. Secara administratif, kasepuhan ini berada di Desa Sukaresmi, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak – Provinsi Banten. Berbeda dengan rekan mereka di kasepuhan lain yang sudah mendapatkan hak pengakuan hutan adat, Kasepuhan Bongkok sedang bergulat di internal mereka sendiri untuk mengatasi kesalahpahaman di masyarakatnya terkait legal standing1 hutan adat, kemudian didesak dengan situasi yang menghimpit lantaran rencana Taman Nasional Gunung Halimun Salak (selanjutnya ditulis TNGHS) yang akan menerapkan kebijakan rehabilitasi lahan atau penghutanan kembali (reforestasi) dan dalam hal ini yang menjadi sumber konflik adalah lahan garapan masyarakat yang berada di kawasan hutan, dan atas keterdesakan tersebut akhirnya membuat pihak kasepuhan berencana untuk melakukan konsolidasi internal. Konsolidasi ini sebagai tahap awal untuk menghasilkan resolusi yang nantinya menjadi titik berangkat dalam memperjuangkan hak pengakuan hutan adat masyarakat Kasepuhan Bongkok. Ide konsolidasi internal ini muncul di sela-sela acara Seren Tahun yang jatuh di hari Sabtu, 9 Desember 2023.
Setelah beramah tamah dengan Aki (pimpinan kasepuhan) dan baris olot (tetua adat yang menjabat sebagai jajaran kasepuhan) kami berkesempatan berbincang-bincang bersama Pak Suarta, Pak Jaro Desa Sukaresmi, dan dua orang baris olot di kediaman Pak Jaro. Dalam perbincangan tersebut menggelinding sebuah resolusi awal tentang langkah-langkah yang akan diperjuangkan masyarakat Bongkok untuk mendapatkan Hak Pengakuan atas hutan adat mereka dari negara. Dari perbincangan yang hangat ini ditekankan pentingnya mengambil langkah yang diperlukan dan mendesak seperti penguatan internal di masyarakat melalui musyawarah untuk menyamakan persepsi dan pemahaman terkait duduk perkara hutan adat. Menurut Pak Suarta, selaku Juru Bicara (Jubir) masyarakat Kasepuhan Bongkok menyatakan bahwa hutan adat yang ada di Bongkok bukanlah milik kasepuhan tetapi milik masyarakat yang pengaturannya sudah dibagi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka dahulu. Selama ini muncul anggapan bahwa jika hutan adat mereka sudah mendapatkan SK Pengakuan maka otomatis akan menjadi milik kasepuhan. Inilah anggapan yang keliru sehingga perlu diluruskan. Melalui forum musyawarah warga yang akan digelar nanti segala kekeliruan dan kesalahpengertian itu akan diluruskan, terang Pak Suarta
Konsolidasi warga ini penting artinya mengingat hutan adat yang dimiliki masyarakat kasepuhan perlu memiliki legal standing sebagai ketetapan hukum untuk melindungi wilayah tenurial masyarakat adat secara formal oleh negara. Hal yang paling mengkhawatirkan dan menakutkan bagi masyarakat ialah bisa saja sewaktu-waktu pihak taman nasional mengambilnya dan membatasi bahkan melarang masyarakat memasuki dan memanfaatkan hasil hutan. Kekhawatiran itu menurut Pak Suarta sangat beralasan, karena sebelumnya pihak taman nasional sering mengadakan patroli hutan dan memanggil masyarakat yang menebang pohon di dalam kawasan hutan. Namun, sejak isu hutan adat muncul ke permukaan dan mendapat perhatian dari berbagai pihak, yang menggema keras di tahun 2018, sejak itu pula pengawasan ketat dari Taman Nasional berkurang dan mereda hingga kini. Meskipun demikian, beredar kabar tentang revisi lahan di TNGHS. Kabar tersebut membuat masyarakat kembali khawatir dan was-was. Celakanya, revisi tersebut memasukkan sawah dan kebun masyarakat masuk ke dalam zona rehabilitasi.
Pak Suarta mengistilahkannya dengan sebutan dihutankan kembali lahan-lahan yang digarap masyarakat di dalam kawasan taman nasional. Kebijakan penghutanan kembali (reforestasi) oleh TNGHS ini menjadi ancaman serius bagi sumber penghidupan masyarakat yang sangat bergantung dari hutan. Di dalam kawasan hutan, masyarakat tidak hanya mengambil hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu melainkan juga beberapa sawah dan kebun mereka berada di dalam kawasan hutan. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa pengaturan kehutanan masyarakat adat kasepuhan hutan dibagi menjadi tiga zona peruntukan, yaitu: hutan tutupan, hutan titipan, dan hutan sampalan atau garapan. Di zona tutupan, hutan berfungsi sebagai zona lindung seperti menjaga sumber mata air dan keanekaragaman hayati; di zona titipan, hutan berfungsi sebagai zona penyangga untuk menjaga ekosistem hutan yang tidak boleh dirusak. Sementara zona garapan, hutan berfungsi sebagai zona pemanfaatan untuk dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup masyarakat. Di hutan garapan ini terdapat sawah dan kebun.
Disamping itu, terdapat pula hutan cawisan—yang fungsinya sebagai hutan cadangan. Peruntukan hutan cawisan ini dipergunakan untuk kepentingan umum masyarakat seperti tanah wakaf dan pemakaman. Pembagian kawasan hutan ini sesuai dengan peruntukan dan kebutuhan incu pitu (keturunan) masyarakat adat kasepuhan yang diwariskan dari leluhur mereka. Untuk menguatkan aturan yang sudah berlaku turun-temurun ini, terutama pada pemanfaatan di kawasan hutan titipan, di masyarakat Bongkok tergambar dalam sebuah ungkapan peribahasa yaitu “bisik potong jodog reuntas tihang” yang dapat diartikan apabila ada kerusakan atau perbaikan yang dibutuhkan pada sebuah rumah apakah itu bagian tiang, atap, dinding, dlsb maka si pemilik rumah diperbolehkan untuk mengambil kayu di hutan. Dengan syarat si pemilik rumah hanya diperbolehkan mengambil seperlunya saja sesuai dengan kebutuhannya dan dia juga dilarang untuk memperjual-belikan berdasarkan aturan adat yang berlaku di kasepuhan. Menurut Pak Suarta, aturan adat tersebut bertujuan untuk mendistribusikan hasil kekayaan dari hutan secara sepadan dan bijaksana kepada seluruh masyarakat Bongkok—sebagai pemegang hak atas hutan adat mereka.
Di lain pihak, kita ketahui pihak taman nasional juga meminjam istilah masyarakat adat dalam pembagian kawasan hutan. Masalahnya di sini ialah pengertian pembagian zonasi tersebut dalam penerapannya berbeda dengan apa yang diberlakukan oleh masyarakat adat kasepuhan. Pihak TNGHS menafsirkannya sebagai kawasan konservasi yang tidak boleh dimasuki oleh masyarakat. Hal inilah yang dikeluhkan oleh masyarakat Bongkok. Bahkan untuk memasuki dan mengakses hutan garapan pun masyarakat sempat dilarang. Alhasil, antara petugas Balai Taman Nasional dan Polisi Hutan malah bermain kucing-kucingan dengan masyarakat. Sering dijumpai masyarakat menebang pohon-pohon yang dikategorikan masuk ke dalam daftar pohon lindung. Bahkan taman nasional melarang masyarakat menebang pohon jengjeng (sengon) padahal masyarakat sendiri yang menanamnya. Namun demikian, seperti yang sudah disinggung di atas, sejak gembar-gembor SK Penetapan Hutan Adat tingkat intensitas penindakan yang dilakukan oleh taman nasional kepada masyarakat tidak seketat sebelum berita ini santer terdengar. Pada momen tersebut, Pak Suarta mengisahkannya, “memang (di tahun) 2018 sudah mulai dengar-dengar (wacana SK Penetapan Hutan Adat di Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Sindanglaya). Tapi setelah Cirompang dan Sindanglaya mendapatkan SK Penetapan Hutan Adat, ya kayaknya taman nasional agak ngerem. Agak kendor gitu. Bolehlah (pohon) jengjeng mah. Bolehlah (memanfaatkan hasil hutan) di garapan masyarakat.” Sementara itu, pada kasus yang lain, taman nasional menggandeng masyarakat desa hutan dalam program Kemitraan Konservasi yang berbasis pemberdayaan masyarakat dan peningkatan ekonomi. Namun rupanya, program tersebut tidak terdengar di masyarakat Bongkok. Justru sebaliknya, yang sampai ke telinga mereka malah wacana kebijakan rehabilitasi hutan. Sontak, kabar tersebut membuat masyarakat menjadi khawatir karena sumber penghidupan mereka sangat bergantung dari hutan yang akan direhabilitasi tersebut.
Persoalan lain yang tak kalah gentingnya yang juga menyangkut hutan adat mereka adalah lampiran Perda Bupati Lebak Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan yang tidak memasukkan Kasepuhan Bongkok di dalam lampiran. Hal inilah yang menyisakan sebuah pertanyaan bagi masyarakat Bongkok. Nyatanya, menurut Pak Suarta eksistensi masyarakat adat kasepuhan Bongkok sudah ada sejak lama. Sama halnya dengan kasepuhan-kasepuhan lain yang masuk ke dalam lampiran Perda. Apabila ditilik dari syarat-syarat masyarakat adat kasepuhan, Bongkok sudah memenuhi syarat tersebut. Pertama, eksistensinya sudah ada sejak dahulu. Eksistensi ini dikisahkan melalui cerita asal-muasal Kasepuhan Bongkok yang bersumber dari sebuah siloka2 leluhur mereka dahulu kala. Salah satu baris olot menyebut siloka tersebut, toponimi Bongkok berasal dari istilah “bongkarkeun ngodokkeun kemana ngodokna ya ka atas ka pusat”. Secara ilustratif siloka ini dapat digambarkan bahwa apabila kita ingin mengambil ikan di balik batu sungai maka kita akan menyodokkan tangan kita bahkan ketika kita menggunakan jala, kita tetap akan menyodokkan dengan tangan ke sela-sela batu tersebut. Tentunya posisi badan kita membungkuk dan di situlah asal-muasal nama Bongkok. Riwayat lainnya mengisahkan penamaan Bongkok dinisbatkan sebagai perlambang orang tua yang dituakan yang posisi tubuhnya membungkuk karena semakin tua. Perlambang ini sesuai dengan arti siloka yang dimaksud baris olot tersebut dimana seseorang yang sedang mencari ikan hingga pencariannya sampai ke bagian hulu sungai. Wilayah hulu sungai ditafsirkan sebagai pusat atau awal mula. Kedua, pengakuan dari masyarakat adat kasepuhan lain. Ini dibuktikan Kasepuhan Bongkok berjejaring dengan masyarakat adat Banten Kidul lainnya yang tergabung di Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI). Bahkan sebelum terbentuk organisasi SABAKI, Kasepuhan Bongkok sudah sering ikut-serta di acara-acara perkumpulan kasepuhan lainnya. Selain itu, hubungan kekerabatan dengan Kasepuhan Cipta Gelar (kini berganti nama dengan nama Kasepuhan Gelar Alam) terjalin sangat erat. Hubungan tersebut ditandai ketika Kasepuhan Cipta Gelar akan melangsungkan hajat (seperti perayaan Seren Taun) maka mereka akan berziarah ke Kasepuhan Bongkok. Pun jika adanya suksesi kepemimpinan adat di Kasepuhan Bongkok maka pemimpin adat Kasepuhan Gelar Alam yang akan menunjuk seseorang untuk menjadi pimpinan adat Kasepuhan Bongkok. Sekilas posisinya terlihat membingungkan. Di amatan awam kita seharusnya Kasepuhan Bongkok lah yang menunjuk seorang pemimpin adat di Cipta Gelar bukan sebaliknya karena di saat Kasepuhan Cipta Gelar akan melangsung hajat mereka berziarah ke Bongkok. Prosesi ziarah yang dilakukan ini sebagai bentuk penghormatan kepada yang lebih dituakan. Bagi Pak Suarta, tentunya aturan adat ini membingungkan kita semua namun kembali lagi bahwa segala sesuatu yang menjadi ranah urusan karuhun3 tak bisa ditawar-tawar.
Ditambahkan juga, batas-batas wilayah hutan adat Kasepuhan Bongkok telah diakui oleh kasepuhan lainnya. Bahkan luasannya berada di luar wilayah Desa Sukaresmi. Diperkirakan luas wilayah hutan adat Kasepuhan Bongkok sekitar 1200 hektar—luasnya hampir sama dengan luas wilayah hutan adat Kasepuhan Cibedug dengan potensi alam dan pertaniannya yang luar biasa.4 Batas wilayah hutan adat Bongkok ini bahkan dipakai oleh Perum Perhutani sebagai batas blok.5 Merujuk Blok Bongkok, batas-batas hutan adat Bongkok membentang dari wahangan6 Ciparasi yang secara administrasi masuk ke wilayah Desa Ciparasi, dari batas Desa Hariang ke Leuwi Kantor, dari Cikawa ke Cirengit, dari Jagaraksa sampai wilayah Cepak Maghrib, dari wahangan Citujah dan Cikiruh yang berbatasan dengan Kasepuhan Sindanglaya, dari sungai-sungai kecil lalu menanjak ke perbukitan di Pasir Pinang hingga sampai di sebuah situ yang bernama Situ Cileusang, dan batas hutan adat Bongkok sampai ke kawasan yang dinamakan Gunung Henyot. Dinamakan gunung henyot karena sudah memasuki zona hutan rimba yang lebat dan basah sehingga ketika kaki kita menginjaknya maka akan terasa kenyal dan berpegas. Hal ini lantaran tanahnya sudah ditutupi oleh tumpukan dedaunan dan ranting-ranting pohon yang kian menebal dalam jangka waktu yang lama. Dengan syarat-syarat yang tergambar di atas, tentunya sudah tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengakui eksistensi masyarakat adat Kasepuhan Bongkok.
Oleh karena itu, dengan prasyarat-prasyarat yang sudah terpenuhi tersebut dan identifikasi permasalahan yang sudah ditemukan akar masalahnya akan menjadi modal bagi masyarakat Bongkok untuk berjuang mendapatkan hak mereka atas hutan adat. Langkah-langkah strategis dan taktis semakin mendesak untuk segera dilakukan. Semuanya ini bergantung pada kesiapan masyarakat Bongkok untuk memperjuangkan hak mereka. Tahun 2024 menjadi tahun krusial bagi masyarakat Bongkok untuk melakukan konsolidasi internal dan penyusunan syarat-syarat legal standing SK Pengakuan Hutan Adat. Konsolidasi internal ditempuh dengan cara: 1) membangun komunikasi dengan kampung-kampung lain ataupun rendangan-rendangan7 di wilayah Kasepuhan Bongkok tentang perjuangan SK Pengakuan Hutan Adat dan sikap bersama masyarakat terhadap ancaman dari taman nasional yang akan merehabilitasi lahan untuk dihutankan kembali; 2) mengadakan musyawarah warga dan didukung oleh aparat pemerintahan desa baik Kepala Desa dan jajarannya, BPD hingga Ketua RT. Agenda pertama musyawarah setidaknya memastikan informasi dapat tersampaikan dengan jelas kepada masyarakat mengenai hutan adat dan proses perjuangannya untuk mendapatkan legal standing. Pasalnya, selama ini telah terjadi kesalahpahaman yang beredar di masyarakat mengenai hutan adat seakan-akan jika sudah mendapat SK Pengakuan, otomatis hutan adat milik lembaga adat. Sebenarnya tidak demikian halnya seperti selama ini yang sudah terlanjur dipahami masyarakat.
Dengan demikian, musyawarah yang rencananya akan dilangsungkan di awal tahun 2024 akan menuntaskan kesalahpahaman tersebut. Disamping itu, di forum musyawarah yang akan digelar nanti rencananya akan membahas potensi ancaman dan risiko-risiko apa saja yang akan didapat jika pihak taman nasional benar-benar menerapkan kebijakan zona rehabilitasi kawasan hutan. Ini artinya akan menutup akses masyarakat terhadap hutan. Menutup akses masyarakat terhadap hutan sama artinya menutup mata pencaharian masyarakat yang notabene 80% lebih menggantungkan hidupnya dari hutan. Di kawasan hutanlah lahan garapan masyarakat berada baik dalam bentuk sawah maupun kebun. Potensi ancaman lainnya adalah keberadaan satu kampung yang lokasinya berada di zona enclave taman nasional. Muncul sinyalemen bahwa kampung tersebut akan direlokasi jika pihak taman nasional akan merehabilitasi lahan di sana. Tentunya relokasi kampung tersebut memantik reaksi keras dari masyarakat. Bagi masyarakat Bongkok, kampung yang lokasinya berada di dalam hutan tersebut telah eksis dan memiliki sejarah yang panjang—jauh sebelum masuknya Perum Perhutani apalagi TNGHS yang kawasannya baru diperluas di tahun 2003; dan 3) setelah terbangunnya komunikasi dan musyawarah yang menghasilkan resolusi bersama maka tahap selanjutnya melakukan penyusunan syarat-syarat untuk mendapatkan legal standing. Dalam proses penyusunan legal standing ini masyarakat Bongkok dapat meminta dukungan kepada masyarakat kasepuhan lain maupun organisasi masyarakat sipil. Salah satu tahap dari penyusunan legal standing itu adalah mengerjakan pemetaan partisipatif. Pemetaan ini menjadi bagian elementer dan titik tolak dari basis argumen yang akan dipertarungkan kepada para pihak dan menjadi landasan formal penguasaan tenurial hutan adat masyarakat. Proses pemetaan partisipatif ini akan melibatkan masyarakat Bongkok, wilayah tetangga kasepuhan, aparat desa dan organisasi masyarakat sipil yang sama-sama membantu kelancaran proses tersebut.
Demikianlah bincang-bincang kami bersama Pak Suarta, Pak Jaro dan baris olot di sela-sela kegiatan Seren Taun Kasepuhan Bongkok. Bincang-bincang ini setidaknya dapat menjadi bahan untuk disampaikan di musyawarah warga dan menggalang dukungan kepada pihak lain agar perjuangan masyarakat Bongkok mendapatkan legal standing semakin mengeras dan terealisasi. Tentunya tahun 2024 bagi masyarakat Bongkok dijadikan sebagai tahun konsolidasi perjuangan mereka atas hutan adat. Adapun langkah-langkah yang akan mereka tempuh dengan cara penguatan internal, penyusunan legal standing, dan penggalangan dukungan kepada para pihak. Perjuangan untuk mendapat legal standing ini bukanlah perkara yang mudah tetapi dengan strategi yang terencana dan kesiapan penuh dari masyarakat maka perjuangan itu setidaknya sudah bisa melewati fase genting dan tahun 2024 adalah tahun yang paling menentukan bagi masyarakat Bongkok bagi perjuangan selanjutnya sampai mereka benar-benar mendapatkan Hak Pengakuan Hutan Adat dari Negara. Maka, tahun 2024 bisa dikatakan sebagai tahun konsolidasi yang tujuannya untuk benar-benar menghasilkan resolusi yang konkret bagi perjuangan masyarakat Bongkok. Bersamaan dengan itu, situasi di Kasepuhan Jamrut juga menghadapi permasalahan yang sama dengan saudara mereka di Bongkok. Bagi kedua kasepuhan ini, tahun 2024 adalah tahun tersibuk dalam mempersiapkan legal standing hak pengakuan hutan adat mereka. Sementara, dukungan dari pihak lain sangat diperlukan agar nafas perjuangan mereka tetap panjang. Tabik.
Penulis
Renal Rinoza (Divisi Knowledge Management)
- Legal Standing adalah Putusan Hukum dari Negara yang memberikan pengakuan terhadap kedudukan hukum yang diajukan oleh Pemohon (dalam hal ini subyeknya adalah Masyarakat Adat) untuk mendapatkan hak-hak konstitusional mereka sebagai Warga Negara dan status Hak Penguasaan dan Pengelolaan Hutan Adat. ↩︎
- Siloka adalah semacam tamsil atau perlambang yang diungkapkan secara tersirat dalam bentuk bahasa simbolik dan metaforis tentang sejarah, ajaran-ajaran, nasihat-nasihat, peringatan, pengetahuan, dan kejadian di masa depan. ↩︎
- Karuhun adalah leluhur masyarakat adat kasepuhan. ↩︎
- Lokasi Kasepuhan Cibedug secara administratif berada di Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber – Kabupaten Lebak. ↩︎
- Sebelum berpindah tangan ke Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), penguasaan lahan di wilayah hutan adat Bongkok dipegang oleh Perum Perhutani. ↩︎
- Wahangan adalah aliran sungai kecil di bagian hulu sungai. ↩︎
- Rendangan adalah unit kampung di bawah kasepuhan. Misalnya sebuah kasepuhan memiliki unit kampung di luar wilayah pusat kasepuhan berada dan wilayah rendangan tetap terhubung secara kultural dan spiritual dengan kasepuhan utama. ↩︎