Konsolidasi 2024 Masyarakat Kasepuhan Bongkok Untuk Perjuangan Hak Pengakuan Hutan Adat

Kasepuhan Bongkok adalah komunitas masyarakat adat Banten Kidul yang sedang memperjuangkan hak pengakuan hutan adat mereka kepada negara. Secara administratif, kasepuhan ini berada di Desa Sukaresmi, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak – Provinsi Banten. Berbeda dengan rekan mereka di kasepuhan lain yang sudah mendapatkan hak pengakuan hutan adat, Kasepuhan Bongkok sedang bergulat di internal mereka sendiri untuk mengatasi kesalahpahaman di masyarakatnya terkait legal standing1 hutan adat, kemudian didesak dengan situasi yang menghimpit lantaran rencana Taman Nasional Gunung Halimun Salak (selanjutnya ditulis TNGHS) yang akan menerapkan kebijakan rehabilitasi lahan atau penghutanan kembali (reforestasi) dan dalam hal ini yang menjadi sumber konflik adalah lahan garapan masyarakat yang berada di kawasan hutan, dan atas keterdesakan tersebut akhirnya membuat pihak kasepuhan berencana untuk melakukan konsolidasi internal. Konsolidasi ini sebagai tahap awal untuk menghasilkan resolusi yang nantinya menjadi titik berangkat dalam memperjuangkan hak pengakuan hutan adat masyarakat Kasepuhan Bongkok. Ide konsolidasi internal ini muncul di sela-sela acara Seren Tahun yang jatuh di hari Sabtu, 9 Desember 2023.

Pentas Angklung memeriahkan acara Seren Taun Kasepuhan Bongkok

Setelah beramah tamah dengan Aki (pimpinan kasepuhan) dan baris olot (tetua adat yang menjabat sebagai jajaran kasepuhan) kami berkesempatan berbincang-bincang bersama Pak Suarta, Pak Jaro Desa Sukaresmi, dan dua orang baris olot di kediaman Pak Jaro. Dalam perbincangan tersebut menggelinding sebuah resolusi awal tentang langkah-langkah yang akan diperjuangkan masyarakat Bongkok untuk mendapatkan Hak Pengakuan atas hutan adat mereka dari negara. Dari perbincangan yang hangat ini ditekankan pentingnya mengambil langkah yang diperlukan dan mendesak seperti penguatan internal di masyarakat melalui musyawarah untuk menyamakan persepsi dan pemahaman terkait duduk perkara hutan adat. Menurut Pak Suarta, selaku Juru Bicara (Jubir) masyarakat Kasepuhan Bongkok menyatakan bahwa hutan adat yang ada di Bongkok bukanlah milik kasepuhan tetapi milik masyarakat yang pengaturannya sudah dibagi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka dahulu. Selama ini muncul anggapan bahwa jika hutan adat mereka sudah mendapatkan SK Pengakuan maka otomatis akan menjadi milik kasepuhan. Inilah anggapan yang keliru sehingga perlu diluruskan. Melalui forum musyawarah warga yang akan digelar nanti segala kekeliruan dan kesalahpengertian itu akan diluruskan, terang Pak Suarta

Bersilaturahmi dan berbincang-berbincang bersama Pak Jaro Desa Sukaresmi dan beberapa Baris Olot Kasepuhan Bongkok

Konsolidasi warga ini penting artinya mengingat hutan adat yang dimiliki masyarakat kasepuhan perlu memiliki legal standing sebagai ketetapan hukum untuk melindungi wilayah tenurial masyarakat adat secara formal oleh negara. Hal yang paling mengkhawatirkan dan menakutkan bagi masyarakat ialah bisa saja sewaktu-waktu pihak taman nasional mengambilnya dan membatasi bahkan melarang masyarakat memasuki dan memanfaatkan hasil hutan. Kekhawatiran itu menurut Pak Suarta sangat beralasan, karena sebelumnya pihak taman nasional sering mengadakan patroli hutan dan memanggil masyarakat yang menebang pohon di dalam kawasan hutan. Namun, sejak isu hutan adat muncul ke permukaan dan mendapat perhatian dari berbagai pihak, yang menggema keras di tahun 2018, sejak itu pula pengawasan ketat dari Taman Nasional berkurang dan mereda hingga kini. Meskipun demikian, beredar kabar tentang revisi lahan di TNGHS. Kabar tersebut membuat masyarakat kembali khawatir dan was-was. Celakanya, revisi tersebut memasukkan sawah dan kebun masyarakat masuk ke dalam zona rehabilitasi.

Pak Suarta mengistilahkannya dengan sebutan dihutankan kembali lahan-lahan yang digarap masyarakat di dalam kawasan taman nasional. Kebijakan penghutanan kembali (reforestasi) oleh TNGHS ini menjadi ancaman serius bagi sumber penghidupan masyarakat yang sangat bergantung dari hutan. Di dalam kawasan hutan, masyarakat tidak hanya mengambil hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu melainkan juga beberapa sawah dan kebun mereka berada di dalam kawasan hutan. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa pengaturan kehutanan masyarakat adat kasepuhan hutan dibagi menjadi tiga zona peruntukan, yaitu: hutan tutupan, hutan titipan, dan hutan sampalan atau garapan. Di zona tutupan, hutan berfungsi sebagai zona lindung seperti menjaga sumber mata air dan keanekaragaman hayati; di zona titipan, hutan berfungsi sebagai zona penyangga untuk menjaga ekosistem hutan yang tidak boleh dirusak. Sementara zona garapan, hutan berfungsi sebagai zona pemanfaatan untuk dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup masyarakat. Di hutan garapan ini terdapat sawah dan kebun.

Pak Suarta (di tengah berbaju putih) sedang menguraikan persoalan hutan adat Kasepuhan Bongkok

Disamping itu, terdapat pula hutan cawisan—yang fungsinya sebagai hutan cadangan. Peruntukan hutan cawisan ini dipergunakan untuk kepentingan umum masyarakat seperti tanah wakaf dan pemakaman. Pembagian kawasan hutan ini sesuai dengan peruntukan dan kebutuhan incu pitu (keturunan) masyarakat adat kasepuhan yang diwariskan dari leluhur mereka. Untuk menguatkan aturan yang sudah berlaku turun-temurun ini, terutama pada pemanfaatan di kawasan hutan titipan, di masyarakat Bongkok tergambar dalam sebuah ungkapan peribahasa yaitu “bisik potong jodog reuntas tihang” yang dapat diartikan apabila ada kerusakan atau perbaikan yang dibutuhkan pada sebuah rumah apakah itu bagian tiang, atap, dinding, dlsb maka si pemilik rumah diperbolehkan untuk mengambil kayu di hutan. Dengan syarat si pemilik rumah hanya diperbolehkan mengambil seperlunya saja sesuai dengan kebutuhannya dan dia juga dilarang untuk memperjual-belikan berdasarkan aturan adat yang berlaku di kasepuhan. Menurut Pak Suarta, aturan adat tersebut bertujuan untuk mendistribusikan hasil kekayaan dari hutan secara sepadan dan bijaksana kepada seluruh masyarakat Bongkok—sebagai pemegang hak atas hutan adat mereka.

Di lain pihak, kita ketahui pihak taman nasional juga meminjam istilah masyarakat adat dalam pembagian kawasan hutan. Masalahnya di sini ialah pengertian pembagian zonasi tersebut dalam penerapannya berbeda dengan apa yang diberlakukan oleh masyarakat adat kasepuhan. Pihak TNGHS menafsirkannya sebagai kawasan konservasi yang tidak boleh dimasuki oleh masyarakat. Hal inilah yang dikeluhkan oleh masyarakat Bongkok. Bahkan untuk memasuki dan mengakses hutan garapan pun masyarakat sempat dilarang. Alhasil, antara petugas Balai Taman Nasional dan Polisi Hutan malah bermain kucing-kucingan dengan masyarakat. Sering dijumpai masyarakat menebang pohon-pohon yang dikategorikan masuk ke dalam daftar pohon lindung. Bahkan taman nasional melarang masyarakat menebang pohon jengjeng (sengon) padahal masyarakat sendiri yang menanamnya. Namun demikian, seperti yang sudah disinggung di atas, sejak gembar-gembor SK Penetapan Hutan Adat tingkat intensitas penindakan yang dilakukan oleh taman nasional kepada masyarakat tidak seketat sebelum berita ini santer terdengar. Pada momen tersebut, Pak Suarta mengisahkannya, “memang (di tahun) 2018 sudah mulai dengar-dengar (wacana SK Penetapan Hutan Adat di Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Sindanglaya). Tapi setelah Cirompang dan Sindanglaya mendapatkan SK Penetapan Hutan Adat, ya kayaknya taman nasional agak ngerem. Agak kendor gitu. Bolehlah (pohon) jengjeng mah. Bolehlah (memanfaatkan hasil hutan) di garapan masyarakat.” Sementara itu, pada kasus yang lain, taman nasional menggandeng masyarakat desa hutan dalam program Kemitraan Konservasi yang berbasis pemberdayaan masyarakat dan peningkatan ekonomi. Namun rupanya, program tersebut tidak terdengar di masyarakat Bongkok. Justru sebaliknya, yang sampai ke telinga mereka malah wacana kebijakan rehabilitasi hutan. Sontak, kabar tersebut membuat masyarakat menjadi khawatir karena sumber penghidupan mereka sangat bergantung dari hutan yang akan direhabilitasi tersebut.

Persoalan lain yang tak kalah gentingnya yang juga menyangkut hutan adat mereka adalah lampiran Perda Bupati Lebak Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan yang tidak memasukkan Kasepuhan Bongkok di dalam lampiran. Hal inilah yang menyisakan sebuah pertanyaan bagi masyarakat Bongkok. Nyatanya, menurut Pak Suarta eksistensi masyarakat adat kasepuhan Bongkok sudah ada sejak lama. Sama halnya dengan kasepuhan-kasepuhan lain yang masuk ke dalam lampiran Perda. Apabila ditilik dari syarat-syarat masyarakat adat kasepuhan, Bongkok sudah memenuhi syarat tersebut. Pertama, eksistensinya sudah ada sejak dahulu. Eksistensi ini dikisahkan melalui cerita asal-muasal Kasepuhan Bongkok yang bersumber dari sebuah siloka2 leluhur mereka dahulu kala. Salah satu baris olot menyebut siloka tersebut, toponimi Bongkok berasal dari istilah “bongkarkeun ngodokkeun kemana ngodokna ya ka atas ka pusat”. Secara ilustratif siloka ini dapat digambarkan bahwa apabila kita ingin mengambil ikan di balik batu sungai maka kita akan menyodokkan tangan kita bahkan ketika kita menggunakan jala, kita tetap akan menyodokkan dengan tangan ke sela-sela batu tersebut. Tentunya posisi badan kita membungkuk dan di situlah asal-muasal nama Bongkok. Riwayat lainnya mengisahkan penamaan Bongkok dinisbatkan sebagai perlambang orang tua yang dituakan yang posisi tubuhnya membungkuk karena semakin tua. Perlambang ini sesuai dengan arti siloka yang dimaksud baris olot tersebut dimana seseorang yang sedang mencari ikan hingga pencariannya sampai ke bagian hulu sungai. Wilayah hulu sungai ditafsirkan sebagai pusat atau awal mula. Kedua, pengakuan dari masyarakat adat kasepuhan lain. Ini dibuktikan Kasepuhan Bongkok berjejaring dengan masyarakat adat Banten Kidul lainnya yang tergabung di Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI). Bahkan sebelum terbentuk organisasi SABAKI, Kasepuhan Bongkok sudah sering ikut-serta di acara-acara perkumpulan kasepuhan lainnya. Selain itu, hubungan kekerabatan dengan Kasepuhan Cipta Gelar (kini berganti nama dengan nama Kasepuhan Gelar Alam) terjalin sangat erat. Hubungan tersebut ditandai ketika Kasepuhan Cipta Gelar akan melangsungkan hajat (seperti perayaan Seren Taun) maka mereka akan berziarah ke Kasepuhan Bongkok. Pun jika adanya suksesi kepemimpinan adat di Kasepuhan Bongkok maka pemimpin adat Kasepuhan Gelar Alam yang akan menunjuk seseorang untuk menjadi pimpinan adat Kasepuhan Bongkok. Sekilas posisinya terlihat membingungkan. Di amatan awam kita seharusnya Kasepuhan Bongkok lah yang menunjuk seorang pemimpin adat di Cipta Gelar bukan sebaliknya karena di saat Kasepuhan Cipta Gelar akan melangsung hajat mereka berziarah ke Bongkok. Prosesi ziarah yang dilakukan ini sebagai bentuk penghormatan kepada yang lebih dituakan. Bagi Pak Suarta, tentunya aturan adat ini membingungkan kita semua namun kembali lagi bahwa segala sesuatu yang menjadi ranah urusan karuhun3 tak bisa ditawar-tawar.

Ditambahkan juga, batas-batas wilayah hutan adat Kasepuhan Bongkok telah diakui oleh kasepuhan lainnya. Bahkan luasannya berada di luar wilayah Desa Sukaresmi. Diperkirakan luas wilayah hutan adat Kasepuhan Bongkok sekitar 1200 hektar—luasnya hampir sama dengan luas wilayah hutan adat Kasepuhan Cibedug dengan potensi alam dan pertaniannya yang luar biasa.4 Batas wilayah hutan adat Bongkok ini bahkan dipakai oleh Perum Perhutani sebagai batas blok.5 Merujuk Blok Bongkok, batas-batas hutan adat Bongkok membentang dari wahangan6 Ciparasi yang secara administrasi masuk ke wilayah Desa Ciparasi, dari batas Desa Hariang ke Leuwi Kantor, dari Cikawa ke Cirengit, dari Jagaraksa sampai wilayah Cepak Maghrib, dari wahangan Citujah dan Cikiruh yang berbatasan dengan Kasepuhan Sindanglaya, dari sungai-sungai kecil lalu menanjak ke perbukitan di Pasir Pinang hingga sampai di sebuah situ yang bernama Situ Cileusang, dan batas hutan adat Bongkok sampai ke kawasan yang dinamakan Gunung Henyot. Dinamakan gunung henyot karena sudah memasuki zona hutan rimba yang lebat dan basah sehingga ketika kaki kita menginjaknya maka akan terasa kenyal dan berpegas. Hal ini lantaran tanahnya sudah ditutupi oleh tumpukan dedaunan dan ranting-ranting pohon yang kian menebal dalam jangka waktu yang lama. Dengan syarat-syarat yang tergambar di atas, tentunya sudah tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengakui eksistensi masyarakat adat Kasepuhan Bongkok.

Oleh karena itu, dengan prasyarat-prasyarat yang sudah terpenuhi tersebut dan identifikasi permasalahan yang sudah ditemukan akar masalahnya akan menjadi modal bagi masyarakat Bongkok untuk berjuang mendapatkan hak mereka atas hutan adat. Langkah-langkah strategis dan taktis semakin mendesak untuk segera dilakukan. Semuanya ini bergantung pada kesiapan masyarakat Bongkok untuk memperjuangkan hak mereka. Tahun 2024 menjadi tahun krusial bagi masyarakat Bongkok untuk melakukan konsolidasi internal dan penyusunan syarat-syarat legal standing SK Pengakuan Hutan Adat. Konsolidasi internal ditempuh dengan cara: 1) membangun komunikasi dengan kampung-kampung lain ataupun rendangan-rendangan7 di wilayah Kasepuhan Bongkok tentang perjuangan SK Pengakuan Hutan Adat dan sikap bersama masyarakat terhadap ancaman dari taman nasional yang akan merehabilitasi lahan untuk dihutankan kembali; 2) mengadakan musyawarah warga dan didukung oleh aparat pemerintahan desa baik Kepala Desa dan jajarannya, BPD hingga Ketua RT. Agenda pertama musyawarah setidaknya memastikan informasi dapat tersampaikan dengan jelas kepada masyarakat mengenai hutan adat dan proses perjuangannya untuk mendapatkan legal standing. Pasalnya, selama ini telah terjadi kesalahpahaman yang beredar di masyarakat mengenai hutan adat seakan-akan jika sudah mendapat SK Pengakuan, otomatis hutan adat milik lembaga adat. Sebenarnya tidak demikian halnya seperti selama ini yang sudah terlanjur dipahami masyarakat.

Aneka panganan di acara Seren Taun Kasepuhan Bongkok. Masyarakat Bongkok menyebutnya ameungan

Dengan demikian, musyawarah yang rencananya akan dilangsungkan di awal tahun 2024 akan menuntaskan kesalahpahaman tersebut. Disamping itu, di forum musyawarah yang akan digelar nanti rencananya akan membahas potensi ancaman dan risiko-risiko apa saja yang akan didapat jika pihak taman nasional benar-benar menerapkan kebijakan zona rehabilitasi kawasan hutan. Ini artinya akan menutup akses masyarakat terhadap hutan. Menutup akses masyarakat terhadap hutan sama artinya menutup mata pencaharian masyarakat yang notabene 80% lebih menggantungkan hidupnya dari hutan. Di kawasan hutanlah lahan garapan masyarakat berada baik dalam bentuk sawah maupun kebun. Potensi ancaman lainnya adalah keberadaan satu kampung yang lokasinya berada di zona enclave taman nasional. Muncul sinyalemen bahwa kampung tersebut akan direlokasi jika pihak taman nasional akan merehabilitasi lahan di sana. Tentunya relokasi kampung tersebut memantik reaksi keras dari masyarakat. Bagi masyarakat Bongkok, kampung yang lokasinya berada di dalam hutan tersebut telah eksis dan memiliki sejarah yang panjang—jauh sebelum masuknya Perum Perhutani apalagi TNGHS yang kawasannya baru diperluas di tahun 2003; dan 3) setelah terbangunnya komunikasi dan musyawarah yang menghasilkan resolusi bersama maka tahap selanjutnya melakukan penyusunan syarat-syarat untuk mendapatkan legal standing. Dalam proses penyusunan legal standing ini masyarakat Bongkok dapat meminta dukungan kepada masyarakat kasepuhan lain maupun organisasi masyarakat sipil. Salah satu tahap dari penyusunan legal standing itu adalah mengerjakan pemetaan partisipatif. Pemetaan ini menjadi bagian elementer dan titik tolak dari basis argumen yang akan dipertarungkan kepada para pihak dan menjadi landasan formal penguasaan tenurial hutan adat masyarakat. Proses pemetaan partisipatif ini akan melibatkan masyarakat Bongkok, wilayah tetangga kasepuhan, aparat desa dan organisasi masyarakat sipil yang sama-sama membantu kelancaran proses tersebut.

Demikianlah bincang-bincang kami bersama Pak Suarta, Pak Jaro dan baris olot di sela-sela kegiatan Seren Taun Kasepuhan Bongkok. Bincang-bincang ini setidaknya dapat menjadi bahan untuk disampaikan di musyawarah warga dan menggalang dukungan kepada pihak lain agar perjuangan masyarakat Bongkok mendapatkan legal standing semakin mengeras dan terealisasi. Tentunya tahun 2024 bagi masyarakat Bongkok dijadikan sebagai tahun konsolidasi perjuangan mereka atas hutan adat. Adapun langkah-langkah yang akan mereka tempuh dengan cara penguatan internal, penyusunan legal standing, dan penggalangan dukungan kepada para pihak. Perjuangan untuk mendapat legal standing ini bukanlah perkara yang mudah tetapi dengan strategi yang terencana dan kesiapan penuh dari masyarakat maka perjuangan itu setidaknya sudah bisa melewati fase genting dan tahun 2024 adalah tahun yang paling menentukan bagi masyarakat Bongkok bagi perjuangan selanjutnya sampai mereka benar-benar mendapatkan Hak Pengakuan Hutan Adat dari Negara. Maka, tahun 2024 bisa dikatakan sebagai tahun konsolidasi yang tujuannya untuk benar-benar menghasilkan resolusi yang konkret bagi perjuangan masyarakat Bongkok. Bersamaan dengan itu, situasi di Kasepuhan Jamrut juga menghadapi permasalahan yang sama dengan saudara mereka di Bongkok. Bagi kedua kasepuhan ini, tahun 2024 adalah tahun tersibuk dalam mempersiapkan legal standing hak pengakuan hutan adat mereka. Sementara, dukungan dari pihak lain sangat diperlukan agar nafas perjuangan mereka tetap panjang. Tabik.

Penulis

Renal Rinoza (Divisi Knowledge Management)


  1. Legal Standing adalah Putusan Hukum dari Negara yang memberikan pengakuan terhadap kedudukan hukum yang diajukan oleh Pemohon (dalam hal ini subyeknya adalah Masyarakat Adat) untuk mendapatkan hak-hak konstitusional mereka sebagai Warga Negara dan status Hak Penguasaan dan Pengelolaan Hutan Adat. ↩︎
  2. Siloka adalah semacam tamsil atau perlambang yang diungkapkan secara tersirat dalam bentuk bahasa simbolik dan metaforis tentang sejarah, ajaran-ajaran, nasihat-nasihat, peringatan, pengetahuan, dan kejadian di masa depan. ↩︎
  3. Karuhun adalah leluhur masyarakat adat kasepuhan. ↩︎
  4. Lokasi Kasepuhan Cibedug secara administratif berada di Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber – Kabupaten Lebak. ↩︎
  5. Sebelum berpindah tangan ke Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), penguasaan lahan di wilayah hutan adat Bongkok dipegang oleh Perum Perhutani. ↩︎
  6. Wahangan adalah aliran sungai kecil di bagian hulu sungai. ↩︎
  7. Rendangan adalah unit kampung di bawah kasepuhan. Misalnya sebuah kasepuhan memiliki unit kampung di luar wilayah pusat kasepuhan berada dan wilayah rendangan tetap terhubung secara kultural dan spiritual dengan kasepuhan utama. ↩︎

Acara Puncak dan Penutupan Festival Pare Ketan 2023

Hari kedua adalah puncak acara kegiatan Festival Pare Ketan yang pembukaannya dimulai dengan ritual menumbuk lesung oleh ibu-ibu kasepuhan, menyindenkan jaipongan, tarian rengkong dan alunan gendang pencak dan angklung, iring-iringan rombongan masing-masing dari tiga kasepuhan di Cirompang, dan tarian salah seorang ibu-ibu yang menggendong padi di bakul dan penampilan kesenian tradisional kasepuhan. Acara puncak Festival ini juga diisi dengan perlombaan tumpeng dari masing-masing RT, lomba saung pameran dari bazar produk pangan lokal dan cinderamata, lomba fashion show anak remaja, lomba cerdas cermat, dan lomba azan. Acara pembukaan di hari kedua ini berlangsung sangat meriah dan bangku yang disediakan panitia terisi penuh bahkan sampai meluber keluar. Banyak warga lainnya menyaksikan dari atas tempat acara.

Gb 1. Kemeriahan Pembukaan Acara Puncak Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Di hari kedua penyelenggaraan Festival Pare Ketan ini dimulai dengan acara sarasehan yang dipandu oleh Fauzan Adima dari RMI. Sarasehan berisi pemaparan dari masing-masing perwakilan OPD Pemda Lebak (Bapak Diki Darmawan selaku Staf Dinas PMD Kabupaten Lebak), Bapak Camat Cirompang, perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (mas Sani dari Kemitraan dan Abdul Waris dari RMI) dan perwakilan masyarakat Cirompang yang diwakili oleh Kang Mursid untuk berbagi cerita dan pengalaman tentang perjalanan Hutan Adat Cirompang. Penanggap dari sesi sarasehan ini adalah Kang Heri Yogaswara dari BRIN. Sesi siang harinya diisi ceramah dari Bapak Sukanta dari SABAKI (Kesatuan Adat Banten Kidul), Bapak Wakil Bupati Kabupaten Lebak, Kepala Kesbangpol Kabupaten Lebak, dan Tokoh Masyarakat dari Kasepuhan Pasir Eurih. Pada sesi sarasehan juga secara simbolis diserahkan hasil rekomendasi Forum KAWAL yang diwakili oleh Damidi, anak muda Baduy kepada pihak Pemerintah Kabupaten Lebak. Butir-butir hasil rekomendasi tersebut kemudian dibacakan oleh Damidi dan dilangsungkannya prosesi penyerahan hasil rekomendasi Forum KAWAL kepada Pemerintah Kabupaten Lebak.

Gb 2. Warga Kasepuhan Cirompang Antusias Menonton Hari Puncak Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Dalam kata sambutan pembukaan sesi sarasehan ini Fauzan memperkenalkan kios-kios pameran dari produk pangan lokal dan cinderamata sebagai promosi kekayaan pangan bagaimana sumber kehidupan masyarakat Kasepuhan Cirompang ditampilkan, terus yang kedua ada diskusi peningkatan kapasitas Forum KAWAL, dalam Forum KAWAL ini RMI selaku pendamping mencoba membangun konsolidasi antar generasi muda kasepuhan untuk sama-sama saling berproses dan saling memberikan inspirasi bagi bagaimana mewujudkan soal kedaulatan pangan dan rangkaian perjuangan masyarakat kasepuhan yang telah didahului oleh para leluhur masyarakat kasepuhan.

Sarasehan ini menjadi bagian penting bagaimana mempertemukan masyarakat, pemuda, perempuan, tokoh masyarakat dengan Pemerintah Daerah, dengan para mitra yang di kesempatan ini sudah hadir untuk masa depan pangan di kasepuhan menjadi bagian penting prioritas pembangunan baik di desa maupun di nasional.  

Gb 3. Para Baris Olot dan Tamu Undangan Duduk Mengitari Panggung di Hari Puncak Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Dalam sambutannya mas Sani, perwakilan dari Kemitraan, mengajak hadirin untuk kilas balik ke tahun 2015 ketika Festival Pare Gede diselenggarakan. Pada saat itu banyak jenis varietas padi lokal ditampilkan. Kasepuhan khususnya di Cirompang sejak 2015 sudah mulai verietas padi yang selama ini tidak dilirik secara nasional menjadi bahan rujukan apalagi saat ini katanya negara ini mengalami krisis pangan dan sebaliknya khususnya di Cirompang dan kasepuhan lain di Lebak urusan ini tidak menjadi kendala. Kemudian mas Sani berharap kepada baris olot (tetua adat) bagaimana perempuan, anak-anak, kaum disabiitas mendapat tempat di kasepuhan apalagi 20 tahun kedepan adik-adik yang masih muda nantinya akan menggantikan posisi baris olot dan itu yang mungkin menjadi perhatian kita bersama terkait apa sih yang dimaksud dengan inklusi sosial. Yang ketiga, Kemitraan yang bekerjasama dengan RMI yang sudah lama di kasepuhan khususnya di Kasepuhan Cirompang, Cibarani, Cibedug, dsb., berharap banyak kepada masyarakat Cirompang agar hutan adat menjadi penopang kehidupan masyarakat kasepuhan. Ini menjadi penting untuk pemangku kepentingan dan kebijakan karena banyak hal baik dari pengeolaan hutan adat yang dilakukan oleh masyarakat kasepuhan yang perlu didengar di level nasional. Dan juga terkait fungsi leuit (lumbung) yang menjadi fondasi penting bagi kedaulatan pangan masyarakat adat kasepuhan. Dan oleh karena itulah ini penting menjadi perhatian Kemitraan bahwa berbicara soal pangan penting artinya bagi kasepuhan dan ini yang Kemitraan sampaikan ke tempat-tempat lain di Indonesia. Eksistensi leuit penting untuk mempertahankan kedaulatan pangan dan menjadi penangkal dari serangan krisis pangan.

Gb 4. Tarian Rengkong di Acara Pembukaan Hari Puncak Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Sambutan kedua disampaikan Bapak Camat Sobang. Ia mengapresiasi pameran-pameran di kios-kios pangan lokal dan cenderamata serta lomba tumpeng dengan panganan lokal. Pak Camat mencontohkan dengan memakan makanan lokal para tetua dan orangtua di kasepuhan kondisinya sehat  karena memakan makanan yang lokal dan tidak terkontaminasi oleh bahan-bahan yang lain cukup sayur oge, uyah, bawang, sereh, salam. Cukup enak, sergah Bapak Camat. Dalam kata sambutannya Pak Camat juga membandingkan generasi muda sekarang yang terpapar dengan makanan instan. Oleh karena itulah, pangan lokal harus dipertahankan oleh generasi mendatang.

Selanjutnya, pada bagian sesi sarasehan ini pemandu acara meminta Kang Mursid membagi pengalamannya bersama masyarakat Kasepuhan Cirompang lainnya dalam memperjuangkan pengakuan Hak Hutan Adat, pemaparan singkat dari perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang diwakili oleh Abdul Waris dari RMI, pemaparan dari perwakilan OPD Pemda Kabupaten Lebak yang diwakili oleh Bapak Diki Darmawan, dan tanggapan atas pemaparan yang akan ditanggapi oleh Kang Heri Yogaswara, Peneliti Senior BRIN yang sudah malang-melintang dalam studi masyarakat kasepuhan dan juga terlibat dalam proses penyusunan naskah akademik Raperda Kasepuhan Adat Banten Kidul.

Di pemaparannya ini Kang Mursid selaku anggota Kisancang berbagi kisah perjuangan masyarakat kasepuhan Cirompang dalam mendapatkan pengakuan hak hutan adat di tahun 2019 dan tantangannya kedepan pasca pengakuan. Ada pertanyaan sejak kapan masyarakat Cirompang memperjuangkan hutan adat? Sebenarnya perjuangan untuk mendapat pengakuan hak hutan adat bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh masyarakat Cirompang. Dulu ketika tahun 2008, masyarakat Cirompang sudah mulai melakukan diskusi-diskusi skala kecil hingga skala besar ke seluruh incu pitu Kasepuhan Cirompang dan sejak itulah perwakilan dari masyarakat Cirompang mengirim surat ke RMI agar membantu memfasilitasi perjuangan masyarakat Kasepuhan Cirompang.

Gb 5. Kang Mursid Berbagi Pengalamannya Bersama Masyarakat Cirompang dalam Memperjuangkan Pengakuan Hak Hutan Adat. Foto: Erik Suhana

Dengan mengajak RMI untuk terlibat bagi kang Mursid hal tersebut didasarkan pada kondisi di masyarakat Cirompang yang masih mengalami kesulitan berkomunikasi dengan pihak luar terutama dengan Pemda dan Pemerintah Provinsi apalagi dengan Pemerintah Pusat. Oleh karena itulah, kami meminjam tangan dan mulut NGO untuk membantu perjuangan kami, aku kang Mursid. Jadi di tahun 2008 masyarakat Cirompang sudah mulai berdiskusi tentang ketahanan pangan, memetakan dulu pangan apa saja yang sudah tidak ada, mana saja yang masih ada dan apakah masih ada kawung (pohon aren) karena kecamatan Sobang terkenal dengan wilayah penghasil gula aren, kemudian masyarakat diajarkan penguatan kapasitas. Di tahun 2009, kang Mursid mengikuti pelatihan pemetaan partisipatif. Kang Mursid mengaku tugas yang ia emban adalah sebagai suku-sambung (perantara) antara lembaga adat kasepuhan dengan pihak luar (NGO, Pemerintah, dll) dalam memperjuangkan pengakuan Hak Hutan Adat. Dari pengalaman itulah kang Mursid terkejut bahwa Pemda Lebak ternyata baru mengetahui jika di Cirompang telah eksis berdiri sebuah kasepuhan. Pikir kang Mursid, bagaimana yang di Jakarta, di tingkat kabupaten saja tidak tahu tentang keberadaan masyarakat adat kasepuhan di Cirompang.

Dengan demikian, upaya yang intens terus dilakukan oleh masyarakat Cirompang agar segera mendapat Perda Pengakuan Masyarakat Kasepuhan. Diantaranya masyarakat menyusun sejarah keberadaan kasepuhan Cirompang, menetapkan kelembagaan adat secara formal dan tertulis, mencatat warga kasepuhan, memetakan wilayah adat kasepuhan, dan merapikan peta wilayah adat yang dibantu oleh rekan-rekan JKPP melalui kegiatan pemetaan partisipatif. Sebagai tambahan, masyarakat Cirompang juga melengkapi syarat administrasi berikutnya seperti mencatat pranata adat dan aturan adat kasepuhan. Dalam hal ini masyarakat mulai mencatat pranata adat tentang tata cara dan aturan dalam menanam padi, dan aturan mengenai hutan titipan, dsb. Ternyata persyaratan tentang pranata adat ini saja belum cukup. Akhirnya dengan kerja keras dan dukungan dari teman-teman aktivis lokal dan tokoh-tokoh dari wilayah kasepuhan Banten Kidul terbitlah SK Bupati Lebak tentang Kasepuhan Adat Banten Kidul termasuk pengakuan Kasepuhan Cirompang di dalamnya.

Masyarakat kasepuhan pada awalnya belum mengetahui jika hutan mereka dulu dikuasai oleh Perhutani kemudian di tahun 1992 telah dialihfungsikan menjadi Taman Nasional. Dan melalui perjuangan panjang kasepuhan-kasepuhan di Banten Kidul yang mengajukan gugatan (judicial review) UU Kehutanan tahun 1999. Kemudian terbitlah putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa hutan yang berada di wilayah adat bukan lagi menjadi hutan negara melainkan hutan hak komunal masyarakat adat. Dengan putusan MK ini, menjadi berita gembira untuk masyarakat kasepuhan namun perjuangan tersebut belum selesai sampai di situ. Harus ada lagi syarat yang dipenuhi yaitu produk peraturan hukum daerah berupa Perda atau Pergub. Dari situ mulailah masyarakat kasepuhan memperjuangkan Perda Kasepuhan.

Kang Mursid membagi pengalamannya di tahun 2013 ketika ia mengikuti workshop pengakuan masyarakat adat di Indonesia  yang diselenggarakan di Malinau Kalimantan Utara. Kebetulan saat itu Malinau sudah memiliki Perda pengakuan adat. Singkat cerita masyarakat adat kasepuhan mendapat kabar nanti di tahun 2016 akan dibuatkan Perda SK Kasepuhan oleh Pemda Lebak. Kemudian kabar ini disambut dan didukung NGO seperti RMI dan HuMa dan tidak sampai di tahun 2016, tepatnya di akhir tahun 2015 Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan terbit. Kang Mursid merasa sangat lega, akhirnya janjinya bisa terpenuhi. Namun sekali masih terdapat batu sandungan. Itu saja belum cukup karena harus ada SK dari Presiden, yang didelegasikan melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam SK Penetapan tersebut disyaratkan harus ada peta tata batas, harus ada persetujuan tata batas dengan kasepuhan lainnya yang berbatasan langsung seperti Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Sukamaju, Kasepuhan Citorek dan persetujuan kasepuhan lainnya.

Singkat cerita tim Kasepuhan Cirompang berangkat mengambil titik koordinat batas wilayah adat kasepuhan dan kemudian tim KLHK datang ke Cirompang untuk melakukan verifikasi teknis (vertek). Di momen reriungan kasepuhan adat Banten Kidul ke-10 di Citorek, Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa Kasepuhan Cirompang adalah satu dari delapan kasepuhan lain di Banten Kidul yang memperoleh SK Penetapan Hutan Adat. Kasepuhan Cirompang menerima SK Penetapan Hutan Adat seluas kurang lebih 322 hektar. Pasca penetapan Hutan Adat ini maka berbagai usaha terus dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan Cirompang mulai dari kegiatan patroli hutan, penanaman pohon incuk, dan penanaman pohon alpukat dan manggis. Di akhir berbagi pengalamannya di sarasehan ini Kang Mursid menceritakan lika-liku perjuangan mendapatkan pengakuan hak Hutan Adat yang sejatinya ditujukan bagi kesejahteraan lahir-batin masyarakat Kasepuhan Cirompang dan generasi mendatang.

Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh Bapak Diki Darmawan, selaku staf Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Lebak. Menurutnya, hanya di wilayah Banten saja terdapat leuit sebagai simbol ketahanan pangan. Untuk itu ia mengaja kepada mantri tani desa yang hadir di acara Festival ini untuk tidak segan berdiskusi dan belajar dengan bapak-bapak kasepuhan. Pemerintah Kabupaten menitipkan para mantri tani desa menjadi rekan diskusi dan bukan sebaliknya mengajari bapak-bapak di kasepuhan dalam bertani. Secara keilmuan moal mahi mengalahkan bapak-bapak. Nah, keilmuan kan dinamis mungkin ada kelilmuan yang tidak dimiliki bapak-bapak tapi ada dimiliki para mantri tani desa makanya keberadaan para mantri tani desa jadi batur pakumaha. Bukan untuk menggurui bapak-bapak tapi mereka menjadi teman diskusi, tekannya. Misalnya dalam penghadapi musim halodoh (kemarau) ini sekiranya para mantri tani desa bisa memberikan masukan jenis tanaman apa yang mesti ditanam di saat musim kemarau. Pak Diki juga menyinggung pendirian BumDes yang tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat desa khususnya warga kasepuhan di Cirompang. Pak Diki menunjukkan bahwa Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) sudah mengadakan advokasi dengan menggandeng kampus STAN (Politeknik Keuangan Negara STAN) dan beberapa perguruan tinggi lainnya untuk meningkatkan peran BumDes sebagai sumber pendapatan desa dan untuk ketahanan pangan desa.

Pemaparan terakhir disampaikan oleh perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang diwakili Abdul Waris dari RMI. Dalam pemaparannya Waris menyitir dari penjelasan kang Mursid tentang proses perjuangan nan panjang untuk mendapat pengakuan SK Hutan Adat.  Dalam hal ini, RMI cukup lama memfasilitasi masyarakat kasepuhan di Kabupaten Lebak. Fasilitasi itu apa? Fasilitasi untuk melakukan advokasi-advokasi salah satunya terkait pengakuan adat masyarakat kasepuhan yang ada di kabupaten Lebak. Fasilitasi ini kita lakukan dalam rangka kita berpihak. Kepada siapa kita berpihak? Kepada golongan lemah. Nah, kalau konteks hutan adat kalau kita tanya kepada penerima pengakuan tersebut biasanya yang selalu muncul adalah jawabannya kiwari mah kami ntos nyaman dan aman. Artina euweuh gangguan kitu. Alhamdulillah kiwari mah ntos euweuh gangguan. Kita ambil contoh di Kasepuhan Karang, setelah pengakuan ada hal yang mengejutkan bagi RMI yaitu mulai banyak anak-anak yang sebelumnya putus sekolah menjadi lebih banyak yang bersekolah dan bahkan sampai ada yang kuliah. Dari apa? Dari hasil pertanian. Karena apa? Karena buah yang mereka tanam di kebunnya dan ada hak seluruhnya dari si pemilik kebun tersebut sehingga tidak ada rasa takut dan rasa khawatir lagi menjual hasil bumi mereka. Artinya jeung ngabiayaan hirup jeuang ngabiayaan sakolah anak, sudah dapat terpenuhi, tekan Waris.

Sampai saat ini di Kabupaten Lebak sudah ada 8 kasepuhan yang memperoleh pengakuan dari negara. Diantaranya Kasepuhan Cirompang, Pasir Eurih, Karang, Cibarani, Citorek, Cibedug, Cisitu dan Cisungsang. Nah apakah sampai di sini perjuangan kita? Tentu tidak! karena ini bukan tujuan akhir. Ini baru gerbang. Tujuan akhir seharusnya bagaimana setelah memperoleh hutan adat, masyarakat di seluruh kasepuhan memiliki rasa nyaman dan aman lebih yaitu apa? Sejahtera lahir dan batin, pungkas Waris kepada para hadirin. Inilah yang menjadi tantangan dan pertanyaan bagi kita semua untuk bagaimana kita mendapatkannya. Untuk RMI lakukan saat ini adalah mencoba lakukan konsolidasi yaitu ngerembug bersama teman-teman pemuda karena teman-teman pemuda adalah generasi yang bakal jadi olot di lemburnya (kampungnya) masing-masing. Melalui pemudalah RMI mencoba fasilitasi dan belajar bareng-bareng bagaimana memperoleh keamanan dan kenyamanan yang lebih baik lagi dari hari ini.

Permasalahan yang kedua adalah, menyangkut persoalan hutan adat. RMI menjadikan persoalan sebagai catatan yang cukup penting karena seperti yang diceritakan kang Mursid barusan ada proses yang cukup panjang. Hal lainnya yang ketiga adalah soal bagaimana keberagaman pangan. Jadi ketika RMI belajar kasepuhan memang pertama yang kami pelajari adalah varietas padi lokal. Namun, ada juga makanan-makanan yang lain yang dimakan oleh masyarakat di Cirompang. Artinya di kasepuhan ini sudah ada keberagaman pangan. Kalau kita lihat di kios (stand) pameran pangan lokal dijual labu, pisang, ubi, dsb. Yang juga memiliki kandungan yang sama dengan padi. Sumber karbohidrat iya, sumber nutrisi iya, dan juga bahkan menjadi obat. Nah, hal-hal seperti itulah yang seharusnya terus dijaga sampai generasi-generasi berikutnya. Generasi yang melanjutkan tradisi dan nilai-nilai yang ada di kasepuhan.

Untuk yang terakhir soal guncangan perubahan iklim dan ketahanan pangan. Betul seperti yang disampaikan Pak Camat bahwa kita tidak hanya bergantung pada beras karena beras ini suatu saat bisa jadi punya tantangannya sendiri. Kalau kita lihat musim kemarau ini sawah sudah mengalami kekeringan dan itu artinya sulit untuk bisa ditanami padi. Lantas, karena kita punya ubi, labu itu masih menjadi sumber pangan kita. Di situlah pentingnya untuk selalu diingat dan diupayakan bahwa paling tidak di kebun kita ada sumber pangan cadangan. Di pemaparan terakhir yang Waris sampaikan. Ia mengajak para hadirin untuk mencermati 3 hal yang harus diupayakan untuk diamankan yang menjadi sumber penghidupan di saat kemarau yang durasi cukup panjang ini. Yaitu, pertama, air; kedua, pangan; dan ketiga adalah energi. Energi itu apa? Waris memberi contoh kecil yaitu api yang kita nyalakan untuk memasak adalah energi itu sendiri. Dengan demikian, ketiga elemen ini menjadi penting untuk diupayakan dan dijaga bersama-sama.

Gb 6. Para Juri (Ummi dari RMI dan Tracy dari Kemitraan) Melakukan Penilaian Lomba Tumpeng. Foto: Erik Suhana

Setelah ketiga perwakilan memberi pemaparannya, kini tiba waktunya bagi Kang Herry Yogaswara yang diminta pemandu acara untuk memberikan tanggapannya atas pemaparan dari ketiga perwakilan elemen yang hadir di Festival Pare Ketan. Kang Herry menceritakan pengalaman pertamanya bersama masyarakat kasepuhan yang dimulai di tahun 1987 di Kasepuhan Cipta Rasa yang saat ini menjadi Kasepuhan Cipta Gelar. Pertama-tama kang Herry memberi tanggapan atas pemaparan dari pengalaman kang Mursid dalam memperjuangkan pengakuan hutan adat. Kang Herry mengaku pernah ambil bagian di penyusunan Raperda Kasepuhan baik yang berada di Kabupaten Lebak maupun Kabupaten Sukabumi.

Gb 7. Kang Herry Yogaswara Memberikan Tanggapan Atas Pemaparan dari Perwakilan Kasepuhan, CSO, dan Pemerintah. Foto: Erik Suhana

Dulu ada tim yang membuat Perda Kasepuhan di Kabupaten Sukabumi dan Kasepuhan di Kabupaten Lebak. Dua-duanya ditahap pertama gagal. Jangan lupa itu kegagalannya! Kenapa gagal? Karena pada saat itu wilayah Kabupaten Sukabumi masuk di wilayah Banten tetapi incu putu Cipta Rasa sudah mendiami wilayah itu sebelum berdirinya Kabupaten Sukabumi maupun Kabupaten Lebak. Di dalam peta ada wilayah Lebak jadi tidak bisa Perda kabupaten itu ada di kabupaten lain. Jeung deui aya Perda Sukabumi. Sukabumi masuk Jawa Barat. Aya Lebak provinsi mana? Banten. Moal meunang. Nah yang Lebak juga gagal karena juga ada penolakan di DPRD. Kan Perda kudu kesepakatan Bupati jeung DPRD, sambungnya.

Di tahun 2015 masyarakat kasepuhan berhasil mendapatkan Perda Kasepuhan dari Bupati Lebak. Kalau kita membicarakan masyarakat adat di seluruh dunia maka ada 2 hal prinsip nya harus dipenuhi. Pertama, Pengakuan sendiri tentang keberadaan kasepuhan adat dengan catatan harus ada pihak lain yang mengakui. Siapa saja pihak luar tersebut? Di Indonesia pihak luar yaitu Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah. Di pemaparan kang Mursid di atas sudah menyinggung vertek, verifikasi teknis. Hal tersebut dilakukan agar batas-batas kasepuhan menjadi jelas. Kang Herry berbagi pengalamannya pernah tergabung sebagai tim verifikasi teknis hutan adat di 5 kasepuhan diantaranya Kasepuhan Cibarani, Cibedug, Cisungsang dan Kasepuhan Cisitu. Dari pengalaman tersebut, ternyata ditemukan di lapangan pengajuan hutan adat dari 2000 ha menjadi 2500 ha. Kenapa luasan hutan adatnya bertambah? Menurut kang Herry hal tersebut disebabkan oleh adanya pengakuan dari pihak lain dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pengakuan hutan adat dari negara harus ada produk hukum dar daerahnya mulai dari Perda, SK Bupati ataupun Perbup. Namun untuk pengakuan hutan adat, mengacu pada Pasal 67 UU No. 41 tentang Kehutanan Tahun 1999 dikatakan bahwa produk hukum yang diakui adalah Perda. Jika belum ada Perda-nya maka akan dijadikan statusnya Pencadangan Hutan Adat. Begitu prosedurnya. Berdasarkan pengalaman kang Herry sebagai tim verifikasi teknis hutan adat, pada hematnya didasarkan pada dua hal. Pertama, harus ada subyeknya yakni manusia yang mendiami daerah sekitar hutan adat. Dan kedua, harus Ada Obyeknya yakni keberadaan hutannya sendiri. Proses selanjutnya memang mesti bersabar karena pemohon hutan adat harus memetakan batas-batas hutan adatnya dan dilakukan dengan pemetaan partisipatif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di masyarakat kasepuhan.

Gb 8. Damidi Mewakili Teman-Teman Forum KAWAL Menyerahkan Hasil Rekomendasi Kepada Perwakilan Pemkab. Lebak. Foto: Erik Suhana

Acara sarasehan ditutup dengan pembacaan hasil rekomendasi Forum KAWAL yang diwakili oleh Damidi, pemuda adat Baduy kepada aparatur Pemerintah Kabupaten Lebak dan hadirin di Festival Pare Ketan. Damidi kemudian dengan mantab membacakan butir-butir rekomendasi tersebut. Pembacaan butir-butir rekomendasi ditutup dengan penyerahan hasil rekomendasi Forum KAWAL dan foto bersama antara Damini dengan Bapak Diki Darmawan selaku perwakilan Pemda Lebak. Acara sarasehan kemudian ditutup oleh pemandu acara, Fauzan Adima. Dalam kata penutupnya Fauzan menandaskan bahwa apa-apa saja yang sudah disampaikan di sarasehan ini kiranya dapat menjadi bagian penting untuk kita semua dan mengingatkan kembali bahwa ketahanan pangan ini menjadi catatan penting yang pada prakteknya sudah menajdi tradisi masyarakat adat yang perlu dilanjutkan oleh generasi muda kasepuhan.

Ditulis oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)

Batur Ngawangkong #2: Refleksi dan Rekomendasi dari Forum KAWAL

Di forum ini peserta diminta untuk merefleksikan perjalanan Forum KAWAL selama satu tahun ini (terhitung sejak Oktober 2022) sebagai catatan yang akan dilaksanakan di tahun selanjutnya dan tantangan apa saja yang akan dihadapi. Selain itu, di sesi ini juga menghadirkan butir-butir rekomendasi yang akan disampaikan Forum KAWAL kepada Pemerintah Kabupaten Lebak yang akan hadir di keesokan harinya, termasuk persiapan untuk acara Kenferensi Tenur. Para peserta dibagi ke dalam masing-masing kelompok untuk menuliskan refleksinya atas Forum KAWAL. Fasilitator menyodorkan lima pertanyaan kunci untuk didiskusikan dan disampaikan secara bersama-sama di forum refleksi ini. Lima pertanyaan kunci tersebut adalah: (I) Apa yang paling diingat dari pertemuan Forum KAWAL sebelumnya?; (II) Apa yang Anda ketahui tentang pemetaan partisipatif?; (III) Pengetahuan apa saja yang ingin lebih didalami dari Forum KAWAL ini?; (IV) Apa yang Anda ketahui tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA)?; dan (V) Apa yang Anda ketahui tentang Inklusi Sosial?

Gb 1. Tracy Pasaribu – Kemitraan, Mengawal Sesi Refleksi Forum KAWAL. Foto: Erik Suhana

Para peserta yang telah dibagi ke tiap-tiap kelompok kemudian mengelaborasi dari lima pertanyaan kunci yang diajukan fasilitator. Mereka kemudian mendiskusikan dan mencatatnya ke kertas metaplan untuk ditempelkan dan dipresentasikan lalu ditanggapi oleh fasilitator dan peserta lainnya. Adapun masing-masing kelompok mencatat hasil diskusi refleksi mereka. Berikut urutan masing-masing kelompok yang mencatat lima pertanyaan kunci yang dimulai dari pertanyaan I sampai pertanyaan V:

Pertanyaan I: Apa yang paling diingat dari pertemuan Forum KAWAL sebelumnya?

Kelompok 1

  • Publikasi tentang Pengakuan Hutan Adat kepada publik
  • Pengetahuan untuk masyarakat adat kasepuhan
  • Persaudaraan antar kasepuhan
  • Pengembangan SDM/SDA
  • Follow-up atau Rencana Tindak Lanjut (RTL) Forum KAWAL berikutnya

Kelompok 2

  • Kesetaraan Gender
  • Perubahan Lingkungan
  • Belajar hukum yang berlaku di masyarakat adat
  • Belajar pemetaan partisipatif

Kelompok 3

  • Memotret pendokumentasian pengetahuan masyarakat adat
  • Anggota Forum KAWAL sulit untuk mengimplementasikan Rencana Tindak Lanjut (RTL) dan kegiatan pendokumentasian pengetahuan masyarakat adat kasepuhan
  • Membangun ghiroh (semangat) anak muda kasepuhan dalam kegiatan Forum KAWAL. Misalnya menjaga tradisi dan budaya masyarakat kasepuhan
  • Terselenggaranya kegiatan Kelas Pengetahuan tentang masyarakat adat kasepuhan di kalangan anak muda khususnya kaum milenial di Kasepuhan Pasir Eurih
  • Pentingnya menggali pengetahuan adat yang diwariskan oleh para leluhur. Misalnya apa yang harus generasi muda jaga dan rawat dan apa saja larangan-larangan adat agar pengetahuan tersebut tidak punah

Kelompok 4

  • Berbagi ilmu pengetahuan antar komunitas kasepuhan aga bisa lebih meluas
  • Konsolidasi antar komunitas di Forum KAWAL
  • Jangkauan pengetahuan antar komunitas mungkin saja ada yang berbeda antara kasepuhan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, maka diperlukan tukar-menukar pengetahuan dan pengalaman bahkan untuk rekan-rekan komunitas adat di Nusantara lainnya. Pengalaman sebelumnya sudah dilakukan anak muda kasepuhan dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman bersama teman-teman muda dari komunitas adat yang berasal dari Provinsi NTT

Kelompok V

  • Saling berkomunikasi diantara anak-anak muda kasepuhan tentang apa yang terjadi didaerahnya masing-masing

Pertanyaan II: Apa yang Anda ketahui tentang pemetaan partisipatif?

Pada bagian pertanyaan ini disampaikan oleh beberapa peserta. Salah satu peserta berharap agar wilayah yang akan dipetakan masyarakat tahu tata batas antar wilayah kasepuhan, tata ruang wilayah adat yang dipetakan misalnya peruntukan lahan garapan masyarakat, dll. Sementara Kang Mursid dari perwakilan Pemuda Kasepuhan Cirompang menandaskan bahwa pemetaan (partisipatif) dilakukan secara bersama-sama dengan mendatangi satu per satu masyarakat. Kang Khori sebagai perwakilan Kasepuhan Cibarani mengingatkan bahwa dalam pemetaan partisipatif penting untuk memastikan peta tata batas lahan garapan masyarakat tidak terjadi pergeseran antar lahan garapan masyarakat. Untuk di Cibarani sendiri, Kang Khori berbagi pengalamannya dalam mengerjakan pemetaan partisipatif seperti ada yang bertugas menulis dan mencatat, ada yang pengoperasian alat GPS, dan lain-lainnya.

Di pertanyaan ketiga: Pengetahuan apa saja yang ingin lebih didalami dari Forum KAWAL? Para peserta berbagi keinginannya agar dapat diakomodir oleh rencana tindak lanjut Forum KAWAL selanjutnya. Diantaranya para peserta ingin menggali hukum adat, pendokumentasian dan inventarisasi hukum adat dari lembaga kasepuhan tentang pengetahuan adat, bagaimana mempelajari metode pendokumentasian dan pencatatan pengetahuan adat, kegiatan pendokumentasian saat ini belum selesai dan perlu dilanjutkan misalnya pendokumentasian hukum adat, pengetahuan adat, dan segala pengetahuan adat lainnya yang hidup di kasepuhan.

Gb 2. Panitia Menempel Metaplan Kolom Yang Diisi Peserta. Foto: Erik Suhana

Di pertanyaan keempat: Apa yang Anda ketahui tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA)? Para peserta mengajukan poin-poin penting dari pertanyaan ini. Diantaranya adalah MHA yang hidup secara turun-temurun, yang secara de-facto sudah ada eksistensinya di masing-masing kasepuhan, belum ada peraturan dari pemerintah terkait hukum adat di kasepuhan, MHA dapat diartikan berupa ketaatan terhadap hukum adat dan aturannya seperti kepatuhan warga MHA harus menyelenggarakan ritual adat sebelum memasuki leuweung (hutan) dan mentaati titah (perintah) olot (tetua) adat untuk memulai kegiatan cocok tanam, dan khususnya untuk di masyarakat wilayah ulayat Baduy anggota komunitas adatnya diwajibkan bertani.

Pada pertanyaan terakhir, di pertanyaan kelima: Apa yang Anda ketahui tentang Inklusi Sosial? Para peserta berbagi pendapatnya bahwa dalam inklusi sosial perlu adanya perhatian yang lebih kepada kaum minoritas yang terpinggirkan misalnya kepada kaum difabel. Disamping itu, negara juga perlu memberikan pengakuan hak dan mengedepankan prinsip-prinsip inklusi sosial dalam kebijakannya, dan perlu adanya restrorative justice oleh negara untuk mengatur hukum adat dan sanksi adat di internal kasepuhan. Artinya negara memberikan kewenangan sepenuhnya bagi Masyarakat Hukum Adat untuk mengatur dan menetapkan hukumnya sendiri bagi anggota komunitasnya sendiri. Ini dapat diartikan negara mengakui adanya pluralisme hukum di luar ketentuan hukum positif yang mengatur MHA dalam menegakkan hukum adatnya.

Kegiatan forum ngawangkong di sesi refleksi ini kemudian dilanjutkan di sesi rekomendasi di malam harinya setelah pemaparan dari dua pemateri (HuMa dan JKPP) selesai. Dalam kesempatan sesi rekomendasi ini fasilitator yang diawaki oleh Tracy Pasaribu meminta para peserta untuk mengungkapkan rasa kekhawatiran mereka dan kemudian Tracy membungkus (wrapping up) dari aspirasi kekhawatiran tersebut ke poin-poin penting yang akan ditindaklanjuti oleh rekan-rekan Forum KAWAL selanjutnya. Setelah mencurahkan rasa kekhawatirannya, kemudian para peserta mencatatnya menjadi poin-poin kekhawatiran di masing-masing perwakilan kasepuhan, komunitas adat Baduy dan perwakilan dari KATA Indonesia. Kelompok Kasepuhan Cibarani menyuarakan kekhawatiran mereka tentang persoalan lingkungan seperti sampah yang dibuang ke sungai, dan kekhawatiran tentang tata ruang yang tumpang tindih dalam hal status hutan adat dengan klaim Taman Nasional misalnya. Damidi sebagai anak muda dari komunitas adat Baduy mengungkapkan kekhawatirannya tentang generasi muda Baduy yang terbawa arus zaman dan terjadinya alih fungsi hutan. Untuk Kasepuhan Cirompang, kekhawatirannya adalah sedang memikirkan Cirompang 20 tahun kedepan. Bagi generasi muda Cirompang dikhawatirkan beda kepentingan akan beda pula kebijakannya yang ujung-ujungnya akan merugikan masyarakat. Untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut maka pemuda Cirompang sudah menyiapkan berbagai upaya diantaranya penguatan kapasitas anak muda Cirompang, regenerasi perjuangan masyarakat kasepuhan, dan memperbanyak peningkatan kognisi dengan berdiskusi dan kepekaan (awareness) yang dimulai dari hal-hal kecil hingga ke hal-hal yang besar.

Gb 3. Kesibukan Peserta Dalam Mengisi Kolom Kekhawatiran. Foto: Erik Suhana

Ungkapan kekhawatiran tentang tata ruang juga disampaikan oleh perwakilan dari Kasepuhan Jamrut yang mencari jalan keluar pemecahan agar masyarakat di Jamrut terbebas dari klaim tata ruang Taman Nasional Gung Halimun Salak (TNGHS), ketakutan terhadap penyerobotan lahan garapan dan ulayat masyarakat adat oleh pihak-pihak luar, konflik lahan yang berpotensi akan meledak, dan pengelolaan hutan adat yang tidak maksimal karena pembatasan akses masyarakat ke wilayah ulayatnya. Tambahan kekhawatiran lain dari perwakilan masyarakat Kasepuhan Jamrut tentang inklusi sosial ialah kurangnya perhatian terhadap kaum disabilitas dan kelompok rentan lainnya. Sementara itu, kekhawatiran dari perwakilan Kasepuhan Bongkok sama dengan apa yang disuarakan oleh pemuda Kasepuhan Cirompang yaitu kekhawatiran takut terkena imbas dari kebijakan penguasa setelah pergantian rezim yang tidak menutup kemungkinan akan berganti kebijakan dan tidak memihak kepada masyarakat adat, dan harapan-harapan masyarakat adat yang tidak terakomodir dengan baik oleh pemerintah daerah. Perwakilan Kasepuhan Bongkok di kesempatan forum ini juga mengapresiasi kegiatan fasilitasi dan forum refleksi dan rekomendasi Forum KAWAL ini yang akan dijadikan bahan yang akan mereka bawa pulang ke masyarakat Kasepuhan Bongkok lainnya. Dan terakhir catatan kekhawatiran yang disampaikan oleh perwakilan dari KATA Indonesia. Salah satu perwakilannya menggarisbawahi bahwa dikhawatirkan nilai-nilai adat akan hilang di masa depan, hutan yang semakin menyusut, pemanasan suhu dan perubahan iklim yang berdampak bagi masyarakat adat, suara-suara masyarakat adat yang tidak didengar dan sumber penghidupan tidak layak bagi kaum muda.

Setelah masing-masing perwakilan dari kasepuhan, wilayah ulayat Baduy dan KATA Indonesia menyampaikan rasa kekhawatirannya yang dipadatkan ke dalam beberapa poin maka selanjutnya fasilitator, Tracy Pasaribu, memerasnya ke daftar belanja masalah dan dari permasalahan tersebut untuk langkah selanjutnya menjadi pengingat dan usaha yang akan dilakukan oleh Forum KAWAL setelah ini. Diantara poin-poin yang ditandai oleh Tracy adalah persoalan: (1) Lingkungan; (2) Tata (Kelola) Ruang Hidup; (3) Generasi Muda yang menjaga adat; (4) Konflik Lahan (baik internal sesama masyarakat dan antar kasepuhan maupun berkonflik dengan pihak luar); (5) Kaum Terpinggirkan (misal. Kaum Disabilitas dan kelompok rentan lainnya); dan (6) Pergantian rezim kekuasaan (kekhawatiran aspirasi masyarakat adat tidak terpenuhi). Dari keenam poin yang dipetakan ini maka yang menjadi tonggak perubahan adalah peran aktif generasi muda sebagai generasi penerus (Tracy menyebutnya Generus) yang akan meneruskan perjuangan masyarakat adat dalam memperjuangkan haknya dan wilayah ulayatnya. Di sinilah posisi strategis Forum KAWAL yang terus mengawal perjuangan dari masyarakat adat dan partisipasinya dalam politik kewargaan semakin diperhitungkan. Misalnya mendorong partisipasi pemuda, perempuan dan kelompok rentan lainnya untuk terlibat di forum-forum di berbagai level, baik di tingkat kelembagaan adat maupun tingkat pemerintahan daerah bahkan di forum-forum nasional. Keterlibatannya mereka juga dapat memainkan peran yang signifikan dalam proses penentuan dan pengambilan keputusan baik di tingkat lokal maupun nasional. 

Ditulis Oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)

Batur Ngawangkong #1: Peningkatan Kapasitas Forum KAWAL di Festival Pare Ketan 2023

Di sesi kedua di hari pertama penyelenggaraan Festival Pare Ketan diisi dengan refleksi dan peningkatan kapasitas anggota Forum KAWAL. Para peserta mendengarkan penjelasan dari fasilitator dan pemateri tentang topik-topik yang relevan dengan agenda perjuangan masyarakat adat kasepuhan dan wilayah ulayat Baduy. Sesi ini dipandu oleh Fauzan Adima dari RMI. Materi pertama penguatan kapasitas mengambil topik Inklusi Sosial yang difasilitasi oleh Tracy Pasaribu dari Kemitraan. Setelah itu dilanjutkan materi kedua dan ketiga namun berhubung fasilitator kedua materi lainnya baru sampai ke lokasi maka akan disampaikan di malam hari. Materi peningkatan kapasitas lainnya adalah Kebijakan Nasional tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang difasilitasi Wahidul Halim dari HuMa dan materi Tantangan dan Peluang atas Ruang bagi Masyarakat Hukum Adat oleh Sulaiman Ahmad dari JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif). 

Gb 1. Pembukaan Sesi Penguatan Kapasitas Forum KAWAL. Foto: Erik Suhana

Dalam pemaparannya, Tracy mengajak peserta untuk membicarakan kenapa inklusi sosial penting untuk disuarakan dan digaungkan di kalangan masyarakat adat. Didalam inklusi sosial terdapat tiga prinsip utama yaitu (1) Akses terhadap layanan dan SDA; (2) Partisipasi Politik; dan (3) Manfaat dari inklusi sosial. Dengan demikian, inklusi sosial penting untuk diangkat ke permukaan karena selama ini ada beberapa kelompok masyarakat yang terpinggirkan dari proses-proses pengambilan keputusan dan keterlibatan dalam pembangunan. Salah satu kelompok-kelompok yang terpinggirkan itu adalah masyarakat adat bahkan secara umum ada tiga kelompok yang terpinggirkan diantaranya perempuan, anak-anak (termasuk anak muda), dan kaum disabilitas. Oleh karena itu, dengan adanya penerapan inklusi sosial akan memastikan semua orang mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama. Dalam beberapa kasus, Tracy mencontohkan bahkan di setiap pertemuan kelompok adat jarang sekali yang melibatkan perempuan dan anak muda. Demikian halnya dengan pola pembangunan di Indonesia yang masih meminggirkan peran-peran perempuan dan anak muda.

Gb 2. Diskusi dan Tukar-Pendapat Anggota Kelompok. Foto: Erik Suhana

Dalam pemaparannya, Tracy juga menyinggung fenomena bonus demografi yang dialami Indonesia hingga tahun 2040. Itu artinya komposisi anak muda Indonesia sekitar 70% dari total populasi. Momentum ini tentu tidak boleh kita lewatkan begitu saja karena peran anak muda lah yang menentukan arah kemajuan Indonesia mendatang. Apa yang anak muda bicarakan saat ini dan apa yang mereka lakukan khususnya di Forum KAWAL ini adalah awal mula perubahan. Berbicara dengan gerakan perubahan di kalangan anak muda dan terkait dengan pengarusutamaan inklusi sosial adalah memastikan ketiga prinsip dalam inklusi sosial dapat terpenuhi. Berbicara tentang akses ialah berbicara tentang bagaimana masyarakat adat terutama kaum perempuan dan anak mudanya mendapatkan akses terhadap layanan dan sumderdaya alam yang setara. Di kesempatan ini Tracy mengingatkan pentingnya membawa kepekaan (awareness) kita terlebih bagi masyarakat adat yang wilayahnya berada di daerah terpencil. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat terutama kaum perempuan dan anak muda adalah menyangkut akses terhadap sumberdaya alam. Tracy mencontohkan apa yang terjadi di masyarakat adat Nagekeo di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemerintah daerah di sana ternyata tidak sensitif dan tidak menghitung peran dan akses perempuan terhadap sumberdaya alam. Padahal perempuan memainkan peran yang sangat penting dalam merawat dan memelihara pengetahuan tradisional misalnya dalam pengklasifikasian jenis-jenis tanaman obat dan kegunaannya.

Gb 3. Peserta Mendiskusikan Materi. Foto: Erik Suhana

Prinsip kedua di inklusi sosial adalah partisipasi. Tracy menekankan kenapa dalam inklusi sosial penting untuk melibatkan partisipasi perempuan dan kaum difabel dari setiap agenda pembangunan yang dijalankan. Dengan menempatkan partisipasi, kita memperluas peran dan kesempatan yang setara bagi kaum perempuan dan difabel untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan pembangunan. Prinsip iklusi sosial yang ketiga adalah Manfaat. Tracy mengajukan pertanyaan kepada para peserta, “Kalau sudah ada pembangunan apakah semua mendapat manfaat yang sama? Perempuan dan laki-laki. Apakah anak-anak muda diajak terlibat dan berpartisipasi? Maka untuk itulah kita membutuhkan inisiatif untuk bergerak dan memainkan peranannya dalam pengambilan keputusan. Disamping itu, tentunya kita berusaha meningkatkan partisipasi dengan cara mempertajam kepekaan kita. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa kita adalah gerakan akar rumput yang setidaknya sudah mengetahui apa-apa saja permasalahan di tingkatan tapak. Dalam hal ini, Tracy memberi contoh. Misalnya dalam membuat bak mandi. Walau ini terlihat sepele namun posisi amat penting dalam meningkatkan partisipasi dan kepekaan kita. Apakah pembuatan bak mandi tersebut sudah sensitif jender dan peka terhadap kebutuhan perempuan? Jangan-jangan dalam pembuatan bak mandi tidak mengindahkan kebutuhan kaum perempuan. Ada satu contoh menarik yang Tracy singgung di kasus pembuatan bak mandi ini. Desain bak mandi yang ukurannya lebih tinggi membuat ibu-ibu susah untuk mengambil air yang biasanya digunakan untuk mencuci dan membersihkan sayur-sayuran.

Dari hal yang sepele ini Tracy mengajak kita untuk peka dan sensitif terhadap kebutuhan kelompok-kelompok lain yang terabaikan dalam kebijakan dan implementasi pembangunan dan bagaimana pentingnya memperluas kesempatan yang setara bagi kaum perempuan, anak muda, kaum difabel dan orang-orang yang terpinggirkan lainnya untuk didengar dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan. Ilustrasi pembuatan bak mandi yang Tracy contohkan adalah gambaran dimana betapa minimnya peran perempuan dan kelompok rentan lainnya dalam proses pengambilan keputusan di ranah kebijakan publik. Dengan demikian, melalui pemahaman kita terhadap inklusi sosial ini maka kita berjuang di arah hulu semisal akses terhadap sekolah dan produksi pengetahuan. Penting untuk mengajak dan melibatkan partisipasi perempuan ke berbagai kegiatan forum yang nantinya akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan dari sinilah dimulainya pengkaderan bagi perempuan untuk memainkan perannya di sektor partisipasi politik kewarganegaraan dan kebijakan pembangunan.

Di akhir pemaparannya, Tracy menyinggung sebuah kebiasan dari adat-istiadat kita yang menempatkan urusan perempuan hanya sekadar di wilayah dapur saja. Lalu Tracy menantang peserta dengan melontarkan sebuah pertanyaan tajam tentang masalah ini, “bagaimana mengubah paradigma seperti itu?.” Atas masalah ini, Tracy menunjukkan bahwa persoalan tradisi atau budaya yang tidak pernah ditulis. Padahal kalau digali lebih dalam lagi justru pengetahuan lama dari masyarakat adat malah banyak melibatkan peran perempuan dan penghormatan terhadap posisi perempuan sebagai pengambil keputusan dan sumber-sumber pengetahuan adat. Hal ini telah dibuktikan dari beberapa studi diantaranya penelitian yang dilakukan oleh PEREMPUAN AMAN, tekan Tracy. 

Gb 4. Wahidul Halim – HuMa, Menyampaikan Pemaparan Materinya tentang Advokasi Kebijakan Nasional MHA. Foto: Erik Suhana

Sesi peningkatan kapasitas berikutnya disampaikan oleh Wahidul Halim dari HuMa yang memaparkan materi Advokasi Kebijakan Nasional tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA). Dalam penyampaiannya, Halim menjelaskan tentang kedudukan Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya ditulis MHA) di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan eksistensi MHA sebenarnya sudah tertera di konstitusi kita misalnya di Pasal 18B UUD 1945 dan di Pasal 128 UU Pokok Agraria Tahun 1960. Adapun eksistensi MHA dapat dikenali selama MHA memiliki sejarah, tanah ulayat, hutan adat, masyarakatnya, pengetahuannya, kelembagaan adatnya dan eksistensinya diakui oleh masyarakat adat lainnya. Namun demikian, dalam catatan HuMa negara belum melindungi sepenuhnya eksistensi MHA. Misalnya apakah MHA dilibatkan dalam pembuatan UU? Dari indikator ini saja pemerintah belum mengakomodir tuntutan dan kebutuhan MHA.

Berdasarkan pengalaman HuMa ketika pengajuan tuntutan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi atas UU No. 5 tentang Kehutanan Tahun 1999 terhadap persoalan hutan adat. Dalam UU Kehutanan tahun 1999 negara tidak mengakui keberadaan hutan adat dan hutan yang dimiliki oleh MHA diklaim sebagai hutan negara. Oleh karena itu, HuMa bersama MHA dan elemen masyarakat sipil lainnya kemudian memperjuangkan pengadvokasian hutan adat dengan pengajuan tuntutan Judicial Review yang pada akhirnya tuntutan itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi dengan menghapus nomenklatur Hutan Negara di hutan adat milik MHA. Dari keberhasilan tuntutan itu maka tugas selanjutnya bagi MHA adalah kemudian bagaimana cara mengadvokasi hak komunal atau hak ulayat agar bisa didaftarkan dan tercatat. Upaya yang dapat dilakukan adalah mengadvokasi Peraturan Menteri (Permen) Kearifan Lokal. Di upaya advokasi ini bagaimana MHA dapat memiliki pemaknaan terhadap hak ulayat mereka seperti mata air, pohon-pohon, tumbuhan, hutan, dan pengetahuan adat terhadap nilai ekologi di wilayah ulayat MHA.

Gb 5. Para Peserta Menyimak Pemaparan dari Pemateri. Foto: Erik Suhana

Disamping itu, dalam hal eksistensi MHA di bidang hak ulayat, HuMa pernah bekerjasama dengan PEREMPUAN AMAN untuk melakukan penelitian tentang hak kolektif perempuan adat di Sulawesi. Dalam hak ulayat adat terdapat hak kolektif perempuan yang proporsinya sangat signifikan terutama pengetahuan MHA terhadap sumber-sumber pangan, tanaman obat dan hutan. Dari kekayaan pengetahuan itulah perlu upaya untuk mengumpulkan dan mendokumentasikan pengetahuan masyarakat adat sebagai hak kolektif mereka—yang selanjutnya didaftarkan sebagai hak kolektif MHA ke Bupati. Sebagai bagian dari eksistensi MHA, hutan adat menempati posisi yang sangat penting bagi pengakuan eksistensi MHA. Namun demikian, menurut Halim tantangannya adalah ketika pasca penetapan hutan adat. Tantangan yang kerapkali ditemui di lapangan adalah pemerintah tidak tahu dimana letak wilayah ulayat MHA berada. Selain itu, tantangan terbesar yang dihadapi MHA adalah berupa tantangan pengakuan bersyarat dari negara. Dalam norma hukumnya seharusnya negara yang mengikuti MHA tetapi yang terjadi menunjukkan sebaliknya—MHA yang mengikuti logika peraturan negara tentang penetapan wilayah ulayat adat. Di sinilah tantangan yang dihadapi oleh MHA meski sudah mendapat pengakuan tetapi logika pengakuannya mengikuti ketentuan negara. Di bagian ini, Abdul Waris selaku perwakilan RMI menambahkan bahwa dalam prosesnya negara yang seharusnya mengembalikan hak pengakuan tersebut ke masyarakat adat bukan malah yang memberi hak pengakuan ke masyarakat adat karena eksistensi MHA sudah lebih dulu ada dan kita kembalikan lagi ke konstitusi negara kita bahwa kedaulatan rakyat (termasuk di dalamnya MHA) sebagai pemegang tertinggi kedaulatan negara dan syarat utama berdirinya sebuah negara.

Di bagian akhir pemaparannya, Halim meluruskan pemahaman tentang perbedaan antara masyarakat adat dan masyarakat hukum adat (MHA). Baginya kedua terminologi ini sebenarnya sama saja dan yang membedakannya adalah terminologi MHA dipakai di dalam UU. Sementara itu, salah satu peserta yang berasal dari Kasepuhan Pasir Eurih mengajukan satu pertanyaan apakah MHA kedudukannya diakui di konstitusi kita? Halim menjawab jika RUU Masyarakat Adat dan RUU MHA itu tergantung dengan siapa yang membacanya. Di konstitusi negara kita sudah jelas tercantum di Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, dan Pasal 3 UU Pokok Agraria tahun 1960. Masalahnya hingga saat ini belum disahkannya RUU Masyarakat Adat. Jika RUU tersebut disahkan maka akan mudah bagi kita untuk mengidentifikasikan subyek Masyarakat Hukum Adat. Lamanya proses ketuk palu pengesahan RUU Masyarakat Adat ini disinyalir karena adanya permainan di Prolegnas (Program Legislasi Nasional) di DPR RI. Salah satu Parpol besar yang menguasai kursi di DPR menolak disahkannya RUU ini karena akan menghambat masuknya investasi.

Sesi yang disampaikan oleh Wahidul Halim ini ditutup dengan memberikan masukan kepada peserta dari Kasepuhan Bongkok yang sedang memperjuangkan pengakuan hak hutan adat mereka. Diantara langkah-langkah yang harus dipersiapkan adalah dengan mempersiapkan data-data tentang sejarah, peta wilayah adat, kelembagaan adat, dan profil menyeluruh tentang Kasepuhan Bongkok; membuat legal opinion (pendapat hukum) yang akan dibantu rekan-rekan CSO seperti HuMa; berdiskusi soal kondisi Kasepuhan Bongkok; usaha melobi kepentingan kasepuhan dengan memuat berita acara dan surat resmi ke Pemkab Lebak; bergerak bersama kasepuhan lain dan rekan-rekan CSO; dan terakhir membaca konteks politik kedepan seperti Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Dengan adanya usaha persiapan ini diharapkan akan memudahkan bagi Kasepuhan Bongkok dalam memperoleh pengakuan hak hutan adat dan diakui sebagai subyek MHA secara legal dan politik.

Sesi terakhir penguatan kapasitas disampaikan oleh Sulaiman Ahmad dari JKPP. Sulaiman memberikan pemaparannya tentang Tantangan dan Peluang terhadap Akses Ruang. Bagi Sulaiman penting untuk masyarakat adat kasepuhan membuat pemetaan agar supaya mengetahui ruang hidupnya sendiri. Dalam pengamatan Sulaiman sendiri, permasalahan penataan ruang di Indonesia dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Data yang tersedia masih banyak yang bersifat indikatif (misalnya ditetapkan berdasarkan wilayah kawasan hutan, desa, dll).
  2. Proses penataan ruang yang masih bersifat top-down. Penentuan penataan ruang berdasarkan ketetapan pemerintah dan bukan berasal dari masyarakat yang dilibatkan.
  3. Penentuan ruang masih menganut “azas kepentingan” yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah daripada kepentingan masyarakat.
  4. Keterlibatan masyarakat dalam penentuan penataan ruang masih sangat minim.
  5. Belum terintegrasinya data-data peta yang dibuat masyarakat adat (peta partisipatif).
  6. Kebijakan Satu Peta (One Map Policy). Namun data dan informasi pemetaan tidak dilakukan secara partisipatif baik dalam prosesnya maupun hasilnya.

Dari rincian permasalahan penataan ruang ini Sulaiman menunjukkan bahwa data yang membuat pemetaan yang dilakukan pemerintah seringkali tidak tepat dan celakanya dalam kasus-kasus yang terjadi di tingkatan tapak ternyata produk pemetaan yang dibuat negara ini, sesal Sulaiman, “mohon maaf malah jadi acuan kepala desa”, dan maka dari itu di sinilah letak persoalan dari penataan ruang di Indonesia khususnya yang terjadi di wilayah pedesaan—yang notabene banyak ditempati oleh komunitas masyarakat adat sehingga terjadi tumpang tindih lahan dan klaim negara terhadap wilayah ulayat adat masyarakat adat.

Gb 6. Sulaiman Ahmad – JKPP, Menyampaikan Materi tentang Ruang dan Pemetaan Partisipatif. Foto: Erik Suhana

Dari penyampaian materi tentang Tantangan dan Peluang Atas Ruang ini direspon oleh beberapa peserta diantaranya Kang Mursid yang berbagi pengalamannya. Kang Mursid menyatakan bahwa sebelumnya aparat Pemda Lebak tidak mengetahui di Cirompang sudah eksis sebuah kasepuhan yang keberadaannya bahkan jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Di kesempatan ini Kang Mursid juga menyinggung tentang bagaimana masyarakat Kasepuhan Cirompang berjuang untuk mendapatkan pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat. Salah satu usaha yang dilakukan masyarakat adalah melakukan pemetaan partisipatif yang sudah dimulai di tahun 2009. Namun perjuangan tersebut butuh waktu 10 tahun lama sampai masyarakat mendapat Pengakuan Hutan Adat di tahun 2019. Kemudian Kang Mursid mengingatkan kepada kita semua bahwa betapa pentingnya pengetahuan tentang “ruang” dan kenapa itu penting? Hemat kang Mursid karena ada ruang-ruang yang memang sudah dipetakan namun dalam prosesnya ternyata dilakukan tidak partisipatif atau diketahui oleh masyarakat sejauhmana status ruang kita ini, tutup kang Mursid. Sementara untuk kasus Kasepuhan Bongkok, salah satu perwakilan Kasepuhan Bongkok menceritakan bahwa Kasepuhan Bongkok tidak tercatat dalam lampiran Perda No.8/2015 Kabupaten Lebak tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan masyarakat adat kasepuhan dan jika demikian maka apa yang harus kami lakukan?, gugatnya.  

Gb 7. Pemandu Acara, Fauzan Adima, Menutup Rangkaian Materi Penguatan Kapasitas. Foto: Erik Suhana

Sesi peningkatan kapasitas ini ditutup oleh pemandu acara yang merangkum seluruh materi yang selama seharian penuh telah disampaikan oleh pemateri. Mulai dari materi inklusi sosial, advokasi Masyarakat Hukum Adat dan Peluang dan Tantangan tentang Ruang. Pemandu acara mengajak kepada peserta untuk merumuskan materi-materi yang sudah disampaikan. Materi-materi ini setidaknya dapat menjadi bekal bagi peserta untuk ditindaklanjuti di masing-masing kasepuhan. Disamping itu, pemandu juga meminta para peserta menuliskan kolom kekhawatiran yang dirasakan tentang kondisi masing-masing peserta dan menjadi bahan pembelajaran bersama. 

Ditulis Oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)

Pembukaan Festival Pare Ketan 2023

Festival Pare Ketan diselenggarakan oleh Kisancang (Komunitas Pemuda Adat Cirompang) dan RMI—Indonesian Institute for Forest and Environment – Bogor, Gerakan Muda Cirompang dan Pemerintah Desa Cirompang. Festival ini juga didukung oleh Kemitraan, HuMa, Program Estungkara, dan Tenure Conference. Festival ini berlangsung selama tiga hari, Jumat 13 Oktober – 15 Oktober 2023 di Kp. Cirompang, Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak-Banten.

Gb 1. Baris Olot Menghadiri Acara Pembukaan Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana
Gb 1. Baris Olot Menghadiri Acara Pembukaan Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Festival Pare Ketan mengusung tema “Patepung Sararea Ngobrolkeun Ketahanan Pangan” ini dimaknai sebagai ajang silaturahmi antar 3 kasepuhan di Cirompang dan kasepuhan-kasepuhan lain seperti Pasir Eurih, Cibarani, Jamrut, Cibedug, Bongkok, dan Cibeas . Selain itu, festival ini juga mengundang perwakilan dari  komunitas adat Baduy, organisasi masyarakat sipil, pemerintah kecamatan, perangkat Pemerintah Daerah dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak. Terselenggarakannya festival ini merupakan inisiatif dari pemuda adat Cirompang untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya kasepuhan melalui kegiatan yang menyasar pada upaya menjaga nilai-nilai adat dan pengetahuan adat kasepuhan agar tidak hilang tergerus jaman. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengangkat kearifan lokal berupa pengelolaan sumberdaya hutan dan sistem ketahanan pangan di kasepuhan.

Nama “Pare Ketan” dipilih sebagai simbol dari kekayaan hayati yang dijaga oleh masyarakat adat kasepuhan dan juga dapat dimaknai sebagai ajang silahturahmi yang mempertemukan semua orang untuk membahas kedaulatan pangan dan upaya mewujudkan semangat para generasi muda kasepuhan dalam mempertahankan dan menjaga nilai-nilai adat dan pengetahuan adat tentang ketahanan pangan. Disamping itu, kegiatan festival ini membahas tantangan lain bagi pemuda dan masyarakat adat kasepuhan yaitu di era modern ini adalah bagaimana memastikan bahwa seluruh masyarakat, termasuk perempuan, anak-anak, kelompok rentan, dan mereka yang seringkali terpinggirkan turut serta dan mendapatkan manfaat dari pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam yang efektif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, Komunitas Pemuda Adat Cirompang (Kisancang) memandang perlu untuk menekankan pentingnya inklusi sosial sebagai salah satu pilar utama dalam kegiatan Festival Pare Ketan.

Gb 2. Prosesi Ritual Adat Untuk Kelancaran Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Kegiatan pembukaan Festival Pare Ketan diawali dengan pembacaan doa dan ritual berupa pembakaran kemenyan dan sesajen rujak (yang terdiri dari segelas kopi pahit, air putih, air kembang, dan kudapan) dan nasi tumpeng dari olot kasepuhan agar pelaksanaan festival mendapat kelancaran hingga selesai. Kaum ibu-ibu dari perwakilan tiga kasepuhan menabuhkan alun ke lesung dengan hentakan yang berirama sebagai bagian dari prosesi adat untuk sebuah penyelenggaraan acara festival. Setelah itu agenda pembukaan diisi oleh sambutan-sambutan dari Ketua Kisancang, Kepala Desa Cirompang, Tokoh Masyarakat, perwakilan kelembagaan adat kasepuhan, dan RMI. Dalam rangkaian acara pembukaan ini diakhiri dengan pembacaan Al-Quran dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Adapun untuk rangkaian acara selama tiga hari diisi oleh penampilan kesenian tradisional, pameran produk-produk pangan lokal dan cinderamata, reriungan Forum KAWAL, refleksi perjalanan perjuangan hutan adat di Kasepuhan Cirompang, pemaparan dari Kemitraan tentang inklusi dan kesetaraan jender, pemaparan dari HuMa yang membahas advokasi kebijakan dan peluang bagi penguatan masyarakat adat, pemaparan dari JKPP yang mengingatkan pentingnya pengetahuan tentang penataan ruang dan pemetaan partisipatif bagi masyarakat adat kasepuhan, sarasehan bersama aparatur Pemerintah Kabupaten Lebak dan sambutan Wakil Bupati Kabupaten Lebak. Di hari terakhir, Festival ditutup dengan pengumuman lomba dan penyerahan trofi kepada pemenang lomba serta ramah-tamah panitia.

Gb 3. Tetabuhan Alun di Lesung. Foto; Erik Suhana

Kegiatan festival dipusatkan di kantor Kepala Desa Cirompang. Panitia membuat sebuah panggung bagi kegiatan utama festival di halaman dan ruangan yang dijadikan forum diskusi dan tukar pendapat permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat kasepuhan. Jalur disepanjang menuju panggung utama disuguhi saung (stand) masing-masing RT dan kader Posyandu untuk menjajakan hasil bumi dan oleh-oleh seperti cempedak, nangka, petai, jengkol, sayur-mayur, cabe, tomat, durian, kecapi, manggis, labu, pisang, ubi, singkong, opak, gula aren padat, gula aren cair, dan aneka panganan lokal masyarakat kasepuhan lainnya. Sementara itu, perwakilan dari Forum KAWAL juga menjajakan produk-produk dan cinderamata masyarakat adat kasepuhan dan baduy seperti kopi, gula semut, kopi, kaos, selendang tenun, dan iket.

Kegiatan pembukaan Festival Pare Ketan ditutup sebelum dimulainya waktu shalat jumat. Dan kemudian di siang harinya dilanjutkan dengan kegiatan peningkatan kapasitas yang dibungkus dalam Forum KAWAL yang difasilitasi oleh perwakilan CSO kepada generasi muda kasepuhan dan diikuti dengan kegiatan ngawangkong (diskusi dan berbagi pendapat dan pengalaman) Forum KAWAL antar generasi muda kasepuhan dan perwakilan masyarakat adat Baduy. Di sesi Forum Kawal ini berisi refleksi dan peningkatan kapasitas teman-teman muda kasepuhan, anak muda Baduy, dan mitra mereka dari CSO yang diwakili oleh RMI, Kemitraan, JKPP dan HuMa.

Ditulis Oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)

Fina, Partisipan Perempuan Baru Forum KAWAL

Kasepuhan Bongkok tergabung dalam Forum KAWAL sejak pertemuan di Cangkuem, salah satu perkampungan Baduy, pada Desember 2022. Salah satu partisipan aktif Forum KAWAL[1] dari Kasepuhan Bongkok tersebut adalah perempuan berusia 16 tahun bernama Fina. Setiap harinya ia memiliki kegiatan yang cukup padat. Mulai dari bersekolah, berkegiatan dalam OSIS[2], berkegiatan ekstrakurikuler rohani Islami dan ngobong[3]. Ia berangkat ke sekolah pukul 07.30 dan pulang pukul 17.00 petang. Setelah maghrib, ia ngobong sampai pukul 22.00 malam dan tiba di rumah pukul 22.30 malam. Melakukan banyak hal dalam satu waktu membuat waktunya banyak sekali tersita, belum lagi pekerjaan-pekerjaan domestik yang harus ia kerjakan.

Fina dan Abah Maman sedang mengobrol

Fina merupakan satu dari enam partisipan yang berasal dari Kasepuhan Bongkok yang tergabung dalam komunitas Burakok[4] yang didirikan pada tahun 2022. Forum KAWAL sesi kelima yang diselenggarakan pada tanggal 26-28 Mei 2023 di wilayah adat Kasepuhan Pasir Eurih adalah forum pertama yang diikutinya. Ia menganggap pengalaman ini menarik dan bermanfaat baginya untuk lebih aktif di masyarakat.

“Kayaknya seru. Terus menambah pengalaman juga ke Finanya. Terus, kayaknya, ini yang bikin Fina lebih aktif deh di masyarakat. Jadi Fina lebih tau. Kan Fina gak tahu sama sekali kalau di (Kasepuhan) Bongkok itu ternyata belum merdeka (wilayah adatnya masih belum diserahkan oleh negara) kan, (gak) kayak di Pasir Eurih[5]. Fina cuman tau disini (forum KAWAL) aja. Disana tuh Fina gak pernah diceritain kalau di Bongkok itu belum merdeka.”

Fina sedang mengikuti Ice breaking.

Forum KAWAL seri kelima ini mewadahi peserta untuk menggali dan merefleksikan pengalaman personal; merencakana perencanaan kelompok/komunitas; dan pengenalan dan simulasi pemetaan partisipatif melalui berbagai sesi yang dibagi ke dalam tiga hari. Fina terlibat dan mengikuti setiap sesi dengan antusias. Meskipun interaksinya terbatas pada teman-teman peserta perempuannya lainnya dan beberapa orang yang sudah ia kenali. Meskipun ia masih canggung untuk mengutarakan pendapatnya dalam diskusi besar, ia aktif ketika dalam diskusi kelompok. 

Dalam sesi “Sepanjang Jalan Kenangan” yang bertujuan menceritakan pengalaman personal peserta, Fina dan peserta diajak berefleksi melalui media gambar gelombang naik-turun yang menggambarkan jatuh-bangkit kehidupan, bagaimana cara bangkit dari situasi sulit dan siapa saja yang terlibat dalam prosesnya. Sesi ini membuat Fina lebih bersyukur dengan merefleksikan orang-orang yang yang berjasa dalam hidupnya. Sepanjang hidupnya, ia sempat keluar masuk pesantren karena ditinggalkan teman dekat hingga pindah ke Kampung Bongkok dan mulai beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru dan aktivitas baru.

Hari selanjutnya, dalam sesi perencanaan kelompok/komunitas, Fina beserta anggota Burakok lainnya melihat kembali kelompok dan kampungnya lalu mencoba merencanakan tujuan bersama dalam kurun waktu satu tahun kedepan. Proses ini digambarkan melalui rute jalan perencanaan tujuan kelompok. Nampaknya mereka berencana untuk memajukan salah satu obyek wisata potensial yang ada di Kasepuhan Bongkok. Meskipun begitu mereka sadar bahwa rencana tersebut merupakan rencana jangka panjang yang memerlukan banyak langkah-langkah kolektif untuk mencapainya, termasuk para orang muda di kampunya. Di sisi lain, menyoroti kampungnya, Fina menambahkan bahwa pemuda-pemudi yang telah lulus SMA jarang menetap di Kampung Bongkok: “Disana tuh gak ada pemuda yang udah lulus SMA. Di Bongkok itu, mayoritasnya, kalau udah SMA, dia kerja di luar kota.”

Selanjutnya, dalam sesi pemetaan partisipatif, peserta Forum KAWAL diberikan materi pengantar pemetaan partisipatif oleh Slamet Widodo, Community Organizer RMI yang mengaitkan urgensi pemetaan partisipatif dengan tata laksana pembangunan nasional:

“Selama ini peta menjadi acuan tata ruang dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Tapi sayang, pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha dan kurang memperhatikan hak-hak masyarakat setempat sehingga sering terjadi penyerobotan lahan, tumpang tindih kawasan, ketidajelasan tata batas dan sebagainya. Masyarakat yang hidup dan bekerja di wilayah itulah yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai wilayahnya. Hanya mereka yang bisa membuat peta secara lengkap dan akurat mengenai sejarah, tata guna lahan, pandangan hidup dan harapan masa depannya.”

Pemetaan partisipatif—yang menjadi salah satu materi yang dirasa paling dibutuhkan oleh peserta Forum KAWAL—menarik perhatian peserta karena dilengkapi dengan pengenalan perangkat pemetaan, tukar cerita pengalaman pemetaan partisipatif oleh Carik Jajuli dari Kasepuhan Pasir Eurih, dan simulasi kelompok untuk melakukan pemetaan partisipatif. Fina yang terlibat langsung dalam sesi ini mengatakan bahwa:

“… KAWAL itu membantu sebagai wadah. Kalau misalkan di wilayah kita mau ada pemetaan, nanti dibantu sama KAWAL. Tadinya Fina gak bisa pake GPS, baru belajar juga kemarin. Terus pokoknya banyak banget (yang didapat) karena Fina baru. Menariknya GPS ini abis belajar langsung dipraktekin.”

Sebagai peserta baru, Fina cukup antusias mengikuti kegiatan Forum KAWAL. Antusiasmenya terlihat dari keinginannya untuk ikut kegiatan Forum KAWAL selanjutnya yang menurutnya adalah kegiatan yang membuatnya berpikir kritis. Selain itu Fina mengaku ingin mengetahui lebih dalam mengenai hutan adat yang masih asing dimatanya.

Fina, dengan kesehariannya menghabiskan waktu sekitar 13 jam di sekolah dan pesantren, memiliki waktu yang lebih minim untuk terlibat dalam proses-proses yang tengah terjadi di kampungnya. Sedangkan sebagai perempuan yang bertempat tinggal dan beraktivitas di wilayah adat Kasepuhan Bongkok, Fina juga memiliki banyak keterbatasan-keterbatasan termasuk dalam Forum KAWAL itu sendiri. Sejauh ini interaksinya terbatas pada peserta perempuan lain dan beberapa yang ia sudah kenal.

Tanpa mengecilkan usaha afirmatif fasilitator di lapangan kepada peserta perempuan dengan sering-sering mengajukan pertanyaan khusus bagi mereka (“ti perempuanna kumaha? Aya nu rek dicaritakeun?”[6]), usaha tersebut belum mampu memantik mayoritas peserta perempuan untuk mengutarakan pendapatnya. Entah karena merasa tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman, entah karena takut salah berpendapat, entah karena tidak berminat atau faktor-faktor lain yang merintanginya; namun yang jelas kehadiran Fina sebagai peserta baru Forum KAWAL merupakan langkah baik yang perlu disyukuri di tengah pusaran lemahnya artikulasi konsep partisipasi orang muda dan perempuan di konteks Kasepuhan.


[1] Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak

[2] Organisasi Intra Sekolah

[3] Santri di suatu ‘Kobong’ dalam bahasa Sunda yang artinya ‘pesantren’ dalam bahasa Indonesia.

[4] Budak Ngora Kampung Bongkok (pemuda kampung bongkok)

[5] Salah satu Kasepuhan yang sudah mendapatkan SK Hutan Adat.

[6] Dari perempuannya bagaimana? Ada yang mau diceritakan?


Penulis: Rifky P.K.

Editor: Supriadi