Semiloka “Hutan adat untuk Kesejahteraan Lahir batin Masyarakat Adat”

Wangunjaya, Rabu 25 September 2024 – Dalam rangka memperkuat pengakuan dan perlindungan terhadap hutan adat, semiloka bertajuk “Hutan Adat untuk Kesejahteraan lahir Batin Masyarkat Adat” acara ini diinisiasi oleh masyarkat adat Kasepuhan Jamrut dengan dukungan dari berbagai pihak, termasuk Kementrian Pendidikan, Kebudayan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Melalui Dit.KMA, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Lebak, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), dan Perkumpulan HuMa.

Semiloka ini menjadi momentum penting dalam Upaya pengakuan hutan adat sebagai wilayah Kelola Masyarakat adat yang berkelanjutan. Kasepuhan Jamrut, sebagai salah satu masyarkat adat di Kabupaten Lebak, telah lama menjaga kelestarian hutan sebagai bagian integral dari kahidupan mereka. Melalui Semiloka ini, berbagai pihak berkumpul untuk membahas Langkah-langkah yang perlu dilakukan agar wilayah hutan adat dapat di akui secara resmi oleh pemerintah.

Dalam Sambutan Sekdes Wangunjaya (Pemdes) – Beberapa bulan terakhir kami warga Kasepuhan Jamrut sudah melakukan proses pemetaan lapangan didampingi oleh teman- teman dari RMI, JKPP dan Forum KAWAL

Status lahan di Desa Wangunjaya ini ada 3 status:

  1. Tanah Milik Taman Nasional (kami harap dengan adanya proses pemetaan ini mudah- mudahan menjadi awal mula dari kepemilikan masyarakat adat.
  2. Milik Perum PERHUTANI, dengan adanya kegiatan ini mudah- mudahan harapan kami hak milik dapat berubah
  3. HPL (PT. Pertiwi Lestari) kami juga sebagian menduduki hak milik tersebut

Mudah- mudahan kedepannya kami bisa lebih sejahtera dengan memiliki legalitas hak atas tanah masyarakat adat kami sendiri yang sudah sejak lama kami tempati untuk hidup sehari- hari secara turun temurun.

Pihak Dit.Kepercayaan Masyarakat Adat (Kemendikbutristek RI)

Data dari KLHK ada 137 Hutan Adat yang sudah mendapatkan SK, karena yang memiliki kewenangan menerbitkan SK Hutan adat adalah KLHK sementara Kemedikbud memberikan dukungan untuk memajukan objek dari Hutan Adat

KMA bisa membantu proses verifikasi dalam proses penetapan Hutan Adat (Masukan untuk melakukan verifikasi secara bersam- sama)

Dari KMA turut berpartisipasi dalam upaya mendorong pengakuan hutan adat

Berkaitan dengan kegiatan ini mudah- mudahan bisa menjadi awal untuk melakukan diskusi menuju kearah pengajuan SK Hutan Adat. Harapannya dari kegiatan ini bapak ibu semua memperoleh informasi terkait hutan adat dan bisa mendorong untuk mempercepat SK Hutan Adat, selain itu Dinas Lingkungan Hidup Kab.Lebak menyatakan bahwa pihaknya siap bekerja sama untuk mempersecepat proses adminitrasi pengakuan hutan adat diwilayah kasepuhan jamrut.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) juga berperan penting dalam memfasilitasi pemetaan wilayah adat secera partisipatif, sebagai salah satu langkah awal menuju pengakuan resmi. Sementara itu, Perkumpulan Huma – Definisi Politik Hukum dalam buku Ilmu Hukum by Satjipto Rahardjo Ketidakadilan Agraria sudah terjadi prakteknya selama ini di Indonesia.

Proses pengajuan Hutan Adat adalah proses yang panjang dan tidak instant, oleh karena itu masyarakat adat harus memiliki konsistensi dan juga keterikatan yang solid antar satu sama lain dalam memperjuangkan wilayah adat mereka. Masyarakat sudah mulai sadar bahwa selama ini pemerintah belum menganggap masyarakat hidup dan berkegiatan didalam wilayah hutan yang merupakan bagian dari kehidupan mereka.

Ada 3 jenis Hutan yang ditetapkan oleh Undang- undang, yaitu: Hutan Negara, Hutan Hak dan Hutan Adat. Setiap kasepuhan yang sudah diakui oleh Perda berhak mendapatkan hak mereka terhadap wilayah adat mereka masing- masing berdasarkan Perda Lebak tentang kasepuhan.

Dengan berakhirnya Semiloka ini, diharapkan Langkah-langkah konkret segera dilakukan oleh semua pihak terkait, guna mempercepat pengakuan hutan adat yang akan memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan Masyarakat adat, kelestarian lingkungan, dan perlindungan hak- hak Masyarakat Adat di Indonesia.

Penulis :

Deki Maulana (Forum Kawal)

Kampung Katong

Judul Buku:

Kampung katong: Membangun dari Kampung

Penulis:

Ardy Milik

Penerbit:

RMI—Indonesian Institute for Forest and Environment

Tahun Terbit:

Desember 2023

Identitas Buku:

ix+110 hlm, 12 x 219 cm

ISBN: Sedang dalam Proses

Sinopsis:

Buku Kampung Katong – Membangun Dari Kampung  menuliskan kiprah orang muda yang “pulang”—bersolidaritas untuk “membangun dari kampung”. Buku ini bercerita tentang segelintir orang muda NTT yang memutuskan “Pulang” untuk merespons keresahan atas apa yang terjadi di kampung. Pulang yang tidak disimplifikasi dengan kehadiran fisik belaka, namun dikerahkannya juga pikiran dan aksi swadaya orang muda untuk mengatasi persoalan di kampungnya dengan pengorganisasian warga aktif sebagai basis gerakan.

RMI-Indonesia Institute for Forest and Environment, selaku organisasi yang berfokus pada isu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang inklusif dan berkelanjutan, melihat bahwa komunitas seperti Lakoat.Kujawas di Mollo, SimpaSio Institute di Larantuka, dan Kolektif Videoge di Labuan Bajo, berada pada benang merah perjuangan yang sama. Perjuangan tersebut adalah mengupayakan dekolonialisasi melalui reproduksi pengetahuan lokal secara swadaya dan menanggapi permasalahan lokal di wilayah masing-masing.

Dekolonisasi yang diartikan sebagai proses melepaskan diri dari berbagai pengaruh kolonialisme, berupaya memposisikan realita lokal sebagai acuan utama dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi komunitas sehari-hari. Dengan dekolonisasi, pengetahuan dan identitas lokal menjadi kompas dari penyelesaian berbagai permasalahan sosial-lingkungan, budaya, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, hingga keberlanjutan ruang hidup dan penghidupan.

PDF Loading...

Press Release Koalisi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat dalam “Talkshow RUU Masyarakat Adat-#SahkanRUUMasyarakatAdat”

RUU Masyarakat Adat Menyatukan Keberagaman, Melindungi Hak-Hak Masyarakat Adat, dan Memperkuat Prinsip-prinsip Kebangsaan

[Jakarta, 9 September 2020] Koalisi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat meminta agar Pemerintah dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Perwakilan pemerintah yang diwakili oleh Kementerian ATR/BPN RI, Kementerian Sosial, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan mendukung percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat dalam paparannya pada Talkshow RUU Masyarakat Adat dengan tema #SahkanRUUMasyarakatAdat yang dilaksanakan pada 9 September 2020.

Rukka Sombolinggi,Sekretaris Jenderal AMAN menyampaikan bahwa RUU Masyarakat Adat dimaksudkan untuk menjembatani hubungan antara Masyarakat Adat dan negara agar tidak ada lagi kasus kriminalisasi, seperti yang dialami oleh Effendy Buhing di Laman Kinipan Lamandau karena mempertahankan hak-hak tradisionalnya.

“Apalagi saat pandemi ini membuktikan bahwa masyarakat adat mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan,” kata Rukka.

Namun Draft RUU Masyarakat Adat ini masih jauh dari harapan, karena masih belum mampu menjawab permasalahan terkait Masyarakat Adat. “Perlu untuk menambahkan klausul restitusi dan rehabilitasi terkait pemulihan terhadap pelanggaran hak masa lalu, yang bisa dilakukan lewat peraturan presiden atau peraturan pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan lewat lembaga yang permanen,” tambah Rukka. “Serta penting untuk memastikan bahwa dalam RUU ini perlu mengatur perlindungan terhadap perempuan adat.”

Pemerintah wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat atas wilayahnya, hak atas status kewarganegaraan, hak atas penyelenggaraan pemerintahan, hak atas identitas budaya dan spiritualitasnya, hak atas pembangunan, hak atas lingkungan, hak atas persetujuan dini tanpa paksaan, serta hak-hak perempuan adat.

Demikian pula pemerintah harus mencegah pengusiran Masyarakat Adat atas ruang hidupnya, melindungi Masyarakat Adat dari perampasan tanah oleh korporasi dan kebijakan pemerintah, dan memberikan pengakuan atas keberadaan beserta hak-haknya.

Pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Adat dan wilayahnya, juga hak-hak lainnya semestinya tak perlu menanti terbitnya Peraturan Daerah. Pengakuan harus dipermudah untuk mendorong perlindungan terhadap Masyarakat Adat.

Devi Anggraini, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN menekankan perlunya data terpilah berdasar etnis dan jenis kelamin, sehingga identifikasi eksistensi Masyarakat Adat menjadi jelas. “Selain itu, penting juga menambahkan hak kolektif perempuan adat secara spesifik diatur dalam UU Masyarakat Adat,” ungkap Devi.

Dahniar Andriani, Direktur Perkumpulan Huma meminta pemerintah agar melihat kembali TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang memandatkan penyelesaian konflik agraria termasuk di wilayah Masyarakat Adat.

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional menyatakan bahwa Permendagri No. 52 Tahun 2014 adalah hasil kesepakatan lintas kementerian dan lembaga yang prosesnya difasilitasi oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat pada waktu itu. “Permendagri ini adalah kesepakatan untuk menerobos biaya yang sangat besar dan proses politik yang rumit di tingkat daerah, dengan cukup lewat SK Bupati atau SK Gubernur untuk penetapan keberadaan Masyarakat Adat dan Wilayah Adatnya. Maka seharusnya KLHK mengikuti kesepakatan itu,” kata Abdon.

“Selain itu, One Map Policy harusnya memasukkan peta wilayah adat bersama peta-peta lainnya. Dengan One Map Policy, seharusnya seluruh tumpang tindih akan terlihat. Namun sayangnya One Map Policy sendiri saat ini menjadi tertutup, dan hanya bisa diakses oleh pejabat-pejabat pemerintah. Demikian pula Wali Data untuk wilayah adat sampai hari ini belum ada kejelasan. Karena itu, lewat Pengesahan RUU Masyarakat Adat ini bisa memperjelas bagaimana mekanisme penyediaan peta dan Wali Datanya,” tambah Abdon.

Hingga saat ini, sudah terpetakan wilayah adat yang dikonsolidasikan oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) seluas 11,1 juta Ha dan sudah diserahkan kepada walidata di Kementerian terkait. Peta-peta dan data tersebut merupakan hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat adat maupun lokal.

“Ini membuktikan bahwa Masyarakat Adat sungguh-sungguh mendorong Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) sebagai dasar untuk menata ulang pembangunan nasional yang selama ini penuh konflik, tumpang tindih ruang maupun kerusakan lingkungan” ujar Deny Rahadian, Koordinator Nasional JKPP.

“Untuk itu, Koalisi juga menuntut agar Kementerian ATR/BPN mengedepankan prinsip transparansi dengan membuka data HGU dalam penyelesaian konflik agraria di wilayah adat, serta mengembalikan tanah-tanah adat yang dirampas oleh korporasi,” kata Khalisah Khalid, Kepala Desk Politik WALHI.

Demi terwujudnya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat serta seluruh hak konstitusionalnya, penyusunan RUU Masyarakat Adat bersama masyarakat menjadi prioritas DPR RI saat ini. RUU Masyarakat Adat yang diusulkan oleh Koalisi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat bukan saja membantu DPR RI dalam proses penyusunan, melainkan proses membangun demokratisasi rakyat dalam pembentukan perundang-undangan yang lebih baik.

“Menunda-nunda pengesahan RUU Masyarakat Adat berarti negara telah gagal melindungi masyarakat adat. Pemerintah harus tahu adat dalam bernegara.” kata Laode M Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. [ ]

 

oooOOOooo

Koalisi KOALISI CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari 30 koalisi yang terdiri dari AMAN, BRWA, Debtwatch Indonesia, Epistema, Forum Masyarakat Adat Pesisir dan pulau-pulau kecil, HuMa, ICEL, JKPP, Kalyanamitra, KIARA, Kemitraan, Koalisi Perempuan Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Lakpesdam, Yayasan Madani Berkelanjutan, Lokataru, merDesa Institute, PEREMPUAN AMAN, Protection International Indonesia (YPII), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, RMI, Sawit Watch, Satu Nama, Walhi, Yayasan Jurnal Perempuan, YLBHI, BPAN, Kaoem Telapak, KP-KKC Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), dan EcoNusa.

 

Kontak Media:

Luluk Uliyah, 0815 1986 8887

Muntaza 0822 1325 6387

Edo Rahman, 0813-5620-8763