Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Jakarta. 9 Agustus. Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) diperingati setiap tahunnya pada tanggal 9 Agustus. Momen bersejarah bagi Masyarakat Adat ditandai dengan keberhasilan menyuarakan kepentingannya di forum Internasional pada tahun 1994. Pada gilirannya perjuangan Masyarakat Adat di dalam pertemuan global mendorong adanya Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP, United Nations Declarations on the Rights of Indigenous Peoples).

Pemerintah Indonesia merupakan salah satu dari 144 negara yang mendukung pengesahan deklarasi tersebut di Sidang Umum PBB pada 13 September 2007. Akan tetapi sudah hampir 13 tahun sejak UNDRIP disahkan, Indonesia belum juga memiliki UU Masyarakat Adat. RUU Masyarakat Adat saat ini masuk di dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegas) DPR Tahun 2020. Sejak tahun 2013, berkali-kali RUU tersebut keluar masuk Daftar Prolegas DPR RI.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat melihat saat ini Indonesia, dengan adanya pandemi covid-19, menghadapi krisis yang struktural pada hampir keseluruhan aspek kehidupan manusia. Situasi krisis inilah seharusnya menjadi pertimbangan Pemerintah dalam mengesahkan kebijakan berdasar pada Hak Asasi Manusia dan Lingkungan.

Deforestasi telah berkontribusi besar terjadinya perubahan iklim global. Dampak perubahan iklim di Indonesia dapat dilihat bencana rutin tahunan berupabanjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. Indonesia kurun satu dekade antara tahun 2005-2015 telah kehilangan 1,4 juta hektar hutan. Berdasarkan data Sistem Pemantauan Hutan Nasional (2019), pada tahun 2016-2017 deforestasi di
Indonesia sebesar 0,48 juta hektar.

Laporan United Nations Environment Programme (2016) menyebutkan aktivitas pembukaan skala luas lahan pertanian, industrialisasi dan deforestasi mengakibatkan perubahan lingkungan. Perubahan tersebut menjadi penyebab utama kemunculan jenis penyakit yang penularannya berasal dari hewan (zoonosis). Para akademisi UI pada awal Agustus lalu juga menyatakan bahwa tingginya laju deforestasi menyebabkan perubahan iklim global telah mempercepat pola penyebaran jenis penyakit menular seperti covid-19, SARS ataupun MERS.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menegaskan bahwa “berbagai krisis yang terjadi sama sekali tidak membuat negara ini berubah. Investasi dibiarkan terus merusak Alam. Negara dan korporasi jadi aktor utamanya. Situasi saat ini malah dimanfaatkan korporasi perusak lingkungan untuk menggusur masyarakat adat, merampas bahkan membunuh pejuang agraria dan lingkungan hidup yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dan keberlanjutan alam.”

Di tengah kebijakan sumberdaya alam yang eksplotatif, Masyarakat Adat di Indonesia membuktikan mampu menjaga dan melestarikan hutan seluas 574.119 hektar. Yosi Amelia, Project Officer KLIMA Yayasan Madani Berkelanjutan menyatakan “Masyarakat Adat memiliki peranan penting dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia. Praktik-praktik arif masyarakat adat dalam menjaga hutan adat terbukti mampu menjaga hutan tetap lestari.”

Dalam konteks perubahan iklim, praktik-praktik menjaga hutan yang dilakukan Masyarakat Adat terbukti mampu menghentikan penurunan tutupan hutan dan dapat berkontribusi hingga 34,6% terhadap pemenuhan target NDC Indonesia dari pengurangan deforestasi. “Kerja bersama berbagai pemangku kepentingan dalam penyelamatan hutan di wilayah adat sangat penting dilakukan untuk memastikan pelaksanaan komitmen pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dan 41% dengan bantuan internasional dapat terlaksana”, tambah Yosi.

Berdasarkan data BRWA, sampai Agustus 2020 ini telah terdaftar 863 peta wilayah adat dengan luas mencapai 11,09 juta hektar. Dari jumlah tersebut telah ada penetapan pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat seluas 1,5 juta hektar melalui peraturan daerah dan surat keputusan kepala daerah.

Menurut Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) “Konstitusi kita telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat di Indonesia, namun Pemerintah sampai saat ini tidak memiliki sistem administrasi Masyarakat Adat.”

Ketiadaan sistem administrasi Masyarakat Adat menimbulkan ketidakjelasan integrasi Peta Tematik Wilayah Adat dalam Kebijakan Satu Peta. Pemerintah Daerah telah menetapkan keberadaan Masyarakat Adat, namun peta-peta Wilayah Adat tidak dapat diintegrasikan dalam geoportal Kebijakan Satu Peta karena tidak ada wali data peta tersebut di Kementerian dan Lembaga pemerintah.

“Ketiadaan sistem administrasi Masyarakat Adat mengakibatkan Masyarakat Adat, Wilayah Adat dan kearifan lokalnya tidak menjadi rujukan dalam keseluruhan sistem pengaturan tenurial dan perencanaan pembangunan. Akibatnya, Masyarakat Adat selalu dan akan menjadi korban pembangunan dan tidak terlindungi hakhaknya,” demikian tegas Kasmita Widodo.

Krisis agraria yang sistemik dan kronis akibat investasi bercorak kapitalistik terus-menerus melestarikan konflik agraria dan tenurial di tengah Masyarakat Adat. Merujuk data AMAN, pada tahun 2019 terdapat 125 komunitas adat yang menjadi korban konflik sumberdaya dan tersebar di hampir sepertiga wilayah Indonesia. Sementara HuMa memperlihatkan bahwa di tahun 2018 merebak ratusan
konflik sumberdaya alam yang melibatkan areal lahan seluas 2,1 juta hektar. Sedikitnya 176.637 warga adat menjadi korban atas konflik tersebut.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengingatkan, “Bisnis-bisnis berbasis agraria itu telah berjaya di atas penyingkiran wilayah adat. Parahnya, investasi borcorak kapitalistik yang masuk memiliki pandangan bahwa masyarakat adat memiliki sistem ekonomi yang terbelakang, belum maju secara ekonomi modern. Sementara indeks kebahagiaan (wellbeing)
Masyarakat Adat jauh lebih tinggi alias bahagia lahir batin.”

Rencana investasi yang tak dibarengi dengan perlindungan atas Hak-Hak Masyarakat Adat akan diikuti dengan konflik. Hal tersebut berdampak pada adanya ketidakpastian usaha dan tambahan biaya-biaya yang dikeluarkan investor untuk merespon konflik yang terjadi.

Dewi menegaskan “investasi di wilayah adat adalah investasi dari masyarakat adat dan untuk masyarakat adat sendiri dalam rangka memajukan kemandirian berdasarkan perlindungan dan pengakuan wilayahnya. Dengan begitu kerjasama investasi dengan dunia usaha perlu mengedepankan suara dan kepentingan Masyarakat Adat”.

Ketiadaan UU sebagai payung hukum perlindungan dan pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat juga membuka ruang ‘remang-remang’ untuk tumbuhnya korupsi investasi di aspek sumberdaya alam. Kerugian negara diperkirakan dari ratusan hingga triliun rupiah dari investasi berbasiskan sumberdaya alam. Dari hasil Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan (2014)
memperlihatkan dari 40 kasus yang diinkuirikan terdapat investasi yang beroperasi illegal.
 
Laode M. Syarif Ph.D, Direktur Eksekutif KEMITRAAN menegaskan bahwa “Salah satu penyebab rusaknya tatanan berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah maraknya praktik korupsi. Korupsi sangat kejam karena merenggut hak setiap warga negara dan merusak sendi-sendi utama negara yang demokratis.”

Tata kelola kebijakan di aspek sumber daya alam harus dibangun melalui proses yang transparan dan mengutamakan nilai-nilai anti-korupsi, agar memberikan kepastian dan kemaslahatan bagi masyarakat umum. “Oleh karena itu, momentum pengesahan RUU Masyarakat Adat diharapkan dapat meningkatkan kualitas tata kelola sumber daya alam di Indonesia dan dapat mencegah praktikpraktik korupsi yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan sumber daya alam” tegas Laode.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan adat baik di ranah Negara maupun di ranah Masyarakat Adat. Tradisi masih saja digunakan menjadi pembenaran atas perlakuan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan adat. RUU Masyarakat Adat perlu diletakkan sebagai landasan hukum yang mengikat Negara, Investasi dan Masyarakat Adat
untuk memastikan interaksi dan praktik antarketiganya serta di dalam masyarakat adat itu sendiri didasarkan pada Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan.

Negara c.q. Pemerintah dan DPR perlu melihat lebih jauh dalam menyelesaikan persoalan krisis yang dihadapi masyarakat Indonesia. Penting bagi Negara untuk memosisikan diri sebagai penegak konstitusi masyarakat adat. Pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan saja perkara Negara melindungi dan memenuhi Hak-Hak Masyarakat Adat. Lebih daripada itu, pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan bagian dari menyelamatkan rakyat Indonesia.

Karena itu Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak supaya Pemerintah dan DPR menjalankan keseluruhan mandat konstitusi masyarakat adat di atas dijalankan secara sistemik dan nasional, maka Negara wajib menyadari urgensi RUU Masyarakat Adat untuk segera disahkan.

***
Narahubung:
• Nur Hidayati, WALHI, (+62) 813 1610 1154

• Laode M. Syarif Ph.D, KEMITRAAN, (+62) 8111 899 689
• Kasmita Widodo (+62) 815 1 3024 601
• Yosi Amelia, Yayasan Madani Berkelanjutan, (+62) 813 2217 1803

• Dewi Kartika, Konsorsium Pembaharuan Agraria, (+62) 813 9447 5484

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat adalah Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal RUU Masyarakat Adat yang terdiri atas 27 organisasi, beserta individu-individu pemerhati Masyarakat Adat, lingkungan dan Perempuan Adat. Organisasi di dalam Koalisi ini terdiri atas AMAN, BRWA, DebtWatch, Epistema, Format P, HuMa, ICEL, JKPP, Kalyanamitra, KIARA, KEMITRAAN, KPI, KPA, LAKPESDAM NU, MADANI, LOKATARU, Merdesa Institute, PEREMPUAN AMAN, Protection International Indonesia, PPMAN, RMI, Sawit Watch, SatuNama, Walhi, YLBHI dan YJP.

Siaran Pers “KOALISI HUTAN ADAT TOLAK RUU CIPTA KERJA”

Jakarta, 16 Juli 2020. Koalisi Hutan Adat mengirimkan surat penolakan pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja. Koalisi Hutan Adat terdiri dari duabelas Lembaga yang fokus mendorong pengakuan dan penetapan wilayah adat masyarakat hukum adat sesuai amanat konstitusi dan Putusan MK 35/PUU-X/2012 mengirimkan surat penolakan RUU Cipta Kerja.

Surat penolakan bertanggal 16 Juli 2020, yang ditujukan kepada Presiden RI dan Pimpinan DPR RI berisikan sembilan alasan untuk menolak pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja. Sembilan alasan yang mendasari penolakan terhadap RUU Cipta kerja ini mencakup:

  1. Penyusunan RUU Cipta Kerja tidak melibatkan masyarakat hukum adat sebagai pihak yang paling terdampak dari adanya aturan-aturan terkait dengan lingkungan hidup dan pembukaan lahan untuk investasi.
  2. RUU Cipta Kerja menghidupkan kembali pasal inkonstitusional yang dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 95/PUU-XII/2014 mengecualikan masyarakat hukum adat dari pihak yang diancam dipidana karena memanen atau memungut hasil hutan serta mengembalakan ternak di dalam kawasan hutan tanpa izin.
  3. RUU Cipta Kerja menambah kewenangan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah melalui Peraturan Presiden.
  4. RUU Cipta Kerja justru mengukuhkan adanya tumpang tindih dan ketidakjelasan pengakuan masyarakat hukum adat dalam UU sektoral.
  5. RUU Cipta Kerja justru memfasilitasi perampasan tanah masyarakat hukum adat. Misalnya dengan adanya bank tanah; jangka waktu HGU, HGB dan hak pakai sampai 90 tahun yang bahkan lebih lama dari aturan kolonial; perluasan alasan pembukaan lahan untuk kepentingan umum; dan penghapusan larangan bagi perusahaan perkebunan untuk menelantarkan tanah.
  6. RUU Cipta Kerja justru akan menambah pengangguran dan memperlebar jurang kesejahteraan karena menghilangkan pencaharian tradisional masyarakat hukum adat.
  7. RUU Cipta Kerja menghilangkan berbagai instrumen dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang akan mengakibatkan bencana ekologis.
  8. RUU Cipta Kerja menghapus dan/atau melonggarkan ancaman pidana bagi perusahaan perusak lingkungan. Sebaliknya, justru menambahkan aturan-aturan baru yang dapat digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat hukum adat. Dan
  9. Perempuan adat menjadi semakin rentan karena pengetahun tradisional yang diampu terancam hilang, terancam termiskinkan karena perampasan lahan dan bencana ekologis, serta semakin kuatnya ketidakadilan gender.

Koalisi Hutan Adat bersimpulan, RUU Cipta Kerja ini berpotensi melanggar hak-hak dan merampas ruang hidup masyarakat hukum adat, serta merugikan dan membahayakan keselamatan masyarakat hukum adat terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Oleh karenanya, Koalisi Hutan Adat menolak pembahasan dan rencana pengesahan RUU Cipta Kerja[.]

Narahubung:

DEMA. Hp. 087878960001

 

Koalisi Hutan Adat: (1) AKAR Foundation Bengkulu; (2) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan; (3) Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA)Aceh; (4) KKI Warsi; (5) LembagaBela Banua Talino (LBBT) Pontianak; (6) PADI Indonesia; (7) Perkumpulan Bantaya; (8) PerkumpulanHuma Indonesia; (9) Perkumpulan Qbar; (10) Perkumpulan Wallacea; (11) RMI (The Indonesian Institute for Forest and Environment); (12) Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah.

Policy Brief RUU Masyarakat Adat

Jika mendengar istilah ‘Masyarakat Adat’, masyarakat umum akan merujuk kepada sekelompok orang yang tinggal di perkampungan mengenakan baju adat, dan kerajinan tangan “etnik” yang menjadi cindera mata saat berkunjung ke daerahnya. Seromantis dan sesederhana itukah?

Terkait dengan definisinya dalam pandangan  semantik, normatif, dan politis, ada perdebatan panjang tentang apa dan siapa itu Masyarakat Adat.

Namun secara konseptual, sulit dipungkiri bahwa Masyarakat Adat dikenal oleh khalayak umum (terutama mereka yang lahir, besar, dan tinggal di wilayah urban) sebagai kelompok masyarakat yang terbelakang, terkungkung, dan minim akses layanan publik, namun sekaligus sebagai simbol pariwisata, hidup bahagia sentosa tanpa konflik yang berarti.

Bukan pula fakta yang asing bahwa masyarakat kebanyakan tidak menganggap keberadaan masyarakat adat memberikan dampak signifikan terhadap keberlangsungan keanekaragaman hayati ibu bumi. Tidak ada yang betul-betul menyadari peran dari Masyarakat Adat sehingga mereka sering kali terpinggirkan dalam berbagai rencana pembangunan bernuansa neo-liberalisme yang dilakoni pemerintah saat ini.

Padahal pada kenyataannya, praktik pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh Masyarakat Adat, selain berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan hidup, juga dapat memberikan kontribusi ekonomi. Riset yang dilakukan AMAN (2018) menunjukan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di enam wilayah adat menghasilkan Rp 159,21 miliar per tahun, dan nilai jasa lingkungan mencapai Rp 170,77 miliar per tahun, dan hal ini berpotensi mendorong perekonomian di daerahnya.

Bahkan Konvensi ILO No.169 tahun 1986 sudah mengakui bahwa:
Mereka (Masyarakat Adat) bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu sukubangsa, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.

Meskipun keberadaaan Masyarakat Adat Sudah diakui oleh negara melalui berbagai perangkat hukum, namun pengabaian hak terhadap Masyarakat Adat masih kerap terjadi, yang kemudian menyebabkan timbulnya kekerasan dan pengucilan di dalam banyak ruang hidup.

Policy Brief RUU Masyarakat Aday berikut disusun oleh Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, yang menganalisa bahwa setidaknya ada enam hak Masyarakat Adat yang terus-menerus terlanggar, di mana hak-hak tersebut satu sama lain tidaklah dapat terpisahkan (indivisibility) dan melekat (inheren). Dokumen ini juga merekomendasikan mengenai hal-hal yang harus diakomodasi dalam Undang-undang Masyarakat Adat yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2020, demi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.

Klik di sini untuk mengakses Policy Brief RUU Masyarakat Adat.

Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat “Kontribusi Masyarakat Adat untuk Indonesia”

[Jakarta, 25 Februari 2020] Tidak terbantahkan lagi bahwa Masyarakat Adat aktor utama penjaga kelestarian lingkungan hidup, juga telah memberikan kontribusi ekonomi. “Riset yang dilakukan AMAN (2018) menunjukan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di enam wilayah adat menghasilkan Rp 159,21 miliar per tahun, dan nilai jasa lingkungan mencapai Rp 170,77 miliar per tahun, dan ini dapat mendorong perekonomian di daerahnya,” ujar Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM PB AMAN, yang disampaikan dalam Diskusi Media “Kontribusi Masyarakat Adat untuk Indonesia” pada 25 Februari 2020.

Salah satu bentuk sumbangan nyata Masyarakat Adat di Bidang Ekonomi, melalui Koperasi Simpan Pinjam yang disebut Credit Union (CU). “CU justru berkembang setelah mengalami proses inkulturasi budaya dengan Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Barat pada tahun 80-an. CU kemudian tumbuh besar menjadi gerakan ekonomi rakyat, tak hanya untuk dan di wilayah Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat tetapi meluas hampir sebagian besar pulau Kalimantan, Papua, NTT, dan Pulau Jawa. Tahun 2018, CU di Kalbar memiliki aset sebesar Rp 6,5 trilun, sementara di tahun yang sama, APBD Provinsi Kalimantan Barat hanya Rp 5,9 triliun”, ungkap Alexander Mering, Comm Program Peduli-Kemitraan.

“Namun sedikit penghargaan yang telah diberikan oleh pemerintah, bahkan oleh masyarakat umum. Masyarakat masih memandang Masyarakat Adat secara sepotong-sepotong, mengakui tari-tariannya, tetapi merendahkan kepercayaan dan pengetahuannya,” ujar Bona Beding dari Forum Masyarakat Adat Pesisir. “Kebudayaan bahari kita, lahir dari ketangguhan dan pengetahuan masyarakat adat,” tegasnya.

Pemerintah terlalu sering mengabaikan eksistensi MA, padahal konstitusi kita sudah jelas mengakui dan melindungi Masyarakat Adat yang diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, dan Satuan Pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa diatur di dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. kriminalisasi terhadap masyarakat adat masih terus berlangsung. Data AMAN menyebutkan 125 masyarakat adat di 10 wilayah menjadi korban kriminalisasi di kawasan hutan. Mereka tersebar di Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
“Tindak pidana yang kerap ditujukan pada masyarakat adalah: memasuki tanah PTPN tanpa izin, pengrusakan, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin, penganiayaan, melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dan menguasai tanah tanpa izin. Selain itu, dalam beberapa kasus yang spesifik, masyarakat dituduh merintangi kemerdekaan orang untuk bergerak di jalan umum, pengancaman, melakukan perbuatan tidak menyenangkan, dan menghentikan aktivitas alat berat”, ujar Era Purnama Sari, Wakil Ketua Advokasi YLBHI.

Terhadap kondisi ini, maka Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat merekomendasikan UU Masyarakat Adat perlu segera hadir, agar ada pengaturan yang tegas dan perlindungan secara komprehensif bagi Masyarakat Adat. Arimbi Heroepoetri dari debtWATCH Indonesia menyatakan bahwa setidaknya UU Masyarakat Adat harus memuat delapan hal, yaitu: Pertama, merujuk kepada satu istilah, yaitu Masyarakat Adat. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Adat maupun Masyarakat Tradisional dapat digunakan bergantian dengan merujuk kepada satu istilah, yaitu Masyarakat Adat. Kedua, Berbasis HAM serta Memasukan prinsip-prinsip HAM.

Ketiga, Memuat aturan tentang pemulihan hak. Jenis pemulihan hak yang wajib diatur dalam RUU adalah Grasi, Amnesti, Abolisi, Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi. Keempat, mengakui Hak atas identitas budaya. Kelima, Pengaturan penyelesaian konflik. Keenam pengakuan dan perlindungan atas kekayaan intelektual. Ketujuh, pengakuan tentang hak anak, pemuda dan perempuan adat, dan Kedelapan Perlu adanya pasal-pasal mengenai tindakan khusus sementara bagi Masyarakat Adat pada umumnya, seperti pendidikian bagi kelompok mainstream agar mengenali dan menghormati eksistensi masyarakat adat.

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat telah mencermati bahwa substansi Omnibus Law (OL) RUU Cipta Kerja menempatkan masyarakat adat pada kondisi yang lebih buruk jika diundangkan. “RUU ini sekali lagi abai dan tidak berhasil mengenali keberadaan masyarakat adat sebagai subjek yang paling rentan terdampak investasi. Juga gagal melihat peran masyarakat adat dalam pembangunan perekonomian daerah dan penjagaan kelestarian lingkungan hidup. Semisal Pengadaan lahan untuk kegiatan usaha yang paling banyak diatur–dan mengancam masyarakat adat- dalam RUU Cipta Kerja. Pengadaan lahan ini akan diamanatkan melalui Bank Tanah yang masuk menjadi bagian RUU ini tanpa berdasar pada kajian khusus dalam Naskah Akademiknya. Salah satu wewenang Bank Tanah yang diatur dalam Pasal 171 adalah mengakuisisi asset berupa ‘hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan’ yang ditelantarkan lebih dari dua tahun; Bank Tanah bisa mengakuisisi lahan apapun yang dinilai terlantar. Selain itu, Bank Tanah juga dapat memberikan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai selama 90 tahun,” kata Wahyubinatara Fernandez, RMI.

“Karena itu, potensi konflik lahan karena perampasan tanah di wilayah-wilayah adat akan meningkat jika pembahasan RUU Cipta Kerja tidak menempatkan Masyarakat Adat sebagai subyek. Padahal, telah banyak terbukti bagaimana perekonomian mikro menjadi pondasi bagi stabilitas ekonomi nasional, salah satunya pada krisis ekonomi global tahun 2008,” imbuh Wahyubinatara.

Mengingat RUU Masyarakat Adat dan RUU Cipta Kerja masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020, artinya akan dibahas dalam kurun waktu yang sama oleh DPR dan Pemerintah, maka Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat meminta DPR RI melakukan revisi total RUU Cipta Kerja dengan memperhatikan substansi RUU Masyarakat Adat. [ ]

Kontak Person:
1. Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM PB AMAN, HP. 0812 1879 1131
2. Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat adalah koalisi 26 organisasi yang peduli, bekerja dan melakukan kampanye untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, yang terdiri dari:

debtWATCH Indonesia (dWI), Jurnal Perempuan, Forum Masyarakat Adat Pesisir, Kalyanamitra,Kemitraan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Lakpesdam NU, Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN), PEREMPUAN AMAN, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Sawit Watch, Satu Nama, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), HuMA, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), MerDesa Institute, Lokataru. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII), The Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Yayasan Madani Berkelanjutan.

DINAMIKA PEMENUHAN HAK ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN BADUY DAN PREFERENSI DICANTUMKANNYA ‘SUNDA WIWITAN’ DALAM KOLOM AGAMA KTP ELEKTORNIK (KTP-EL)

Klik gambar di atas untuk mengakses versi lengkap dari laporan.

Riungan Gede SABAKI XI: Terus Mendorong Pengakuan Masyarakat Adat di Indonesia

(Lebak, 1 Maret 2019) Hari ini (1/3) hingga Minggu (3/3), masyarakat adat Kasepuhan akan berkumpul di wewengkon (wilayah) adat Kasepuhan Citorek di Kabupaten Lebak, untuk mendorong pemenuhan hak-hak mereka sebagai masyarakat adat di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, juga jutaan orang masyarakat adat lain di Indonesia. Berkumpul dalam forum Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI), sekitar 1500 orang akan hadir dalam pertemuan bernama Riungan Gede SABAKI ke-11. Pertemuan, atau riungan, ini merupakan pertemuan pertama masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul sesudah dilahirkannya Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak no 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Kasepuhan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak. Riungan Gede ini akan menjadi forum untuk mendiskusikan berbagai rencana implementasi Perda No. 8 tahun 2015 tersebut, misalnya mengenai identifikasi wilayah adat Kasepuhan yang dalam Perda tercantum berjumlah 522 komunitas.

Selain itu, sebagai bagian dari masyarakat adat di Indonesia, melalui forum SABAKI ini, masyarakat Kasepuhan juga mendorong untuk disahkannya UU Masyarakat Adat yang sejak pertengahan tahun 2000an sudah mulai digagas. Adanya UU ini akan menjamin pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat, yang merupakan jati diri bangsa Indonesia.

Belajar dari pengalaman 13 tahun Kasepuhan berupaya mendapatkan pengakuan dalam bentuk Perda, ketiadaan UU Masyarakat Adat menjadi genting karena proses penyusunan Perda pengakuan masyarakat adat pada umumnya memakan waktu bertahun-tahun. Belum diakuinya keberadaan masyarakat adat di suatu daerah telah menjadi faktor utama yang memperlambat berbagai pemenuhan hak-hak masyarakat adat sebagai bagian dari warga negara Indonesia.

Sebagai contoh, pengakuan hutan adat oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mensyaratkan pengakuan terhadap masyarakat adatnya sebagai subyek hukum sebelum mengakui hutan adat mereka sebagai obyek hukum, terhambat oleh ketiadaan pengakuan keberadaan masyarakat adat di tingkat daerah dalam bentuk Perda. Menurut studi RMI (2018), menggunakan penghitungan linear, dibutuhkan waktu 196 tahun untuk mengakui seluruh hutan adat masyarakat adat yang menjadi anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) saja, yang berjumlah 2332 komunitas adat. RMI mencatat bahwa durasi tersebut merujuk pada kecepatan dan proses pengakuan hutan adat yang terjadi saat ini, yang terhambat akibat sebagian besar masyarakat adat belum diakui keberadaannya di tingkat daerah. Sementara, AMAN (2018) mencatat tidak lebih dari 15 Perda pengakuan masyarakat adat yang dilahirkan dalam kurun 2014-2018. Karenanya, dalam riungan SABAKI yang ke-11 ini, agenda mendorong diundangkannya UU Masyarakat Adat menjadi utama sehingga masyarakat adat tidak lagi perlu diakui di tiap-tiap daerah.

Yang menarik, Riungan SABAKI ini adalah riungan pertama kali ini juga memberi ruang khusus bagi perempuan dan generasi muda adat Kasepuhan. Melalui dua forum khusus yang diadakan pada tanggal 2 Maret 2019 yang difasilitasi Rimbawan Muda Indonesia (RMI), aspirasi perempuan dan generasi muda Kasepuhan akan disuarakan untuk melengkapi perjuangan pemenuhan hak-hak masyarakat Kasepuhan. Hal ini juga sejalan dengan Perda no. 8 tahun 2015 yang telah memberikan ruang afirmasi bagi perempuan dan pemuda adat. Dalam upaya memperkukuh pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat di Indonesia, masyarakat Kasepuhan terus berupaya memberikan pengakuan bagi perempuan dan generasi mudanya yang memiliki peran, pandangan dan kebutuhan spesifik sebagai bagian dari masyarakat Kasepuhan. Keterlibatan perempuan dan generasi muda pada riungan ini merupakan langkah maju menuju pemerataan manfaat dari Perda No. 8 tahun 2015.

Tidak kurang tiga sarasehan akan dilakukan secara paralel, yang bertema “Pemajuan Adat”, “Identifikasi wilayah adat dan hutan adat” dan “Implementasi Perda Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Kasepuhan”, selain sarasehan untuk Perempuan adat berjudul “Suara Perempuan Kasepuhan untuk Kemajuan Penghidupan Masyarakat Adat di Kabupaten Lebak” dan sarasehan untuk generasi muda Kasepuhan berjudul “Regenerasi: Adat dan PSDA di Mata Generasi Muda Kasepuhan”

Riungan SABAKI ini akan dihadiri oleh seluruh perwakilan Kasepuhan, perempuan dan laki-laki, termasuk generasi mudanya. Beberapa Kasepuhan tersebut antara lain, Kasepuhan Citorek, Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Ciptamulya, Kasepuhan Cibedug, Kasepuhan Guradog, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Karang. Acara riungan ini akan dihadiri oleh unsur Pemerintah Pusat dan Daerah, seperti Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Bupati Lebak, serta didukung oleh organisasi-organisasi yang selama ini mengadvokasi pemenuhan hak-hak masyarakat adat Kasepuhan seperti RMI, AMAN dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP).

Narahubung:

Cece Affandi (Ketua Panitia Riungan Gede SABAKI) 0857-7321-6202

Sukanta (Ketua SABAKI) 0877-7344-1199

Wahyubinatara Fernandez (Koordinator Advokasi RMI) 0812-29944643

Mardha Tillah (Direktur Eksekutif RMI) 081316367600

Catatan Editor:

  • SABAKI dibentuk pada periode 1970an. SABAKI merupakan forum silaturrahmi masyarakat Kasepuhan Banten Kidul yang mendiami wilayah administrative Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Keberadaan Kasepuhan diakui oleh Pemda Lebak pada bulan November 2015 sesudah diperjuangkan pertama kali sejak tahun 2003, saat terjadinya perluasan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak dari luasan 40ribuan hektar menjadi 113ribuan hektar masa itu. Masyarakat Kasepuhan mendiami wilayah Halimun secara turun temurun dan masih memegang teguh hukum adat mereka dalam kehidupannya, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Perluasan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak membatasi akses masyarakat ke wilayah hutan adat mereka dan menimbulkan konflik panjang sebelum akhirnya keberadaan masyarakat Kasepuhan diakui melalui Perda.
  • Kabupaten Lebak merupakan kabupaten pertama di Indonesia yang mengakui keberadaan masyarakat adat melalui Perda untuk pengakuan wilayah adat Baduy pada tahun 2001. Pada tahun 2015, Pemerintah Kabupaten Lebak mengakui keberadaan Kasepuhan di wilayah Lebak yang mencakup 522 Kasepuhan
  • RMI adalah organisasi non-pemerintah yang didirikan tahun 1992 berdasar pada krisis yang terjadi pada masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan akibat berbagai klaim pihak lain. Informasi lebih lanjut lihat www.rmibogor.id