
Foto by : (KOMPAS.com/IRMA TAMBUNAN)
BOGOR – RMI yang diwakilkan oleh Wahyubinatara selaku Manager Advokasi memberikan pandangan tentang Peraturan Dirjen KSDAE no.6 tahun 2018 mengenai Kemitraan Konservasi yang diterbitkan pada Juni 2018. Wahyu menilai bahwa Perdirjen No.6 tahun 2018 tidak terlalu melibatkan masyarakat dibanding Perdirjen yang sebelumnya yaitu Perdirjen No. 56.
“Zona hutan konservasi menurut perspektif RMI itu hanya ada tiga, Zona Inti; Zona Pemanfaatan; dan Zona Rehabilitasi. Sedangkan, faktualnya, pemukiman dan persawahan itu adanya di Zona Khusus dan Perdirjen No. 6 tidak mengakomodasi hal tersebut. Di Perdirjen No.6 Penatapan Zonasi tidak di melibatkkan masyarakat (P6) padahal sebelumnya Perdirjen 56 (P56) lebih melibatkan masyarakat,” Kata Wahyu, dalam kegiatan FGD Tentang Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi Untuk Mendukung Implementasi Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi yang diselenggarakan di Pendopo Lembaga Tropika Indonesia (LATIN) di Jl. Sutera No. 1 Bogor pada Kamis, 07 Februari 2019.
Terbitnya Perdirjen ini merupakan terobosan, sekaligus respon atas berbagai konflik yang terjadi berupa keterlanjuran pemanfaatan lahan atau perambahan di dalam kawasan konservasi, termasuk Taman Nasional. Dalam Renstra Ditjen KSDAE tahun 2015 – 2019 disebutkan bahwa berdasarkan data dasar yang dihimpun dari UPT TN dan KSDA pada tahun 2009, luas area kawasan konservasi yang dikonfirmasi mengalami perambahan mencapai angka 461.367,89 Ha. Perdirjen No. 6 tahun 2018 diharapkan dapat menjadi terobosan solusi atas konflik tersebut. Tetapi proses penyusunan Perdirjen tersebut diwarnai perdebatan pihak-pihak yang setuju dan tidak setuju. Namun di tengah perdebatan tersebut akhirnya Dirjen KSDAE memutuskan untuk menerbitkan Perdirjen tersebut, sehingga masih ada isu yang belum tuntas dibahas.
Wahyu menambahkan bahwa paradigma masyarakat yang turun temurun hidup dan dari hutan adalah bagian dari ekosistem hutan. Maka istilah ‘Pemulihan Ekosistem’ dalam P6 sebetulnya membiaskan makna sesungguhnya.
Tujuan kegiatan FGD tersebut adalah menggali tanggapan stakeholder yang terkait dengan pengelolaan 6 Taman Nasional, salah satunya adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak; Memetakan tanggapan atau sikap (peta situasi) dari stakeholder terhadap penerapan kemitraan konservasi dalam pengelolaan KSA dan KPA (baseline). Peta ini akan berguna bagi penyusunan rencana Kemitraan Konservasi; dan Memaparkan dan mendiskusikan hasil wawancara mendalam yang telah dilakukan sebelumnya. Diskusi ini dipandang mampu mengkonfirmasi atau mempertajam temuan dari wawancara tersebut.
Dalam FGD tersebut, Wahyu memberi masukan bahwa LSM dapat memfasilitasi proses pengusulan Kemitraan Konservasi, juga menjadi mitra UPT dalam pemberdayaan masyarakat, serta monitoring dan evaluasi Kemitraan Konservasi tersebut.