‘INSTITUSI DALAM PENGELOLAAN DAS’
Kuliah Singkat RMI periode Juni ini sejatinya akan dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2013, namun karena Dr. Hariadi Kartodihardjo selaku narasumber mendadak berhalangan maka pelaksanaannya diundur menjadi tanggal 1 Juli 2013 bertempat di ruang pertemuan RMI. Topik yang dibahas dalam pertemuan kali ini akan memperkaya wacana pada pertemuan bulan lalu yang dibawakan oleh Prof. Naik Sinukaban. Topik tentang ‘Kelembagaan dalam Pengelolaan DAS’ ini tepat dibahas oleh Pak Hariadi yang merupakan Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB, yang juga mengajar tentang pengelolaan DAS untuk program pascasarjana di IPB.
Pak Hariadi menggunakan istilah ‘institusi’ untuk menggantikan istilah ‘kelembagaan’ karena dikhawatirkan terjebak dengan makna sempit yaitu sebatas organisasi. Menurut Pak Hariadi, institusi merupakan segala sesuatu yang mempengaruhi perilaku, seperti moral/nilai, pasar/harga, peraturan dan kemampuan (pengetahuan, informasi, jaringan). Sehingga jika ada perilaku merusak lingkungan, misalnya perilaku membuang sampah sembarangan, mesti dilihat pada keempat faktor itu bukan hanya salah satu saja. Kalau hanya dilihat dari peraturan saja (perspektif hukum), tidak bisa tahu apa yang terjadi di bawah permukaan misalnya ternyata faktor terbatasnya informasi/pengetahuan masyarakat membuat mereka berperilaku membuang sampah sembarangan. Lagipula sebenarnya peraturan yang baik mestinya mampu merubah perilaku karena peraturan seperti ‘obat’ dan masalah itu ‘penyakit’nya. Maka jika banyak terjadi kegagalan dalam membuat peraturan, lebih banyak karena salah/tidak tepat dalam melihat persoalan (mendefinisikan masalah).
Bisa dikatakan jika institusi ada di otak masing-masing orang dan bisa diketahui dari norma-norma yang dianut masyarakat. Proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh tiap orang pasti didasarkan pada pertimbangan untung-rugi, kapasitas, sikap, dan peraturan/perundangan; yang kemudian keputusan tersebut diwujudkan dalam perilaku atau kinerja. Mengacu pada teori akses (Ribot dan Peluso, 2003) menurut Pak Hariadi bahwa instrumen kebijakan (denda, tarif, hak, dll) mengandung 2 hal yaitu hak/legal dan akses, sedangkan akses itu sendiri ada 4 komponen yang saling berinteraksi yaitu aktor/network, politik/interest, pelaku usaha (swasta, koperasi, dll), dan pelaksana kebijakan (pemerintah, dinas, UPT, dll). Interaksi antar 4 komponen inilah yang dinamakan konstruksi yang ada di bawah permukaan, yang nyata-nyata sangat berpengaruh terhadap implementasi instrumen kebijakan tersebut.
Terkait dengan DAS, menurut Pak Hariadi bahwa DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property), dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan/atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan/atau kelompok masyarakat. DAS, pesisir, kawasan lindung termasuk bentuk SDA yang dinamakan stock sedangkan rotan, air, kayu, mineral termasuk bentuk SDA yang dinamakan komoditas. Sehingga ketika kita melihat suatu bentang alam, harus dicek lebih dahulu status tanahnya (kepemilikan). Maka penting untuk melakukan survey sosial terlebih dahulu karena masalah berkaitan dengan keputusan individu dan interaksinya. Riset sosial seperti yang kawan-kawan NGO lakukan, pada prinsipnya bahwa persoalan yang bersifat obyektif harus didefinisikan berdasarkan subyektivitas.
Pada dasarnya ada tiga masalah dalam Pengelolaan DAS yaitu (1) Masalah Dasar yang berkaitan dengan lemahnya hak atas SDA dan lemahnya lembaga pengelola; (2) Masalah Lanjut yang berkaitan dengan lembaga yang punya dan mampu menggunakan informasi, batasan produksi, lokasi tempat eksploitasi, penyelesaian konflik, peningkatan kapasitas institusi; (3) Masalah struktural yang berkaitan dengan orientasi sektor ke komoditas, ke-proyekan, hubungan antar daerah. Lagi-lagi perlu diingat bahwa masalah disebabkan oleh keputusan individu dan interaksinya dengan pihak lain. Sehingga hal ini menjadi fokus perhatian dalam pendekatan ekonomi institusi, disamping kenyataan bahwa setiap pihak memaksimumkan daya guna ‘barang langka’ dan pasti ada free riders yang tidak mudah dikeluarkan/disingkirkan.
Pembelajaran pengelolaan DAS berkaca dari pengalaman beberapa negara bahwa lembaga pengelola DAS tidak harus melingkupi seluruh wilayah DAS, spirit/semangat kerjasama mesti diwujudkan melalui perjanjian, perlu dukungan pimpinan tertinggi dan adanya intervensi dari luar dalam bentuk mediasi, kemudian pelaksanaan monitoring bersama akan meningkatkan kepercayaan dan saling ketergantungan, juga seluruh aspek nyatanya berkaitan dengan masalah ‘non teknis’. Satu contoh yang baik dalam pengelolaan yaitu Sungai Rein di Jerman yang dikeloa oleh 9 negara dan bisa diatur oleh lembaga DAS; fungsi lembaga DAS di sana untuk membereskan masalah melalui peningkatan kapasitas.
Berdasarkan pengalaman bahwa untuk fasilitasi DAS harus inovatif. Seringkali benturan dengan lembaga pemerintah yang mengandalkan ‘tupoksi’ ketika menjalin hubungan/kerjasama, padahal diperlukan ‘inovasi’. Selain itu dibutuhkan peran fasilitator ketika menjalin Ukrainian mail order brides – Hot & beauti… hubungan dengan para pihak dan dibutuhkan perjanjian formal untuk menetapkan kegiatan setiap lembaga.
Strategi untuk menjalankan program dalam pengelolaan DAS bisa diilustrasikan melalui diagram di bawah ini. Sebagai catatan ketika melakukan proses mediasi, harus diperhatikan penggunaan istilah lokal, contohnya untuk masyarakat Barito Barat, kata ‘konservasi’ dimaknai pengusiran jadi harus digunakan istilah lain yang lebih bisa diterima oleh masyarakat.
Kemudian Pak Hariadi juga menyatakan bahwa dalam konsep ‘Pengelolaan DAS Berbasis Masyarakat’ harus didefinisikan dahulu konteksnya. Bisa saja konteksnya mengenai peningkatan daya dukung DAS di bagian hulu. Penggunaan istilah yang lebih clear sangat menentukan strategi dalam melibatkan para pihak.
Ditulis Oleh: Ratnasari