“Keberadaan LSM di suatu daerah tidak untuk waktu selamanya. Kalangan yang bekerja sebagai penggiat sosial perlu menyadari bahwa salah satu indikator keberhasilan program pemberdayaan masyarakat adalah apabila kita sudah bisa meninggalkan lokasi pendampingan dikarenakan keadaaan masyarakatnya yang sudah mampu menyelesaikan persoalan-persoalannya secara mandiri, baik dan benar. Menumbuhkan penggerak lokal merupakan salah satu prioritas pemberdayaan masyarakat”.
Rimbawan Muda Indonesia (RMI), adalah Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berdiri sejak tahun 1992. RMI bekerja pada isu-isu lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dan melakukan kerja-kerja pemberdayaan bagi masyarakat adat dan lokal yang tinggal di sekitar hutan. Salah satu misi RMI terkait isu pendidikan adalah untuk mengembangkan sistem pengelolaan pengetahuan dan kaderisasi, melalui proses pembelajaran akseleratif yang mampu melintasi batas antara pengetahuan dan aksi.
Pada kerja-kerja pemberdayaan masyarakat, memunculkan penggerak masyarakat yang berasal dari lokasi asal (untuk kemudian disebut sebagai penggerak lokal) adalah salah satu strategi penting bagi LSM, termasuk RMI. Penggerak lokal adalah sebutan bagi orang perseorangan yang berasal dari masyarakat sekitar daerah dampingan dan biasanya dibekali dengan pengetahuan, ketrampilan serta pemahaman akan ide gerakan sosial yang sedang dibangun.
Ada beberapa alasan mengapa seorang penggerak lokal menjadi kunci penting dalam kerja-kerja pemberdayaan masyarakat. Yang pertama adalah terkait keberadaannya yang hampir sepanjang waktu berada di lokasi pemberdayaan (sehingga penggerak lokal dapat bersikap cepat tanggap dalam mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat). Yang kedua adalah adanya kesamaan budaya (termasuk bahasa) yang mempermudah penggerak lokal untuk berkomunikasi. Resistensi penolakan akibat perbedaan budaya yang sering dialami oleh penggerak dari luar lokasi dapat diminimalkan. Ketiga adalah terkait efisiensi biaya dan waktu, karena biaya mobilisasi penggerak lokal lebih rendah dibandingkan tenaga luar. Dan yang keempat adalah terkait keberlangsungan program pemberdayaan masyarakat, yang akan lebih terjaga dengan adanya penggerak lokal di lokasi.
Namun demikian, pada umumnya diperlukan usaha-usaha peningkatan kapasitas tertentu untuk para penggerak lokal yang dapat memampukan mereka untuk melakukan program pemberdayaan masyarakat. Penggerak lokal juga perlu diingatkan untuk menghindari konflik kepentingan, jernih dalam melihat dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat.
Untuk meningkatkan kapasitas penggerak-penggerak lokalnya, RMI mengembangkan model-model pembelajaran bersama masyarakat yang secara konsep dapat digolongkan sebagai pendidikan kritis. Model-model pembelajaran ini dapat berupa diskusi non-formal bersama masyarakat yang berdurasi singkat, Kelas RMI yang berdurasi beberapa jam, kursus yang berdurasi beberapa hari, Sekolah Lapang yang dilaksanakan periodik satu bulan sekali sampai kegiatan magang yang sarat dengan eksperimen sosial dan diskusi bernas sehari-harinya selama beberapa bulan. Pemilihan model-model ini akan dilakukan berdasarkan situasi dan kebutuhan lembaga.
Pada bulan September 2017, RMI genap berumur 25 tahun dan memahami konsep pendidikan kritis yang diusung oleh RMI dalam kerja-kerja pemberdayaan masyarakat sekiranya dapat memperkaya spektrum pemahaman kita masing-masing terutama terkait keberadaan para penggerak lokal.
Konsep Pemberdayaan masyarakat dan Kesejahteraan
RMI mencoba memahami persoalan-persoalan lingkungan yang terjadi di wilayah hulu bersama masyarakat dampingan sejak tahun 1997. Lokasi pendampingan pertama RMI adalah sebuah desa yang terletak di kawasan ekosistem Gunung Halimun. Kawasan ekosistem Halimun wilayahnya terbagi secara administratif pada 2 propinsi (Jawa Barat dan Banten). Pada tahun-tahun pertama RMI melakukan pemberdayaan masyarakat, persoalan-persoalan yang tadinya tidak nampak pada awal kegiatan kemudian muncul. Menanam pohon untuk kesejahteraan masyarakat dan konservasi lingkungan menemui persoalan akibat tumpang tindihnya batas lahan: antara masyarakat, perusahaan yang memegang HGU (Hak Guna Usaha) serta claim pihak Taman Nasional. Meminta pengertian masyarakat untuk menjaga hutan menjadi sulit karena pada saat yang sama masyarakat juga diancam, dihukum penjara akibat mengambil jatuhan ranting pohon untuk kayu bakar. Aspek konservasi lingkungan , politik, sosial, ekonomi, budaya saling bertabrakan dan kesejahteraan masih jauh dari kenyataan.
RMI melihat usaha-usaha pemberdayaan masyarakat diperlukan untuk memampukan mereka melihat permasalahan secara lebih luas dan jernih, untuk kemudian berpikir, mengambil keputusan, bernegosiasi dan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk kesejahteraan mereka. Di dalam konsep pemberdayaan masyarakat yang dianut oleh RMI, kata kemandirian dan kedaulatan atas tanah dan sumber penghidupan menjadi kata kunci tujuan yang perlu diperjuangkan. Untuk mencapai hal itu masyarakat perlu “beraksi” menentukan nasibnya sendiri, tidak sekedar hanya “pandai”.
Menurut Fahrudin (2012), pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat yang dilakukan melalui upaya-upaya:
• Enabling, yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan cara mendorong (encourage), memotivasi dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
• Empowering, yaitu meningkatkan kapasitas dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata seperti penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang dapat membuat masyarakat menjadi makin berdayaan.
• Protecting, yaitu melindungi kepentingan dengan mengembangkan sistem perlindungan bagi masyarakat yang menjadi subjek pengembangan. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi dalam hal ini dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Salah satu tujuan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat, dalam bentuk populernya diterjemahkan untuk mencapai “kesejahteraan” dimana istilah ini juga multi interpretasi, dan penafsirannya yang bias juga sering dilakukan oleh orang-orang yang sudah diberi pendidikan tinggi. Mereka menentukan standar-standar tersendiri mengenai kesejahteraan secara instan dan seringkali lupa bahwa masyarakat lokal umumnya mempunyai definisi tersendiri mengenai kesejahteraan.
Pada kasus masyarakat adat Orang Rimba, yang hidup di hutan Jambi misalnya, pemerintah setempat menetapkan kriteria sejahtera: menempati rumah dengan dinding. Maka pada saat kriteria ini dipaksakan pada Orang Rimba yang hidupnya semi-nomaden dengan menggunakan gubuk/panggung tanpa dinding, Orang Rimba dianggap tidak sejahtera. Bagi Orang Rimba sendiri, kesejahteraan utamanya diukur dari terpenuhinya kebutuhan konsumsi sehari-hari dari hasil berburu dan meramu yang sangat erat hubungannya dengan kelestarian hutan. Tinggal di gubuk/panggung tanpa dinding adalah bagian dari cara hidup mereka yang kadang berpindah dan dengan memanfaatkan bahan-bahan dari alam.
Pandangan yang bias mengenai kesejahteraan dapat membawa konsekuensi bahwa pada saat penggerak masyarakat melakukan pemberdayaan, maka kemudian masyarakat dipandang hanya sebagai obyek: pihak yang lemah, tidak berdaya, dan perlu untuk selalu diajar, dibimbing, dan tidak dalam keadaan setara untuk diajak bekerjasama. Pada kasus Orang Rimba, alhasil demi mengejar status kesejahteraan daerah pemerintah “berburu” Orang Rimba untuk dirumahkan, sedangkan hutan tempat tinggal dikosongkan dan dijadikan kebun sawit.
Pandangan dan hasil yang keliru ini harus dihindari dan telah menjadi asal mula dari bentuk penjajahan baru oleh si pemberdaya. Pemberdayaan masyarakat yang seharusnya memberikan pencerahan (enlightment) dan pembebasan justru malah berlaku sebaliknya. Si pemberdaya memposisikan dirinya sebagai pahlawan, sedangkan masyarakat adalah korban tanpa daya yang harus ditolong. Nyatanya, si pahlawan adaah penjajah baru.
Kerja-kerja pemberdayaan, yang tidak terlepas dari usaha mendidik masyarakat perlu mendudukkan masyarakat sebagai subyek dibandingkan sekedar hanya obyek. Hal ini selaras dengan pernyataan Freire (2008) yang menyatakan bahwa berangkat dari konsep tentang manusia, filsafat pendidikan bertumpu pada keyakinan bahwa manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya adalah mengantarkan peserta didik menjadi subjek dan untuk mencapai tujuan ini, proses yang harus dilakukan adalah: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik dan sekaligus berupaya merubah struktur sosial yang menjadikan ketidaksejahteraan itu berlangsung.
Konsep Pendidikan Kritis
Pendidikan kritis oleh Toto Rahardjo (2010) dijelaskan sebagai pendidikan yang mengarahkan pendidikan untuk melakukan refleksi kritis terhadap ideologi dominan ke arah perubahan sosial. Pendidikan kritis adalah pendidikan yang berusaha menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis segenap potensi yang di miliki oleh peserta didik secara bebas dan kritis untuk mewujudkan proses transformasi sosial.
Pendidikan kritis juga dapat digolongkan sebagai pendidikan yang menerapkan pola kritis, kreatif dan aktif kepada para peserta didik dalam menempuh proses pembelajaran. Dengan kata lain, pendidikan kritis adalah suatu proses pendidikan yang hendak memanusiakan kembali manusia yang telah mengalami dehumanisasi karena adanya struktur dan sistem yang tidak adil. Konsep ini selaras dengan prinsip pendidikan kritis dalam kerangka pemberdayaan masyarakat yang diusung oleh RMI.
Terkait pendidikan kritis, Paulo Freire dalam bukunya, Pendidikan Kaum Tertindas (2008) menyatakan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu menciptakan tatanan hidup yang baru, dinamis dan mensejahterakan semua lapisan masyarakat. Pendidikan perlu berpihak terutama kepada masyarakat miskin dan tertindas.
Pendidikan tidak boleh sekedar menjadi proses transfer of knowledge atau peralihan ilmu pengetahuan semata. Dengan adanya pendidikan diharapkan seseorang mampu mengetahui dan memahami eksistensi potensi yang dimilikinya. Di sinilah akhir dari tujuan pendidikan kritis, yakni melakukan proses humanisasi (memanusiakan manusia) yang berujung pada proses pembebasan. Hal ini terangkat dari asumsi bahwa manusia mengalami dehumanisasi dalam sistem dan struktur sosial. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran dalam rangka mengembalikan kemanusiaan manusia. Berdasarkan hal tersebut pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan.
Perlunya Pendidikan Kritis untuk Para Penggerak Lokal
Penggerak lokal didefinisikan sebagai orang perseorangan yang berasal dari masyarakat sekitar daerah dampingan dan dibekali dengan pengetahuan, ketrampilan serta pemahaman akan idealisme gerakan sosial yang sedang dibangun. Program pemberdayaan masyarakat di suatu lokasi umumnya berjalan lebih efektif dan efisien apabila di lokasi tersebut terdapat penggerak-penggerak lokal.
Penggerak lokal merupakan ujung tombak dari program-program pemberdayaan masyarakat, dan oleh karenanya maka peningkatan kapasitas bagi para penggerak lokal perlu mendapatkan prioritas-prioritas dari lembaga-lembaga yang berkecimpung di bidang ini.
Melihat keadaan-keadaan di atas, terdapat beberapa hal yang menjadi kunci bagi penggerak lokal dalam program pemberdayaan masyarakat. Pertama adalah terkait kapasitasnya yang harus mumpuni, sebagai mitra bagi masyarakat dampingan. Ia perlu memiliki kemampuan untuk memfasilitasi, menjadi narasumber pengetahuan serta memediasi masyarakat. Yang kedua adalah bagaimana ia sendiri harus memposisikan dirinya sendiri di dalam masyarakat: menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri, namun tetap obyektif dalam memandang dan memutuskan suatu persoalan. Kedua hal tersebut dapat diperkuat melalui pengembangan model-model pembelajaran yang berlandaskan pendidikan kritis.
Bagaimanakah metodologi pendidikan kritis dijalankan untuk meningkatkan kapasitas para penggerak lokal? Dalam metodologi pendidikan, yang meliputi teknik, cara penyajian, bentuk, proses serta alat penunjang, fasilitator perlu menciptakan aktifitas agar peserta dapat melibatkan diri dalam keseluruhan proses agar proses belajar menjadi lebih efektif melalui proses interaksi antarpeserta, juga dengan fasilitator
Pendidikan kritis menghindari metodologi yang konservatif dimana “murid belajar pada guru” yang menimbulkan jebakan dalam model pendidikan. Metodologi konservatif ini memusatkan proses pada guru dan menyebabkan potensi peserta dalam menemukan pemecahan masalahnya sendiri terabaikan.
Dalam metodologi pendidikan kritis yang dijalankan oleh RMI, peserta didukung untuk dapat mengidentifikasi sendiri persoalan-persoalan di sekeliling mereka, dan dengan meletakkan diri pada berbagai sepatu (posisi), terutama pada posisi masyarakat yang akan didampingi. Metodologi yang dikembangkan bisa beragam, misalnya dengan mendengarkan ceramah, studi lapangan, melakukan simulasi, drama, diskusi kelompok, tanya jawab, permainan dan lain-lain. Berbeda dengan pembelajaran biasa, pembelajaran untuk pendidikan kritis selalu dibarengi dengan kegiatan reflektif, untuk memperdalam tingkat kesadaran peserta.
Untuk berbicara mengenai isu-isu kemiskinan misalnya, salah satu metode yang pernah digunakan RMI dalam melakukan pendidikan kritis adalah dengan melakukan metode simulasi.
Rahma Novianti (22 thn), yang mengikuti pendidikan kritis pada tahun 2012-2013, menyatakan:
”Saya masih ingat saat menyusuri Kota Bogor untuk memulung sampah botol plastik. Saya sangat malu, letih dan lapar, takut bertemu teman yang kenal. Saya sudah mencari seharian tapi sampai siang belum mencapai target. Udah gitu dari truk ada pula yang lempar botol aqua kena badan saya. Saya jadi merasa, ooo beginilah jadi orang miskin, tertindas dan makanpun tidak bisa walau lapar.”
Salah satu metodologi pendidikan kritis yang digunakan di RMI untuk para penggerak lokal pada tahun 2013 misalnya adalah dengan meminta peserta untuk mengumpulkan botol-botol plastik di kota, untuk dijual ke penampung. Peserta berkumpul pada pagi hari, dan berdasarkan kesepakatan diberikan tantangan untuk mengumpulkan uang sebesar 20 ribu rupiah dalam rentang waktu yang sudah ditentukan. Peserta berangkat beraktifitas berbekal KTP dan dilarang menggunakan alat komunikasi selama berkegiatan . Kesepakatan terkait konsekuensi juga dibuat apabila peserta tidak dapat memenuhi target.
Peserta bercerita bahwa selama melakukan aktifitas, sebagian besar dari mereka mengalami konflik batin serta kelelahan fisik: rasa malu, tidak aman, sedih, lelah, haus dan lain-lain yang kemudian ditarik melalui refleksi sebagai bagian dari pembelajaran. Pembahasan dan pengayaan yang dilakukan terkait topik kemiskinan sebagai dampak dari sistem ekonomi, sosial yang berlaku menjadi menarik karena peserta sudah merasakan dan melihat topik kemiskinan dari perspektif masyarakat yang tertindas, dan dengannya maka juga menumbuhkan empati mereka terhadap kaum tertindas.
Rahma pada kegiatan di atas, walaupun bekerja dengan keras namun tidak dapat memenuhi target keuntungan yang ditetapkan. Dari kegiatan pembelajaran ini, ia kemudian menjadi mampu merefleksikan secara lebih baik hal-hal yang dibahas kemudian dari isu kemiskinan struktural, politik ekologi sampai kapitalisme. Saat tulisan ini dibuat (2018), Rahma masih aktif menjadi penggerak lokal di kampungnya di Kabupaten Bogor. Aktifitas dan pengalaman selama memulung botol bekas merupakan salah satu metode pembelajaran pendidikan kritis yang selalu ia ingat karena berkesan.
Freire dalam Rahardjo (2010) menyatakan bahwa membuka mata dan menimbulkan rasa adalah salah satu kunci dari pendidikan kritis. Dalam pendidikan kritis, proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang sebati (inherent) dalam keseluruhan prose pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri (pendidikan penyadaran, atau metode konsientisasi). Proses ini mengupayakan perkembangan kesadaran dari tingkat “kesadaran naif” menuju “kesadaran kritis” dan lalu mencapai tahapannya yang tertinggi “kesadarannya kesadaran” (the consice of consciousness).
Pada isu-isu pengelolaan sumber daya alam, teknik/pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal) juga sering digunakan sebagai bagian dari pendidikan kritis oleh RMI. PRA menurut Chambers (1997) adalah sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat pedesaan untuk turut serta meningkatkan dan mengkaji pengetahuan mereka mengenai hidup dan keadaan mereka sendiri agar meraka dapat menyusun rencana dan tindakan pelaksanaannya. Walaupun menggunakan istilah rural (pedesaan), pendekatan ini juga dapat digunakan di perkotaan dan wilayah-wilayah lain yang sedang diberdayakan.
Terdapat alasan-alasan mengapa PRA dikembangkan sebagai pendekatan baru dalam pemberdayaan masyarakat:
• Akibat adanya kelemahan pendekatan yag bersifat top-down, berupa ketidakselarasan antara perencana kegiatan dengan pelaksanaan kegiatan. Terdapat kenyataan bahwa dengan pendekatan ini masyarakat hanya berperan sebagai pelaksana dan tidak merasa sebagai pemilik program kegiatan, sehingga berkecenderungan tidak melanjutkan program setelah selesai
• Berkembangnya pemikiran tentang pendekatan bottom-up, dimana pendekatan ini benar-benar melibatkan masyarakat dalam keseluruhan proses dan bukan hanya dalam pelaksanaan kegiatan saja. Pendekatan ini menghasilkan keluaran yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dicirikan dengan tingginya rasa kepemilikan dari masyarakat terhadap kegiatan.
Salah satu contoh dari pendekatan PRA yang dapat dilakukan penggerak lokal di masyarakat adalah melalui penerapan metode transek, untuk memetakan wilayah kehidupan masyarakat, dan dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Pertukaran pengetahuan melalui diskusi-diskusi antara penggerak masyarakat dengan masyarakat, terjadi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan, dan dengan demikian pendidikan kritis juga terjadi. Selain metode transek, setidaknya ada 11 metode dasar dari PRA yang dapat dimodifikasi dan dipakai di masyarakat.
Pendidikan kritis mengandung idealisme, bahwa dalam prosesnya, guru menjadi murid dan murid juga menjadi guru. Hal ini juga berlaku pada kerja-kerja pemberdayaan masyarakat dimana penggerak lokal dan masyarakat seharusnya bekerja saling memperkuat dalam hal pembelajaran.
Penutup
Pendidikan kritis yang digunakan dalam kerja-kerja pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu kunci kesuksesan bagi LSM untuk mencapai tujuan-tujuannya. Untuk peningkatan kapasitas penggerak lokal, bentuk-bentuk pendidikan kritis perlu diturunkan menjadi model-model pembelajaran yang efektif dan eisien saat diimplementasikan.
Pendidikan kritis bagi pengerak lokal di masyarakat merupakan investasi jangka menengah dan panjang yang akan meningkatkan potensi keberlanjutan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat. Penulis menyarankan agar setiap Lembaga-Lembaga yang bergerak pada isu pemberdayaan masyarakat memberikan prioritas terhadap program ini, agar terjadi keberlanjutan program setelah lembaga meninggalkan lokasi pemberdayaan.
—oOo—
Referensi
Chambers, Robert. Whose Reality Counts? Putting the First Last Intermediate Technology Publication. London. 1997
Fahrudin, Adi. 2012. Pemberdayaan, Partisipasi dan Penguatan Kapasitas Masyarakat. Bandung: Humaniora.
Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta. LP3ES
Panduan Pengambilan Data Dengan Metode Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Participatory Rural Appraisal (PRA). Volume 2. COREMAP II, DKP, PT Bina Marina Nusantara. 2006.
Rahardjo, Toto, et, al. 2010. Pendidikan Popular, Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta. Insist Press.
Oleh ; Indra Nugroho Hatasura