Dinamika Pelatihan Pemetaan Sosio-spasial Wilayah Adat Kasepuhan Cibarani dan Refleksi atas Proses Pendampingan Masyarakat

Sesuai dengan agenda yang telah disusun oleh Tim Pengorganisasian Masyarakat, RMI bersama JKPP akan menyelenggarakan Pelatihan Pemetaan Sosio-spasial Wilayah Adat secara Partisipatif pada tanggal 24-30 Januari 2022 bertempat di Kasepuhan Cibarani, Desa Cibarani, Kec. Cirinten, Kabupaten Lebak, Banten, dengan mengundang perwakilan dari Kasepuhan lainnya. Selain mengundang mereka yang telah mendapatkan SK Hutan Adat yaitu Kasepuhan Cirompang, Karang, dan Pasir Eurih; kegiatan ini juga dihadiri oleh Kasepuhan Cibedug yang sedang berproses untuk diakuinya Hutan Adat mereka. Penguatan kapasitas dan pembekalan kader-kader lokal yang bergabung dalam Forum Koordinasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL) juga merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan pelatihan.

Menyoal Skema Pembagian Keuntungan dengan Perhutani

Pada hari pertama, kita berkumpul di Imah Gede bersama masyarakat yang baru saja selesai mengadakan acara pertemuan. Di malam itu kita mensosialisasikan agenda pelatihan yang akan dilakukan selama 7 hari kedepan selain juga membahas surat dari Perum Perhutani perihal pembagian keuntungan (profit sharing) dari kerjasama yang dilakukan oleh Perhutani dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Cibarani. Armaya, salah seorang anggota LMDH Cibarani yang hadir di pertemuan ini, menjelaskan bahwa kerjasama terbentuk lantaran pada saat itu lahan garapan warga masih masuk dalam kawasan hutan. Masyarakat tetap diizinkan menggarap lahan mereka dengan syarat dikenakannya uang pajak 25% setiap kali panen. Meskipun begitu, Armaya beserta pengurus LMDH lainnya yang bertanggungjawab memungut pajak tersebut, tidak pernah memaksa masyarakat untuk membayar penuh tapi seikhlasnya saja. Di sisi lain, selama menjabat sebagai pengurus LMDH beliau baru sekali saja menerima hasil profit sharing yang kemudian dibelikan traktor.

Terkait surat berita acara yang saat ini diterima Masyarakat Kasepuhan Cibarani; walaupun tertulis bahwa terdapat sejumlah uang hasil profit sharing dari kerjasama terdahulu, LMDH tidak serta merta mengambil uang tersebut tanpa mengkoordinasikannya terlebih dahulu kepada kepala desa dan RMI. Warga Cibarani yang hadir malam itu mengaku bahwa mereka belum betul-betul memahami maksud dan tujuan dari surat tersebut. Beberapa diantara mereka juga menolak surat profit sharing tersebut. Penolakan muncul atas pemikiran bahwa masyarakat sudah tidak lagi berurusan dengan Perhutani sejak SK Hutan Adat Kasepuhan Cibarani telah mereka peroleh. Musyawarah malam itu berujung pada kesepakatan bahwa bahwa mereka akan membuat surat balasan yang kurang lebih berisi pengajuan pembubaran LMDH Kasepuhan Cibarani. Selain alasan penolakan profit sharing, pertimbangan diajukannya pembubaran LMDH lainnya yaitu adanya opini masyarakat yang memandang bahwa para pengurusnya lebih pro kepada Perhutani dibandingkan kepada sesama incu putu (keturunan Cibarani) sendiri; yang mana pandangan ini berpotensi menimbulkan konflik yang lebih meluas di internal Kasepuhan Cibarani sendiri.

 

Pentingnya Pengelolaan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani Pasca Ditetapkannya Hak

Selesai membahas surat dari Perum Perhutani, Waris kemudian mengajak masyarakat mengingat kilas balik perjalanan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani sampai dikeluarkannya SK Hutan Adat. Bagaimana perasaan masyarakat Cibarani ketika SK tersebut telah mereka dapatkan? Lalu manfaat apa yang hadir pasca diperolehnya SK Hutan Adat tersebut? Kebanyakan masyarakat yang hadir menjawab bahwa pasca memperoleh status Hutan Adat mereka lebih merasa aman dan nyaman dalam mengelola lahan garapan, terlebih sudah tidak ada lagi pungutan pajak dari Perhutani. Warga yang hadir juga menyampaikan bahwa jenis tanaman yang mereka budidaya belum banyak berubah, hanya bertambah jahe, porang, kopi, dan lain-lain.

Bagaimana dengan rencana atau keinginan ke depan pasca diperolehnya status Hutan Adat? Waris kembali bertanya. Peserta pertemuan menjawab bahwa mereka ingin lebih maju lagi, khususnya dalam bidang pertanian, namun masih belum paham bagaimana memulainya. Dengan adanya SK, apa masyarakat sudah merasa sejahtera? Mereka serentak menjawab belum sejahtera sebab belum semua masyarakat mempunyai akses terhadap lahan di Hutan Adat. Sama halnya dengan status Hutan Adat yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lainnya, status Hutan Adat Kasepuhan Cibarani pun merupakan hutan hak yang kepemilikan dan pengelolaannya harus dilakukan secara komunal sehingga segala sesuatunya harus melibatkan masyarakat dan lembaga adat. Saat ini kelembagaan Adat kasepuhan Cibarani sendiri bisa dikatakan masih  belum memiliki rencana pengelolaan pasca terbitnya SK. Oleh karenanya kehadiran kami kali ini pada dasarnya berupaya memfasilitasi terjadinya ruang diskusi antara kelompok masyarakat, perempuan, dan generasi muda Kasepuhan tentang pentingnya pengelolaan Hutan Adat yang inklusif pasca penetapan hak sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Di Hutan Adat Kasepuhan Cibarani kini, masih banyak lahan yang kosong atau belum digarap; selain situasi penguasaan lahan di Cibarani yang juga belum merata. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI kembali mengingatkan perwakilan warga yang hadir malam itu tentang rencana Kepala Desa (Jaro) Dulhani meredistribusi lahan yang ada di dalam wilayah Hutan Adat. Selain pemerataan akses, redistribusi ini  juga dimaksudkan agar masyarakat memiliki rasa memiliki serta kewajiban untuk melestarikan wilayah adat serta mengantisipasi tidak dipindahtangankannya kepemilikan lahan garapan ke pihak luar Kasepuhan Cibarani. Bagaimana pandangan masyarakat mengenai wacana ini? Masyarakat pada dasarnya mendukung agenda tersebut dan berpendapat bahwa Kelembagaan Adat Kasepuhan Cibarani perlu menyusun sejumlah aturan, hak, dan kewajiban bagi para pengelola lahan serta warga Cibarani pada umumnya. Rencana redistribusi ini pun dinilai sejalan dengan istilah lokal sabeungketan yang berarti sebagai masyarakat adat kita harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan senasib sepenanggungan, mulai dari masa-masa berjuang hingga nanti diperolehnya buah dari perjuangan tersebut.

Untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang merata, pengelolaan Hutan Adat pasca penetapan hak kemudian menjadi satu rangkaian proses yang krusial. Keberadaan data sosial-spasial diperlukan sebagai basis perencanaan komunitas dan wilayah adat Kasepuhan Cibarani. Pelatihan dan proses pengumpulan data ini sendiri berusaha menangkap kondisi seputar pengelolaan Hutan Adat saat ini yaitu dengan mengumpulkan informasi mengenai penggarap, luasan lahan, tanaman yang dibudidaya, keberadaan lahan yang masih kosong, dll. Guna mendukung terkumpulnya data yang akurat, teman-teman dari JKPP turut serta hadir untuk memberi pemahaman tentang data sosial-spasial dan mendampingi warga ketika praktik langsung. Generasi muda Kasepuhan sendiri banyak dilibatkan selama pelatihan dan proses pengelolaan Hutan Adatnya ke depan supaya semangat merawat wilayah adat mereka semakin terbangun dan apa yang diinginkan masyarakat dapat benar-benar tercapai.

Proses Pelatihan dan Pemetaan Wilayah Adat Kasepuhan Cibarani

Pada kegiatan hari kedua kita kedatangan teman-teman peserta dari Kasepuhan Pasir Eurih, Cibeas dan Cirompang. Sementara perwakilan masyarakat dari lokasi lain tidak bisa hadir dikarenakan ada halangan. Peserta yang hadir menyampaikan bahwa mereka hadir ke Kasepuhan Cibarani untuk menghadiri dan mengikuti pelatihan yang menarik ini. Rencana menerbangkan drone, yang diagendakan terlaksana di hari ini, gagal karena hujan mengguyur Cibarani dari pagi sehingga diputuskan untuk ditunda. Berdasarkan kesepakatan sebelumnya bahwa, pelatihan akan mulai setelah dhuhur karena pagi hari masyarakat Kasepuhan Cibarani melakukan gotong royong untuk mendirikan rumah warga yang terdampak gempa bumi. Namun setelah kita tunggu sampai sore, ternyata tidak ada satupun warga yang datang. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI kemudian  memutuskan untuk menunda pertemuan ke malam hari dan menghabiskan waktu siang itu dengan mengobrol dengan teman-teman yang datang dari Kasepuhan lain. Setelah maghrib kita meminta tolong Pak RT Samanan untuk mengumumkan lewat speaker supaya masyarakat dapat berkumpul dan mengikuti pelatihan. Akan tetapi setelah ditunggu sampai malam, ternyata hanya baris olot saja yang hadir; alhasil tidak mungkin untuk melanjutkan rencana yang disepakati apalagi untuk melakukan pelatihan. Hasil diskusi dengan baris olot membuahkan gagasan untuk langsung membuat daftar nama perwakilan anak muda yang akan diundang mengikuti kegiatan esok hari pukul 09.00 WIB. Ini dilakukan sebab anak muda Kasepuhan Cibarani memang agak susah untuk diajak kumpul/riungan, tutur baris olot

Besok paginya lumayan banyak masyarakat yang berkumpul di Imah Gede; dari Kasepuhan Cibarani sendiri ada perwakilan dari anak muda laki-laki dan perempuan adat dan baris olot. Kita membuka pelatihan dengan menyampaikan rencana pendataan sosial dan spasial yang karenanya sangat diharapkan masyarakat, terutama anak muda Kasepuhan, dapat terus mengikuti kegiatan pelatihan dan praktik lapangan dalam beberapa hari ke depan. Selanjutnya Fauzan memaparkan refleksi dari perjalanan Hutan Adat dari awal persiapan sampai terbitnya SK Hutan Adat–termasuk menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan SK hutan Adat dicabut jika dianggap tidak memberikan manfaat dan/atau justru menimbulkan kerusakan serta konflik di masyarakat. Maka dari itu perlu dipersiapkan perencanaan tata kelola Hutan Adat pasca penetapan hak supaya benar-benar memberikan manfaat lebih untuk masyarakat. Kemudian Opet dari JKPP menyambung penjelasan dengan memberikan gambaran pengelolaan Hutan Adat yang pernah didampingi JKPP sehingga masyarakat Kasepuhan yang hadir lebih mudah memahami proses pengelolaan serta proyeksi hasil yang didapatkan pasca pengelolaannya. Hanya saja perlu ditekankan terkait komitmen masyarakat karena memang prosesnya tidak sebentar sehingga masyarakat bisa jadi malas untuk berproses, sebagaimana kerap dihadapi masyarakat lainnya juga. Setelah istirahat, peserta yang telah sepakat untuk kumpul kembali, ternyata cuma sedikit dan hanya peserta perempuan yang kembali. 

Secara terpisah kita juga memutuskan untuk menerbangkan drone selagi kondisi cuaca agak mendukung. Setelah mencoba 2 kali misi, ternyata hasil yang didapatkan sangat kecil sekali. Sekali terbang hanya mendapatkan 15 Ha dan masih jauh dari total luasan wilayah Adat Kasepuhan Cibarani yang luasnya mencapai 1200 Ha sehingga perlu terbang berapa kali dan banyak memakan waktu. Ini tidak sesuai dengan hasil diskusi sebelum turun lapang, yang menurut keterangan Aziz dari JKPP, bahwa dengan luasan 1200 Ha mungkin drone hanya perlu terbang 4-5 kali. Dari hasil diskusi, kita memprioritaskan untuk memetakan batas-batas Hutan Adat terlebih dahulu. 

Di hari berikutnya, kita membagi tim menjadi dua yaitu sebagian mengawal pelatihan dan sebagian lagi turun lapang untuk menerbangkan drone. Hasil dari setiap misi penerbangan drone langsung kita olah. Namun ternyata pelatihan tidak lanjut lagi, dikarenakan tidak ada peserta yang hadir. Malam harinya kita mengobrol dengan teman-teman dari Kasepuhan lain. Ada sedikit protes dari mereka, bahwa mereka datang untuk belajar dan mengikuti pelatihan. Dikarenakan undangan dari RMI dan ditambah ketertarikan mereka terhadap tema yang akan dibawakan dalam pelatihan, mereka rela untuk meninggalkan kesibukan mereka masing-masing. Namun setelah mereka sampai di Kasepuhan Cibarani dan melihat kondisi masyarakat, terkhusus pemudanya, mereka ikut kesal dan kecewa. Sempat juga terlontar pertanyaan, “Kenapa sih Mas pelatihannya diadakan di Cibarani? Kenapa tidak ditempat kita saja, yang pasti akan mendapatkan sambutan yang positif dan tentunya banyak yang ikut berpartisipasi. Karena kita merasa juga butuh pengelolaan dan perencanaan HA kedepannya”. Kemudian kami menjawab bahwa Kasepuhan Cibarani dipilih karena mempertimbangkan kondisi kapasitas anak muda dan masyarakatnya yang masih perlu ditingkatkan, supaya memiliki kapasitas yang sama dengan masyarakat di wilayah Kasepuhan lain yang juga sudah mendapatkan SK Hutan Adat dan sudah terlebih dahulu difasilitasi dengan berbagai kegiatan peningkatan kapasitas di komunitasnya. Kehadiran teman-teman dari Kasepuhan lain juga diharapkan dapat menambah semangat masyarakat Cibarani untuk mengikuti pelatihan dan berbagi pengalaman. Tetapi memang kenyataannya anak muda Cibarani belum terlalu tergugah minatnya dengan kegiatan-kegiatan seperti ini. Kemudian mereka bertanya lagi, “Seandainya sampai besok tidak ada yang hadir lagi, apa pelatihannya juga akan ditunda lagi?” Akhirnya kita putuskan walaupun nantinya masyarakat lokal tidak ada yang hadir, kita akan tetap melanjutkan pelatihan demi menghargai teman-teman yang sudah jauh-jauh datang dengan tujuan mengikuti kegiatan. Malam harinya pun kita ngobrol-ngobrol dengan teman-teman dari kasepuhan lain, mereka bercerita situasi dan kondisi yang ada di wilayah mereka masing-masing serta mereka meminta saran dan masukan dari RMI dan JKPP.

Untungnya keesokan harinya pelatihan bisa dilanjutkan dengan dihadiri juga oleh ibu-ibu Kasepuhan Cibarani. Materi yang disampaikan tentang Perencanaan Pengolahan Lahan dan juga dibahas mengenai perubahan-perubahan dan hasil yang didapat setelah perencanaan. Peserta lalu diminta untuk berdiskusi dan membuat perencanaan sederhana di wilayah adat mereka masing-masing. Di lain tempat kita juga secara paralel melakukan penerbangan drone di area Hutan Adat dan berhasil menerbangkan misi selama 6 kali di pagi dan sore hari. Namun setelah data diolah ternyata foto udara yang dihasilkan tidak seragam, ada yang terlalu cerah ada juga yang gelap karena pengaruh cuaca yang berubah-ubah. Di pelatihan hari terakhir, dari warga lokal ternyata hanya perempuan dari Kasepuhan Cibarani saja yang hadir mengikuti pelatihan. Sangat disayangkan agenda yang sudah susah payah kita persiapkan kurang berjalan maksimal dikarenakan kurangnya respon masyarakat setempat. Misi drone pun juga belum menjangkau seluruh area Hutan Adat Cibarani sebab tim kesusahan mencari masyarakat yang bisa mendampingi turun lapang sehingga dalam prosesnya kita hanya berpatokan trek pada koordinat misi yang dibuat.

Menegaskan Kembali Komitmen Masyarakat

Malam hari di hari terakhir kegiatan kita meminta tolong Pak RT Samanan mengumpulkan masyarakat, karena ada beberapa hal yang mau disampaikan sebelum pulang ke Bogor. Di malam terakhir ini ternyata lumayan banyak masyarakat yang hadir, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Dalam riungan malam itu kita menyampaikan kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan dalam seminggu kebelakang, mulai dari pelatihan-pelatihan sampai pemetaan dengan menggunakan drone. Disampaikan juga bahwa hasil yang sudah didapatkan masih jauh dari kata maksimal dikarenakan partisipasi masyarakat sangat minim sekali. Hasil olahan data melalui drone selanjutnya ditampilkan kepada masyarakat, dimana setelah ditampilkan ternyata masyarakat juga masih belum begitu hafal terhadap wilayahnya sendiri. Namun setelah kami beri petunjuk salah satu lokasi yang mudah dikenal, akhirnya mereka mulai paham dan bisa menyebutkan area-area tersebut sembari mencoba didigitasi dan menyebutkan pola pengelola lahan. Dari percobaan digitasi, ternyata banyak perbedaan seperti luasan lahan dari keterangan yang disebutkan oleh pemilik lahan dan hasil hitungan setelah data diolah. 

Dalam kesempatan ini kami juga menyampaikan respons dan pemikiran kami atas partisipasi masyarakat Kasepuhan Cibarani selama berlangsungnya pelatihan. Ketika tim RMI bersama JKPP datang, masyarakat sendiri yang menyepakati dan siap untuk berpartisipasi dalam pelatihan-pelatihan dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Tapi kenyataannya sedikit sekali yang hadir, bahkan tidak sekali atau dua kali kita selalu umumkan lewat speaker tetapi memang respon masyarakat yang kurang baik. Ditegaskan juga bahwa posisi RMI dan teman-teman JKPP disini hanya sebagai pendamping dan teman diskusi, bukan sebagai pekerja masyarakat. Kalaupun dari hasil diskusi muncul keinginan masyarakat menuju perubahan kearah yang lebih baik, itu semua tergantung dari masyarakat sendiri. Disaat masyarakat semangat, kita juga tambah semangat; begitu juga sebaliknya kalau masyarakat diam saja, kita juga tidak bisa berbuat apa-apa. RMI pun tidak selamanya akan berada di Kasepuhan Cibarani  karena masih banyak wilayah lain yang juga ingin didampingi seperti Cibarani. Kami menjadikan Cibarani sebagai prioritas dikarenakan melihat kondisi dan semangat masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi lebih sejahtera. Namun melihat apa yang terjadi dalam kegiatan seminggu terakhir, komitmen itu tampaknya hanya sebatas ucapan saja. Sekarang kami mengembalikan lagi ke masyarakat, jika memang proses ini dianggap tidak penting dan tidak perlu dilanjutkan bagi kami tidak masalah. Semua proses ini berangkat dari kesepakatan masyarakat sehingga keputusan mutlak ada di tangan masyarakat pula. 

Masyarakat menjawab bahwa mereka sebenarnya sudah meminta anak muda Cibarani untuk mengikuti pelatihan yang dilaksanakan, tetapi memang pemuda di sini agak susah kalau diajak diskusi, riungan, ataupun pelatihan. Sebagai orang tua, masyarakat Cibarani yang hadir juga mengaku kebingungan bagaimana membuat mereka–sebagai generasi penerus Kasepuhan Cibarani–lebih peduli dengan kampungnya. Terkait kelanjutan proses yang tengah berlangsung, hal ini sepertinya perlu direnungkan kembali antara lembaga adat dan masyarakat. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI lalu menyampaikan bahwa silakan sampaikan hasil diskusi tersebut kepada kami, dengan catatan bahwa jika ternyata ingin lanjut berarti sudah sewajarnya semua masyarakat partisipasi penuh dalam prosesnya. Disepakati bahwa jika selama 2 minggu ke depan kita tidak menerima kabar dari Kasepuhan Cibarani, maka kami anggap bahwa masyarakat memutuskan untuk tidak melanjutkan proses yang tengah berjalan. 

Pembelajaran

Dari 7 hari kami di Kasepuhan Cibarani, ternyata apa yang telah kita rencanakan kurang bisa berjalan maksimal. Termasuk pernyataan dari teman-teman JKPP yang dapat menjadi bahan introspeksi bahwa mereka menganggap masyarakat belum siap untuk berproses dan juga belum punya sosok yang bisa dijadikan pegangan. Abah Jaro sebagai kepala adat sekaligus kepala desa tampak kurang merespon kegiatan yang tengah dilaksanakan. Ini terlihat dari pertama kali datang, beliau belum pernah hadir dalam kumpulan ataupun sekedar menanyakan kegiatan yang dilakukan. Kami juga berasumsi bahwa masyarakat Kasepuhan Cibarani sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap seorang pemimpin. Sehingga dari kegiatan-kegiatan yang diadakan kurang mendapatkan respon positif dari masyarakat. Kedepannya mungkin perlu ada forum diskusi antara pihak RMI dan Kelembagaan Adat Cibarani untuk membahas kelanjutan proses-proses di Kasepuhan Cibarani, sebab hanya akan membuang-buang energi jika dipaksakan sedangkan dampak bagi masyarakat minim. Perlu dibangun kembali komitmen-komitmen yang bisa dipegang bersama sehingga bisa berproses menuju ke arah yang jelas dalam pendampingan kedepan. Selain itu juga masih perlunya waktu untuk mendorong kesadaran masyarakat, terutama anak mudanya, supaya tergerak dan mau melakukan inisiatif-inisiatif pengelolaan ruang wilayah adat.  

Pembelajaran lain yang diperoleh dari percobaan digitasi atau pemetaan wilayah adat Kasepuhan Cibarani yaitu ternyata tidak semua penggunaan lahan bisa diketahui batasnya. Seperti kebun, dikarena jenis tanamannya tidak terlihat jelas maka untuk menentukan batas-batasnya masyarakat juga kesusahan. Dikarenakan tidak semua lahan bisa ditentukan batas-batasnya, evaluasinya adalah perlu pengambilan titik koordinat ke lapangan terhadap lahan yang masih sulit diidentifikasi batas-batasnya. Konsekuensinya bagi masyarakat adalah mereka harus siap untuk pemetaan kembali, walaupun prosesnya mungkin tidak perlu lama sebab foto sawah dihasilkan dari drone sudah sangat jelas sehingga tidak perlu diambil kembali. Pasca diolah/didigitasi, hasilnya akan kembali ditampilkan ke masyarakat sebagai bahan diskusi rencana berikutnya. 

Penulis: Slamet Widodo

Editor: Supriadi

‘Negara Hadir’, Respon atas Perusakan Gunung Liman di Hutan Adat Kasepuhan Cibarani

Foto 1: Papan informasi pelarangan kegiatan perusakan hutan dan/atau penambangan di dalam kawasan hutan/Hutan Adat Kasepuhan Cibarani (Foto: RMI/Abdul Waris)

Pada hari Kamis, 27 Mei 2021 ada pemandangan yang berbeda di Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani, Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Lebak-Banten. Pagi itu kampung yang biasanya sepi cukup ramai dipenuhi orang-orang yang akan melaksanakan proses pemulihan ekosistem di Gunung Liman. Kegiatan ini adalah respon dari viralnya aktivitas tambang ilegal di media sosial, di lokasi yang termasuk wilayah adat  Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani yang telah berstatus Hutan Adat sejak Desember 2019 silam.

Pada video yang sempat viral di media sosial pada pertengahan bulan Mei 2021 tersebut tampak Masyarakat Adat Baduy menangis dan memohon penghentian perusakan lingkungan oleh tambang ilegal di Gunung Liman kepada Pemerintah Daerah dan Pusat. Wilayah Gunung Liman sendiri telah disepakati sebagai wilayah yang harus dijaga kelestariannya secara adat, terutama oleh Masyarakat Baduy dan Kasepuhan Cibarani.

Mewakili Negara -demikian masyarakat biasa menyebut pemerintah secara umum, hadir Ditjen Penegakan Hukum Kementerian LHK yang bertindak sebagai penyelenggara kegiatan yang berkolaborasi dengan para pihak termasuk penegak hukum di Kabupaten Lebak-Banten. Kasepuhan Cibarani sendiri bertindak sebagai tuan rumah kegiatan ini.

Foto 2. Kegiatan pemulihan ekosistem Gunung Halimun (Foto: RMI/Abdul Waris)

Seusai pertemuan pagi di lapangan Cibarani, para peserta bersama-sama berangkat ke lokasi tambang ilegal di Gunung Liman. Titik pertama yang didatangi berada di mata air Cibaso, lokasi di mana video masyarakat Baduy yang viral diambil. Para peserta dengan sigap, sesuai dengan pembagian tugas, menutup bekas galian menggunakan alat seadanya, cangkul, linggis, bahkan kayu yang sudah diruncingkan ujungnya. Kurang lebih sepuluh lubang galian ditimbun kembali, tiga diantaranya telah cukup dalam digali.

Setelah rata dengan tanah, bekas galian ditanami dengan bibit pohon buah seperti durian, manggis, jengkol, dan pete. Selain sebagai penahan erosi, pilihan pohon buah menjadi simbol tanaman yang memberi manfaat lebih kepada makhluk hidup. Papan informasi berisi larangan melakukan aktivitas yang dapat merusak ekosistem Gunung Liman di Hutan Adat Kasepuhan Cibarani pun tak lupa ditancapkan. Di lokasi kedua di Gunung Tasuk -masih dalam area Gunung Liman, kurang lebih lima lubang mendapat perlakuan sama.

Foto 3: Ditanaminya lubang bekas galian dengan bibit pohon buah (Foto: RMI/Abdul Waris)

Sayangnya, Masyarakat Baduy tidak hadir dalam kegiatan yang merespon kecemasan mereka. Seharusnya seluruh komunitas penjaga Gunung Liman dapat dilibatkan. Jauh sebelum kejadian luar biasa ini, Masyarakat Kasepuhan Cibarani bersama dengan Masyarakat Baduy dan beberapa komunitas Masyarakat Adat lain di sekitar Gunung Liman telah menyepakati komitmen bersama untuk penjagaan Gunung Liman dalam kegiatan “Ngariung Ngaraksa Gunung Liman” pada bulan Februari 2020 silam. Kegiatan ini merespon bencana banjir dan longsor yang menimpa Kabupaten Lebak di awal tahun 2020. Komunitas Masyarakat yang terlibat adalah mereka yang sama-sama menganggap Gunung Liman sebagai titipan dari leluhur mereka untuk tidak diganggu kelestariannya. Dengan kata lain, riwayat leluhur mengamanahkan untuk “menjaga dan meraksa alam, alam caina, alam duniana, alam rasana”. 

Landasannya berpegang teguh pada siloka berikut “Lamun geus aya ketuk tujuh kali ti Gunung Bongkok, Gunung Liman jeung sirah Ciujung, eta urang tanda-tanda kiamat”. Tafsir kiamat oleh komunitas dibaca berupa bencana banjir, kebakaran, penyakit serta musibah lainnya. 

Komitmen kolektif yang muncul dari inisiatif lokal ini harus terus diperkuat, salah satunya melalui pelibatan para pihak dalam berbagai kegiatan pemerintah, seperti pada pemulihan Gunung Liman ini. Dengan begitu, usaha pelestarian alam yang sejatinya telah ada dalam praktik adat setempat -seperti ronda leuweung atau patroli hutan- dapat dilakukan secara kolektif melalui pendekatan lanskap, bukan sekedar di level komunitas yang tersegregasi batas-batas wilayah adat. 

Aksi kolektif ini menjadi penting karena praktik perusakan lingkungan sebenarnya sangat banyak terjadi di wilayah Banten, baik itu pembalakan dan penambangan, maupun perburuan dan kegiatan eksploitatif lainnya. Umumnya, para pelaku perusakan lingkungan menjalankan aktivitasnya di luar teritorial atau wilayah adatnya. Di samping dampak negatifnya, gejala ini menunjukkan masih adanya kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan (sehingga tidak mau merusak lingkungannya sendiri). Di sisi lain, pemerintah sebagai otoritas di Kawasan Hutan -yang mendominasi lanskap Kabupaten Lebak-Banten, tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk benar-benar menjaga kelestarian hutan. Karenanya pengakuan wilayah adat secara masif dengan pendekatan lanskap, dan lebih penting lagi: pelibatan masyarakat, adalah strategi yang patut dipertimbangkan. Jika di dalam dan sekitar satu lanskap -seperti contohnya Gunung Liman, wilayah-wilayah adatnya telah diakui, masyarakatnya dapat secara kolektif memperkuat penjagaan pelestarian lanskap tersebut. Bagaimanapun juga, kehidupan dan penghidupan mereka sangat bergantung pada kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

 

Penulis: Abdul Waris

Editor: Indra N Hatasura, Wahyubinatara Fernandez

Foto: Abdul Waris

Perjalanan SK Hutan Adat Empat Kasepuhan

Foto 1: Seorang perempuan adat Kasepuhan Cibarani tengah menyiangi gulma di lahan garapannya (Foto: RMI/Waris)

Awal tahun 2021, sebuah pesan di aplikasi WhatsApp diterima RMI dari kawan-kawan Kasepuhan. Beritanya adalah bahwa perwakilan Kasepuhan Cibarani diundang hadir ke Jakarta dua hari lagi, tanggal 6 Januari 2021. Sebuah undangan juga dilampirkan dalam pesan ini, menyusul pesan sebelumnya yang meminta Abah Dulhani, Kepala Desa sekaligus tetua adat Kasepuhan Cibarani untuk hadir di Jakarta. Begitu dokumen undangan diunduh, terbaca penjelasan acara tanggal 7 Januari 2021. Acara yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibarani sejak setahun terakhir: penyerahan Surat Keputusan (SK) penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani seluas 490 Hektare yang berada di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Dalam daftar undangan terbaca juga nama-nama Kasepuhan lain. Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Pasir Eurih. Perwakilan dari Kasepuhan-kasepuhan tersebut diundang ke Jakarta untuk acara yang sama. Keempat Kasepuhan ini memang sudah mendapatkan penetapan Hutan Adatnya sebelumnya, yang diakui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hanya saja, mereka belum menerima dokumen utuh yang, secara tradisi sejak 2016, akan diserahkan langsung oleh Presiden.

Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih, yang difasilitasi oleh RMI, mengajukan penetapan Hutan Adatnya pada Oktober 2017. Kedua Kasepuhan masing-masing mengajukan luas 306 Hektare dan 580 Hektare hutan adatnya dikeluarkan dari status Hutan Negara berfungsi konservasi di bawah kelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Selanjutnya pihak KLHK melakukan verifikasi lapangan pada 29-30 Agustus 2018. Sesudah lama tidak terdengar kabar, termasuk tanpa melalui Gelar Hasil, penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih diumumkan langsung oleh Menteri LHK Siti Nurbaya saat hadir dalam Riungan Gede Kasepuhan pada 1 Maret 2019 di Kasepuhan Citorek. Kedua Kasepuhan mendapatkan penetapan Hutan Adatnya seluas yang diajukan pada tahun 2017. Perlu dicatat bahwa dalam acara tersebut, baru terjadi pengumuman lisan penetapan Hutan Adat, belum penyerahan SK.

Lain lagi dengan Kasepuhan Cibarani. Pengajuan penetapan Hutan Adatnya dilakukan pada 5 November 2018 bersama komunitas Kampong Mului (Kalimantan Timur), enam komunitas dari Kalimantan Barat, dan 12 komunitas dari Bengkulu yang difasilitasi oleh Koalisi Hutan Adat—dikoordinir oleh HuMa dengan anggota antara lain AKAR, LBBT, PADI dan RMI. Pengajuan penetapan Hutan Adat ini diterima langsung oleh Menteri LHK. Sesudah menunggu delapan bulan, akhirnya tiba waktu verifikasi lapangan oleh KLHK pada 31 Juli – 1 Agustus 2019. Selanjutnya, RMI diundang pada tanggal 30 Agustus 2019 untuk mendiskusikan hasil verifikasi. Saat itu masyarakat Kasepuhan Cibarani tidak dilibatkan dalam diskusi karena rencananya akan dilibatkan pada diskusi terpisah, yang pada akhirnya tidak terjadi. Beberapa hal dibicarakan dalam diskusi tersebut, termasuk keberatan pihak Perhutani yang merasa masih ada aset Perhutani pada wilayah yang diajukan penetapannya sebagai Hutan Adat Kasepuhan Cibarani tersebut. Kasepuhan Cibarani memang satu-satunya Kasepuhan yang wilayah adatnya tumpang tindih dengan Hutan Negara berfungsi produksi. Tentunya di bawah kelola Perum Perhutani.

Foto 2. Masyarakat Adat menerima SK penetapan Hutan Adatnya pada Kamis, 7 Januari 2021 di Jakarta (Foto: BPMI Setpres)

Informasi penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani akhirnya didapatkan tanpa pengumuman resmi seperti yang terjadi saat pengumuman penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih. Informasi tersebut didapat antara lain saat perwakilan Kasepuhan Cibarani turut menemani perwakilan Kasepuhan Cibedug mengajukan permohonan penetapan Hutan Adatnya ke Gedung Manggala Wanabakti, yang diterima langsung oleh Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Bambang Supriyanto. Menurut informasi, Hutan Adat Kasepuhan Cibarani yang ditetapkan adalah 490 Hektare dari yang diajukan seluas 644 Hektare. Jadi, 154 Hektare hutan adat yang diajukan penetapannya oleh Kasepuhan Cibarani masih berstatus Hutan Negara, padahal dalam Peraturan Daerah (Perda) Lebak no. 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Kasepuhan, wilayah tersebut sudah ditetapkan sebagai wilayah adat Kasepuhan Cibarani.

Kasepuhan Citorek, yang pengajuan penetapan Hutan Adatnya difasilitasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), malah mengalami pengurangan wilayah Hutan Adat yang ditetapkan lebih dari separuh. Kasepuhan Citorek mengajukan 4.439 Hektare Hutan Adatnya, dan mendapatkan penetapan seluas 1.647 Hektare. Lagi-lagi, wilayah adat Kasepuhan Citorek pun sudah diakui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam Perda yang sama, yaitu Perda Lebak 8/2015. Perwakilan Kasepuhan Citorek yang hadir di Jakarta, yaitu Oyok Didi dan Kepala Desa (Jaro) Jajang tidak mengetahui alasan pengurangan Hutan Adat Kasepuhan Citorek dari yang mereka ajukan pada Januari 2019. Adapun luasan Hutan Adat empat Kasepuhan yang telah ditetapkan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Pengurangan luasan penetapan ini sudah terjadi sejak penetapan pertama Hutan Adat di 2016. Hutan Adat Kasepuhan Karang, salah satu dari delapan Hutan Adat yang pertama kali ditetapkan, hanya memuat wilayah hutan tutupan dalam wilayah adat mereka seluas 486 Hektare, sementara kawasan hutan yang telah dikelola secara produktif selama  turun temurun oleh masyarakat seluas lebih dari 200 Hektare hingga kini justru masih berstatus Hutaan Negara dengan fungsi konservasi. Tidak diketahui alasan pengurangan tersebut, bahkan saat Gelar Hasil pada Desember 2016 tidak ada informasi mengenai pengurangan wilayah yang ditetapkan sebagai Hutan Adat Kasepuhan Karang.

Kembali ke masa kini, awal Januari 2021. Kabar undangan penyerahan SK Hutan Adat oleh Presiden langsung di awal tahun ini benar-benar kabar yang mengejutkan. Di saat tidak lagi ditunggu-tunggu penyerahannya, tiba-tiba undangan ini  datang. Bersyukur bahwa Direktorat Jenderal PSKL terus bekerja dalam senyap mewujudkan tahap akhir proses pengumuman pengakuan legal Hutan Adat Kasepuhan, dan 31 Hutan Adat masyarakat adat lainnya di seluruh Indonesia.

Secara total, Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih menunggu 1,5 tahun sejak pengajuan hingga ditetapkan Hutan Adatnya. Selanjutnya, kedua Kasepuhan ini harus menunggu 22 bulan untuk mendapatkan SK penetapan tersebut secara resmi dari presiden RI.

Di samping itu, Kasepuhan Cibarani harus menunggu 14 bulan sejak pengajuan hingga penetapan Hutan Adatnya. Selanjutnya, 13 bulan berikutnya adalah waktu yang harus mereka tempuh sejak penetapan Hutan Adatnya hingga penyerahan resmi SK Hutan Adat mereka oleh Presiden RI.

Catatan penting lainnya adalah baik Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Karang tidak memahami mengapa pengajuan penetapan Hutan Adatnya tidak dipenuhi seluruhnya, yang sesungguhnya sudah diakui dalam Perda Kabupaten Lebak 8/2015.

Walaupun syukur tetap perlu terus dipanjatkan atas event menggembirakan pada awal tahun ini, namun perbaikan untuk pemberlakuan sistem yang tepat dan lebih ringkas tetap perlu dilakukan. Selain perlu adanya konsultasi dan kesepakatan yang jelas dalam menetapkan Hutan Adat antara masyarakat adat dengan Pemerintah, Kami membayangkan Menteri LHK dapat langsung memberikan SK Hutan Adat ini ke masyarakat adat, sehingga keluarnya SK penetapan Hutan Adat masyarakat adat bisa langsung dinikmati oleh mereka, tanpa harus mengalami fase menggantung tidak jelas karena menunggu jadwal Presiden.

 

Catatan: Kasepuhan adalah masyarakat adat yang mendiami wilayah ekosistem Halimun yang berada di wilayah administratif Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Pemerintah daerah Kabupaten Lebak telah mengakui keberadaan masyarakat adat Kasepuhan pada tahun 2015 melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Kasepuhan. Dalam lampiran Perda tersebut, tertulis 590 komunitas yang merupakan bagian dari Masyarakat Adat Kasepuhan yang terdiri dari Kasepuhan induk (kasepuhan utama), kasepuhan rendangan (kasepuhan pengikut), dan unit lebih kecil lagi seperti sesepuh kampung.

RMI sendiri belajar bersama masyarakat di wilayah ekosistem Halimun sejak 1995 dan mendampingi proses untuk pengakuan wilayah adat masyarakat adat Kasepuhan terutama sejak 2003.

Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani dan Potensinya

Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani adalah masyarakat adat yang tinggal di wilayah administrasi Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Lebak, Banten.  Menurut Kepala Desa sekaligus Kepala Adat saat ini, Dulhani, pupuhu atau leluhur Kasepuhan yang pertama adalah Ama Haji Dul Patah. Mereka sudah tinggal di wewengkon (wilayah adat)-nya jauh sebelum zaman kolonial Belanda.

Wilayah Adat Kasepuhan Cibarani meliputi hampir seluruh Desa Cibarani yang terdiri dari 10 Kampung dengan luasan kurang-lebih 1.200 Hektar. Masyarakat adat Kasepuhan Cibarani merupakan keturunan dari Parung Kujang, sebuah pancer (pusat, kelompok induk) di masyarakat Kasepuhan.

Umumnya masyarakat masyarakat Cibarani berkegiatan di bidang pertanian. Sehari-harinya mereka mengolah lahan sawah dan kebun. Rutinitas tersebut dilakukan dari pagi sampai petang hari, kecuali hari Jumat dan Selasa karena pantangan yang ada di Kasepuhan Cibarani. 

Pada tanggal 5 November 2018 lalu, Ketua Adat Kasepuhan Cibarani, Abah Dulhani, telah menyerahkan secara langsung pengajuan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya di Manggala Wanabakti, Jakarta. Bagian dari wilayah adat yang diajukan menjadi Hutan Adat adalah kawasan hutan yang berfungsi Hutan Produksi (HP) dan dipangku oleh Perum Perhutani.

Selanjutnya pada tanggal 31 Juli 2019, Tim Verifikasi dan Validasi Hutan Adat Kasepuhan Cibarani telah melakukan proses verifikasi dan validasi (vv) subjek dan objek pengajuan Hutan Adat secara serentak di tiga lokasi: (1) Balai Serba Guna Kasepuhan Cibarani, (2) Batas Kasepuhan Cibarani-Baduy di Kampung Sukawaris, dan (3) Blok Gunung Liman di Kampung Pasir Sempur. 

 

Potensi Ekonomi dan Sumber Daya Alam

Bersawah adalah kegiatan primer bagi Masyarakat Cibarani. Masyarakat Cibarani biasa menanam padi dan memanennya dua kali dalam satu tahun. Varietas benih yang dipakai masih menggunakan benih lokal (pare gede) berbagai jenis. Tercatat ada sekitar 20 varietas yang masih tersimpan di lumbung. Umumnya warga menggunakan benih cereh apel yang memerlukan waktu selama 4-5 bulan hingga panen.  Hasil panen padi tidak diperjual-belikan, melainkan hanya untuk konsumsi masyarakat dan disimpan di leuit. Kegiatan tersebut juga sebagai bentuk nyata dari sistem kedaulatan pangan yang digagas para leluhur kasepuhan.

Untuk memperoleh uang tunai, masyarakat memperdagangkan hasil kebun seperti gula aren, coklat, cengkeh, kopi, rindu, pete, jengkol serta buah-buahan musiman. Selain itu masyarakat juga bekerja sebagai buruh tani harian dan/atau mingguan, buruh angkut kayu maupun buruh panen musiman. Sebaran sumber mata pencaharian masyarakat Desa Cibarani dari sektor pertanian ini apabila ditinjau dari jangka waktunya maka dapat dibedakan menjadi sumber penghidupan harian, mingguan, bulanan dan tahunan. 

Pendapatan yang termasuk ke dalam sumber penghidupan harian, antara lain buruh tani dan hasil penjualan gula aren. Sedangkan pendapatan yang tergolong ke dalam sumber penghidupan mingguan, yaitu buruh tani dan buruh panen, pisang, picung, coklat, gula aren, dan karet.Sumber penghidupan bulanan terdiri atas hasil penjualan padi, jagung, timun, pisang, pete, serta buruh tani dan buruh panen. Di sisi lain sumber penghidupan tahunan utamanya berasal dari penjualan cengkeh, kopi, durian, rambutan, dan kayu. Walaupun jumlahnya tidak banyak, beberapa orang juga memperoleh penghasilan dari beternak kambing dan ayam.

Masyarakat Adat Cibarani memiliki sumber pendapatan yang cukup beragam. Dengan dikeluarkannya SK Hutan Adat, maka sumber-sumber penghidupan mereka akan lebih terjamin. Hutan Adat adalah hak masyarakat adat dan dengan sistem kelola masyarakat yang dipadukan dengan kearifan lokal tentu akan memberikan dua manfaat sekaligus: kebermanfaatan dan kelestarian hutan.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Indra N. Hatasura

Pengusulan Bersama Penetapan Hutan Adat

Jakarta, Senin 05 November 2018. Perwakilan dari 20 Masyarakat Adat, didampingi oleh pemerintah daerah dan lembaga pendamping diterima langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar dalam audiensi dan pengusulan bersama penetapan Hutan Adat. Salah satu komunitas Masyarakat Adat yang turut mengajukan usulan penetapan Hutan Adat mereka adalah masyarakat Kasepuhan Cibarani di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten …