Refleksi Destinasi Super Prioritas di Labuan Bajo dari Pelatihan Kepemimpinan 3 Kampung Katong

Melihat fenomena pembangunan pariwisata melalui kacamata penduduk lokal memerlukan kesadaran kritis-kontekstual karena seringkali kemewahan yang ditawarkan oleh pembangunan sangat membuai dan meninabobokan. Dampak pembangunan pariwisata merupakan hasil dari proses sistemik yang serba saling memengaruhi secara timbal balik.  Hal inilah yang disoroti Konsorsium Kampung Katong melalui “Pelatihan Kepemimpinan 3” yang mengangkat tema kepemimpinan di level sistemik dalam konteks perebutan ruang hidup dan pengelolaan sumber daya alam.

Pelatihan Kepemimpinan 3 Kampung Katong mengajak orang muda dari tiga komunitas–Simpasio Institute, Lakoat.Kujawas dan Kolektif Videoge–untuk menganalisis, merefleksi dan menyikapi pembangunan pariwisata di Labuan Bajo menggunakan perspektif etika lingkungan, ekologi politik, pembangunan inklusif dan pembangunan berkelanjutan.

Pola interaksi manusia-alam yang eksploitatif telah memicu berbagai krisis sosial dan lingkungan. Interaksi ini lahir dari pandangan bahwa manusia adalah entitas yang terpisah dengan alam. Bukan sebagai satu kesatuan utuh yang berinteraksi timbal-balik. Peserta pelatihan mempelajari hal ini dalam sesi etika lingkungan. Antroposentrisme–pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta–begitu kuat mengakar, sehingga hubungan antara manusia dengan alamnya pun dilandaskan pada ukuran-ukuran yang menguntungkan manusia semata. Dengan kata lain,  “sebesar apa manfaat alam bagi manusia?”

Pemahaman pegiat komunitas yang hadir dalam pelatihan selanjutnya diperkuat ketika materi ekologi politik disampaikan. Sesi ini dibawakan oleh Marta ‘Ica’ Muslin, seorang pegiat lingkungan yang berbasis di Labuan Bajo. Warga Labuan Bajo menyaksikan bagaimana kampung halamannya disulap menjadi kota dalam sekejap. Acara Komodo Sail 2013 dan ditetapkannya Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata super premium melalui Perpres No. 32 Tahun 2018 adalah di antara dua hal yang berdampak signifikan terhadap berubahnya rupa Labuan Bajo. Ica menjelaskan bahwa pembangunan pariwisata di Labuan Bajo memiliki sisi baik dan sisi buruk sekaligus seperti dua sisi mata uang.

Foto bersama Martha Muslin, Narasumber Politik Ekologi dalam Pelatihan Kepemimpinan III
Foto bersama Martha Muslin, Narasumber Politik Ekologi dalam Pelatihan Kepemimpinan III

Ia banyak bercerita mengenai pengalaman advokasi dan kolaborasi dengan pemerintah setempat. Ia mengatakan bahwa dengan masuknya pariwisata telah memicu membaiknya layanan publik khususnya rumah sakit dan sekolah tinggi pariwisata di Labuan Bajo. Meskipun begitu, pariwisata membawa dampak lain. Salah satunya adalah permasalahan air. Nyatanya, akses terhadap air bersih terbatas. Hal ini ditengarai oleh pesatnya kemajuan pariwisata yang mengeksploitasi air tanah besar-besaran untuk hotel, alih fungsi lahan, dan lain sebagainya.

“Untuk masalah air, (pengaruh) pariwisata terhadap air (yaitu) satu orang tamu bintang 5 itu setara 100x pemakaian air orang biasa… (di sisi lain) ada juga kasus di rumah tangga karena malamnya suami tunggu air dan paginya harus mengantar tamu (wisatawan) sehingga ada konflik. Ada 12 kasus suami istri yang sampai bercerai. Sekarang distribusi air sudah lebih bagus, tapi orang sudah harus berpikir untuk untuk mendaur ulang air dengan izin hotel bintang 5… Permasalahan air di seluruh manusia memang (menjadi) masalah tapi disini lebih masalah lagi karena pariwisata.”

Selain itu, kasus penyempitan wilayah tangkap adalah contoh persoalan bermuatan ekologi politik yang harus dihadapi warga Labuan Bajo sehari-hari. Sebagaimana disampaikan oleh Ica sebagai berikut:

“Dalam konteks Labuan Bajo, zona pariwisata meluas, zona bahari mengecil. Tapi tidak ada yang memberikan program langsung dan signifikan untuk nelayan. Sehingga nelayan kadang membawa pisau, jaga-jaga jika bersitegang dengan orang yang diving. Itulah asalnya konflik. Karena perebutan ruang.”

Realitas laju pembangunan di Labuan Bajo yang meminggirkan masyarakat lokal memantik diskusi lebih lanjut tentang topik pembangunan inklusif. Melalui permainan Maju Satu Langkah[1], muncul kesadaran bahwa setiap orang memiliki kondisi terberi (given) lalu sejauh mana setiap individu menyikapi dan mau bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya meskipun kebijakan negara tetap memainkan peran. Seperti yang dikatakan Marto dari Kolektif Videoge:

“Kita semua punya modal tergantung cara pandang kita. Ada modal sosial dan modal ekonomi. Kalau tidak bisa mengolahnya, saya tidak akan maju. Tergantung modal apa yang mau dimainkan.”

Sedangkan dari sisi keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam, isu ini disampaikan melalui permainan tangkap ikan.[2] Indra, fasilitator, merefleksikan bahwa:

“Perasaan senang yang muncul ketika bermain tadi ada saat kita berbisnis. Senang mendapatkan ikan banyak membuat kita ketagihan. Sebetulnya menurut saya, semuanya kalah (karena ikan tinggal sedikit). Perusahaan bisa mendapat ikan dengan tidak terbatas, lalu baru sadar ketika SDA (ikan) sudah menipis. Karena ada aturan yang menyebutkan bahwa ikan akan ditambah 10 persen dari total populasi, peserta yang berperan sebagai perusahaan tidak awas dengan peringatan itu. Ini ngomongin keberlanjutan. Tadi itu adalah eksploitasi dan perasaan yang menyenangkan itu timbul dari profit. Bisa saja untung perusahaan kecil tapi berkesinambungan. Perusahaan akan cenderung melanggar aturan karena visinya profit dan itu karakteristik mereka. Investasi berpengaruh pada beberapa hal: SDA mulai kritis dan tidak sensitif bahwa praktik yang mereka lakukan merugikan orang lain. Seringkali pembangunan dijalankan tanpa konsep yang bagus. Kadang kita juga tidak mau berhenti sebentar untuk melihat ulang. Sulit berhenti walaupun sudah tahu caranya salah.”

Merangkum isu pembangunan pariwisata di Labuan Bajo dapat diilustrasikan  dengan baik oleh Aden dari Videoge:

“Kami merasa sadar/tidak sadar terpapar sangat kuat (oleh pembangunan). Ilustrasi kami itu (seperti) kami sedang belajar mengendarai motor. Sudah bonceng orang. Kita mesti gas, tapi kita mesti menurunkan lagi gas untuk memperhatikan sekeliling kita. Karena kecepatan tinggi, kita tidak sempat memperhatikan kiri-kanan kita. Apakah kita harus merelakan dua atau tiga generasi di Labuan menjadi tidak kritis, rapuh. Itu juga yang menjadi refleksi. Mau menyelamatkan orang, tapi kita sendiri tidak selamat.”

Aden & Saddam, crew Videoge, sedang cerita tentang Kolektif Videoge

Pernyataan Aden, Videoge, menggambarkan kegelisahannya sebagai warga Labuan Bajo yang harus beradaptasi dengan arus pembangunan sambil berefleksi akan perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya yang terjadi begitu cepat. Ia harus menghadapi pembangunan pariwisata di Labuan Bajo yang didorong oleh negara (state driven) sepanjang rezim pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo yang dibuktikan dengan serangkaian peraturan perundang-undangan seperti  Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 dan Perpres nomor 32 Tahun 2018 tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores, membuat Labuan Bajo masuk ke dalam daftar 10 destinasi wisata prioritas sejak 2015 untuk kemudian tetap masuk ke dalam 5 lokasi DSP hasil pengerucutan di tahun 2019.

Dorongan pemerintah untuk pembangunan daerah pariwisata di Labuan Bajo beriringan dengan momen ditetapkannya Pulau Komodo sebagai tujuh keajaiban dunia di tahun 2012 dan Komodo Sail di tahun 2013 yang menjadi dua peristiwa penting yang ikut bersumbangsih untuk mengakselerasikan pembangunan pariwisata di Labuan Bajo sebagai lambang destinasi pariwisata di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dapat dilihat bahwa pembangunan pariwisata di Labuan Bajo berbasiskan transformasi ruang dan pemgambilalihan ruang. Inisiasi pemerintah untuk membuat “Bali baru” dengan label destinasi super prioritas (DSP) Indonesia dapat dikatakan berhasil. Tidak heran jika kita berada di pusat keramaian yaitu di Jalan Soekarno Hatta, Labuan Bajo, kita merasa seperti sedang berada di kawasan Pantai Kuta, Bali. dengan trotoar lebar bagi pejalan kaki dan tempat-tempat makan bervariasi di kiri dan kanan jalan. Transformasi ruang terlihat sangat jelas dalam waktu 11 tahun sejak Pulau Komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia.

Transformasi ruang tentunya tidak murah. Dilansir dari ekonomi.bisnis.com, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa pada tahun ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur untuk pengembangan KSPN Labuan Bajo sebesar Rp1,30 triliun atau lebih besar dari 2019 sebesar Rp83,20 miliar. (Gunawan, 2020) Dengan begitu, pembangunan akan bertumpu pada konsentrasi modal pemerintah yang melibatkan pemilik modal swasta untuk melegitimasi transformasi dan pengambilalihan ruang. Adapun pembangunan ini ditopang oleh konektivitas komunikasi dan transportasi sehingga aktor baru, pengusaha-pengusaha, dapat bermigrasi dan mempercepat pembangunan. Tak mengherankan jika dalam waktu sebelas tahun sejak 2012, pembangunan di sini melesat jauh meninggalkan daerah-daerah di sekitarnya.

Sejatinya label DSP sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang disematkan pada Labuan Bajo membuatnya dilabeli menjadi daerah beridentitas tunggal yaitu kawasan pariwisata. Hal ini menggerus identitas lain seperti masyarakat pesisir dan nelayan. Terjadi juga perubahan mata pencaharian yang terkonsentrasi pada sektor pariwisata. Sektor pariwisata tersebut menawarkan bentuk usaha baru yakni usaha jasa wisata, penginapan, oleh-oleh dan food and beverages. Sayangnya usaha yang berkembang ini membutuhkan modal besar yang seringkali tidak dimiliki warga lokal. Alhasil, warga lokal yang diuntungkan hanya mereka yang menyewakan atau menjual tanah dan bangunannya. Mengeksklusi individu yang tidak memiliki modal.

Ditambah lagi perubahan sosial muncul di beberapa isu lain sebagai konsekuensi dari pembangunan yang tidak inklusif. Hal ini juga tergambarkan melalui tulisan Kiwang dan Arif, yang termuat dalam Jurnal Studi Sosial berjudul Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Labuan Bajo Akibat Pembangunan Pariwisata sebagai berikut:

Secara sosial kehidupan masyarakat juga berubah seperti nelayan yang tidak lagi bebas untuk melaut dan menangkap ikan di semua zona laut dikarenakan pemberlakukan larangan penangkapan ikan pada zona tertentu, pergeseran kepemilikan dimana banyak lahan-lahan milik penduduk beralih kepemilikan kepada para investor, tergerusnya budaya lokal, dan timbul kejahatan. Anak-anak muda mulai nongkrong dan mabuk-mabukan, mereka mulai mengikuti gaya hidup wisatawan, mulai dari menggunakan bahasa asing sampai berpakaian dan berperilaku seperti wisatawan asing. Muncul juga balapan liar, pencurian termasuk narkoba.

(Kiwang & Arif, 2020)

Meskipun begitu, pembangunan ini juga memberikan kemajuan khususnya pada aspek pelayanan publik. Dengan masifnya pembangunan di sini; rumah sakit didirikan, transportasi lebih nyaman, jalan raya dan sekolah tinggi jurusan pariwisata didirikan. Tetapi, tidak semuanya mampu merasakan dampak positif dari pembangunan. Lalu bagaimana nasib mereka yang tersisih?

Daftar Pustaka

Kiwang, A. S., & Arif, F. M. (2020, November 18). Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Labuan Bajo Akibat Pembangunan Pariwisata. Jurnal Studi Sosial, 87-97.

Gunawan, A. (2020, September 11). Anggaran Pengembangan KSPN Labuan Bajo Tahun Ini Rp1,3 Triliun. Retrieved from Ekonomi.bisnis.com: https://ekonomi.bisnis.com/read/20200911/45/1290435/anggaran-pengembangan-kspn-labuan-bajo-tahun-ini-rp13-triliun


[1] Setiap peserta diberi peran tertentu kemudian maju atau diam ketika disebutkan narasi pembangunan. Misalnya fasilitator memberikan narasi “Program bantuan UMKM” maka peserta maju satu langkah jika merasa cocok, bermanfaat dan sejalan dengan narasi pembangunan yang disampaikan.

[2] Permainan tangkap ikan adalah permainan memancing menggunakan tali, penjepit kertas dan ikan yang terbuat dari kertas. Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dan mengumpulkan tangkapan dalam beberapa babak. Aturannya, populasi ikan akan bertambah 10% setiap babak. Permainan berhenti setelah beberapa babak dengan hasil akhir ikan lestari, sedikit atau habis. 

Penulis: Rifky P.K.

Editor: Supriadi

Disaring, Kegiatan Relawan 4 Life Di Tengah Pandemi

Sejak pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia, gerakan anak muda dampingan RMI, Relawan 4 Life, aktif  melakukan kegiatan sederhana dan bermanfaat, seperti Diskusi Daring (Disaring). Sebagai kegiatan yang mendukung gerakan #physicaldistancing, diskusi ini dilakukan secara online, baik melalui aplikasi Zoom dan siaran langsung di Youtube Relawan 4 Life, atau siaran langsung di instagram @relawan4life. Disaring dilakukan untuk saling bertukar pikiran terkait isu-isu yang terjadi di lingkungan dan sosial.

Kegiatan Disaring dilakukan sejak April hingga saat ini. Berbagai macam topik sudah dibahas, seperti penyakit manusia dan hewan liar, menjaga kesehatan diri dengan herbal, strategi penggunaan buzzer dalam kampanye isu lingkungan dan sosial, pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai pangan liar, ada apa dengan Mei 1998?, dan yang masih hangat adalah tentang konsep gender dalam agama Islam.

Pada 21 dan 28 Juni 2020 diadakan Disaring 5. Disaring 5 ini dilakukan dua sesi, sesi pertama dengan topik “Konsep Gender Dalam Agama Islam”, dan sesi kedua dengan topik “Model Pergaulan Dalam Islam Apakah Sudah Final?”. Untuk baca artikel lengkapnya, silakan klik link berikut https://relawan4life.wordpress.com/2020/07/08/gender-dan-model-pergaulan-dalam-islam/

 

Glamping; Wisata Hutan Adat Kasepuhan Karang

Penulis: Wahyubinatara Fernandez (Staff  Divisi Kampanye RMI) Pengelolaan hutan adat oleh kelompok pemuda adat Kasepuhan Karang mulai memasuki babak baru. Sebagai salah satu bagian dari Festival Hutan Adat pertama yang dilaksanakan di Kasepuhan karang, Desa Jagaraksa, ditawarkan juga paket wisata open trip dan glamping (glamour camping) yang menyasar masyarakat urban perkotaan dan diadakan Jumat hingga Minggu, 15 – 17 Desember …

FESTIVAL HUTAN ADAT

Festival ini secara khusus akan menggaris-bawahi partisipasi generasi muda dalam pengelolaan hutan adat—untuk secara nyata memastikan terwujudnya jargon keberlanjutan “titipan anak incu” yang harus dimulai sejak hari ini. Pada kesempatan festival ini pula, diskusi tentang perempuan dan pengelolaan sumber daya alam akan dilaksanakan untuk member pemahaman kepada pengambil kebijakan dan masyarakat bahwa keterlibatan perempuan menjadi hal yang tidak lagi dapat …

Kasepuhan Karang, Jadi Tuan Rumah Festival Hutan Adat Pertama di Indonesia

Penulis: Novytya Ariyanti (Staff Knowledge Management RMI) LEBAK-Kasepuhan Karang, Rimbawan Muda Indonesia (RMI) dan Koalisi Hutan Adat bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Lebak akan menggelar Festival Hutan Adat yang akan berlangsung di Leuweung Adat Kasepuhan Karang, Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang pada 16-17 Desember 2017. “Festival ini dilaksanakan untuk memperingati satu tahun penetapan hutan adat Kasepuhan Karang yang dulu dimiliki negara kini …