Pada hari Kamis, 27 Mei 2021 ada pemandangan yang berbeda di Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani, Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Lebak-Banten. Pagi itu kampung yang biasanya sepi cukup ramai dipenuhi orang-orang yang akan melaksanakan proses pemulihan ekosistem di Gunung Liman. Kegiatan ini adalah respon dari viralnya aktivitas tambang ilegal di media sosial, di lokasi yang termasuk wilayah adat Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani yang telah berstatus Hutan Adat sejak Desember 2019 silam.
Pada video yang sempat viral di media sosial pada pertengahan bulan Mei 2021 tersebut tampak Masyarakat Adat Baduy menangis dan memohon penghentian perusakan lingkungan oleh tambang ilegal di Gunung Liman kepada Pemerintah Daerah dan Pusat. Wilayah Gunung Liman sendiri telah disepakati sebagai wilayah yang harus dijaga kelestariannya secara adat, terutama oleh Masyarakat Baduy dan Kasepuhan Cibarani.
Mewakili Negara -demikian masyarakat biasa menyebut pemerintah secara umum, hadir Ditjen Penegakan Hukum Kementerian LHK yang bertindak sebagai penyelenggara kegiatan yang berkolaborasi dengan para pihak termasuk penegak hukum di Kabupaten Lebak-Banten. Kasepuhan Cibarani sendiri bertindak sebagai tuan rumah kegiatan ini.
Seusai pertemuan pagi di lapangan Cibarani, para peserta bersama-sama berangkat ke lokasi tambang ilegal di Gunung Liman. Titik pertama yang didatangi berada di mata air Cibaso, lokasi di mana video masyarakat Baduy yang viral diambil. Para peserta dengan sigap, sesuai dengan pembagian tugas, menutup bekas galian menggunakan alat seadanya, cangkul, linggis, bahkan kayu yang sudah diruncingkan ujungnya. Kurang lebih sepuluh lubang galian ditimbun kembali, tiga diantaranya telah cukup dalam digali.
Setelah rata dengan tanah, bekas galian ditanami dengan bibit pohon buah seperti durian, manggis, jengkol, dan pete. Selain sebagai penahan erosi, pilihan pohon buah menjadi simbol tanaman yang memberi manfaat lebih kepada makhluk hidup. Papan informasi berisi larangan melakukan aktivitas yang dapat merusak ekosistem Gunung Liman di Hutan Adat Kasepuhan Cibarani pun tak lupa ditancapkan. Di lokasi kedua di Gunung Tasuk -masih dalam area Gunung Liman, kurang lebih lima lubang mendapat perlakuan sama.
Sayangnya, Masyarakat Baduy tidak hadir dalam kegiatan yang merespon kecemasan mereka. Seharusnya seluruh komunitas penjaga Gunung Liman dapat dilibatkan. Jauh sebelum kejadian luar biasa ini, Masyarakat Kasepuhan Cibarani bersama dengan Masyarakat Baduy dan beberapa komunitas Masyarakat Adat lain di sekitar Gunung Liman telah menyepakati komitmen bersama untuk penjagaan Gunung Liman dalam kegiatan “Ngariung Ngaraksa Gunung Liman” pada bulan Februari 2020 silam. Kegiatan ini merespon bencana banjir dan longsor yang menimpa Kabupaten Lebak di awal tahun 2020. Komunitas Masyarakat yang terlibat adalah mereka yang sama-sama menganggap Gunung Liman sebagai titipan dari leluhur mereka untuk tidak diganggu kelestariannya. Dengan kata lain, riwayat leluhur mengamanahkan untuk “menjaga dan meraksa alam, alam caina, alam duniana, alam rasana”.
Landasannya berpegang teguh pada siloka berikut “Lamun geus aya ketuk tujuh kali ti Gunung Bongkok, Gunung Liman jeung sirah Ciujung, eta urang tanda-tanda kiamat”. Tafsir kiamat oleh komunitas dibaca berupa bencana banjir, kebakaran, penyakit serta musibah lainnya.
Komitmen kolektif yang muncul dari inisiatif lokal ini harus terus diperkuat, salah satunya melalui pelibatan para pihak dalam berbagai kegiatan pemerintah, seperti pada pemulihan Gunung Liman ini. Dengan begitu, usaha pelestarian alam yang sejatinya telah ada dalam praktik adat setempat -seperti ronda leuweung atau patroli hutan- dapat dilakukan secara kolektif melalui pendekatan lanskap, bukan sekedar di level komunitas yang tersegregasi batas-batas wilayah adat.
Aksi kolektif ini menjadi penting karena praktik perusakan lingkungan sebenarnya sangat banyak terjadi di wilayah Banten, baik itu pembalakan dan penambangan, maupun perburuan dan kegiatan eksploitatif lainnya. Umumnya, para pelaku perusakan lingkungan menjalankan aktivitasnya di luar teritorial atau wilayah adatnya. Di samping dampak negatifnya, gejala ini menunjukkan masih adanya kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan (sehingga tidak mau merusak lingkungannya sendiri). Di sisi lain, pemerintah sebagai otoritas di Kawasan Hutan -yang mendominasi lanskap Kabupaten Lebak-Banten, tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk benar-benar menjaga kelestarian hutan. Karenanya pengakuan wilayah adat secara masif dengan pendekatan lanskap, dan lebih penting lagi: pelibatan masyarakat, adalah strategi yang patut dipertimbangkan. Jika di dalam dan sekitar satu lanskap -seperti contohnya Gunung Liman, wilayah-wilayah adatnya telah diakui, masyarakatnya dapat secara kolektif memperkuat penjagaan pelestarian lanskap tersebut. Bagaimanapun juga, kehidupan dan penghidupan mereka sangat bergantung pada kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Penulis: Abdul Waris
Editor: Indra N Hatasura, Wahyubinatara Fernandez
Foto: Abdul Waris